Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

“‘URF “

Dibuat Guna Memenuhi Tugas Mata kuliah Ushul Fiqh

Dosen Pengampu : Yusuf Fatoni.M.Ag

Disusun Oleh :

1. Siti Aisyah ( 1121024 )


2. Siti Marfuatun Ni’mah ( 1121025 )

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi atas curahan nikmat dan karunia-Nya.
Sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada Rasulullah Muhammad SAW beserta
keluarga, sahabat, hingga kita sebagai umatnya.
Penulisan makalah ini bermaksud untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah ushul
fiqh . Selain itu untuk makalah ini juga dibuat untuk menambah wawasan juga ilmu pengetahuan
para penulis dan pembaca mengenai ’urf . Semoga dengan selesainya makalah ini, kita dapat
lebih memahami dan menambah ilmu pengetahuan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua. Kami memohon maaf apabila banyak terjadi kesalahan pada makalah ini, baik dalam
pengetikan ataupun isi. Karena kami masih dalam tahap pembelajaran. Terimakasih.

Wassalamualaikum Wr.Wb.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Ilmu Fiqh merupakan salah satu ilmu yang perlu diketahui oleh seluruh umat muslim karena
yang menyangkut hukum-hukum Islam. Secara keseluruhan, ilmu tersebut tidak mudah
dipahami. Oleh karena itu, mereka perlu sebuah pengantar dari ilmu tersebut sangat penting
karena dapat mengarahkan pemahaman menuju Ilmu Fiqh yang susungguhnya.

Selain itu, sebagai sebuah disiplin keilmuan, Ilmu Fiqh akan terus dan harus berkembang.
Sekalipun demikian, perubahannya dalam sejarah menunjukkan dinamika. Kadang-kadang ia
berubah sangat pesat. Adakalanya pula terlihat lambat. Bahkan, tidak jarang tampak statis.
Padahal, tuntutan atas perkembangannya merupakan konsekuensi logis dari beban dan tuntutan
perubahan masyarakat dan umat Islam sendiri.

Di makalah ini, akan membahas sesuatu yang berhubungan kehidupan sosial masyarakat yaitu
kebiasaan atau dalam bahasa Ilmu Fiqh “ ‘Urf “.

Rumusan masalah
1. Apa pengertian dari ‘Urf?
2. Apa saja macam-macam dari ‘Urf?
3. Bagaimana kedudukan ‘Urf sebagai sumber hukum?

B. Tujuan masalah
1. Untuk mengetahui apa itu ‘Urf
2. Untuk mengetahui macam-macam dari ‘Urf
3. Untuk mengetahui kedudukan ‘Urf sebagai seumber islam
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian ‘Urf

Dari segi etimologi al-‘urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra’ dan fa’ yang berarti
kenal. Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang dikenal), ta’rif (definisi), kata ma’ruf (yang
dikenal sebagai kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik).

Adapun dari segi terminologi. Kata ‘urf mengandung makna:

‫ َأْو َلْفٌظ َتَع ا َر ُفْو ا ِإْطَالَقُه َع َلى َم ْعَنى َخا ِّص ال َتَأَّلَفُه الُّلَغ ُة َو ال َيَتَباَدُر َغْيَر ُه ِع ْنَد‬، ‫مَااْعَتاَد ُه اَّناُس وَس اُرْو اَع َلْيِه ِم ْن ُك ِّل ِفْع ٍل َش اَع َبْيَنُهْم‬
‫ِس َم اِع ِه‬

Seuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap
perbuatan yang populer di antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan
pengertian tertentu, bukan dlam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka
tidak memahaminya dalam pengertian lain.[1]
Dalam istilah fuqaha ‘urf ialah kebiasaan. Dari pengertian ini kita mengetahui bahwa ‘urf dalam
sesuatu perkara tidak bisa terwujud kecuali apabila ‘urf itu mesti berlaku atau sering-seringnya
berlaku pada perkara tersebut, sehingga masyarakat yang mempunyai ‘urf tersebut selalu
memperhatikan dan menyesuaikan diri dengannya. Jadi unsur pembentukan ‘urf ialah
pembiasaan bersama antara orang banyak, dan hal ini hanya terdapat pada keadaan terus-
menerus atau sering-seiringnya dan kalau tidak demikian, maka disebut perbuatan
perseoranagan.

