Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH USHUL FIQIH TENTANG ‘URF DAN PENERAPAN NYA

DALAM MUAMALAH

Dosen Pembimbing
Cut Kaslinda, S.H.I., M.Ag.

Disusun Oleh :
Afnizah Maulia Lubis (190603144)
Saakia Yolanda (190603121)
Rahma Dea Ananda (190603149)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR - RANIRY


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PRODI PERBANKAN SYARI'AH
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Ilmu Fiqh merupakan salah satu ilmu yang perlu diketahui oleh seluruh umat muslim
karena yang menyangkut hukum-hukum Islam. Secara keseluruhan, ilmu tersebut tidak
mudah dipahami. Oleh karena itu, mereka perlu sebuah pengantar dari ilmu tersebut sangat
penting karena dapat mengarahkan pemahaman menuju Ilmu Fiqh  yang susungguhnya.

Selain itu, sebagai sebuah disiplin keilmuan, Ilmu Fiqh akan terus dan harus
berkembang. Sekalipun demikian, perubahannya dalam sejarah menunjukkan dinamika.
Kadang-kadang ia berubah sangat pesat. Adakalanya pula terlihat lambat. Bahkan, tidak
jarang tampak statis. Padahal, tuntutan atas perkembangannya merupakan konsekuensi logis
dari beban dan tuntutan perubahan masyarakat dan umat Islam sendiri.

Di makalah ini, akan membahas sesuatu yang berhubungan kehidupan sosial


masyarakat yaitu kebiasaan atau dalam bahasa Ilmu Fiqh “ ‘Urf “.

2. Rumusan masalah

1. Apa pengertian dari ‘Urf?


2. Apa saja macam-macam dari ‘Urf?
3. Bagaimana kedudukan ‘Urf sebagai sumber hukum?
4. Bagaimana kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’?
5. Apa saja syarat-syarat pemakaian ‘urf sebagai sumber hukum?
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian ‘urf
Dari segi kebahasan etimologi al-urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra’,
dan fa’ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang dikenal), ta’rif (definisi,
kata ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan). Dari kata urf (kebiasaan yang baik).[1]
Adapun pengertian ‘urf  secara terminologi adalah :
ْ ِ‫ارفُوْ ا إ‬
ُ‫ َم ْعنًى خَاصٍّ الَتَأَلَّفَهُ الُّ َغ_ ةُ َوالَ يَتَبَ__ا َد ُر َغ ْي_ َره‬   ‫طالَقُهُ َعلَى‬ َ ‫َماا ْعتَا َدهُ النَّاسُ َو َسارُوْ ا َعلَ ْي ِه ِم ْن ُك ِّل فِ ْع ٍل َشا َع بَ ْينَهُ ْم اَوْ لَ ْفظٌ تَ َع‬
‫اعه‬ ِ ‫ِع ْن َد ِس َم‬
“Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap
perbuatan yang populer di antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan
pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu,
mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.”
 Kata al-‘adah (kebiasaan) pengertian terminologinya adalah:
‫ع السَّل ْي َمةُ بِ ْالقُبُوْ ِل‬ ُّ ُ‫س ِم ْن ِجهَّ ِة ْال ُعقُوْ ِل َوتَلَقَّه‬
ُ ‫الطبَا‬ ِ ْ‫َماا ْستَقَ َّر فِ ْي النُّفُو‬
“Sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal yang sehat
dan watak yang benar.”
Kata al-‘adah disebut demikian karena karena dilakukan secara berulang-ulang,
sehingga menjadi kebiasaan masyarakat. Al-‘urf terdiri dari dua bentuk yaitu kebiasaan
dalam bentuk perkataan dan kebiasaan dalam bentuk perbuatan.
Dalam kajian hukum Islam‘urf merupakan satu sumber hukum yang diambil oleh
madzhab Hanafi dan Maliki, yang berada diluar lingkup nash. ‘Urf adalah bentuk-bentuk
mu‘amalah (hubungan kepentingan) yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung
konstan.
 Contoh :
‘Urf berupa perbuatan atau kebiasaan disatu masyarakat dalam melakukan jual beli
kebutuhan ringan sehari-hari seperti garam, tomat dan gula, dengan hanya menerima barang
dan menyerahkan harga tanpa mengucapkan ijab dan qabul.
Penerapan ‘urf dalam ekonomi Islam terlihat pada jual beli wafa’, praktik urbun dalam jual
beli, franchising, dan konsinyasi.
B.   Macam-macam ‘Urf
Ditinjau dari segi jangkauannya ‘urf dapat dibagi 2 yaitu:
·         Al-‘Urf al-Amm
Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebagian besar masyarakat dalam
berbagai wilayah yang luas. Misalnya, membayar onkos kendaraan umum dengan harga
tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak yang ditempuh dan hanya dibatasi oleh
jarak tempuh maksimum.
·         Al-‘Urf al-Khashs
Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat tertentu, atau
wilayah tertentu saja. Misalnya kebiasaan masyarakat tertentu yang menjadikan kuitansi
sebagai alat bukti yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua orang saksi.
Ditinjau  dari absahannya, al-urf dapat pula dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
·         Al-‘Urf ash-Shahihah (‘urf yang absah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang sesuai dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan
hokum islam. Dengan kata lain ‘urf yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi
yang halal, atau sebaliknya. Misalnya,  dalam  jual beli dengan cara pemesanan, pihak
pemesan memberi uang muka atau panjar atas barang yang dipesannya.

