Anda di halaman 1dari 11

ADAT KEBIASAAN BISA MENJADI SUMBER HUKUM

A. Pendahuluan
'Urf secara bahasa berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh
akal sehat.  Sedangkan secara istilah ‘urf  ialah sesuatu yang telah sering dikenal
oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya
dan atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat. Ada juga yang
mendefinisikan bahwa ‘urf ialah sesuatu yang dikenal oleh khalayak ramai di
mana mereka bisa melakukannya, baik perkataan maupun perbuatan.
Jika membicarakan tentang “Qawaid Fiqhiyyah,” maka salah satu ruang
lingkupnya adalah adat kebiasaan/’urf. Ada banyak kegiatan sehari-hari yang
dilakukan oleh manusia merupakan sebuah kebiasaan. Adat bisa mempengaruhi
materi hukum, secara proporsional. Hukum Islam tidak memposisikan adat
sebagai faktor eksternal non-implikati, namun sebaliknya, memberikan ruang
akomodasi bagi adat.
Kebiasaan atau tradisi merupakan kegiatang yang biasa dilakukan oleh
masyarakat secara turun temurun. Kebiasaan juga dapat diartikan sebagai kegiatan
yang selalu dilakukan oleh masyarakat. Di dalam konteks Islam adat kebiasaan
disebut dengan “’urf. ‘Urf dalam bahasa berarti kelaziman-kelaziman. Sedangkan
menurut istilah, adat kebiasaan atau ‘urf berarti perbuatan yang dilakukan secara
berulang-ulang yang dikerjakan oleh manusia dalam berbagai masalah yang dapat
diterima oleh akal
Adat tidak memiliki sifat yang stagnan, tetapi dapat berubah-ubah seiring
dengan jalannya kehidupan manusia. Misalkan yang dicontohkan oleh Imam Asy-
Systhibi,bahwa negara-negara daerah Timur, jiika para perwira tidak
menggunakan tutup kepala, maka hal itu dianggap sebagai tindakan tercela.
Namun, dalam hal ini persoalan tersebut tidak akan kami bahas secara
mendetil, karena persoalan yang akan kami soroti lebi lanjut dala makalah ini
adalah mengenai Peminangan dan Akibat Hukumnya adapun persoalannya kami
batasi sekitar “Adat Kebiasaan Bisa Menjadi Sumber Hukum”.
B. Pengertian Adat Kebiasaan (‘Urf)
'Urf secara bahasa berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh
akal sehat.  Sedangkan secara istilah ‘urf  ialah sesuatu yang telah sering dikenal
oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya
dan atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat. Ada juga yang
mendefinisikan bahwa ‘urf ialah sesuatu yang dikenal oleh khalayak ramai di
mana mereka bisa melakukannya, baik perkataan maupun perbuatan.1
Sedangkan ‘urf atau adat menurut istilah ahli syari’at ialah dua kata yang
sinonim atau mempunyai pengertian sama. Menurut istilah ahli syara', tidak ada
perbedaan di antara ‘urf dan adat. Dalam pemahaman biasa diartikan bahwa
pengertian ‘urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat karena adat
disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan dikalangan
mereka, seakan-akan telah merupakan hukun tertulis, sehingga ada sangsi-sangsi
terhadap orang yang melanggarnya.
Maka, dari pengertian di atas urf ialah suatu kebiasaan yang telah
dilakukan oleh masyarakat yang dipandang baik, baik berupa perkataan maupun
perbuatan dan yang tidak bertentangan dengan syari'at islam. Namun, jika
kebiasaan tersebut bertentangan dengan syari'at islam, maka kebiasaan tersebut
dihapus dengan dalil yang ada pada syara’.2
Kebiasaan atau tradisi merupakan kegiatang yang biasa dilakukan oleh
masyarakat secara turun temurun. Kebiasaan juga dapat diartikan sebagai kegiatan
yang selalu dilakukan oleh masyarakat. Di dalam konteks Islam adat kebiasaan
disebut dengan “’Urf. ‘Urf dalam bahasa berarti kelaziman-kelaziman. Sedangkan
menurut istilah, adat kebiasaan atau ‘urf berarti perbuatan yang dilakukan secara
berulang-ulang yang dikerjakan oleh manusia dalam berbagai masalah yang dapat
diterima oleh akal.
Adat tidak memiliki sifat yang stagnan, tetapi dapat berubah-ubah seiring
dengan jalannya kehidupan manusia. Misalkan yang dicontohkan oleh Imam Asy-