Sebagai contoh ialah kebiasaan masyarakat Indonesia pada perkawinan ialah bahwa keluarga
dari fihak calon mempelai laki-laki datang ketempat orang tua calon mempelai perempuan untuk
meminangnya.[2] Selain itu, pada adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia berjual beli
dengan tukar menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Dan juga kebiasaan mereka
untuk tidak mengucapkan kata “daging” sebagai “ikan”.[3]

2. Macam-macam ‘Urf

Para Ulama Ushul fiqh membagi ‘Urf kepada tiga macam :

● Dari segi objeknya :


1. Al-‘Urf al-Lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan).

Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam


mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam
pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging sapi; padahal kata-kata
“daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging,
sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “
saya beli daging 1 kg” pedagang itu langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan
masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.

1. Al-‘urf al-‘amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).

Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah
keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah kebiasaan masyrakat dalam masalah
kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja
pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat memakan makanan khusus atau
meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakain tertentu dalam
acara-acara khusus.

● Dari segi cakupannya:


1. Al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum).

Adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan diseluruh daerah.
Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti
kunci, tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya
tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap
penumpang pesawat terbang adalah duapuluh kilogram.

1. Al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).

Adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyrakat tertentu. Misalnya dikalangan para
pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk
cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga
kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.

● Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’ :


1. Al-‘urf al-Shahih ( kebiasaan yang dianggap sah)

Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan
nash (ayat atau hadis) tidak menghilangkan kemaslahtan mereka, dan tidak pula membawa
mudarat kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah
kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.

1. Al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).

Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada
dalam syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba,
seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta
rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo,
dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang di raih peminjam,
penambahan utang sebesar 10% tidaklah membertakan, karena keuntungan yang diraih dari
sepuluh juta rupaiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi praktik seperti
ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’, karena
pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan.[4]

3. Kedudukan ‘Urf sebagai Sumber Hukum


Dalam kehidupan sosial dalam masyarakat manusia yang tidak mempunyai undang-undang
(hukum-huum), maka ‘urf lah (kebiasaan) yang menjadi Undang-undang yang mengatur mereka.
Jadi sejak zaman dahulu ‘urf mempunyai fungsi sebagai hukum dalam kehidupan manusia.

Sampai sekarang, ‘urf dianggap sebagai salah satu sumbar undang-undang, dimana
unsur-unsurnya banyak diambilkan dari hukum-hukum yang berlaku, kemudian dikeluarkan
dalam bentuk pasal-pasal dalam undang-undang.

Syari’at Islam datang kemudian banyak mengakui tindakan tindkan dan hak-hak yang
sama-sama dikenal oleh Syari’at Islam dan masyarakat Arab sebelumnya, disamping banyak
memperbaiki dan menghapuskan kebiasaan-kebiasaan yang lain. Selain itu, Syari’at Islam juga
membawa hukum-hukum baru yang mengatur segala segi hubungan manusia satu sama lain
dalam kehidupan sosialnya, atas dasar keperluan dan bimbingan kepada penyelesaian yang
sebaik-baiknya, karena Syari’at-syari’at Tuhan dengan aturan-aturan keperdataannya (segi
keduniaannya) dimaksudkan untuk mengatur kepentingan dan hak-hak manusia. Oleh karena itu
kebiasaan yang telah ada bisa diakui asal dapat mewujudkan tujuan-tujuannya serta sesuai
dengan dasar-dasarnya yang umum.