·         Al-‘Urf al-Fasidah (Urf yang rusak/salah)


Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan ketentuan dan dalil-dalil syara’.
Sebalik dari Al-‘Urf ash-Shahihah (‘urf yang abash), maka adat kebiasaan yang salah adalah
yang menghalalkan hal-hal yang haram. Misalkan, kebiasaan berciuman antara wanita dan
laki-laki yang bukan mahramnya dalam acara pertemuan pesta.

C.   Syarat-syarat ‘Urf untuk Dapat Dijadikan landasan Hukum


·         ‘Urf harus termasuk ‘urf yang sahih dalam arti tidak bertentangan dengan ajaran islam
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
·         ‘Urf harus bersifat umum, dala arti minimal telah menjadi kebiasaan mayoritas
penduduk negeri itu.
·         ‘Urf harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan kepada
‘urf itu.
·         Tidak ada ketegasan daripihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf
tersebut.[2]
D.    KEHUJJAHAN ’URF
Para ulama berpendapat bahwa 'urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar
pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan. Ulama
Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk Madinah.
Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum
dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’.
   Pada dasarnya semua ulama menyepakati kedudukan al-‘urf ash-shahihah sebagai
salah satu dalil syara’, akan tetapi diantara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi
penggunaanya sebagai dalil.

Kalangan ulama yang mengakui ‘urf  merumuskan kaidah hukum yaitu:


ٌ‫اَ ْل َعا َدةُ ُم َح َّك َمة‬

Artinya : “Adat itu dapat menjadi dasar hukum.”


