Anda di halaman 1dari 17

Urf, Saddu Dzara’i, Madzhab Sahabat and Sar’u Man Qablana

Ratnawati, Ilya Fairuz & Eka Nuriyanti Dewi

Student Of Islamic Education

Faculty of Tarbiyah and Teacher Training

Maulana Malik Ibrahim State Islamic University

Abstract

This journal discusses the idea of urf, saddu dzara'i, madhzhab companions, sar'u man
qablana in ushul fiqih. Based on the provisions of the syar'i argument which is used as the
basis for the taking of law related to human deeds there are four namely al-qur'an, al-
sunnah, al-ijma ', and al-qiyas. There is, however, another argument other than the above
four, in which the majority of Islamic scholars disagree over the use of the arguments.
Some of them are using these arguments as a pretext for syari's ruling and others deny it.
And if we talk about ijtihad, then the ra'yu side is the thing that can not escape from it.
Therefore, in the case of ushul fiqih a science ynag regulate the process of ijtihat,
dikenallah some basis of law enforcement that is based on the use of ra'yu the fuqaha. So
that the legal rules of Islamic jurisprudence can provide answers to the needs of problems
and intentions that change from time to time along with the times.
Keywords : Urf, Saddu Dzara’i, Madzhab Sahabat, Sar’u Man Qablana

Abstrak

Jurnal ini membahas gagasan mengenai urf, saddu dzara’i, madzhab sahabat, sar’u man
qablana di ushul fiqih. Berdasarkan telah ditetapkan bahwa dalil syar’i yang dijadikan
dasar pengambilan hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia itu ada empat
yaitu al-qur’an, al-sunnah, al-ijma’, dan al-qiyas. Akan tetapi, ada dalil lain selain dari
yang empat di atas, yang mana mayoritas ulama islam tidak sepakat atas penggunaan
dalil-dalil tersebut. Sebagian di antara mereka ada yang menggunakan dalil-dalil ini
sebagai alasan penetapan hukum syara’ dan sebagian yang lain mengingkarinya. Dan jika
kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu adalah hal yang tidak bisa lepas darinya.
Karena itu dalam hal ushul fiqih sebuah ilmu ynag mengatur proses ijtihat, dikenallah
beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan ra’yu para
fuqaha. Sehingga kaidah-kaidah hukum fiqih islam dapat memberikan jawaban terhadap
kebutuhan permasalahan maupun hajat yang berubah dari masa ke masa seiring dengan
perkembangan zaman.

Kata Kunci : Urf, Saddu Dzara’i, Madzhab Sahabat, Sar’u Man Qablana

A. PENDAHULUAN

Syari’at Islam merupakan penutup semua risalah samawiyah yang membawa


petunjuk dan tuntunan Allah SWT. Untuk umat manusia dan dalam wujudnya yang
lengkap. Oleh karena itu Allah mewujudkan syari’at Islam sebagai syari’at yang abadi.
Karena setiap perbuatan secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti mempunyai tertentu
yang jelas, tanpa mempersoalkan apakah peerbuatan yang ditujunya itu baik atau buruk,
mendatangkan manfaat atau menimbulkan mudharat. Sebebelum sampai pada
perlaksanaan perbuatan yagn dituju itu ada seretan perbuatan yang mendahuluinya yang
harus dilaluinya.

Hal itu dibuktkan dengan adnya kaidah-kaidah hukum fiqih yang ada Islam yang
dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan permasalahan maupun hajat yang
berubah dari masa ke masa seiring dengan perkembangan zaman. Hal itu ditunjukkan
dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam, yaitu nash-nash yang menetapkan
hukum-hukum yang tidak akan berubah sepanjang zaman dan pembukaan jalan bagi para
mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara shorikh
dalam nash-nash tersebut.
B. PEMBAHASAN

1. AL-‘URF
Dari segi kebahasaan (etimologi) al-‘urf berasal dari kata yang terdiri dari
huruf ‘ain, ra’ dan fa’ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang
dikenal), ta’rif (definisi), kata ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata
‘urf (kebiasaan yang baik).
Urf secara bahasa juga berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima
oleh akal sehat. Sedangkan secara istilah ‘urf ialah sesuatu yang telah sering
dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau
perbuatannya dan atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat. Ada juga yang
mendefinisikan bahwa ‘urf ialah sesuatu yang dikenal oleh khalayak ramai di
mana mereka bisa melakukannya, baik perkataan maupun perbuatan.1
Adapun dari segi terminologi. Kata ‘urf mengandung makna:

Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya


dalam bentuk setiap perbuatan yang populer di antara mereka, ataupun suatu
kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam
pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya
dalam pengertian lain.
Adapun pengertian lain dari ‘urf atau adat menurut istilah ahli syari’at
ialah dua kata yang sinonim atau mempunyai pengertian sama. Menurut istilah
ahli syara', tidak ada perbedaan di antara ‘urf dan adat. 2Dalam pemahaman biasa
diartikan bahwa pengertian ‘urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat
karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan
dikalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukun tertulis, sehingga ada
sangsi-sangsi terhadap orang yang melanggarnya.
Dalam istilah fuqaha ‘urf ialah kebiasaan. Dari pengertian ini kita
mengetahui bahwa ‘urf dalam sesuatu perkara tidak bisa terwujud kecuali apabila
‘urf itu mesti berlaku atau sering-seringnya berlaku pada perkara tersebut,
sehingga masyarakat yang mempunyai ‘urf tersebut selalu memperhatikan dan
menyesuaikan diri dengannya. Jadi unsur pembentukan ‘urf ialah pembiasaan
bersama antara orang banyak, dan hal ini hanya terdapat pada keadaan terus-
menerus atau sering-seiringnya dan kalau tidak demikian, maka disebut perbuatan
perseoranagan.
Maka, dari pengertian di atas urf ialah suatu kebiasaan yang telah
dilakukan oleh masyarakat yang dipandang baik, baik berupa perkataan maupun
perbuatan dan yang tidak bertentangan dengan syari'at islam. Namun, jika

1
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali, 1993), hlm. 134.
2
Ibid, hlm. 134.
kebiasaan tersebut bertentangan dengan syari'at islam, maka kebiasaan tersebut
dihapus dengan dalil yang ada pada syara'.
Sebagai contoh ialah kebiasaan masyarakat Indonesia pada perkawinan
ialah bahwa keluarga dari fihak calon mempelai laki-laki datang ketempat orang
tua calon mempelai perempuan untuk meminangnya.3 Selain itu, pada adat
perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia berjual beli dengan tukar menukar
secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Dan juga kebiasaan mereka untuk
tidak mengucapkan kata “daging” sebagai “ikan”.4

1) Pembagian Al-‘Urf
Ditinjau dari segi jangkauannya, ‘urf dapat dibagi dua, yaitu Al-‘Urf al-Amm dan
Al-‘Urf al- Khashsh

a. Al-‘Urf al-Amm
Adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat
dan diseluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang
diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban
serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan.
Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi
setiap penumpang pesawat terbang adalah duapuluh kilogram. 5
Terdapat contoh lainnya seperti halnya “istisna’”, yaitu jual beli pesanan
atau dengan jasa antar.
b. Al-‘Urf al- Khashsh
Yakni kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu, yang
mana di tempat lain terkadang tidak berlaku. Seperti halnya, dikalangan para
pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli, maka dapat
dikembalikan. Sedangkan untuk cacat yang lainnya dalam barang tersebut,
tidak dapat dikembalikan. Atau juga seperti kebiasaan mengenai penentuan
masa garansi terhadap barang tertentu.6

Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, al- ‘urf dapat pula dibagi menjadi
dua nagian, yaitu sebagai berikut.
a. Al-‘Urf ash-Shahihah (‘Urf yang Absah)
Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak
bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) tidak menghilangkan kemaslahtan

3
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta, PT Bulan Bintang, 1995), hlm. 208.
4
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta, Pustaka Amani, 2003). Hlm. 98.
5
Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta, Sinar Grafika Offset, 2010), hlm. 57.
6
Rahmat Illahi Besri, ‘Urf : Pengertian, Dasar Hukum, macam-macam, kedudukan, dan permasalahannya,
diakses dari https://ibelboyz.wordpress.com/2011/10/13/%E2%80%98urf-pengertian-dasar-hukum-
macam-macam-kedudukan-dan-permasalahannya/ , pada tanggal 12 Maret 2018 pukul 20:20 WIB.
mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka.7 Misalnya, dalam
masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita
dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
Contoh lainnya ialah kebiasaan masyarakat menyerahkan sebagian mahar
secara kontan dan menangguhkan sebagian yang lainnya. Contoh lagi, ialah
kebiasaan seseorang memberikan hadiah kepada calon pengantin putri berupa
kue, pakaian dan lain-lainnya. Hadiah tersebut tidak bisa disebut sebagai
mahar tetapi merupakan hadiah biasa. Adapun ‘urf shahih, maka harus
dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam pengadilan. Bagi seorang
mujtahid harus memeliharanya dalam waktu membentuk hukum.
b. Al-‘Urf al-Fasidah (‘Urf yang Rusak/Salah)
Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-
kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku
dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang
antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah
dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila
jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan
yang di raih peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah
membertakan, karena keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupaiah
tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi praktik seperti
ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan
syara’, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling
melebihkan.8

