Anda di halaman 1dari 20

AL-‘URF DAN AL-‘ADAH; LOCAL WISDOM

MENJAWAB PROBLEMATIKA HUKUM ISLAM

Makalah Mata Kuliah


Fiqh-Ushul Fiqh

Oleh:
Novi Arizatul Mufidoh (1802048005)

PROGRAM MAGISTER ILMU FALAK


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN WALISONGO SEMARANG
2019
AL-‘URF DAN AL-‘ADAH; LOCAL WISDOM
MENJAWAB PROBLEMATIKA HUKUM ISLAM

Oleh: Novi Arizatul Mufidoh


Magister Ilmu Falak UIN Walisongo Semarang
novy.ariezha@gmail.com

Dalam penerapannya, hukum Islam berupaya mengakomodir


tradisi shahih yang berkembang di suatu masyarakat.
Sebagaimana awal proses pensyari‗atan hukum Islam,
Rasulullah mengadopsi tradisi shahih masyarakat Arab pra
Islam. Hal yang sama juga dilakukan oleh ulama Malikiyah
dengan banyak melestarikan tradisi (a‗mal) ahl al-madinah—
sebagai masyarakat yang mewarisi tradisi kenabian dalam
ketetapan hukum mereka.
Sebagai contoh, di Indonesia terdapat banyak tradisi yang
telah mengakar dan menjadi bagian penting dalam kehidupan
masyarakat tertentu. Tradisi-tradisi yang mampu melalui
proses seleksi dengan memperhatikan persyaratan-persyaratan
yang telah ditentukan dalam kajian Ushul-al-Fiqh, selanjutnya
dapat dinyatakan sebagai tradisi Islam yang bercorak
kedaerahan ke-Indonesiaan. Tradisi ini dijadikan rujukan
dalam penyelesaian problematika hukum Islam yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat tersebut. Begitu pula dengan
berbagai tradisi yang berlaku di Negara atau daerah lain.
Dengan beragam kondisi dan tradisi yang berkembang, tentu
saja dapat dijadikan sebuah formulasi kearifan local yang
dapat menjawab problematika hukum Islam sesuai tradisi
kedaerahan.
Kata kunci:‟urf, tradisi masyarakat, hukum Islam.

1
Pendahuluan
Dalam sejarahnya, ajaran Islam yang dibawakan oleh
nabi Muhammad saw diturunkan pada masyarakat Arab yang
telah memiliki banyak budaya. Masyarakat Arab itu tentu saja
memiliki tradisi-tradisi dalam istilah hukum Islam dikenal
dengan istilah „urf atau „adah yang telah membudaya, melekat
erat dan menjadi bagian dari kehidupan mereka. Ketika ajaran
Islam datang, tradisi-tradisi bangsa Arab yang baik lalu
diakomodir kedalam ajaran Islam. Sebaliknya tradisi-tradisi
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam lalu dilarang. Begitulah
bagaimana hukum Islam berinteraksi dengan tradisi yang ada di
masyarakat. Ada ajaran-ajaran agama yang sifatnya permanen
karena merupakan dasar atau pondasi agama Islam, ada juga
ajaran-ajaran agama yang bersifat fleksibel; dapat berubah
ketika terjadinya perubahan dalam masyarakat. Dalam makalah
ini akan dibahas lebih lanjut pengertian „urf, macam, landasan
pensyari‟atan, syarat penerimaan, serta posisinya dalam
legislasi hukum Islam.

Pengertian Al-‘Urf dan Al-‘Aadah


Secara etimologi, al-‗urf berasal dari akar kata ‗arafa,
ya‗rifu yang berarti “sesuatu yang dikenal, dipandang baik dan
diterima oleh akal sehat”. Al-‗urf menurut bahasa juga memiliki

