Anda di halaman 1dari 10

AL-‘URF DALAM PRESPEKTIF ILMU USHUL FIQIH

Studi Perbandingan Antara Abdul Wahab Khalaf dan Abdul Karin Zaidan

Karya Tulis Ilmiah

Disusun dan dipresentasikan didepan diskusi ilmiah kelas


Pada Mata Kuliah: Ushul Fiqih
Dosen Pembimbing: Muhammad Rafiq Kurniawan, M.Pd

Oleh :

Khalisa Awliya Berutu (2018.92.01.0390)


Ema Salma (2018.92.01.0373)
Astika Rochmatul Laili (2018.92.01.0366)
Nafila Rifbiani (2018.92.01.0401)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-ISHLAH
DADAPAN GRUJUGAN BONDOWOSO
April 2019
1

AL-‘URF DALAM PRESPEKTIF ILMU USHUL FIQIH


Studi Perbandingan Antara Abdul Wahab Khalaf dan Abdul Karin Zaidan

Khalisa Awliya Berutu, Ema Salma dkk


Mahasiswa Prodi Pendidikan Islam STIT Al-Ishlah Bondowoso

ABSTRAK

Artikel ini membahas tentang Al-‘urf yang menjadi salah satu dasar dalam
pengambilan hukum dalam agama islam. Al-‘urf ini mengambil hukum dari
sesuatu yang tidak asing lagi didalam masyarakat, yang telah menjadi kebiasaan
dan menyatu dengan kehidupan mereka, baik berupa perbuatan atau perkataan.
Tentunya tanpa melanggar ajaran dasar dalam islam yang tertuang di dalam al-
Qur’an dan al-Sunnah. Dengan konsep al-‘urf ini syari’at islam dapat akrab,
membumi, dan diterima di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang plural,
tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya. Tela’ah atas konsep ini
sekaligus jawaban bagi para pemikir Muslim kontemporer yang kerap mendorong
pembaruan hukum islam melalui mekanisme dekonstruksi syari’at islam dan
menyesuaikannya dengan prinsip hak-hak asasi manusia. Bahayanya, pembaruan
yang mereka usung sudah memasuki ranah baku dalam agama, seperti kewajiban
shalat lima waktu, puasa ramadhan, haji, dan sebagainya. Terkait dengan ‘urf ini,
para pemikir kontemporer ini biasanya mengambil semua kebiasaan yang berlaku
di masyarakat untuk dijadikan sebagai hukum, meski kebiasaan tersebut
bertentangan dengan nas agama. Melalui kajian kitab-kitab fikih klasik dan
kontemporer, artikel ini menerangkan bahwa ajaran islam bersifat apresiatif dan
kooperatif dalam menyikapi fenomena kebudayaan yang berkembang dalam
masyarakat. Islam tetap mengadopsi dan mengambil tradisi-tradisi yang ada di
masyarakat sebagai salah satu penunjang hukum islam, selagi tidak bertentangan
dengan ajaran islam itu sendiri.
Kata Kunci : ‘Urf, Adat, Ushul Fiqih, Abdul Wahab Khalaf

A. PENDAHULUAN

Dalam bahasa Ushul Fiqih, pribumisasi islam adalah akomodasi terhadap


adat istiadat atau yang juga dikenal dengan ‘Urf. ‘Urf adalah adat kebiasaan yang
berlaku di sebuah daerah dan dijadikan salah satu acuan dalam madzhab fiqh
sehingga diktum-diktum fiqh didasarkan pada realitas adat istiadat yang ada. Tak
heran jika muncul kaidah : “ al-‘adatu muhakkamah, atsabitu bi al-‘urf ka ats-
tsabiti bin nassahi ma lam yukallif syar’an, kullu ma warada bis shar’u wala
2

dhabita lahu fihi wala fil lughoti yurjau fihi ila al-‘urf, dan sebagainya”. Fiqh
yang ada, termasuk fiqh yang berkembang di indonesia, tidak bisa lepas dari
keberadaan adat istiadat (‘urf) indonesia dari sambang sampai merauke.