2) Kedudukan Al-‘Urf sebagai Dalil Syara


'Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada
umumnya, urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang
pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Namun hal ini bukan berarti
urf tidak mempunyai dasar hukum sebagai salah satu sahnya sumber syari’at
islam. Mengenai kehujjahan urf menurut pendapat kalangan ulama ushul fiqh,
diantaranya:9
1. Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa urf adalah
hujjah untuk menetapkan hukum islam. Alasan mereka ialah
berdasarkan firman Allah dalam surat al A’rof ayat 199:
ِ‫ض باْلعُ ْرفِ َوأ ُم ِْر اْل َع ْف َِو ُخذ‬
ِْ ‫اْل َجاهليْنَِ َعنِ َواَعْر‬.
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang
ma’ruf serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”.

7
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2010),hlm. 112.
8
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta, PT Bulan Bintang, 1995), hlm. 169.
9
Chaerul Uman dkk, Ushul Fiqh 1, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2000), hlm. 166.
Ayat ini bermaksud bahwa urf ialah kebiasaan manusia dan apa-
apa yang sering mereka lakukan (yang baik). Ayat ini, bersighat ‘am
artinya Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk mengerjakan suatu hal
yang baik, karena merupakan perintah, maka urf dianggap oleh syara’
sebagai dalil hukum.10
Maka dari pernyataan di atas, dapar dikatakan bahwasannya
sesuatu yang sudah lumrah dilakukan manusia di dunia untuk
kemaslahatan hidupnya, maka hal itu dianggap benar oleh syari’at
islam meskipun tidak ada dalil yang menyatakannya baik dalam al
qur’an ataupun sunnah.
Selain berdasarkan dalil al qur’an tersebut, ulama Hanafiyah dan
Malikiyah juga berhujjah dengan hadits nabi:
َ ‫سنًا اْل ُمسْل ُم ْونَِ َم‬
ُ‫ارا َِه‬ َ ‫سنِ للاِ ع ْن ِدَ فَ ُه َِو َح‬
َ ‫ َح‬.
“Sesuatu yang dianggap baik oleh umat islam, termasuk suatu hal
yang baik pula menurut Allah”.
Hadits ini mengandung arti bahwa hal yang dipandang baik bagi
orang islam berarti hal itu baik pula di sisi Allah yang di dalamnya
termasuk juga urf yang baik. Yang mana berdasarkan dalil-dalil
tersebut, urf yang baik adalah suatu hal yang baik di hadapan Allah.
2. Golongan Syafi’iyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap urf
sebagai hujjah atau dalil hukum syar’i. Golongan Imam Syafi’i tidak
mengakui adanya istihsan, mereka betul-betul menjauhi untuk
menggunakannya dalam istinbath hukum dan tidak menggunakannya
sebagai dalil.
Maka dengan hal itu, secara otomatis golongan Imam Syafi’ juga
menolak menggunakan urf sebagai sumber hokum islam.
Penolakannya itu tercermin dari perkataannya sebagaimana berikut:
“Barang siapa yang menggunakan istihsan maka sesungguhnya ia
telah membuat hukum”.
Bahkan dalam kitab ‘Risalah’-nya, beliau menyatakan dengan
tegas sebagai berikut, yang artinya:
“ Tidak seorang pun berhak selain Rasulullah menetapkan sesuatu
hukutn tanpa alasan (dalil) dan tidak seorang pun pantas menetapkan
ber-dasarkan apa yang dianggap baik (istihsan). Sesungguhnya
menetapkan hukum dengan istihsan adalah membuat ketentuan baru
yang tidak mempedo-mani ketentuan yang telah digariskan
sebelumnya”.11