2
arti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang
diketahui, dikenal, dianggap baik, diterima oleh pikiran yang
sehat.1
Sedangkan secara terminologi, ‗urf ialah “sesuatu yang
sudah dibiasakan oleh manusia dalam pergaulannya dan telah
mantap dalam urusan-urusannya”.2 Ada juga yang
mendefinisikan bahwa ‗urf ialah sesuatu yang dikenal oleh
khalayak ramai dimana mereka biasa melakukannya, baik
perkataan maupun perbuatan.3
Lebih terangnya, ada beberapa pendapat tentang
pengertian ‗urf, yakni:
a. Menurut Ulama ‗Ushuliyyin, ‗urf adalah Apa yang bisa
dimengerti oleh manusia (sekelompok manusia) dan
mereka jalankan, baik berupa perbuatan, perkataan, atau
meninggalkan.4
b. Menurut ahli fiqh yaitu

ُ َ‫ارفَهُ الناَّسُ َو َسارُواعَل ْي ِه ِم ْن قَى ٍْل اوْ ف ِع ٍل اوْ ترْ ٍك َوي َس َّمى ْال َعا دة‬
َ ‫َما ت َع‬

1
A Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1970, h. 77.
2
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta:
Kencana, 2012, h. 71.
3
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta:
Rajawali, 1993, h. 134.
4
Masykur Anhari, Ushul Fiqh, Surabaya, 2008, h.110.
3
―Sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan
mereka menjadikannya sebagai tradisi, baik berupa
perkataan, perbuatan, ataupun sikap meninggalkan
sesuatu. Disebut juga adat kebiasaan.5

c. ‗urf merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh


masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan
mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh
sebagian ulama ushul fiqih, „urf disebut adat (adat
kebiasaan.6

d. ‗urf Menurut Imam Ghazali


‫ت بِالقبَى ُِل‬ ُ ‫ت العقُى ُِل َوتلَقتَّه الطِّبَا‬
ُ ‫ع ال َّسلِ ْي َم‬ ِ ‫َما اسْتقَ َّر فِي النفى‬
ِ َ‫ُس ِمن ِجه‬
“Keadaan yang sudah tetap pada diri manusia,
dibenarkan oleh akal dan diterima pula oleh tabiat yang
sehat‖.
Dari beberapa pendapat diatas dapat diambil suatu
pengertian bahwa ‗urf adalah suatu kebiasaan yang telah
dilakukan oleh masyarakat yang dipandang baik, baik berupa
perkataan maupun perbuatan dan yang tidak bertentangan

5
Zarkasji Abdul Salam dan Oman Fathurohman SW, Pengantar
Ilmu Fiqih Usul Fiqih 1, Yogyakarta: Lembaga Studi Filasafat Islam, 1994,
h. 118-119.
6
Mu‟in umar, dkk. Ushul Fiqih 1, Jakarta: Direktorat Jendral
Pembianaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1986, h. 150.
4
dengan syari'at Islam. Namun, jika kebiasaan tersebut
bertentangan dengan syari'at Islam, maka kebiasaan tersebut
dihapus dengan dalil yang ada pada syara'.
Diantara para ulama, ada yang menyatakan bahwa
pengertian „urf sama dengan ‗adah, keduanya muradif. Ada
juga yang berpendapat, jika „urf berarti amalan yang telah
diketahui, sedangkan adat adalah kebiasaan yang umum
dilakukan. Keduanya diakui sebagai sumber hukum pembantu
oleh semua madzhab hukum. Madzhab Maliki lebih
menekankan pentingnya adat daripada madzhab yang lain.7
Selanjutnya, Amir Syarifuddin menyatakan bila
diperhatikan kedua kata tersebut dari segi asal penggunaan dan
akar katanya, maka terdapat perbedaan antara keduanya. Kata
„adah berasal dari kata ‗ada, ya‗udu yang mengandung arti
pengulangan (tikrar). Sesuatu dikatakan sebagai ‗adah jika
telah dilakukan secara berulang. Namun tidak ada ukuran dan
banyaknya pengulangan sehingga perbuatan tersebut
dinyatakan sebagai „adah. Kata ‗urf tidak mengacu pada segi
berulang kalinya suatu perbuatan itu dilakukan tetapi dari segi