1
Sulailman Rasjid, Fiqih Islam, (Jakarta: Attahriyah, 1945 cet ke-3). Hlm.56.
2
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Umat, 2015). Hlm.49.
Systhibi,bahwa negara-negara daerah Timur, jiika para perwira tidak
menggunakan tutup kepala, maka hal itu dianggap sebagai tindakan tercela.
Sebagian ulama ada yang membedakan antara adat dan ‘urf.3
Adat adalah perbuatan atau perkataan yang selalu dilakukan manusia
karena dapat diterima oleh akal sehat dan secara keinginan manusia mau
mengulanginya. Sedangkan ‘urf adalah sesuatu perbuatan atau perkataan dimana
jiwa merasa tenang ketika mengerjakannya karena sejalan dengan logika serta
dapat diterima oleh watak manusia.

C. Sumber Hukum
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau
menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan, yang bersifat mengikat, yang
apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata. Hukum islam
adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Dalam
konsep hukum Islam, dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah SWT.4
Sumber hukum Islam dapat dibagi menjadi dua bagian yakni sumber
hukumIslam materil yakni sumber hukum yang bentuk hukum dalam sebuah
negara dansumber hukum formil yaitu sumber isi hukum yang menentukan corak
isi hukum.Sumber hukum formil inilah yang kemudian disebut sebagai mashadir
al-ahkam,
sementara aladillah asy-syariyyah merupakan sumber hukum
materil.,Istilah mashadir al-ahkam sendiri tidak dikenal dalam catatan-catatan
paraahli hukum masa klasik. Karena pada umumnya para ahli hukum klasik
menggunakan istilah al-adillah asy-syariyyah. Secara umum kedua istilah ini
memiliki pengertian yang berbeda antara satu sama lain. Mashadir berarti sumber,
yakni wadah yang darinya digali norma-norma hukum tertentu, sedangkan al-
adillah berarti dalil, yakni petunjuk yang akan membawa kepada hukum tertentu.5

3
Satria Efendi M, Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015). Hlm.157.
4
Duski Ibrahim, Al-Qawaid Al-fiqhiyyah (Kaidah-kaidah fiqih), (Palembang: Noerfikri,
2019). Hlm. 93.
5
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali, 1993).
Hlm.76.
Hukum Islam sendiri bersumber dari Alquran, Hadis Rasulullah SAW, ijtihad
(ra’yu), qiyas, ijma’ (ijmali). Sumber hukum Islam yang pertama ialah Alquran.
Al-Quran adalah kumpulan wahyu Allah SWT. yang disampaikan kepada
umat dengan perantaraan Nabi Muhammad SAW. Alquran sebagai sumber hukum
isinya merupakan susunan hukum yang sudah lengkap, untuk penjelasan dari
Alquran ini maka selalu didapati dalam Sunah Nabi, bagaimana memakai atau
melaksanakan hukum yang tercantum dalam Alquran.6
Jika suatu nash hukum tidak didapati di dalam Alquran atau Sunah
barulah dipergunakan ijma’, yaitu pendapat ulama-ulama atau ijtihad, pendapat
seorang ulama atau dengan qiyas, membanding sesuatu dengan yang sudah pasti.
Sunah sebagai sumber hukum kedua dalam hukum Islam memiliki fungsi
menegaskan lebih lanjut mengenai ketentuan yang terdapat dalam Alquran,
kemudian Sunah juga berfungsi sebagai penjelas dari isi Alquran, dan
menambahkan atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samar-samar
ketentuannya dalam Alquran asalkan tidak bertentangan dengan Alquran. 7
Ijma’ menempati posisi ketiga dalam sebagai sumber hukum Islam, yaitu
setelah Alquran dan Sunah. Pada dasarnya ijma’ dapat dijadikan alternatif dalam
menetapkan hukum sesuatu peristiwa yang di dalam Alquran atau hadis tidak ada
(tidak jelas hukumnya).