10
Ibid, hlm. 167.
11
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, ( Jakarta : logos wacana Ilmu, 1999), hlm. 198.
Berkaitan dengan penolaknnya terhadap istihsan ini, beliau
mengemukakan beberapa dalil (argumen) sebagai dasar dari
penolakannya, sebagaimana tercermin dalam kitabnya al-Risalah dan
al-Umm. Ia mengemukakan dalil-dalil dari al-Quran dan hadits, di
antaranya:
· Surat al-Maidah (5): 3 yang berbunyi:
ْ ْ
‫ي َعلَ ْي ُك ِْم َوأَتْ َم ْمتُِ دِْينَ ُك ِْم لَ ُك ِْم أ َ ْك َملتُِ اليَ ْو َِم‬
ِْ ِ‫اْال ْسالَ َمد ْينًا لَ ُك ُِم َو َرضيْتُِ ن ْع َمت‬.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu
jadi agama bagimu”.
· Surat al-Nahl (16): 89 yang berbunyi:
ْ‫َاب َعلَيْكَِ َون ََّزلنَا‬ َِ ‫ش ْيءِ ل ُكلِ ت ْبيَانًا اْلكت‬ َ ‫ َو َِرحْ َم ِةً َو ُهدًى‬....
"Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat".
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka Imam Syafi’i menolak
adanya sumber hukum dari urf, karena beliau menganggap bahwa urf
merupakan penetapan suatu hukum yang tidak berdasarkan dalil yang
sudah ditetapkan yakni; Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.

3) Syarat-Syarat 'Urf
'Urf yang menjadi tempat kembalinya para mujtahid dalam berijtihad dan
berfatwa, tidak lepas dari beberapa syarat yang harus dipenuhi. Maka para ulama
ushul fiqh dalam memutuskan perkara disyaratkan sebagai berikut:12
a. 'Urf tersebut tidak bertentangan dalil qath’i, sehingga menyebabkan
hukum yang dikandung dalam nash tidak bisa diterapkan. Urf seperti
ini tidak dapat dijadikan dalil syara’ karena kehujjahan urf baru bisa
diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum
permasalahan yang dihadapi. Apabila urf tersebut bertentangan dengan
nash yang umum yang ditetapkan dengan dalil yang dzanni, baik
dalam ketetapan hukumnya maupun penunjuk dalilnya, maka urf
tersebut berfungsi sebagai takhsis daripada dalil yang dzanni.
b. 'Urf tersebut berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan
masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas tersebut, baik
dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.
c. 'Urf harus berlaku selamanya. Maka tidak dibenarkan urf yang datang
kemudian.

12
Prof.Dr. Satria Effendi, M. Zein, MA, Ushul fiqih, (Jakarta: kencana, 2005), hlm. 89.
2. SADDU DZARA’I
1. pengertian Saddu Dzara’i

Secara Etimologi Kata sadd adz-dzari’ah (‫ )سدِالذريعة‬merupakan bentuk frase (idhafah)


yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd (ِ‫سد‬ َ )dan adz-dzari’ah (‫)الذَّر ْيعَة‬. Secara etimologis,
kata as-sadd (ِ‫)السَّد‬merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari ‫سدًّا‬ َ ِ ‫سد‬
ُ َ‫سدَِّي‬
َ . Kata as-sadd
tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang.
13
Sedangkan adz-dzari’ah (‫)الذَّر ْيعَة‬14 merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang
berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari adz-
dzari’ah (‫ )الذَّر ْي َعة‬adalah adz-dzara’i (‫)الذَّ َرائع‬. Karena itulah, dalam beberapa kitab usul
fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan
adalah sadd adz-dzara’i.

Saddu Dzara’i berasal dari kata sadd dan zara’i. Sadd artinya menutup atau
menyumbat, sedangkan zara’i artinya pengantara. Dzari’ah berarti “jalan yang menuju
kepada sesuatu.” Ada juga yang mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu
yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan.” Akan tetapi Ibn
Qayyim al-Jauziyah (ahli fiqh) mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’ah
kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada juga dzari’ah yang bertujuan
kepada yang dianjurkan. 15Pengertian zara’i sebagai wasilah dikemukakan oleh Abu
Zahra dan Nasrun Harun mengartikannya sebagai jalan kepada sesuatu atau sesuatu yang
membawa kepada sesuatu yang dilarang dan mengandung kemudaratan. Sedangkan Ibnu
Taimiyyah memaknai zara’i sebagai perbuatan yang zahirnya boleh tetapi menjadi
perantara kepada perbuatan yang diharamkan. Dalam konteks metodologi pemikirran
hukum Islam, maka saddu zara’i dapat diartikan sebagai suatu usaha yang sungguh-
sungguh darri seorang mujtahid untuk menetapkan hukum dengan melihat akibat hukum
yang ditimbulkan yaitu dengan menghambat sesuatu yang menjadi perantara pada
kerusakan.16

Pada awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan orang
Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati binatang
liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh
binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang
pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata adz-
dzari’ah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang
mendekatkan kepada sesuatu yang lain.