7
Abdur Rahman, Shari‗ah the Islamic Law, terj. Bashri Iba
Asghary & Wadi Masturi, Shari‗ah Kodifikasi Hukum Islam, Jakarta:
Rineka Cipta, 1993, h. 129.
5
bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui
oleh orang banyak.
Kata „adah hanya memandang dari segi pengulangan
suatu perbuatan itu dilakukan dan tidak meliputi penilaian segi
baik atau buruknya perbuatan tersebut sehingga dapat
dinyatakan ia berkonotasi netral. Sedangkan „urf digunakan
dengan memandang segi pengakuan terhadap suatu perbuatan,
diketahui dan diterima oleh penilaian banyak orang. Dengan
demikian kata „urf mengandung konotasi baiknya perbuatan
tersebut sebagaimana penggunaannya dalam QS. al-A‟raf/7:
199.
Jika ditelusuri kembali, sebenarnya tidak ada perbedaan
yang prinsipil dalam mengartikan kedua kata tersebut.
Keduanya mempunyai pengertian yang sama, yaitu suatu
perbuatan yang telah dilakukan berulang menjadi dikenal dan
diakui banyak orang; sebaliknya karena perbuatan tersebut telah
dikenal dan diakui orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan
orang secara berulang-ulang.

Macam-macam ‘Urf
Para ulama ushul fiqh membagi „urf dengan 3 tinjauan,
yakni dari segi objek „urf, ruang lingkup penggunaan, dan dari
keabsahannya menurut pandangan syara‟.
6
Dari segi objeknya, „urf dibagi menjadi ‗urf lafzhi dan
‗urf amali. „Urf lafzhi ialah kebiasaan masyarakat dalam
mengunakan ungkapan tertentu untuk mengungkapkan sesuatu,
sehingga makna ungkapan itulah yang difahami dan terlintas
dalam pikiran mansyarakat. Misalnya penyebutan daging yang
berarti daging sapi atau kambing, tidak termasuk daging ikan
laut meski hakikatnya ikan laut juga mempunyai daging.
Sedangkan yang dimaksud „urf „amali ialah kebiasaan
masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan muamalah
keperdataan, seperti kebiasaan melakukan akad atau transaksi
tertentu dengan cara tertentu sesuai yang telah berlaku.8
Dari segi ruang lingkup penggunaannya, „urf terbagi
menjadi ‗urf ‗ammah dan ‗urf khashshah. „Urf „amm adalah
kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh
masyarakat dan selruh daerah. Sedangkan „urf khash ialah
kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu.
Misalnya kebiasaan yang berlaku khusus di kalangan para
pedagang, kalangan para pengacara hokum, dan kebiasaan di
daerah tertentu yang berbeda dengan kebiasaan di daerah lain.9

8
Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Elsas,
2008, h. 211-213.
9
Ma‟ruf Amin, Fatwa…,
7
Sedangkan dari segi keabsahannya menurut pandangan
syara‟, „urf terbagi menjadi ‗urf shahih dan ‗urf fasid.
Pembagian „urf ini merupakan pembagian yang paling penting
berkaitan dengan pembahasan „urf sebagai dalil syara‟, karena
persoalan itulah yang disorot secara khusus dan menjadi ukuran
penggunaan „urf.
„Urf shahih, ialah kebiasaan yang berlaku
ditengahtengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan
nash, tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak
pula membawa mudlarat kepada mereka.10 Abdul Wahab
Khallaf menambahkan pernyataan “tidak menghalalkan yang
haram dan tidak membatalkan yang wajib”,11 contohnya seperti
akad istishna‟, contoh lain dimasa pertunangan pihak laki-laki
memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak
dianggap sebagai mas kawin.
Sedangkan „urf fasid ialah kebiasaan yang bertentangan
dengan hukum syara‟ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam
syara‟. Misalnya tradisi perdagangan yang mengandung riba di
kalangan para pedagang, tradisi penyuapan, dll.