Dalam Syari’at Islam dalil yang dijadikan dasar untuk menganggap ‘urf (kebiasaan)
sebagai sumber hukum ialah firman Allah SWT :

“dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang
bodoh”.

Meskipun kata-kata ‘urf disini sebenarnya diartikan menurut arti bahasa, yaitu perkara
yang biasa dikenal dan dianggap baik, namun bisa juga dipakai untuk menguatkan ‘urf menurut
arti istilah, karena apa yang biasa dikenal oleh orang banyak dalam perbuatan-perbuatan dan
hubungannya satu sama lain termasuk perkara yang dianggap baik oleh mereka dan dikenal oleh
pikiran mereka.[5]

1. Kehujjahan ‘Urf Sebagai Dalil Syara’

‘Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada umumnya, urf
ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan
penafsiran beberapa nash. Namun hal ini bukan berarti urf tidak mempunyai dasar hukum
sebagai salah satu sahnya sumber syari’at islam. Mengenai kehujjahan urf menurut pendapat
kalangan ulama ushul fiqh, diantaranya:
● Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa urf adalah hujjah untuk
menetapkan hukum islam. Alasan mereka ialah berdasarkan firman Allah dalam surat
al A’rof ayat 199:

‫ُخ ِذ ْالَع ْفَو َو أُم ْر ِبْالُعْر ِف َو َاْع ِر ْض َع ِن ْالَج اِه ِلْيَن‬.

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang ma’ruf serta
berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”.

Ayat ini bermaksud bahwa urf ialah kebiasaan manusia dan apa-apa yang sering mereka lakukan
(yang baik). Ayat ini, bersighat ‘am artinya Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk mengerjakan
suatu hal yang baik, karena merupakan perintah, maka urf dianggap oleh syara’ sebagai dalil
hukum.

Maka dari pernyataan di atas, dapar dikatakan bahwasannya sesuatu yang sudah lumrah
dilakukan manusia di dunia untuk kemaslahatan hidupnya, maka hal itu dianggap benar oleh
syari’at islam meskipun tidak ada dalil yang menyatakannya baik dalam al qur’an ataupun
sunnah.

Selain berdasarkan dalil al qur’an tersebut, ulama Hanafiyah dan Malikiyah juga berhujjah
dengan hadits nabi:

‫َم اَر َاُه ْالُم ْس ِلُم ْو َن َحَس ًنا َفُهَو ِع ْنَد ِهللا َحَس ٌن‬.

“Sesuatu yang dianggap baik oleh umat islam, termasuk suatu hal yang baik pula menurut
Allah”.

Hadits ini mengandung arti bahwa hal yang dipandang baik bagi orang islam berarti hal itu baik
pula di sisi Allah yang di dalamnya termasuk juga urf yang baik. Yang mana berdasarkan dalil-
dalil tersebut, urf yang baik adalah suatu hal yang baik di hadapan Allah.

● Golongan Syafi’iyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap urf sebagai hujjah
atau dalil hukum syar’i. Golongan Imam Syafi’i tidak mengakui adanya istihsan,
mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbath hukum dan
tidak menggunakannya sebagai dalil.[6]Maka dengan hal itu, secara otomatis
golongan Imam Syafi’ juga menolak menggunakan urf sebagai sumber hokum islam.
Penolakannya itu tercermin dari perkataannya sebagaimana berikut:
“Barang siapa yang menggunakan istihsan maka sesungguhnya ia telah membuat hukum”.

Bahkan dalam kitab ‘Risalah’-nya, beliau menyatakan dengan tegas sebagai berikut, yang
artinya:

“ Tidak seorang pun berhak selain Rasulullah menetapkan sesuatu hukutn tanpa alasan (dalil)
dan tidak seorang pun pantas menetapkan berdasarkan apa yang dianggap baik (istihsan).
Sesungguhnya menetapkan hukum dengan istihsan adalah membuat ketentuan baru yang tidak
mempedomani ketentuan yang telah digariskan sebelumnya”.