13
Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt), juz 3,
hal. 207
14
Ibid., juz 8, hal. 93
15
Ibn Qayyim al-Jauziyah, jilid III, hal. 147
16
Ummu Isfaroh Tiharjanti, Penerapan Saddud Zara’I Terhadap Penyakit Genetik Karier Resesif dalam
Perkawinan Inbreeding, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. 2003), hal. 27-28.
Secara terminology menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan
kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu
perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan
jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah
perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah
adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan
kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).

Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti asy-
Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang awalnya
diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzari’ah secara
umum dan tidak mempersempitnyahanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di
samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang pada
awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim tersebut akan
dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.

Ibnul Qayyim dan Imam Al-Qarafi menyatakan bahwa Dzari’ah itu ada kalanya
dilarang yang disebut Saddus Dzari’ah, dan ada kalanya dianjurkan bahkan diwajibkan
yang disebut fath ad-dzari’ah. Seperti meninggalkan segala aktivitas untuk melaksanakan
shalat jum’at yang hukumnya wajib. Tetapi Wahbah Al-Juhaili berbeda pendapat dengan
Ibnul qayyim. Dia menyatakan bahwa meninggalkan kegiatan tersebut tidak termasuk
kedalam dzari’ah tetapi dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu
perbuatan

Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah
menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang.17

Kesimpulannya adalah bahwa Dzari’ah merupakan washilah (jalan) yang


menyampaikan kepada tujuan baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/ cara
yang menyampaikan kepada yang haram hukumnyapun haram, jalan / cara yang
menyampaiakan kepada yang halal hukumnyapun halal serta jalan / cara yang
menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnyapun wajib18

2. Dasar hukum saddu dzari’ah


1) Al qur’an

َ ‫واَِّللا ِ َعد ًْواِب َغيْر ِع ْلمِِۗ َك َٰذَلكَ ِزَ يَّنَّاِل ُكل ِأ ُ َّمة ِ َع َملَ ُه ْم ِث ُ َِّم ِإلَ َٰى‬
ِ‫ِربه ْم ِ َم ْرجعُ ُه ْم‬ َ َّ َّ ‫سبواِالَّذينَِ ِيَدْعُونَ ِم ْن ِد ُون‬
ُ َ‫َِّللا ِفَي‬
‫سب‬ ُ َ‫َو َال ِت‬
َِ‫فَيُنَبئُ ُه ْمِب َماِكَانُواِيَ ْع َملُون‬

17
Syeikh islam ibnu taimiyyh, saddu dzarai’,(Riyad;Daru al Fadilah),26
18
Djaazuli, H.A, Ilmu Fiqih., hal. 99
Artinya “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan.Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka.
Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada
mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.(QS. Al an’am: 108)”.

Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-dzari’ah
yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki
Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci
kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya
mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci
maki tuhan agama lain merupakan tindakan preventif (sadd adz-dzari’ah).

ِ‫ِۗول ْلكَافرينَ ِ َعذَابِأَليم‬


َ ِ‫َاِوا ْس َمعُوا‬ ُ ‫َاِوقُولُواِا ْن‬
َ ‫ظ ْرن‬ َ ُ‫يَاِأَي َهاِالَّذينَ ِآ َمن‬
َ ُ‫واِالِتَقُول‬
َ ‫واِراعن‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada
Muhammad): “Raa’ina”, tetapi Katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. dan bagi
orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.(QS. Al baqoroh: 104)

Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk
pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak
negatif yang akan terjadi. Kata raa ‘ina (‫)راعنَا‬ َ berarti: “Sudilah kiranya kamu
memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah,
orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah
SAW. Mereka menggunakannya dengan maksud kata raa’inan (‫)رعنًا‬sebagai َ bentuk isim
fail dari masdar kata ru’unah(‫)رع ُْونَة‬yang
ُ 19
berarti bodoh atau tolol. Karena itulah, Tuhan
pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata raa’ina yang biasa mereka
pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan raa’ina. Dari latar belakang
dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi 20dijadikan dasar dari sadd adz-
dzari’ah.