Di kawasan indonesia dimana fiqh berkembang menjadi karakter islam,


corak fiqh di kawasan ini terlihat memperhatikan apa yang menjadi realitas di
masyarakat. Karena, fiqh bagaimanapun tidak berlepas dari ruang dan waktu yang
melingkupinya. Termasuk pergumpulan fiqh dengan tradisi (‘Urf) yang berakar-
akar dalam masyarakat muslim indonesia mulai dulu hingga sekarang. Para
fuqaha indonesia dimasa dulu sangat mengakomodasi local wisdom pada banyak
tempat di kawasan Indonesia. Sehingga corak fiqh di Indonesia sangat terasa
kaitannya dengan tradisi-tradisi seperti tahlilan, mauludan, dan sebagainya.

Berangkat dari hal itu, penulis memandang pentingnya pembahasan


tentang al-‘urf, pengaruh dan kedudukannya dalam pengambilan (istinbat) hukum
islam, serta beberapa hal lain yang terkait dengannya. Dari sini akan terjawab
bahwa apa yang ditawarkan para pemikir Islam kontemporer tentang pembaruan
hukum Islam adalah bermasalah.

B. PENGERTIAN ‘URF

Kata ‘Urf secara etimologi berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu )‫يعرف‬-‫(عرف‬


“sesuatu yang dikenal dengan baik, dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”.
Sedangkan secara terminologi, seperti dikemukakan Abdul-karim Zaidan1, istilah
‘urf berarti : ‫ما ألفه المجتمع واعتاده وسار عليه فى حياته من قول أو فعل‬
“Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah
menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan
atau perkataan.”

1
Prof. Dr. H. Effendi Satria, M.A, Ushul Fiqih, 2005. Hal. 153
3

Menurut Abdul Wahab Khalaf, ‘Urf adalah apa saja yang dikenal dan
dibiasakan oleh masyaraka, serta dijalankan secara kontinu, baik berupa perbuatan
dan perkataan ataupun meninggalkan suatu perkara yang dilarang2.

Istilah ‘urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-
‘adah (adat istiadat). Contoh ‘urf berupa perbuatan atau kebiasaan di satu
masyarakat dalam melakukan jual beli kebutuhan ringan sehari-hari seperti garam,
tomat, dan gula, dengan hanya menerima barang dan menyerahkan harga tanpa
mengucapkan ijab kabul (qabul). Contoh ‘urf yang berupa perkataan, seperti
kebiasaan di satu masyarakat untuk tidak menggunakan kata al-lahm (daging)
kepada jenis ikan. Kebiasaan-kebiasaan seperti itu, menjadi bahan pertimbangan
waktu akan menetapkan hukum dalam masalah-masalah yang tidak ada ketegasan
hukumnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

C. MACAM-MACAM ‘URF

‘Urf baik berupa perbuatan maupun berupa perkataan, seperti


dikemukakan Abdul karim Zaidan3, terbagi kepada dua macam :

1. Al-‘Urf al - Am (adat kebiasaan umum), yaitu adat kebiasaan mayoritas


dari berbagai negeri di satu masa. Contohnya, adat kebiasaan yang berlaku
di beberapa negeri dalam memakai ungkapan : “engkau telah haram aku
gauli” kepada istrinya sebagai ungkapan untuk menjatuhkan talak istrinya
itu, dan kebiasaan menyewa kamar mandi umum dengan sewa tertentu
tanpa menentukan secara pasti berapa lamanya mandi dan berapa kadar air
yang digunakan.
2. Al-‘Urf al – Khas (adat kebiasaan khusus), yaitu adat istiadat yang berlaku
pada masyarakat atau negeri tertentu. Misalnya, kebiasaan masyarakat Irak
dalam menggunakan kata al-dabbah hanya kepada kuda, dan menganggap
catatan jual beli yang berada pada pihak penjual sebagai bukti yang sah
dalam masalah utang piutang.

2
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, hal. 89
3
Opcit, hal. 154
4

Di samping pembagian diatas, ‘Urf dibagi pula kepada :


1. Adat kebiasaan yang benar, yaitu suatu hal baik yang menjadi kebiasaan
suatu masyarakat, namun tidak sampai menghalalkan yang haram dan
tidak pula sebaliknya. Misalnya, adat kebiasaan suatu masyarakat di mana
istri belum boleh di bawa pindah dari rumah orang tuanya sebelum
menerima maharnya secara penuh, dan apa yang diberikan pihak lelaki
kepada calon hadiah, bukan dianggap mahar4.
2. Adat kebiasaan yang fasid (tidak benar), yaitu sesuatu yang menjadi adat
kebiasaan yang sampai menghalalkan yang diharamkan Allah. Misalnya,
menyajikan minuman memabukkan pada upacara-upacara resmi, apalagi
upacara keagamaan, perjanjian-perjanjian yang bersifat riba’ serta menarik
hasil pajak perjudian5.