Berkaitan dengan penolaknnya terhadap istihsan ini, beliau mengemukakan beberapa dalil
(argumen) sebagai dasar dari penolakannya, sebagaimana tercermin dalam kitabnya al-Risalah
dan al-Umm. Ia mengemukakan dalil-dalil dari al-Quran dan hadits, di antaranya:

● Surat al-Maidah (5): 3 yang berbunyi:

‫َاْلَيْو َم َأْك َم ْلُت َلُك ْم ِد ْيَنُك ْم َو َأْتَم ْم ُت َع َلْيُك ْم ِنْع َم ِتْي َو َر ِض ْيُت َلُك ُم ْاِال ْس َالَم‬

‫ِد ْيًنا‬.

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu”.

● Surat al-Nahl (16): 89 yang berbunyi:

‫…َو َنَّز ْلَنا َع َلْيَك ْالِكَتاَب ِتْبَياًنا ِلُك ِّل َش ْي ٍء َو ُهًدى َو َر ْح َم ًة‬.

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat”.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka Imam Syafi’i menolak adanya sumber hukum dari urf,
karena beliau menganggap bahwa urf merupakan penetapan suatu hukum yang tidak berdasarkan
dalil yang sudah ditetapkan yakni; Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.[6]

1. Syarat-syarat Pemakaian ‘Urf sebagai Sumber Hukum

Syarat-syarat ‘urf yang bisa diterima oleh hukum Islam :


1. ‘Urf harus berlaku terus menerus atau kebanyakannya berlaku

Yang dimaksud dengan terus menerus berlakunya ‘urf ialah bahwa ‘urf tersebut berlaku untuk
semua peristiwa tanpa kecualinya, sedan yang dimaksud dengan kebanyakan berlakunya ‘urf
ialah bahwa ‘urf tersebut berlaku dalam kebanyakan peristiw. Yang menjadi ukuran kebanyakan
berlakunya menurut hitungan –statistik. Kalau sesuatu perkara sama kekuatannya antara
dibiasakan dengan tidak dibiasakan, maka perkara tersebut dinamai ‘urf-mustarak (‘urf rangkap).
‘Urf semacam ini tidak bisa dijadikan sandaran dan dalil dalam menentukan hak-hak dan
kewajiban karena apabila perbuatan orang banyak pada sesuatu waktu bisa dianggap sebagai
dalil, maka peninggalannya pada waktu yang lain dianggap sebagai penentang dalil tersebut.

2. ‘Urf yang dijadidkan sumber hukum bagi sesuatu tindakan harus terdapat pada waktu
diadaknnya tindakan tersebut

Bagi ‘urf yang timbul dari sesuatu perbuatan tidak bisa dipegangi, dan hal ini adalah untuk
menjaga kestabilan ketentuan sesuatu hukum. Misalnya, kalau kata-kata “Sabilillah” dalam
pembagia harta zakat menurut ‘urf pada suatu ketika diartikan semua keperluan jihad untuk
agama, atau semua jalan kebaikan dengan mutlak, menurut perbedaan pendapat para ulama
dalam hal ini, atau kata-kata “Ibnus-Sabil” diartikan kepada orang yang kehabisan bekal dalam
perjalanan. Kemudian pengertian yang dibiasakan tersebut berubah, sehingga Sabilillah diartikan
anak pungut yang tidak mempunyai keluarga, maka nas-nas hukum tersebut tetap dirtikan
kepada pengertian ‘urf pertama, yaitu yang berlaku pada waktu kelurnya nas tersebut, karena
pengertian tersebut itulah yang dikehendaki oleh Syara’, sedang pengertian-pengertian yang tibul
sesudah keluarnya nas tidak menjadi pertimbangan. Oleh karena itu Ibnu Nujaim berkata sebagai
berikut :