Adat itu dapat menjadi dasar hukum sebagaimana yang dijelaskan oleh Jalaluddin
Abdurrahman. Menurut Jalaluddin Abdurrahman bahwa banyak ketentuan fikih yang diambil
dari adat istiadat pertama, adalah usia datang haid, usia baligh, usia bermimpi, penentuan
jumah hari haid, hari nifas, dan masa suci menurut kebiasaannya, najis yang dimaafkan,
panjang dan pendek dalam menyambung sembahyang jamak dan khotbah juma’at dan ijab
qabul, salam dan jawabannya. Semua ini berlaku menurut adat istiadat. Kedua, dianggap adat
kebiasaan apabila berlaku terus menerus, tetapi kalau terputus-putus tidaklah dianggap
sebagai adat kebiasaan.
Secara umum ‘urf  diamalkan oleh semua ulama fiqh, terutama dikalangan ulama
mazdhab Hanafiyah dan Malikiyah. Ulama Hanafiyah menggunakan istihsan dalam
berijtihad, dan salah satu bentuk istihsan itu adalah istihsan al-‘urf Oleh ulama Hanafiyah,
‘urf  didahulukan atas qiyas khafi dan juga didahulukan atas nash yang umum.  Ulama
Malikiyah menjadikan ‘urf  atau tradisi yang hidup dikalangan ahli Madinah sebagai dasar
dalam menetapkan hukum dan mendahulukan dari hadis ahad. Sedangkan ulama Syafi’iyah
menggunakan ‘urf dalam hal-hal yang tidak menemukan ketentuan batasannya dalam syara’
maupun dalam penggunaan bahasa. Contoh penggunaan ‘urf  sebagai pedoman ialah tentang
usia wanita yang haid, usia baligh, usia mimpi dewasa, masa haid, nifas dan suci, ditinjau dari
masa minimal dan maksimalnya, ukuran yang dipandang sedikit dan banyaknya sesuatu,
perbuatan-perbuatan yang dipandang membatalkan shalat, tentang ukuran sedikitnya najis
yang dimaafkan, tentang batasan-batasan waktu, tentang tenggang waktu dalam hal berurutan
ketika berwudhu’, dan ijab qabul, tentang tenggang waktu dalam pengembalian barang yang
telah dibeli karena cacat, tentang bolehnya memungut buah-buahan milik orang lain yang
jatuh, dan tentang ukuran berat dan sukatan, yang semuanya belum dikenal pada masa
Rasulullah SAW. Semua itu menurut pendapat yang kuat berpedoman kepada adat yang
berlaku pada suatu tempat.
Adapun ‘urf yang rusak, maka tidak harus memeliharanya, karena memelihara itu
bertentangan dengan dalil syara’. Apabila manusia telah saling mengerti akad diantara akad-
akad yang rusak seperti akad riba dan akad gharar, maka bagi ‘urf tidak mempunyai pengaruh
dalam membolehkan akad ini. Akan tetapi dalam contoh akad ini ditinjau dari segi lain, yaitu
bahwa akad ini apakah dianggap termasuk darurat atau kebutuhan, artinya apabila akad
tersebut membatalkan berarti menipu peraturan kehidupan manusia atau mereka akan
memperoleh kesulitan atau tidak. Maka jika hal itu termasuk darurat atau kebutuhan mereka
maka hal itu diperbolehkan, karena darurat itu memperbolehkan hal-hal yang telah
diharamkan, sedangkan kebutuhan itu bisa menduduki tempat kedudukan darurat, dan jika
bukan termasuk darurat dan bukan juga termasuk kebutuhan mereka maka akad tersebut
dihukumi batal berdasarkan ini ‘urf tidak diakui.
Imam Safi’i terkenal dengan Qoul Qadim dan Qoul Jadid-nya, karena melihat praktek
yang brelaku pada masyarakat Bagdad dan Mesir yang berlainan. Sedangkan 'urf yang fasid
tidak dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syarat nash maupun ketentuan
umum nash.

