Studi Perbandingan Antara Abdul Wahab Khalaf dan Abdul Karin Zaidan
Oleh :
ABSTRAK
Artikel ini membahas tentang Al-‘urf yang menjadi salah satu dasar dalam
pengambilan hukum dalam agama islam. Al-‘urf ini mengambil hukum dari
sesuatu yang tidak asing lagi didalam masyarakat, yang telah menjadi kebiasaan
dan menyatu dengan kehidupan mereka, baik berupa perbuatan atau perkataan.
Tentunya tanpa melanggar ajaran dasar dalam islam yang tertuang di dalam al-
Qur’an dan al-Sunnah. Dengan konsep al-‘urf ini syari’at islam dapat akrab,
membumi, dan diterima di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang plural,
tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya. Tela’ah atas konsep ini
sekaligus jawaban bagi para pemikir Muslim kontemporer yang kerap mendorong
pembaruan hukum islam melalui mekanisme dekonstruksi syari’at islam dan
menyesuaikannya dengan prinsip hak-hak asasi manusia. Bahayanya, pembaruan
yang mereka usung sudah memasuki ranah baku dalam agama, seperti kewajiban
shalat lima waktu, puasa ramadhan, haji, dan sebagainya. Terkait dengan ‘urf ini,
para pemikir kontemporer ini biasanya mengambil semua kebiasaan yang berlaku
di masyarakat untuk dijadikan sebagai hukum, meski kebiasaan tersebut
bertentangan dengan nas agama. Melalui kajian kitab-kitab fikih klasik dan
kontemporer, artikel ini menerangkan bahwa ajaran islam bersifat apresiatif dan
kooperatif dalam menyikapi fenomena kebudayaan yang berkembang dalam
masyarakat. Islam tetap mengadopsi dan mengambil tradisi-tradisi yang ada di
masyarakat sebagai salah satu penunjang hukum islam, selagi tidak bertentangan
dengan ajaran islam itu sendiri.
Kata Kunci : ‘Urf, Adat, Ushul Fiqih, Abdul Wahab Khalaf
A. PENDAHULUAN
dhabita lahu fihi wala fil lughoti yurjau fihi ila al-‘urf, dan sebagainya”. Fiqh
yang ada, termasuk fiqh yang berkembang di indonesia, tidak bisa lepas dari
keberadaan adat istiadat (‘urf) indonesia dari sambang sampai merauke.
B. PENGERTIAN ‘URF
1
Prof. Dr. H. Effendi Satria, M.A, Ushul Fiqih, 2005. Hal. 153
3
Menurut Abdul Wahab Khalaf, ‘Urf adalah apa saja yang dikenal dan
dibiasakan oleh masyaraka, serta dijalankan secara kontinu, baik berupa perbuatan
dan perkataan ataupun meninggalkan suatu perkara yang dilarang2.
Istilah ‘urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-
‘adah (adat istiadat). Contoh ‘urf berupa perbuatan atau kebiasaan di satu
masyarakat dalam melakukan jual beli kebutuhan ringan sehari-hari seperti garam,
tomat, dan gula, dengan hanya menerima barang dan menyerahkan harga tanpa
mengucapkan ijab kabul (qabul). Contoh ‘urf yang berupa perkataan, seperti
kebiasaan di satu masyarakat untuk tidak menggunakan kata al-lahm (daging)
kepada jenis ikan. Kebiasaan-kebiasaan seperti itu, menjadi bahan pertimbangan
waktu akan menetapkan hukum dalam masalah-masalah yang tidak ada ketegasan
hukumnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
C. MACAM-MACAM ‘URF
2
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, hal. 89
3
Opcit, hal. 154
4
Para ulama sepakat menolak ‘urf fasid (adat kebiasaan salah) untuk
dijadikan landasan hukum. Pembicaraan selanjutnya adalah tentang ‘urf shahih.
Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqih di
Universitas al-Azhar Mesir dalam karyanya, al-ijtihad fi ma la nassa fih, bahwa
madzhab yang dikenal banyak menggunakan ‘Urf sebagai landasan hukum adalah
kalangan hanafiyah dan kalangan malikiyah, dan selanjutnya oleh kalangan
Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya, pada prinsipnya madzhab-
madzhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan
pembentukan hukum, meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan
diantara madzhab-madzhab tersebut, sehingga, ‘Urf dimasukkan ke dalam
kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan di kalangan ulama.