D. Pembagian Adat Kebiasaan/ ‘Urf


Adat atau ‘urf dibagi dalam beberapa aspek. Dari aspek ucapan dan
tindakan adat dibagi menjadi 2 :
a. ‘Urf qauly (kebiasaan yang berupa ucapan), misalnya kebiasaan manusia
menggunakan kata “waladun” pada anak laki-laki, walaupun arti dari
kata tersebut juga bisa untuk perempuan.8
b. ‘Urf amaly (kebiasaan berupa perkerjaan), misalnya kebiasaan manusia
yang melakukan transaksi tanpa ijab qabul, tetapi langsung memberikan
uang atau disebut dengan bai’ al-mu’athah.
6
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, ,(Bandung: CV Pustaka Setia, 2010). Hllm.88.
7
Chaerul Usman dkk, Ushul Fiqh 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000). Hlm. 72.
8
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005). Hlm.66.
Dari aspek keumumannya, adat dibagi menjadi dua:
a. ‘Urf ‘amm (kebiasaan umum), misalnya kebiasaan manusia dalam
masalah mandi, kebersihan dan kebiasaan untuk menggunakan pakaian.
b. ‘Urf khash (kebiasaan khusus), misalnya di beberapa daerah ada
kebiasaan untuk mempercepat pemberian mas kawin dan ada pula yang
menundanya serta memberikan tambahan kepada pembeli.
Dari aspek sah dan rusaknya, adat dibagi menjadi dua :
a. ‘Urf shahih (kebiasaan yang sah), yakni kebiasaan yang tidak
bertentangan dengan nash dan tidak juga bertetntangan dengan satu
kaidah dari beberapa kaidah syari’at.
b. ‘Urf fasid (kebiasaan yang rusak), yakni kebiasaan yang bertetntangan
dengan hukum Islam, misalnya kebiasaan manusia melakukan transaksi
riba, minum khamr, judi dan sebagainya.9

E. Syarat-syarat ‘Urf untuk Dapat Dijadikan Landasan Hukum


Ada beberapa pernyataan bagi ‘urf yang bisa dijadikan landasan hukum
yaitu:
1. ‘Urf itu merupakan ‘urf yang sahih, dalam artian tidak bertentangan
dengan syari’at Islam. Misalnya, kebiasaan disuatu negara bahsa sah
mengembalikan harta amanah kepada istri dan anak dari pemberi
amanah.10
2. ‘Urf itu harus bersifat umum, dalam artian adat ini sudah menjadi
kebiasaan mayoritas penduduk di tempat itu.
3. ‘Urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan
dilandaskan kepada ‘urf itu.
4. Tidak ada kletegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan
kehendak ‘urf tersebut, karena jika kedua belah pihak sudah sepakat
untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka yang
dipegang adalah ketegasan itu dan bukan ‘urf.
9
Moh Rivai, Ushul Fiqih, (Bandung: PT. Al-Ma;arif, 1993). Hlm. 13.
10
Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawaid Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
2004). Hlm. 43.
F. Sesuatu Dapat Disebut Adat
Adat merupakan suatu perkara yang sudah terjadi berulang kali. Namun
berapa kalikah perkara tersebut berulang sehingga bisa disebut adat, hal ini
tergantung pada masalahnya.11
a. Ada yang terjadi baru satu kali tetapi sudah dianggap sebagai adat dan
kebiasaan. Misalnya seperti aib dari barang yang diperjual belikan,
seseorang melakukan zina walau cuma sekali, masalah istihadlah.
b. Ada yang harus berulang sampai tiga kali baru bisa hal tersebut dikatakan
adat. Misalnya seperti perkiraan masa haid dan masa suci.12
c. Ada yang bisa disebut sebagai adat setelah melalui pengulangan lebih
dari tiga kali. Misalnya seperti anjing pemburu, supaya anjing pemburu
itu memiliki keahlian atau adat dalam memburu binatang, haruslah
dilakukan latihan dan percobaan berulang kali dan menjadikan kokok
ayam sebagai acuan waktu.
d. Ada yang tidak bisa ditetapkan sebagai adat, meskipun telah berulang
terjadi, seperti seorang perempuan setiap kali melahirkan tidak
mengeluarkan darah nifas. Kemudian suatu ketika, setelah melahirkan
untuk kesekian kalinya ia mengeluarkan darah. Darah itu dianggap
sebagai darah nifas.13

