Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

‘URF
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih

Dosen pengampu : Drs. KH. Nanang Naisabur, M.H.

Disusun oleh :

Miftah Ulumuddin (2019.01.031)


Muhammad Rafi (2019.01.039)
Nurul Husna Muhajir (2019.01.052)
Reva Prima Farhan (2019.01.063)
Endang Sugandi (2019.01.014)

SEMESTER I/B
FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-FALAH (STAIA)
CICALENGKA-BANDUNG
2019

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu ushul fiqh sebenarnya merupakan suatu ilmu yang tidak bisa di
abaikan oleh seorang mujtahid dalam upayanya memberi penjelasan mengenai
nash-nash syari’at Islam, dan dalam menggali hukum yang tidak memiliki nash.

Dalam ilmu ushul fiqh ini terdapat banyak sekali pembahasan, diantaranya
adalah ‘urf yang akan saya coba diskusikan yang mana budaya atau ‘urf sebagai
salah satu bagian dari ushul fiqh, apa yang mendasari ulama untuk menjadikan hal
tersebut sebagai salah satu pijakan hukum, bagaimana mereka
mengaplikasikannya di dalam kehidupan nyata masyarakat. Hal tersebut tentunya
tidak semudah yang kita diskusikan, karena tidak semua ulama’ setuju tentang urf
ini, akan tetapi tidak sedikit juga yang menjadikannya sebagai pijakan hukum.

B. Rumusan Masalah

1. Apa penngertian ‘urf ?

2. Apa saja macam-macam ‘urf ?

3. Bagaimana Kehujjahan ‘urf ?

4. Apa saja kaidah-kaidah ‘urf ?

5. Apa saja syarat-syarat ‘urf ?

A. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui apa penngertian ‘urf ?

2. Untuk mengetahui apa saja macam-macam ‘urf ?

3. Untuk mengetahui bagaimana kehujjahan ‘urf ?

4. Untuk mengetahui apa saja kaidah-kaidah ‘urf ?

5. Untuk mengetahui apa saja syarat-syarat ‘urf ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian ‘Urf

Kata urf berasal dari kata arafa ya’rifu sering di artikan dengan al-
ma’ruf dengan arti sesuatu yang dikenal.1 Menurut istilah ialah segala
sesuatu yang telah dikenal dan menjadi kebiasaan manusia baik berupa
ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu.

Sebagian Ushuliyyin, seperti Al-Nafasidari kalangan Hanafi, Ibnu


Abidin,Al-Rahawi dalam Syarah kitab Al-Mannar dan Ibnu Ujaim dalam
kitab Al-Aisbah wa al-Nazhair berpendapat bahwa urf sama dengan adat
tidak ada perbedaan antara keduanya. Namun sebagian Ushuliyyin, seperti
Ibnu Humam dan al-Bazdawi membedakan antara adat dengan urf dalam
1
Amir Sayrifuddin, Ushul Fiqh jilid 2 ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011) 387

3
membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan
hukum syara’. Adat didefinisikan sebagai sesuatu yang dikerjakan
berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional. Sedangkan ‘urf ialah
kebiasaan mayoritas kaum,baik dalam perkataan atau perbuatan. Dalam
pengertian ini adat lebih luas daripada urf. Adat mencakup seluruh jenis
‘urf. Tetapitidak sebaliknya. Kebiasaan individu-individu atau kelompok
tertentu dalam makan, berpakaian, tidur dan sebagainya dinamakan adat
tidak dikatakan ‘urf. Tetapi, dari sisi yang lain, urf lebih umum daripada
adat, sebab adat hanya menyangkut perbuatan , sedangkan ‘urf
menyangkut perbuatan dan ucapan sekaligus.2

Dari adanya ketentuan bahwa ‘urf atau adat itu sesuatu yang harus
dikenali, diakui, dan diterima oleh orang banyak, terlihat ada kemiripannya
dengan ijma’. Namun antara keduanya terdapat beberapa perbedaaan
yang di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Dari segi ruang lingkupnya, ijma’ harus diterima semua


pihak. Sedangkan ‘urf atau adat sudah dapat tercapai bila
ia telah dilakukan dan dikenal oleh sebagian orang saja.

2. Ijma’ adalah kesepakatan (penerimaan) di antara orang-


orang tertentu, yaitu para mujtahid, dan yang bukan
mujtahid tidak diperhitungkan kepakatan ataupun
penolakannya. Sedangkan ‘urf atau adat yang mengakui
adalah seluruh lapisan manusia baik mujtahid atau bukan.