10
Ma‟ruf Amin, Fatwa…, h. 213.
11
Abd, Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah…, h. 89.
8
Landasan Hukum ‘Urf
Urf dapat diterima sebagai landasan hukum dengan
beberapa alasan , antara lain:

1. Surat al-A‟raf ayat 199;

‫خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عه الجاهليه‬


―Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari
orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A‟raf: 199)
Kata al-„Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia
disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih
dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi
kebiasaan masyarakat. Oleh sebab itu, maka ayat
tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan
sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi
tradisi dalam suatu masyarakat.12
2. Pada dasarnya, syari‟at Islam dari masa awal banyak
menampung dan mengakui adat atau tradisi yang tidak
bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah.
Kedatangan Islam bukan menghapuskan seluruh tradisi

12
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana, 2005.
13
Satria Effendi, M. Zein, Ushul…
9
yang telah menyatu dengan masyrakat. Tetapi secara
selektif, ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula
yang dihapuskan. Contoh adat kebiasaan yang diakui,
seperti kerja sama dagang dengan cara berbagi untung
(al-mudarabah). Praktik seperti ini telah berkembang di
bangsa Arab sebelum Islam.
Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan
bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan
landasan hukum, apabila memenuhi beberapa persyaratan.13
Selain itu, sebagaimana contoh dalam suatu negara, di
Indonesia misalnya, setidaknya ada dua kelompok besar yang
terlibat dalam pembahasan tentang pemberlakuan hukum Islam
di Indonesia; yakni kelompok yang menekankan pendekatan
normatif (formalisme) dengan perpendapat bahwa Islam adalah
lengkap, dan kelompok yang menekankan pendekatan kultural
(budaya) yang berpandangan akan pentingnya penyerapan nilai-
nilai hukum Islam ke dalam masyarakat.13 Sehingga dalam hal
ini, penyerapan budaya terlebih yang berkaitan dengan adat
kebiasaan („urf) masyarakat adalah sangat mungkin untuk
dijadikan sebagai landasan formulasi hukum.

13
Mahsun, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam Melalui
Integrasi Metode Klasik dengan Metode Saintifik Modern”, Al-Ahk am,
V.25 No. 1, 2015, h. 10.
10
Syarat Penerimaan ‘Urf
Ulama yang menerima dan mengamalkan „urf sebagai
dalil hukum menetapkan 4 syarat, yakni:
a. „urf bernilai maslahat, dalam arti dapat memberikan
kebaikan kepada umat dan menghindarkan umat dari
kerusakan dan keburukan.
b. „urf berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang
yang berada dalam lingkungan tertentu.
c. „urf telah berlaku sebelum muncul penetapan hukum
pada sebuah persoalan. Artinya, „urf yang akan
dijadikan sandaran hokum telah lebih dulu ada sebelum
kasus kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
d. „urf tidak bertentangan dengan dalil syara' yang ada.14

Kehujjahan ‘Urf sebagai Dalil Hukum Syara’


Pada umumnya, „urf yang sudah memenuhi syarat diatas
dapat diterima secara prinsip.15 Ulama ushul fiqh sepakat
bahwa „urf yang tidak bertentangan dengan syara‟ baik itu ‗urf
amm dan ‗urf khash maupun ‗urf lafzhi dan ‗urf amali, dapat
dijadikan hujjah dalam menetapkan hokum syara‟.

14
Amir Syarifuddin, Garis-garis …, h. 74.
15
Amir Syarifuddin, Garis-garis …,
11
Golongan Hanafiah menempatkan „urf sebagai dalil dan
mendahulukannya atas qiyas, yang disebut istihsan ‗urf.
Golongan Malikiah menerima „urf terutama „urf penduduk
Madinah dan mendahulukannya dari Hadist yang lemah.
Demikian pula berlaku di kalangan ulama Syafi‟iyyah yang
menetapkannya dalam sebuah kaidah: ―Setiap yang datang
padanya syara‗ secara mutlak dan tidak ada ukurannya dalam
syara‗ atau bahasa, maka dikembalikan kepada ‗urf.15
Berkaitan dengan persoalan ini, Muhammad Atho‟
Mudzhar menjelaskan bahwa tidak perlu dipersoalkan lagi
bagaimana fuqaha masa lalu telah dipengaruhi oleh lingkungan
social budaya mereka dalam menetapkan hukum. Bukti yang
paling jelas adalah bahwa al-Syafi‟i sebagai pendiri madzhab
Syafi‗i mempunyai qawl qadim dan qawl jadid. Banyak
keputusan qawl qadim yang digantikan atau diubah oleh qawl
jadid, karena dirasa lebih pantas/sesuai dengan lingkungan
sosial yang baru.16