G. Kaidah Tentang Adat Kebiasaan (‘urf)


Imam As-Suyuthi mengatakan bahwa kaidah tersebut bersumber dari
sabda Rasulullah saw.
ٌ‫ما َ َرٓاهُ ْال ُم ْسلِ ُموْ نَ َح َسناًفَهُ َو َع ْن َدهّٰللا ِ َح َسن‬
“Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka baik juga menurut
Allah.” (HR. Ahmad)
Hadits ini menjelaskan bahwa perkara yang sudah biasa dilakukan
(adat) oleh orang Islam dan dianggap baik,maka perkara tersebut di sisi
Allah juga baik, sehingga dapat diamalkan.
11
Abddin Nata, Masail Al-Fiqhyyah,(Jakarta: Kencana, 2006). Hlm. 29.
12
Rahmat Syafi’I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1998). Hlm 56.
13
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995). Hlm 30.
‫التعيين بالعرف كالتعيين بالنص‬
“Yang ditentukan secara urf sebagaimana ditentukan dengan nash.”
Setiap hukum ditentukan oleh kejelasan nash dan juga ditentukan pula
oleh urf dan adah. Sehingga dari kaidah ini dapat dipahami kaidah lain yang
menyatakan bahwa yang terlarang secara adat sama halnya dengan terlarang
secara hakikat.14 Seperti orang yang menyatakan bahwa ”atas saya thalak” lafadz
ini sesuai dengan hakikat dari lafadz ”terhadap engkau saya orang yang
menthalaq.”
Demikian juga jika ada seseorang yang menyewa sebuah rumah tanpa
menjelaskan siapa yang akan menempati rumah itu dan apa yang akan dikerjakan
di dalam rumah itu, penyewa boleh memanfaatkan rumah tersebut sesuai dengan
sejumlah manfaat dari rumah itu.
ِ ْ‫ لَهُ فِ ْي ِه َواَل اللُّ َغةَيُرْ َج ُع فِ ْي ِه ٕال َى ْالعُر‬wَ‫ضابِط‬
‫ف‬ ْ ‫ع ُم‬
َ ‫طلَقًا َواَل‬ ُ ‫او َر َدبِ ِه ال َّش َر‬
َ ‫ُكلُّ َم‬
Artinya: “Setiap aturan yang didatangkan oleh syara‟ secara mutlak
dan tidak ada pembatasannya dalam syara‟ dan (juga tidak ada pembatasannya
dalam) aturan bahasa, ketentuannya dikembalikan kepada kebiasaan („urf).
Dari kaidah di atas dapat kita pahami bahwa :
a. Menurut kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, makanan dan
minuman yang disuguhkan untuk tamu boleh dimakan tanpa harus
membayar.Namun jika makanan atau minuman itu mesti dibayar
hendaklah memberitahunya.15
b. Menurut kebiasaan yang berlaku, manakala seorang mahasiswa ingin
menggandakan naskah skripsinya maka kertasnya disediakan oleh pihak
pemilik fhotocopy, kecuali jika ada ketetntuan lain.
c. Misalkan ada seseorang yang meminta tolong kepada temannya untuk
menjualkan motornya tanpa menyebutkan upahnya. Jika motornya
terjual,maka seseorang itu harus memberikan komisi kepada temannya
sesuai dengan kebiasaan yang berlaku.