‫َاْلُعْر ُف اَّلِذ ْى َتَحَّمَل َع َلْيِه ْاَالْلَفاُظ ِاَّنَم ا ُهَو اْلُم َقا ِرُن الَّساِبُق ُد ْو َن ْالُم َتَأِخ ِر َو ِلَذ ِلَك َقاُلْو ا َالِع ْبَر َة ِبْلُعرِف الَّطا ِر ِئ‬

“’Urf yang menjadi dasar kata-kata ialah ‘urf yang menyertai dan mendahului, bukan ‘urf yang
datang kemudian. Oleh karena itu para fuqaha mengatakan: “Tidak ada pertimbangan terhadap
‘urf yang datang kemudian”.

3. Tidak ada penegasan (nas) yang berlawanan dengan ‘urf.

Penetapan hukum berdasarkan ‘urf dalam hal ini termasuk dalam penetapan berdasrkan
kesimpulan (menurut yang tersirat). Akan tetapi apabila penetapan tersebut berlawana dengan
penegasan, maka hapuslah penetapan tersebut. Oleh karena itu sesuatu peminjaman barang
diabatasi oleh oenegasan orang yang meminjamkan, baik mengenai waktu atau tempat atau
besarnya, meskipun penegasan tersebut berlawanan dengan apa yang telah terbiasa. Jadi kalau
sesorang meminjam kendaraan muatan dari orang lain, maka ia dianggap telah diixinkan untuk
memberinya muatan menurut ukurannya yang biasa. Akan tetapi kalau pemiliknya dengan tegas-
tegas meentukan batas-batasnya sendiri, meskipun berlawanan dengan kebiasaan, maka
peminjam tidak boleh melampaui batas-batas yang telah ditentukan itu.

4. Pemakaian ‘urf tidak akan mengakibatkan dikesampingkannya nas yang pasti dari
Syari’at, sebab nas-nas Syara’ harus didahulukan atas ‘urf. Apabila nas Syara’
tersebut bisa digabungkan dengan ‘urf, maka ‘urf tersebut tetap bisa dipakai.[7]

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

‘Urf bisa dikatakan sebagai suatu perkataan dan perbuatan yang menyangkut kebiasaan yang
sering dilakukan. Macam-macam ‘urf yaitu dari segi objeknya (Al-‘Urf al-Lafzhi dan Al-‘urf
al-‘amali), dari segi cakupannya (Al-‘urf al-‘am dan Al-‘urf al-khash), dari segi keabsahannya
dari pandangan syara’ (Al-‘urf al-Shahih dan Al-‘urf al-fasid).

‘Urf dianggap sebagai salah satu sumbar undang-undang, dimana unsur-unsurnya banyak
diambilkan dari hukum-hukum yang berlaku, kemudian dikeluarkan dalam bentuk pasal-pasal
dalam undang-undang. Syarat ‘Urf sebagai sumber hukum islam yaitu, ‘urf harus berlaku terus
menerus atau kebanyakannya berlaku, ‘urf yang dijadidkan sumber hukum bagi sesuatu tindakan
harus terdapat pada waktu diadaknnya tindakan tersebut, tidak ada penegasan (nas) yang
berlawanan dengan ‘urf, pemakaian ‘urf tidak akan mengakibatkan dikesampingkannya nas yang
pasti dari Syari’at.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta, Sinar Grafika Offset, 2010).

[2] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta, PT Bulan Bintang, 1995).

[3] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta, Pustaka Amani,
2003).

[4] Rahmat Illahi Besri, ‘Urf : Pengertian, Dasar Hukum, macam-macam, kedudukan, dan
permasalahannya, ibelboyz.wordpress.com, diakses dari
https://ibelboyz.wordpress.com/2011/10/13/%E2%80%98urf-pengertian-dasar-hukum-macam-
macam-kedudukan-dan-permasalahannya/ , pada tanggal 30 April 2016 pukul 11:36.

Anda mungkin juga menyukai