3. ‘Urf atau adat itu dapat mengalami perubahan karena


berubahnya orang-orang yang menjadi bagian dari umat
itu. Sedangkan ijma’ tidak akan mengalami perubahan.3

A. Macam-Macam ‘Urf

Para Ulama Ushul fiqih membagi ‘urf dalam tiga macam:

1. Dari segi objeknya, ‘urf di bagi dalam al-urf al-lafdzi


(kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali
(kebiasaan yang berbentuk perbuatan).

2
Suwarjin, Ushul Fiqh (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2012) 148-149
3
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, 389

4
a. Al-urf al-lafdzi adalah kebiasaan masyarakat dalam
mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu untuk
mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah
yang dipahami dan terlintas dalampikiran masyarakat.
Misalnya, ungkapan daging yang berarti daging sapi;
padahal kata daging mencakup seluruh daging yang ada.
Apabila seorang mendatangi penjual daging, saya beli
daging satu kilogram pedagang itu langsung mengambilkan
daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat yang
mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.

b. Al-‘urf al-amali adalah kebiasaan masyarakat yang


berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah
keperdataan. Yang dimaksud perbuatan biasa adalah
perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka
yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain,
sepertikebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentudalam
satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan
makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan
kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian
tertentudalamacara khusus..

1. Dari segi cakupannya,urf di bagi dua, yaitu al-urf al-‘am


(kebiasaan yang bersifat umum) dan al-urf al-khas (kebiasaan
yang besifat khusus).

a. Al-urf al-am, adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara


luas di seluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil,
seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki
mobil,seperti kunci,tang, dongkrak, dan ban serep termasuk
dalamharga jual, tanpa akad sendiri,dan biaya tambahan.
Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku bahwa berat
barang bawaan bagi penumpang pesawat terbang adalah
dua puluh kilogram.

b. Al-‘urf al-khas, adalah kebiasaan yang berlaku di daerah


dan masyarakat tertentu. Misalnya, dikalangan para
pedagang apabila terdapat cacat tertentu padabarang yang
5
dibeli dapat dikembalikan, sedangkan untuk cacat lainnya
dalam barang itu, tidak dapat dikembalikan. Atau juga
kebiasaan mengenai penentuan masagaransi terhadap
barang tertentu. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku
d kalangan pengacara hukum bahwa jasa pembelaan hukum
yang akan dia lakukan harus di bayar duluoleh kliennya.
Urf al-khas seperti ini,menurut Mustafa Ahmad Al-Zarqa,
tidak terhitung jumlahnya dan senantiasa berkembang
sesuai perubahan situasi dan kondisi masyarakat.

1. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’,’urf terbagidua


yaitu al-‘urfal shahih (kebiasaan yang di anggap sah) dan
al-‘urf al-fasid (kebiasaan yang dianggap rusak).

a. Al-‘urf al shahih, adalah kebiasaan yang tidak bertentangan


dengan nash (ayat atau hadist) tidak menghilangkan
kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa madarat
bagi mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak
laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan
hadiah ini di anggapsebagaimas kawin.

b. Al-‘urf al-fasid, adalah kebiasaan yang beretentangan


dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada
dalam syara’.

Misalnya, kebiasaan menghalalkan riba,sepertipeminjam uang


antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta
rupiah dalam tempo satu bulan harus di bayar sebanyak sebelas juta
rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%.
Dilihat dari segi keuntungan yang diraih peminjam, penambahan
utang sebanyak 10% tidaklah memberatkan, karena keuntngan
sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang
10%. Akan tetapi, praktek seperti ini bukanlah kebiasaan yang
bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’, karena
pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling
melebihi (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad Ibnu Hanbal).
Selain itu praktek seperti ini adalah praktek peminjaman yang
berlaku di jaman jahiliyyah, yang dikenal dengan sebutan ribal-
6
nasi’ah (riba yang muncul dari utang piutang). Oleh sebab itu,
kebiasaan seperti ini,menurut ulama ushul fiqih termasuk dalam
kategori al-‘urf al-fasid.4

A. Kehujjahan ‘Urf

Ada beberapa argumentasi yang menjadi alasan para ulama berhjjah dengan
‘urf danmenjadikannya sebagai sumber hukum fiqih,yaitu:

1. Firman Allah

‫لل‬ ‫ل‬ ‫ل‬


‫عخيذيي ِا لييعيلفييويي ِ يوأليعميلريي ِ بلياَجْ ليععيلرفيي ِ يوأييلع يلر ل‬
‫ضيي ِ يعيلنيي ِا لليي ياَجْ هيلي ي‬
‫يي ي‬

Artinya:

Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang


ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

Yang menurut Al-Qarafy bahwa setiap yang diakui adat, ditetapkan


hukum menurutnya, karena dzohir ayat ini.

2. Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad dan


Abdullah bin Mas’ud :

‫يماَجْيراعهاَجْلسلعموينييسنناَجْفييعهيوعنيداللهاَجْيلمنريحيسنن‬.
Yang menunjukkan bahwa hal-hal yang sudah berlaku menurut adat
kaum muslimin dan di pandangnya baik adalah pula baik disisi Allah.

3. Sabda Nabi Muhammad SAW kepada Hindun istri Abi Sufyan


ketika iamengadukan suaminya kepada Nabi bahwa suaminya
bakhil memberi nafkah:

.ِ ‫خذى ِمن ِماَجْل ِابىسفياَجْناَجْيليكووليدلك ِباَجْلعروف‬


(ambil dari harta Abu Sufyan secukup keperluanmu dan anakmu
menurut ‘urf).

Al Qurthuby mengomentari bahwa dalam hadis ini terdpat ‘urf dalam


penetapan hukum.
4
Khairul Umam dkk, Ushul Fiqih –I (Bandung: Pustaka Setia. 1998) 160-164

7
4. Dilakukannya kebiasaan manusia terhadap suatu hal
menunjukkan bahwa dengan melakukannya, mereka akan
memperoleh maslahat atau terhindar dari mafsadat.

Sedang maslahat ada dalil syar’i sebagaimana menghilangkan


kesusahan merupakan tujuan syara’.5

Adapun alasan ulama yang memakai ‘urf dalam menentukan ‘urf


antara lain:

1. Banyak Hukum Syari’at, yang ternyata sebelumnya telah


merupakan kebiasaan orang Arab, seperti adanya wali
dalam pernikahan dan susunan keluarga dalam pembagian
waris.

2. Banyak kebiasaan orang Arab, baik berbentuk lafaz


maupun perbuatan, ternyata dijadikan pedoman sampai
sekarang.6

Secara umum ‘urf itu di amalkan oleh semua ulama fiqh terutama
dikalangan ulama madzhab Hanafiyah dab Malikiyah.

Ulama’ Hanafiyah menggunakan istihsan dalam berijtihad dan salah


satu bentuk istihsan itu adalah istihsan al ‘urf (istihsan yang menyandar pada
‘urf). Oleh ulama’ Hanafiyah, ‘urf itu di dahulukan atas qiyas kahfi khafi dan
juga di dahulukan atas nash yang umun, dalam arti umum, dalam arti ‘urf itu
men-takhsis umum nash.

Ulama Malikiyah menjadikan ‘urf atau tradisi yang hidup dikalangan


ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya
dari hadist ahad.

Ulama’ Syafi’iyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal tidak


menemukan ketentuan batansannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan
bahasa.7

A. Kaidah-kaidah ‘urf

5
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam ( Jakarta:Sinar Grafika Offset, 2007) 78-80
6
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010) 162
7
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, 399

8
1. ‫ ِ ِالعاَجْدة ِمكمة‬

(adat itu dapat dijadikan hukum)

2. ‫ ِل ِينكر ِتغيي ِالحكم ِبتغي ِالزأمنة ِوالمكنة‬

(tidak di ingkari perubahan hukum disebabakan perubahan zaman dan


tempat)

3. ْ‫ ِالعروف ِعرفاَجْ ِكاَجْ ِالشمروط ِشرطاَج‬

( yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi
syarat)

4. ‫ص‬
‫ ِالثاَجْبت ِباَجْالعرف ِكاَجْالثاَجْبت ِباَجْالنياَجْ ي‬
(yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalaui
nash (nash atau hadist)8

A. Syarat-Syarat ‘Urf

Para ulama yang menggunakan ‘urf itu dalam memahami dan


meng-istinbath-kan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk ‘urf
tersebut,yaitu:

1. ‘Adat atau ‘urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal
sehat.Syarat ini merupakan kelaziman bagi ‘adat atau ‘urf yang
shahih, sebagai persyaratan untuk diterima secara umum.
Umpamanya tentang kebiasaan istri yang ditinggal mati
suaminya dibakar hidup-hidup bersama pembakaran jenazah
suaminya. Meski kebiasaan itu dinilai baik dari segi rasa agama
suatu kelompok, namun tidak dapat diterima oleh akal yang
sehat. Demikian pula tentang kebiasaan memakan ular.

2. Adat atau ‘urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-
orang yang berada dalam lingkungan ‘adat itu, atau di kalangan

8
Khaerul Umam, Ushul Fiqih-1, 168

9
sebagian besar kalangannya. Dalam hal ini al-Suyuthi
mengatakan :

‫اليناَجْ ِعتعتيبَييعر ِاليعاَجْيدعة ِإذا ِايطريدتَ ِيفإَن ِل ِيطيلرد ِفل‬.