14
Imam Msubikin, Qawaid Al-Fiqhyyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001).
Hlm. 98.
15
Asimuni A, Rahman, Qaidah-qaidah Fiqhiyyah, (Jakarta: Nurcahaya, 1976). Hlm. 71.
d. Atas dasar kaidah diatas, karena sudah menjadi kebiasaan, maka
dibolehkan transasksi pemesanan barang dengan pembayaran uang muka
setengah harganya dan sisanya dibayar setelah barang pesanan selesai
dan sampai.
e. Karena sudah menjadi kebiasaan, maka pemerintah dibolehkan memberi uang
muka kepada karyawan sebelum SK-nya turun.16
Dari berbagai kasus 'urf yang dijumpai, para ulama ushul fiqh
merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan urf, diantaranya:

    ٌ‫اَ ْل َعا َدةُ ُم َح َّك َمة‬


“adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum”.

‫ة َو ْاالَ ْم ِكنَ ِة‬Bِ َ‫الَ يُ ْن َك ُر تَ َغ ُّي ُر ْاالَ ْح َك ِام بِتَ َغ ُّي ِر ْاالَ ْز ِمن‬.
“Tidak diingkari perubahan hokum disebabkan perubahan zaman dan
tempat”.

ْ ‫ا ْل َم ْع ُر ْوفُ ع ُْرفًا َكا ْل َم‬


ً‫ش ُر ْو ِط ش َْرط‬
“Yang baik itu menjadi urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi
syarat”.

  ِ ِ‫ف َكالثَّاب‬
ِ ‫ت بِالنَّا‬
‫ص‬ ِ ‫الثَّابِتُ بِاْل ُع ْر‬
Yang ditetapkan melalui urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash
(al qur’an atau hadits)”.

Kesimpulan

Dari deskripsi makalah di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal, di


antaranya adalah sebagai berikut:

16
Muhammad Sharur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Kalimedia,
2015). Hlm. 42.
1. 'Urf secara bahasa berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima
oleh akal sehat.  Sedangkan secara istilah ‘urf  ialah sesuatu yang
telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik
berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan sesuatu
juga disebut adat. Ada juga yang mendefinisikan bahwa ‘urf ialah
sesuatu yang dikenal oleh khalayak ramai di mana mereka bisa
melakukannya, baik perkataan maupun perbuatan
2. Sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau
menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan, yang bersifat
mengikat, yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang
tegas dan nyata. Hukum islam adalah hukum yang bersumber dan
menjadi bagian dari agama Islam. Dalam konsep hukum Islam, dasar
dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah SWT
3. Alquran adalah kumpulan wahyu Allah SWT. yang disampaikan
kepada umat dengan perantaraan Nabi Muhammad SAW. Alquran
sebagai sumber hukum isinya merupakan susunan hukum yang sudah
lengkap, untuk penjelasan dari Alquran ini maka selalu didapati
dalam Sunah Nabi, bagaimana memakai atau melaksanakan hukum
yang tercantum dalam Alquran.

Daftar Pustaka
Abdullah Sulaiman. 1998. Sumber Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika

Azhari Fathurrahman. 2015. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. Banjarmasin:


Lembaga Pemberdayaan Kualitas Umat

Ibrahim Duski. 2019. Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah (Kaidah-kaidah Fiqh). Palembang:


Noerfikri

Msubikin Imam. 2001. Qawaid Al-Fiqhiyyah. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Nata Abddin. 2006. Masail Al- Fiqhiyyah. Jakarta: Kencana

Rahman A Asimuni. 1976. Qaidah-qaidah Fiqh 1. Jakart: Bulan Bintang

Rasjid Sulaiman. 1945. Fiqih Islam.Jakarta: Atthariyah

Rivai Moh. 1993. Ushul Fiqh. Bandung: PT. Al- Ma’arif

Suhendi Hendi.2005.Fiqih Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Syafe’I Rachman. 2010. Ilmu Ushul Fiqh.Bandung: CV. Pustaka Setia

Syafi’I Rahmat. 1998. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia

Sharur Muhammad. 2015. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Yogyakarta:


Kalimedia

Sudirman Abbas Ahmad. 2004. Sejarah Qawaid Fiqhiyyah. Jakarta: Pedoman


Ilmu Jaya

Usman Chaerul dkk. 2000. Ushul Fiqh. Bandung: CV. Pustaka Setia
Wahab Khallaf Abdul. 1993. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta: Rajawali

Zein M, Efendi Satria. 2015. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenadamedia Group

Anda mungkin juga menyukai