D. KEABSAHAN ‘URF MENJADI LANDASAN HUKUM

Para ulama sepakat menolak ‘urf fasid (adat kebiasaan salah) untuk
dijadikan landasan hukum. Pembicaraan selanjutnya adalah tentang ‘urf shahih.
Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqih di
Universitas al-Azhar Mesir dalam karyanya, al-ijtihad fi ma la nassa fih, bahwa
madzhab yang dikenal banyak menggunakan ‘Urf sebagai landasan hukum adalah
kalangan hanafiyah dan kalangan malikiyah, dan selanjutnya oleh kalangan
Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya, pada prinsipnya madzhab-
madzhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan
pembentukan hukum, meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan
diantara madzhab-madzhab tersebut, sehingga, ‘Urf dimasukkan ke dalam
kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan di kalangan ulama.

‘Urf mereka terima sebagai landasan hukum dengan beberapa alasan,


anatara lain :

4
Opcit, hal. 154
5
Opcit, hal. 155
5

1. Ayat 199 Surat Al-A’raaf


  
 
  

199. jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf,
serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

Kata al-‘urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh


mengerjakannya, oleh para ulama Ushul Fiqih dipahami sebagai sesuatu
yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu, maka
ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang
telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu
masyarakat6.

2. Pada dasarnya, syari’at islam dari masa awal banyak menampung dan
mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu
tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan
Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan
masyrakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada
pula yang dihapuskan. Misal adat kebiasaan ynag diakui, kerja sama
dagang dengan cara berbagi untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini
sudah berkembang di kalangan bangsa arab sebelum islam, dan kemudian
diakui oleh islam sehingga menjadi hukum islam. berdasarkan kenyataan
ini, para ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah
dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi beberapa
persyaratan.

E. SYARAT-SYARAT ‘URF UNTUK DAPAT DIJADIAKAN LANDASAN


HUKUM

6
Opcit, hal. 156
6

Abdul Karim Zaidan menyebutkan beberapa persyaratan bagi ‘urf yang


bisa dijadikan landasan hukum :

1. “Urf itu harus termasuk ‘Urf shahih dalam arti tidak bertentangan dengan
ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Misalnya, kebiasaan di satu
negeri bahwa sah mengembalikan harta amanah kepada istri atau anak dari
pihak pemberi atau pemilih amanah. Kebiasaan seperti ini dapat dijadikan
pegangan jika terjadi tuntunan dari pihak pemilik harta itu sendiri7.
2. ‘Urf itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan
mayoritas penduduk negeri itu.
3. ‘Urf harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan
dilandaskan kepada ‘urf itu. Misalnya, seseorang yang mewaqafkan hasil
kebunnya kepada ulama, sedangkan yang disebut ulama waktu itu
hanyalah orang yang mempunyai pengetahuan agama tanpa ada
persyaratan punya ijazah, maka kata ulama dalam pernyataan wakaf itu
harus diartikan dengan pengertiannya yang sudah dikenal itu, bukan
dengan pengertian ulama yang menjadi populer kemudian setelah ikrar
wakaf terjadi misalnya harus punya ijazah8.
4. Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan
kehendak ‘Urf tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang berakad telah
sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka
yang dipegang adalah ketegasan itu, bukan ‘Urf. Misalnya, adat yang
berlaku di satu masyarakat, istri belum boleh dibawa oleh suaminya
pindah dari rumah orang tuanya sebelum melunasi maharnya, namun
ketika berakad kedua belah pihak dan telah sepakat bahwa sang istri sudah
boleh dibawa oleh pihak suaminya pindah tanpa ada persyaratan lebih dulu
melunasi maharnya. Dalam masalah ini, yang dianggap berlaku adalah
kesepakatan itu, bukan adat yang berlaku9.