2) As sunnah
a. Diantara dalil sunnah adalah larangan menimbun demi mencegah terjadinya
keulitan atas manusia. Nabi juga melarang orang yang berpiutang menerima
hadiah dari orang yang berhutang demi menutup celah riba.
b. Fuqaha sahabat juga menerapkan prinsip ini, hingga mereka memberikan waris
kepada wanita yang dicerai ba’in, jika suami mencerainya dalam keadaan sakit
kritis, demi untuk menutup terhalanginya celah istri dari mendapatkan warisan

19
Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain at-Taimi ar-Razi, Mafatih al-Ghaib (Tafsir
ar-Razi), juz 2, hal. 261 dalam Kitab Digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
20
Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz 2, hal. 56
dalam ibid
ُ‫واللله َو َك ْيفَ َي ْل َعِن‬ َ ‫س‬ُ ‫ار‬ َّ ‫سلَّ َمإنَّم ْنأ َ ْك َبر ْال َك َبائِرأَ ْن َي ْل َعن‬
َ ‫َالر ُجلُ َِوالدَيْهقيلَ َي‬ َ ‫صلَّىالل ُه َعلَيْه َو‬ ُ ‫س‬
َ ‫واللله‬ َ ‫َع ْن َعبْداللَّهبْن َع ْمر‬
ُ ‫ورض َيالل ُه َع ْن ُه َماقَالَقَالَ َر‬
ُ ُ ‫سبأَبَاه َُو َي‬
ُ‫سبأ َّم ِه‬ َّ َ‫الر ُج ُُلَب‬
ُ ‫االر ُجلفَ َي‬ َّ ‫سب‬ ُ َ‫الر ُجلُ َوالدَيْهقَالَي‬ َّ

Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di
antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya,
“Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab,
“Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun
membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.”21

Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep
sadd adz-dzari’ah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih dari Spanyol itu,
dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks
sadd adz-dzari’ah.22

3) Kaidah Fikih

Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzari’ah
adalah:

ِ‫صالح‬ ْ ‫ِال َمفَاسدِأَ ْولَىِم ْنِ َج ْلب‬


َ ‫ِال َم‬ ْ ‫دَ ْر ُء‬.

Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan


(maslahah).

Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di
bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, sadd adz-
dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd
adz-dzari’ah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.23

4) Logika

Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga
membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun
sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun melarang
segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan
ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab A’lâm al-Mûqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu hal,
maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan perantara yang bisa
mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan dan menegaskan pelarangan

21
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ ash-Shahih al-Mukhtashar, (Beirut: Dar
Ibn Katsir, 1987), juz 5, hal. 2228.
22
Asy-Syathibi, al-Muwafaqat, op. cit., juz 2, hal. 360.
23
Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), hal. 176.
tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal
ini bertolak belakang dengan pelarangan yang telah ditetapkan.”24

3. Kedudukan Saddu Dzari’ah

Tidak semua ulama sepakat dengan sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode dalam
menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa
diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 25:

1. yang menerima sepenuhnya

Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan


hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab
Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul
fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas. Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah dapat
menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’. Alasan mereka antara lain:

Firman Allah SWT dalam surat Al-An’am ayat 108:

Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah,karena
mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.(QS.Al-
An’am:108)

Hadist Rosulullah SAW.antara lain:

ِ‫يسبِأباِالرجلِفيسبِِأباالرجل‬,‫يارسولِللاِوهلِيشتمِالرجلِوالديه؟قال”نعم‬:‫قالوا‬,‫منِالكبائرشتمِالرجلِوالديه‬
3[)‫ويسبِأمهِفيسبِأمه(رواهِالبخاريِومسلمِوأبوداود‬,‫]أباه‬

Artinya: Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua


orang tuanya.Lalu Rosulullah SAW.ditanya,Wahai Rosulullah ,bagaimana mungkin
seseorang akan melaknat ibu dan bapaknya.Rosulullah SAW.menjawab,”Seseorang yang
mencaci maki ayah orang lain,maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain,dan
seseorang mencaci maki ibu orang lain,maka orang lain pun akan mencaci maki
ibunya.(HR.Bukhari,Muslim,dan Abu Dawud).

2. yang tidak menerima sepenuhnya

Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam


menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain,
kelompok ini menolak sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu,
namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Ulama’ Hanafiyah,Syafi’iyah,dan
Syi’ah dapat menerima sadd al-dzari’ah dalam masalah-masalah tertentu saja dan

24
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in, loc. cit. hl 193
25
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh (Damaskus: Dar al-Fikr). hl 176
menolaknya dalam masalah –masalah lain. Sedanangkan Imam Syafi’i menerimanya
apabila dalam keadaan udzur,misalnya seorang musafir atau yang sakit dibolehkan
meninggalkan sholat jum’at dan dibolehkan menggantinya dengan sholat
dzuhur.Namun,sholat dzuhurnya harus dilakukan secara diam-diam,agar tidak dituduh
sengaja meninggalkan sholat Jum’at.

3. yang menolak sepenuhnya

Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan


hukum, adalah mazhab Zhahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual(zhâhir al-lafzh). Sementara sadd al-
dzarỉ‘ah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan
dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi
mereka konsep sadd al-dzarỉ‘ah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan
pada nash secara langsung.