15
Amir Syarifuddin, Garis-garis …, h. 74-75.
16
Muhmmad Atho‟ Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia:
a Socio –Historical Approach, Jakarta: Office of Religious
Research and Development, and Training Ministry of Religious Affairs
Republic of Indonesia, 2003, h. 95.
12
Permasalahan ‘Urf
„Urf yang berlaku di tengah-tengah msyarakat
adakalanya bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) dan
adakalanya berteentangan dengan dalil syara‟ lainnya. Dalam
persoalan pertentangan „urf dengan nash, para ahli ushul fiqh
merincinya sebagai berikut :
a. Pertentangan „Urf dengan nash yang bersifat khusus.
Apabila pertentangan „Urf dengan nash yang bersifat
khusus menyebabkan tidak berfungsinya hukum yang
dikandung nash, maka „Urf tidak dapat diterima. Misalnya,
kebiasaan di zaman jahiliyyah dalam megadopsi anak, dimana
anak yang di adopsi itu statusnya sama dengan anak kandung,
sehingga mereka mendapat warisan apabila ayah angkatnya
wafat. „Urf seperti ini tidak berlaku dan tidak dapat diterima.
b. Pertentangan „Urf dengan nash yang bersifat umum.
Menurut Musthafa ahmad Al-Zarqa‟, apabila „Urf telah
ada ketika datangnya nash yang bersifat umum, maka harus
dibedakan antara „Urf al-lafzhi dengan „Urf al-„amali, apabila
„Urf tersebut adalah „Urf al-lafzhi, maka ‟Urf tersebut bias
diterima. Sehingga nash yang umum itu dikhususkan sebatas
„Urf al-lafzhi yang telah berlaku tersebut, dengan syarat tidak
ada indikator yang menunjukkan nash umum itu tidak dapat di

13
khususkan oleh „Urf. Misalnya: kata-kata shalat, puasa, haji,
dan jual beli, diartikan dengan makna „Urf, kecuali ada
indikator yang menunjukkan bahwa kata-kata itu dimaksudkan
sesuai dengan arti etimologisnya.
c. Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang
bertentangan dengan „Urf tersebut.
Apabila suatu „Urf terbentuk setelah datangnya nash
yang bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan,
maka seluruh ulama fiqh sepakat menyatakan „Urf seperti ini,
baik yang bersifat lafzhi (ucapan) maupun yang bersifat amali
(praktik), sekalipun „Urf tersebut bersifat umum, tidak dapat
dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara‟. Sebab,
keberadaan „Urf ini muncul ketika nash syara‟ telah
menentukan hukum secara umum.17

Kaidah Ushuliyyah pada Pemberlakuan ‘Urf


Diterimanya „urf sebagai landasan pembentukan hukum
memberi peluang lebih luas terwujudnya dinamisasi hukum
Islam. Sehingga, keadaan „urf pun akan selalu mengalami
berbagai macam warna. Seperti yang dikatakan oleh ibnu al-

17
http://rasyidakbarsuryawan.blogspot.com/2012/11/hukumurf.html
. Diakses tanggal 01 Juli 2019 pukul 11.50.
14
Qayyim al-Jauziyah bahwa tidak diingkari adanya perubahan
hukum dikarenakan adanya perubahan waktu dan tempat.
Sebab, pada dasarnya setiap hukum fiqh dapat berubah seiring
berubahnya adat istiadat yang berlaku di suatu tempat.
Dari berbagai kasus 'urf yang dijumpai, para ulama
ushul fiqh merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan
dengan „urf, diantaranya:18
a. ‫العادةُ ُمح َّكمة‬
“adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum”.
b. ‫ير ااال از ِمن ِة و ااال ام ِكن ِة‬
ِّ ‫ال ينُك ُر تغي ُّر ااال احك ِام بتِغ‬.
“Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan
perubahan zaman dan tempat”.
c ‫ط‬ ‫ا الم اع ُر اوفُ ع اُرفًا كا الم ا‬
ً ‫ش ُر او ِط ش ار‬
“Yang baik itu menjadi urf, sebagaimana yang
disyaratkan itu menjadi syarat”.