Sesungguhnya ‘adat yang diperhitungkan itu adalah yang berlaku
secara umum. Seandainya kacau, maka tidak akan diperhitungkan.

Umpamanya : kalau alat pembayaran resmi yang berlaku di suatu


tempat hanya satu jenis mata uang, umpamanya dollar Amerika, maka
suatu transaksi tidak apa-apa untuk tidak menyebutkan secara jelas
tentang jenis mata uangnya, karena semua orang telah mengetahui dan
tidak ada kemungkinan lain dari penggunaan mata uang yang berlaku.
Tetapi bila ditempat itu ada beberapa alat pembayaran yang sama-sama
berlaku (ini yang dimaksud dengan : kacau), maka dalam transaksi
arus disebutkan mata uangnya.

3. ‘Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah


ada (berlaku) pada saat itu; bukan ‘urf yang muncul kemudian.
Hal ini berarti ‘urf itu harus ada sebelum penetapan hukum.
Kalau ‘urf itu datang kemudian, maka tidak diperhitungkan.
Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan :

‫ف ِايلذى ِيتلمعل ِعليه ِالليفاَجْعظ ِإناَجْ ِهو ِالقماَجْرن ِالساَجْبعق ِدون ِمتأخخلر‬
‫الععر ع‬
‘urf yang diberlakukan padanya suatu lafaz (ketentuan hukum)
hanyalah datang beriringan atau mendahului, dan bukan yang datang
kemudian.

Dalam hal ini, Badran memberikan contoh : Orang yang


melakukan akad nikah dan pada waktu akad itu tidak dijelaskan
apakah maharnya dibayar lunas atau dicicil, sedangkan ‘adat yang
berlaku waktu itu adalah melunasi seluruh mahar. Kemudian ‘adat
ditempat itu mengalami perubahan, dan orang-orang terbiasa mencicil
mahar. Lalu muncul suatu kasus yang menyebabkan terjadinya suatu
perselisihan antara suami istri tentang pembayaran mahar tersebut.

10
Suami berpegang pada ‘adat yang sedang berlaku (sesuai adat lama
ketika akad nikah berlangsung). Maka berdasarkan pada syarat dan
kaidah tersebut, si suami harus melunasi maharnya, sesuai dengan
‘adat yang berlaku pada saat berlangsungnya akad nikah dan tidak
menurut ‘adat yang muncul kemudian.

4. ‘Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada


atau bertentangan dengan prinsip yang pasti.

Sebenarnya persyaratan ini hanya menguatkan persyaratan penerimaan


‘adat shahih; karena kalau ‘adat itu bertentangan dengan nash yang ada
atau bertentangan dengan prinsip syara’ yang pasti, maka ia termasuk
‘adat dan fasid yang telah disepakati ‘ulama untuk menolaknya.9

9
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, 400-402

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pengertian ‘urf

Segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadi kebiasaan manusia baik
berupa ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu.

2. Macam-macam ‘urf

12
a. Dari segi objeknya, ‘urf di bagi dalam al-urf al-lafdzi
(kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-
amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan

b. Dari segi cakupannya, urf di bagi dua, yaitu al-urf


al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-urf al-
khas (kebiasaan yang besifat khusus).

c. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’,’urf


terbagidua yaitu al-‘urfal shahih (kebiasaan yang di
anggap sah) dan al-‘urf al-fasid (kebiasaan yang
dianggap rusak).

1. Kehujjahan ‘urf

‫لل‬ ‫ل‬ ‫ل‬


‫عخيذيي ِا لييعيلفييويي ِ يوأليعميلريي ِ بلياَجْ ليععيلرفيي ِ يوأييلع يلر ل‬
‫ضيي ِ يعيلنيي ِا لليي ياَجْ هيلي ي‬
‫يي ي‬

Artinya:

Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang


ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

2. Syarat-syarat ‘urf

a. ‘Adat atau ‘urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima


akal sehat.

b. Adat atau ‘urf itu berlaku umum dan merata di kalangan


orang-orang yang berada dalam lingkungan ‘adat itu,
atau di kalangan sebagian besar kalangannya.

c. ‘Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum


itu telah ada (berlaku) pada saat itu; bukan ‘urf yang
muncul kemudian.

d. ‘Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’


yang ada atau bertentangan dengan prinsip yang pasti.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika.Djalil. 2007.

Basiq. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2010.

Syarifudin, Amin. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011.

Suwarjin.Ushul Fiqh. Yogyakarta: Penerbit Teras. 2012.

Umam, Khaerul. Ushul Fiqh-1. Bandung: CV Pustaka Setia. 1998.

14

Anda mungkin juga menyukai