4. Objek Saddu Al-Dzari’ah

Pada dasranya yang menjadi objek dzari’ah adalah semua perbuatan ditinjau dari segi
akibatnya yang dibagi menjadi empat, yaitu :

1) Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya, seperti menggali


sumur di belakang pintu rumahdijalan gelap yang bisa membuat orang yang akan
masuk rumah jatuh kedalamnya.
2) Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan/bahaya, seperti berjual makanan yang
tidak menimbulkan bahaya, menanam anggur sekalipun akan dibuat khamar. Ini
halal karena membuat khamar adalah nadir (jarang terjadi).
3) Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya; tidak diyakini
dan tidak pula dianggap nadir (jarang terjadi). Dalam keadaan ini, dugaan kuat
disamakan dengan yakin karena menutup pintu (saddu dzari’ah) adalah wajib
mengambil ihtiat (berhati-hati) terhadap kerusakan sedapat mungkin, sedangkan
ihtiat tidak diragukan lagi menurut amali menempati ilmu yakin. Contohnya
menjual senjata diwaktu perang/fitnah, menjual anggur untuk dibuat khamar,
hukumnya haram.
4) Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum mencapai
tujuan kuat timbulnya kerusakan itu, seperti jual-beli yang menjadi sarana bagi
riba, ini diharamkan. Mengenai bagian keempat initerjadi perbedaan pendapat
dikalangan para ulama, apakah ditarjihkan yang haram atau yang halal. Imam
Malik dan Imam Ahmad menetapkan haram.26

26
Muhammad Bakar Ismail Habib,Maqaashid as-Syari’ah al-Islamiyah Ta’shilan wa Taf’iilan(Makkah;Dar
Thoibah al-Khadlro’),49
5. Pengelompokan Saddu Dzari’ah

Dzari’ah dapat dikelompokkan dengan melihat beberapa segi:

1) Dari segi akibat (dampak) yang ditimbulkannya, Ibnu Qayyim membagi dzari’ah
menjadi 4 yaitu:
a. Dzari’ah yang pada dasarnya membawa kepada kerusakan. Contohnya,
minuman yang memabukkan akan merusak akal dan perbuatan zina akan
merusak keturunan.
b. Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah (boleh), namun ditujukan
untuk pebuatan buruk yang merusak baik yang disengaja seperti nikah
muhallil, atau tidak disengaja seperti mencaci sesembahan agama lain.
c. Dzari’ah yang semula ditentukan mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan,
namun biasanya sampai juga kepada kerusakan dan kerusakan itu lebih besar
daripada kebaikannya. Seperti berhiasnya seorang istri yang baru ditinggal
mati oleh suaminya, sedangkan dia dalam masa iddah.
d. Dzari’ah yang semula ditentukan mubah, namun terkadang membawa kepada
kerusakan tetapi kerusakannya lebih kecil daripada kebaikannya. Contoh
dalam hal ini adalah melihat wajah perempuan saat dipinang.27

2) Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkannya, Abu Ishak al-Syatibi membagi
dzari’ah menjadi 4 macam:
a. Dzari’ah yang membawa kerusakan secara pasti. Umpamanya menggali
lobang ditanah sendiri yang lokasinya didekat pintu rumah orang lain diwaktu
gelap.
b. Dzari’ah yang kemungkinan besar mengakibatkan kerusakan. Umpamanya
menjual anggur kepada pabrik minuman dan menjual pisau tajam kepada
penjahat yang sedang mencari musuhnya.
c. Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan.
d. Perbuatan yang pada dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan,
tetapi dilihat dari pelaksanaannya ada kemungkinan membawa kepada sesuatu
yang dilarang. Misalnya semacam jual-beli yang dilakukan untuk mengelak
dari riba, umpama si A menjual arloji kepada si B dengan harga rp 1.000.000
dengan hutang, dan ketika itu arloji tersebut dibeli lagi oleh si A dengan harga
rp 800.000 tunai, si B mengantongi uang p 800.000 tetapi nanti pada waktu
yang sudah ditentukan si B harus membayar rp 1000.000 pada si A. Jual beli
seperti ini dikenal dengan bai’ al-ainah atau bai’ul ajal.28
6. Cara Menentukan Adz-Dzariah

27
ibid, hl 48
28
ibid, hl 49
Untuk menetapkan hukum jalan (sarana) yang mengharamkan kepada tujuan, dalam
saddu al-zari’ah, ada tiga hal yang perlu dipehatikan29:

a) Tujuan. Jika tujuannya dilarang, maka jalannyapun dilarang dan jika tujuannya
wajib, maka jalannyapun diwajibkan.
b) Niat (Motif). Jika niatnya untuk mencapai yang halal, maka hukum sarananya
halal, dan jika niat yang ingin dicapai haram, maka sarananyapun haram.
c) Akibat dari suatu perbuatan. Jika akibat suatu perbuatan menghasilkan
kemaslahatan seperti yang diajarkan syari’ah, maka wasilah hukumnya boleh
dikerjakan, dan sebaliknya jika akibat perbuatan adalah kerusakan, walaupun
tujuannya demi kebaikan, maka hukumnya tidak boleh.