F. KAIDAH YANG BERLAKU BAGI ‘URF


7
Opcit, hal. 156
8
Opcit, hal. 157
9
Opcit, hal. 156-157
7

Diterimanya ‘urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang


lebih luas dinamisasi hukum islam. Sebab, disamping banyak masalah-masalah
yang tidak tertampung oleh metode-metode lainnya seperti qiyas, istihsan, dan
maslahah mursalah yang dapat ditampung oleh adat istiadat ini, juga ada kaidah
yang menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya dibentuk oleh mujtahid
berdasarkan ‘urf, akan berubah bilamana ‘urf itu berubah. Inilah yang dimaksud
oleh para ulama, antara lain Ibnu Al-Qayyim Al-Jauzi (wafat 751 H) bahwa tidak
diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktu dan tempat
" ‫ "تغيير األحكام بتغيير األزمان واألمكنة‬maksud ungkapan ini adalah bahwa hukum-
hukum fikih yang tadinya dibentuk berdasarkan adat istiadat yang baik, hukum itu
akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah10. Misalnya, bersifat adil adalah
syarat diterimanya kesaksian seseorang berdasarkan firman Allah :

  


 
........   

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.(QS.
At-talaq :2)

Ayat tersebut berbicara tentang kesaksian bagi seseorang yang hendak


merujuk istrinya yang telah ditalaknya kurang dari tiga. Syarat kesaksian yang
diterima seperti dalam ayat itu adalah bersifat adil, yaitu suatu sifat yang dimilki
oleh seseorang yang mampu membawa kepada menaati agama Allah dan menjaga
harga diri (muru’ah). Yang disebut terakhir ini, yaitu sifat-sifat yang merusak
harga diri, bisa berbeda antara satu masyarakat dengan yang lain dan antara satu
masa dengan kepala terbuka, seperti dikemukakan Abu Ishaq Al-Syatibi merusak
muru’ah (harga diri) menurut pandangan orang-orang didaerah tertentu, tidak
merusak muru’ah menurut pandangan orang-orang di daerah tertentu.

10
Opcit, hal. 158
8

Hukum islam hendaklah mempertimbangkan perbedaan pandangan seperti


tersebut. Demikian juga dalam memahami ayat-ayat yang bersifat global, perlu
mempertimbangkan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di suatu tempat. Misalnya,
ayat 233 Surat Al-Baqarah menjelaskan :

   ....


 
.......  

....Dan kewajiban ayah memberi makan dan minum dan pakaian kepada para
dengan cara yang ma’ruf ....... (QS. Asl-Baqarah : 233)

Ayat tersebut tidak menjelaskan berapa kadar nafkah yang harus diberikan
seorang ayah kepada para ibu dari anak-anak. Untuk memastikannya, perlu merujuk
kepada adat kebiasaan yang berlaku dalam satu masyarakat dimana ia berada. Dalam hal
ini adat istiadat membantu seorang mufti untuk menjelaskan pengertian ayat-ayat yang
senada dengan itu11.

G. PENUTUP

Adat adalah realitas historis dan ekspresi sosial yang selalu menyertai keseharian
masyarakat. Sebab, ia adalah cara hidup yang dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini
sebagai norma kehidupan. Dan setiap orang melakukan sesuatu karena ada nilai
didalamnya. Hal ini terbukti, jika suatu masyarakat meninggalkan satu adat tradisi yang
sudah biasa dijalani, maka mereka akan dianggap telah mengalami pergesaran nilai.

Islam dalam banyak ajarannya bersikap apresiatif dan kooperatif dalam


menyikapi fenomena kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat. Islam tidak
membiarkan tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat sebagai buih yang
berserakan. Namun, tetap mengadopsi dan mengambil tradisi-tradisi itu sebagai salah satu
penunjang hukum islam, selagi tidak bertentangan dengan ajaran islam. terbukti dari
banyaknya firman Allah SWT, hadis Rasulullah SAW, atau atsar sahabat dan tabi’in,
serta ijtihad fukaha yang mengacu pada tradisi dan kondisi masyarakat.

11
Opcit, hal. 159
9

Sebuah tradisi atau adat istiadat, baik bersifat individual ataupun sosial dapat
dijadikan piranti penunjang hukum-hukum syari’at. Namun, sebuah tradisi bukanlah dalil
otonom yang akan melahirkan hukum-hukm baru, melainkan sekadar instrumen untuk
melegitimasi hukum syari’at. Dan perlu diingat, yang bisa dijadikan piranti hukum
hanyalah adat yang tidak bertentangan dengan nas-nas syari’at.

DAFTAR PUSTAKA

Wahab, Abdul Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : Gema Risalah Press, 1996

Prof. Dr. H. Effendi Satria M. Zein, 2005. Ushul Fiqih. Jakarta : Kencana, Cetakan ke 1

Anda mungkin juga menyukai