4
Opcit, hal. 154
5
Opcit, hal. 155
5
199. jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf,
serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
2. Pada dasarnya, syari’at islam dari masa awal banyak menampung dan
mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu
tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan
Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan
masyrakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada
pula yang dihapuskan. Misal adat kebiasaan ynag diakui, kerja sama
dagang dengan cara berbagi untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini
sudah berkembang di kalangan bangsa arab sebelum islam, dan kemudian
diakui oleh islam sehingga menjadi hukum islam. berdasarkan kenyataan
ini, para ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah
dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi beberapa
persyaratan.
6
Opcit, hal. 156
6
1. “Urf itu harus termasuk ‘Urf shahih dalam arti tidak bertentangan dengan
ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Misalnya, kebiasaan di satu
negeri bahwa sah mengembalikan harta amanah kepada istri atau anak dari
pihak pemberi atau pemilih amanah. Kebiasaan seperti ini dapat dijadikan
pegangan jika terjadi tuntunan dari pihak pemilik harta itu sendiri7.
2. ‘Urf itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan
mayoritas penduduk negeri itu.
3. ‘Urf harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan
dilandaskan kepada ‘urf itu. Misalnya, seseorang yang mewaqafkan hasil
kebunnya kepada ulama, sedangkan yang disebut ulama waktu itu
hanyalah orang yang mempunyai pengetahuan agama tanpa ada
persyaratan punya ijazah, maka kata ulama dalam pernyataan wakaf itu
harus diartikan dengan pengertiannya yang sudah dikenal itu, bukan
dengan pengertian ulama yang menjadi populer kemudian setelah ikrar
wakaf terjadi misalnya harus punya ijazah8.
4. Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan
kehendak ‘Urf tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang berakad telah
sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka
yang dipegang adalah ketegasan itu, bukan ‘Urf. Misalnya, adat yang
berlaku di satu masyarakat, istri belum boleh dibawa oleh suaminya
pindah dari rumah orang tuanya sebelum melunasi maharnya, namun
ketika berakad kedua belah pihak dan telah sepakat bahwa sang istri sudah
boleh dibawa oleh pihak suaminya pindah tanpa ada persyaratan lebih dulu
melunasi maharnya. Dalam masalah ini, yang dianggap berlaku adalah
kesepakatan itu, bukan adat yang berlaku9.
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.(QS.
At-talaq :2)
10
Opcit, hal. 158
8
....Dan kewajiban ayah memberi makan dan minum dan pakaian kepada para
dengan cara yang ma’ruf ....... (QS. Asl-Baqarah : 233)
Ayat tersebut tidak menjelaskan berapa kadar nafkah yang harus diberikan
seorang ayah kepada para ibu dari anak-anak. Untuk memastikannya, perlu merujuk
kepada adat kebiasaan yang berlaku dalam satu masyarakat dimana ia berada. Dalam hal
ini adat istiadat membantu seorang mufti untuk menjelaskan pengertian ayat-ayat yang
senada dengan itu11.
G. PENUTUP
Adat adalah realitas historis dan ekspresi sosial yang selalu menyertai keseharian
masyarakat. Sebab, ia adalah cara hidup yang dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini
sebagai norma kehidupan. Dan setiap orang melakukan sesuatu karena ada nilai
didalamnya. Hal ini terbukti, jika suatu masyarakat meninggalkan satu adat tradisi yang
sudah biasa dijalani, maka mereka akan dianggap telah mengalami pergesaran nilai.
11
Opcit, hal. 159
9
Sebuah tradisi atau adat istiadat, baik bersifat individual ataupun sosial dapat
dijadikan piranti penunjang hukum-hukum syari’at. Namun, sebuah tradisi bukanlah dalil
otonom yang akan melahirkan hukum-hukm baru, melainkan sekadar instrumen untuk
melegitimasi hukum syari’at. Dan perlu diingat, yang bisa dijadikan piranti hukum
hanyalah adat yang tidak bertentangan dengan nas-nas syari’at.
DAFTAR PUSTAKA
Wahab, Abdul Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : Gema Risalah Press, 1996
Prof. Dr. H. Effendi Satria M. Zein, 2005. Ushul Fiqih. Jakarta : Kencana, Cetakan ke 1