E.    Pandangan Ulama
Berikut adalah praktek-praktek ’Urf dalam masing-masing mahzab:
1.      Fiqh Hanafy
·         Dalam akad jual beli. Seperti standar harga, jual beli rumah yang meliputi bangunanya
meskipun tidak disebutkan.
·         Bolehnya jual beli buah yang masih dipohon karena ’urf.
·         Bolehnya mengolah lahan pertanian orang lain tanpa izin jika di daerah tersebut ada
kebiasaan bahwa lehan pertanian digarap oleh orang lain, maka pemiliknya bisa meminta
bagian.
2.      Fiqh Maliki
·         Bolehnya jual beli barang dengan menunjukkan sample.
·         Pembagian nisbah antara mudharib dan sahibul maal berdasarkan ’urf jika terjadi
perselisihan.
3.      Fiqh Syafi’i
·         Batasan penyimpanan barang yang dianggap pencurian yang wajib potong tangan.
·         Akad sewa atas alat transportasi.
·         Akad sewa atas ternak.
4.      Fiqh Hanbali
·         Jual beli mu’thah
       Para ulama sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah. Ulama Malikiyah
terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah,
demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan
dasar hujjah.
       Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus memelihara
’urf shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai hukum. Para ulama juga
menyepakati bahwa ’urf fasid harus dijauhkan dari kaidah-kaidah pengambilan dan
penetapan hukum. ’Urf fasid dalam keadaan darurat pada lapangan muamalah tidaklah
otomatis membolehkannya. Keadaan darurat tersebut dapat ditoleransi hanya apabila benar-
benar darurat dan dalam keadaan sangat dibutuhkan.
       Imam Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi
beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul
qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga
madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar
hujjah.
       Abdul Wahab Khalaf berpandangan bahwa suatu hukum yang bersandar pada ’Urf akan
fleksibel terhadap waktu dan tempat, karena Islam memberikan prinsip sebagai berikut:
      “Suatu ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu, tempat,
dan siatuasi (kondisi)”.
       Dengan demikian, memperhatikan waktu dan tempat masyarakat yang akan diberi beban
hukum sangat penting. Prinsip yang sama dikemukakan dalam kaidah sebagai berikut:
     “Tidak dapat diingkari adanya perubahan karena berubahnya waktu (zaman)”.
       Dari prinsip ini, seseorang dapat menetapkan hukum atau melakukan perubahan sesuai
dengan perubahan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa suatu ketentuan
hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami perubahan karena
perubahan waktu, tempat keadaan, dan adat.
      Jumhur ulama tidak membolehkan ’Urf Khosh. Sedangkan sebagian ulama Hanafiyyah
dan Syafi’iyyah membolehkannya, dan inilah pendapat yang shohih karena kalau dalam
sebuah negeri terdapat ‘urf tertentu maka akad dan mu’amalah yang terjadi padanya akan
mengikuti ‘urf tersebut.
F.    Contoh Praktek ‘Urf
Berikut adalah akad-akad saat ini yang dapat diterima dengan ’Urf, yaitu :
·        .Konsep Aqilah dalam asuransi.
·         Jual beli barang elektronik dengan akad garansi.
·        .Dalam sewa menyewa rumah. Biaya kerusakan yang kecil-kecil yang seharusnya
menjadi tanggung jawab pemilik rumah, menjadi tanggung jawab penyewa.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

‘Urf bisa dikatakan sebagai suatu perkataan dan perbuatan yang menyangkut
kebiasaan yang sering dilakukan. Macam-macam ‘urf yaitu  dari segi objeknya (Al-‘Urf al-
Lafzhi  dan Al-‘urf al-‘amali), dari segi cakupannya (Al-‘urf al-‘am dan Al-‘urf al-khash),
dari segi keabsahannya dari pandangan syara’ (Al-‘urf al-Shahih dan Al-‘urf al-fasid).

‘Urf dianggap sebagai salah satu sumbar undang-undang, dimana unsur-unsurnya


banyak diambilkan dari hukum-hukum yang berlaku, kemudian dikeluarkan dalam bentuk
pasal-pasal dalam undang-undang. Syarat ‘Urf sebagai sumber hukum islam yaitu, ‘urf harus
berlaku terus menerus atau kebanyakannya berlaku, ‘urf yang dijadidkan sumber hukum bagi
sesuatu tindakan harus terdapat pada waktu diadaknnya tindakan tersebut, tidak ada
penegasan (nas) yang berlawanan dengan ‘urf, pemakaian ‘urf tidak akan mengakibatkan
dikesampingkannya nas yang pasti dari Syari’at.
DAFTAR PUSTAKA


Dahlan, abd. Rahman. Ushul Fiqh, (Jakarta : Amzah, 2014). Hlm. 209


Effendi, Satria. Ushul Fiqh. (Jakarta : Kencana Predanamedia Group, 2005). Hlm. 156-157

3
Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta, Sinar Grafika Offset, 2010).

4
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,  (Jakarta, PT Bulan Bintang, 1995).

5
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta, Pustaka Amani,
2003).

6
Rahmat Illahi Besri, ‘Urf : Pengertian, Dasar Hukum, macam-macam, kedudukan,
dan permasalahannya, ibelboyz. wordpress. com, di akses dari https://ibelboyz. wordpress.
Com /2011/10/13/%E2%80%98 urf-pengertian-dasar-hukum-macam-macam-kedudukan-
dan-permasalahannya/ , pada tanggal 30 April 2016  pukul 11:36.

7
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,  (Jakarta, PT Bulan Bintang, 1995) .

8
http:// tafsir hadits2012.blogspot.com/2013/05/urf-dalam-hukum-islam.html?m=1, diakses
pada 5 Mei 2016 pukul 9:03.

9
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,  (Jakarta, PT Bulan Bintang, 1995) .

Anda mungkin juga menyukai