ِ ‫ت بِالنَّا‬
d. ‫ص‬ ِ ِ‫ف كالثاَّب‬ ‫الثاَّبِتُ بِا ال ا‬
ِ ‫عر‬
“Yang ditetapkan melalui „urf sama dengan yang
ditetapkan melalui nash (al-Qur‟an atau hadits)”.

18
Chaerul Uman dkk, Ushul Fiqh 1, Bandung: CV Pustaka Setia,
2000, 164.
15
Tapi perlu diperhatikan bahwa hukum disini bukanlah
seperti hukum yang ditetapkan melalui al-Qur‟an dan Sunnah,
akan tetapi hukum yang ditetapkan melalui „urf itu sendiri.

Contoh Kasus ‘Urf


1. Kasus Sewa dan „urf
‫األجر و الضمان ال يجتمعان‬
―Fee sewa dan biaya (perawatan/kerusakan) tidak
bergabung”.
Menurut kaidah ini, orang yang menyewa sebuah rumah
kontrakan, tidak bertanggung jawab mengeluarkan biaya
perbaikan rumah. Karena hal itu menjadi tanggung jawab
pemilik rumah.Penyewa (musta‗jir) tidak berhimpun padanya 2
hal, yakni; Membayar sewa dan Dhaman (membiayai
kerusakan rumah).
Namun, dalam kerusakan yang kecil, menjadi kewajiban
penyewa, seperti WC tumpat, atap yang bocor kecil, engsel
jendela yang tercopot, sesuai dengan adat kebiasaan.
2. Kasus Lainnya
Pembeli dan Penjual lemari es sepakat bahwa barang
yang dibeli tersebut tidak menjadi tanggung jawab penjual
untuk mengantarnya ke rumah pembeli. Itu kesepakatan
mereka, walaupun adat yang berlaku berbeda. Maka dalam
16
kasus ini ‗urf tidak berlaku, karena berlawanan dengan syarat
yang mereka sepakati.

Kesimpulan
Demikianlah, ulasan sederhana terkait proses selektif
dan akomodatif hukum Islam terhadap tradisi-tradisi yang telah
melembaga di tengah masyarakat. Sikap inilah yang
menjadikan hukum Islam menjadi “shalihun li kulli zaman wa
makan.” Kiranya, perlu dilakukan upaya penggalian lebih lanjut
mengenai berbagai tradisi dan potensi yang terdapat dalam
masyarakat. Proses kreatif ini dapat menjadi solusi alternatif
untuk menyelesaikan dan menjawab persoalanpersoalan yang
terdapat dalam masyarakat sesuai dengan tuntunan Islam dan
sesuai dengan local wisdom yang berlaku.

17
Daftar Pustaka

A Hanafi. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan


Bintang, 1970.
Amin, Ma‟ruf. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta:
Elsas, 2008.
Anshari, Masykur. Ushul Fiqh, Surabaya, 2008.
Effendi, Satria, M. Zein, Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana, 2005.
Khalaf, Abdul Wahab. Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta:
Rajawali, 1993.
Mahsun, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam Melalui
Integrasi Metode Klasik dengan Metode Saintifik
Modern”, Al-Ahlam, V.25 No. 1, 2015.
Mudzhar, Muhmmad Atho‟. Islam and Islamic Law in
Indonesia: a Socio –Historical Approach, Jakarta: Office
of Religious Research and Development, and Training
Ministry of Religious Affairs Republic of Indonesia,
2003.
Rahman, Abdur. Shari‗ah the Islamic Law, terj. Bashri Iba
Asghary & Wadi Masturi, Shari‗ah Kodifikasi Hukum
Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta:
Kencana, 2012.
Uman, Chaerul, dkk. Ushul Fiqh 1, Bandung: CV Pustaka
Setia, 2000.
Umar, Mu‟in, dkk. Ushul Fiqih 1, Jakarta: Direktorat Jendral
Pembianaan Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama, 1986.

18
Zarkasji Abdul Salam dan Oman Fathurohman SW. Pengantar
Ilmu Fiqih Usul Fiqih 1, Yogyakarta: Lembaga Studi
Filasafat Islam, 1994.
http://rasyidakbarsuryawan.blogspot.com

19

Anda mungkin juga menyukai