7. Contoh-contoh Saddu Dzari’ah

Dalam kitab ‫ سد ِا ِلذا ِرييعه‬dikatakan bahwa” apakah didalam ‫ بيع‬dan ‫نكا ِح‬
terdapat ‫ ”? سد ِا ِلذا ِرييعه‬tidak pasti”. Apabila niat sebelum dan sesudah akad itu baik,
maka tidak akan merusak akad tersebut, sebaliknya apabila niat sebelum dan sesudahnya
itu tidak ditempatkan pada tempatnya maka niat tersebut akan merusak akad yang
dilakukan. Imam syafi’I berkata: apabila tidak ada niat yang merusak ‫ بيع‬dan ‫نكا ِح‬
maka tidak akan rusak keduanya, karna ‫ عقد‬yang dilakukan adalah benar. Contoh lain
adalah Ada perbuatan yang dilarang secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak
langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan
sebagainya. Yang dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual
minum khamar, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan
mahram. Menjual khamar pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka
pintu yang menuju pada minum khamar, maka perbuatan itu dilarang. Dengan
menetapkan hukumnya, sama dengan perbuatan yang sebenarnya, maka tertutuplah pintu
atau jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan yang dilarang.30

29
Lihat, Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), hal. hal. 879-880.
Contoh kasus pada poin kedua dari penulis sendiri
30
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh (Damaskus: Dar al-Fikr). hlm 72.
C. KESIMPULAN

Urf ialah suatu kebiasaan yang telah dilakukan oleh masyarakat yang dipandang baik,
baik berupa perkataan maupun perbuatan dan yang tidak bertentangan dengan syari'at
islam. Namun, jika kebiasaan tersebut bertentangan dengan syari'at islam, maka
kebiasaan tersebut dihapus dengan dalil yang ada pada syara'.

Saddu adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu
yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya
bperbuatan lain yang dilarang. Bahwa dzari’ah merupakan washilah (jalan) yang
menyampaikan kepada tujuan baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan yang
menyampaikan kepada yang haram hukumnyapun haram, jalan yang menyampaiakan
kepada yang halal hukumnyapun halal serta jalan yang menyampaikan kepada sesuatu
yang wajib maka hukumnyapun wajib.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khalaf, 1993, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali)

Abdul Wahhab Khallaf, 2003), Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta, Pustaka
Amani)
Abd.Rahman Dahlan, 2010, Ushul Fiqh, (Jakarta, Sinar Grafika Offset)
Ahmad Hanafi, 1995, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta, PT Bulan Bintang)
Asy-Syathibi, al-Muwafaqat, op. cit., juz 2
Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain at-Taimi ar-Razi,
Mafatih al-Ghaib (Tafsir ar-Razi), juz 2
Chaerul Uman dkk, 2000, Ushul Fiqh 1, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA)
Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt)
Muhammad Bakar Ismail Habib,Maqaashid as-Syari’ah al-Islamiyah Ta’shilan wa
Taf’iilan(Makkah;Dar Thoibah al-Khadlro’)
Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar
Shadir, tt), juz 3
Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-
Qur’an, juz 2
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, 1987, al-Jami’ ash-Shahih al-
Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir), juz 5
Prof.Dr. Satria Effendi, 2005, M. Zein, MA, Ushul fiqih, (Jakarta: kencana)
Ibn Qayyim al-Jauziyah, jilid III
Rahmat Amir Syarifuddin, 1999, Ushul Fiqh II, ( Jakarta : logos wacana Ilmu)
Rachmat Syafe’i, 2010, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA)
Ummu Isfaroh Tiharjanti. 2003, Penerapan Saddud Zara’I Terhadap Penyakit Genetik
Karier Resesif dalam Perkawinan Inbreeding, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga)
diakses dari https://ibelboyz.wordpress.com/2011/10/13/%E2%80%98urf-pengertian-
dasar-hukum-macam-macam-kedudukan-dan-permasalahannya/ , pada tanggal 12 Maret
2018 pukul 20:20 WIB.

Anda mungkin juga menyukai