KAIDAH-KAIDAH FIKIH
Tentang
DOSEN PEMBIMBING :
ASNAWI, S.HI, MA
FAKULTAS SYARI'AH
1443 H / 2021 M
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadiran Allah SWT, karena telah memberikan kesempatan pada penulis untuk
menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Perbedaan Antara Kaidah-kaidah Fiqhiyyah dengan Kaidah-kaidah
Ushuliyyah tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Dosen pada mata kuliah Kaidah-kaidah Fikih di
Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah
ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang Perbedaan Antara Kaidah-kaidah Fiqhiyyah
dengan Kaidah-kaidah Ushuliyyah.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dosen Mata Kuliah Kaidah-
kaidah Fikih, Bapak Asnawi, S.HI, MA atas tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan
terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
3. Apa Saja Contoh Kaidah Kaidah Ushuliyyah serta Dasar Dasar Pengambilannya?
4. Apa Perbedaan Antara Kaidah Kaidah Fiqhiyyah Dengan Kaidah Kaidah Ushuliyyah?
C. Tujuan
4. Mengetahui Perbedaan Antara Kaidah Kaidah Fiqhiyyah Dengan Kaidah Kaidah Ushuliyyah.
PEMBAHASAN
Menurut Bani Ahmad Salbani kaidah fiqhiyah adalah pedoman umum dan universal bagi
pelaksanaan hukum islam yang mencakup seluruh bagiannya. Kaidah Fiqhiyah disebut juga
kaidah syari’yah yang berfungsi untuk memudahkan mujtahid mengisntinbatkan hukum yang
bersesuaian dengan tujuan syara’ dan kemaslahatan manusia. Dengan berpegang kepada kaidah-
kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam megisthimbatkan hukum bagi suatu
masalah, yakni menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Dilihat dari segi kebahasaan, kata Ushul Al-Fiqh terdiri dari dua kata yang punya makna
tersendiri, yaitu Ushul dan Al-Fiqh. Ushul adalah jamak dari kata al-ashlu bermakna dasar-dasar
yang menjadi landasan bagi tumbuhnya sesuatu yang lain. Sedangkan fiqh adalah mengetahui
ketentuan-ketentuan hukum syara’ untuk berbagai perbuatan mukallaf, melalui kajian-kajian
ijtihad dari dalil-dalilnya yang terinci. Dengan demikian ushul al-fiqh adalah sekumpulan dalil
yang menjadi dasar tumbuh dan terbinanya fiqh, serta menghubungkannya pada dalil-dalil nash
dan ijma’ sahabat.
Dilihat dari segi kebahasaan, kata Ushul Al-Fiqh terdiri dari dua kata yang punya makna
tersendiri, yaitu Ushul dan Al-Fiqh. Ushul adalah jamak dari kata al-ashlu bermakna dasar-dasar
yang menjadi landasan bagi tumbuhnya sesuatu yang lain. Sedangkan fiqh adalah mengetahui
ketentuan-ketentuan hukum syara’ untuk berbagai perbuatan mukallaf, melalui kajian-kajian
ijtihad dari dalil-dalilnya yang terinci.
Dengan demikian ushul al-fiqh adalah sekumpulan dalil yang menjadi dasar tumbuh dan
terbinanya fiqh, serta menghubungkannya pada dalil-dalil nash dan ijma’ sahabat.
Seseorang akan mampu berbicara tetang hukum jika dia telah menguasai kaidah-kaidah
usuliyah walaupun pengetahuan tentang dalil nash kurang dikuasai. Misalnya seseorang
dihadapka nikah sebagai jalan untuk melestarikan keturunan ( li hifz nasl ) namu pilihanya
nonmuslim. Kasus seperti ini, seseorang tak perlu lama-lama mencari nash dalam Al-Qur’an atau
assunnah, tetapi cukup mempertimbangkan hierarki kebutuhan manusia yang dharuriah (primer),
yaitu memelihara agama lebih penting dari pada memelihara keturunan, bila keduanya
bertentangan maka maka memelihara agama harus di dahulukan, karena ia menduduki hierarki
yang tertinggi, jadi kasus diatas tidak diperkenankan, kecuali pernikahan antar agama itu
membawa maslahah yang pasti, misalnya seseorang menikah dengan seseorang nonmuslimah,
karena pada lazimnya seseorang istri mengikuti suamiya.
االمـور بـمـقـاصـده
Contoh: kalau kita sholat kita pasti bertemu dengan yang namanya niat, kalau kita tidak
bertemu dengan yang namanya niat berarti kita tidak pernah sholat.begitu juga dengan yang
lainnya, seperti puasa, zakat, haji dll. Kita pasti bertemu dengan yang namnya niat.
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi, yang artinya:
”Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan
barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat.”(QS.
Ali-Imran: 145)
الضرر يـزال
Contoh: kalau misalkan ada pohon besar dengan buah yang banyak yang mana buah
tersebut sering jatuh dan sering mengenai kepala orang yang lewat dibawahnya hingga ada yang
harus dibawa ke rumah sakit, maka dengan beracuan pada kaidah ini pohon tersebut harus di
tebang.
Dasar kaidah ini beracuan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 56, yang artinya: “Dan
janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan
berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
الـعـادة محكـمة
Kaidah tersebut didasarkan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 199, yang artinya:
“jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari
orang-orang yang bodoh”
Ada perbedaan antara al-adah dengan ‘urf. Adat (al-adah) adalah perbuatan yang terus
menerus dilakukan oleh manusia yang kebenarannya logis, tapi tidak semuanya menjadi hukum.
Sedangkan ‘urf, jika jika mengacu pada “al-ma’ruf”, berarti kebiasaan yang normatif dan
semuanya dapat dijadikan hokum, karena tidak ada yang bertentangan dengan al-quran atau
hadits.
Contoh: kalau misalkan kita mau melakukan sholat, tapi kita masih ragu apakah kita masih
punya wudhu’ atau tidak, maka kita harus berwudhu’ kembali, akan tetapi kalau kita yakin kita
masih punya wudhu’, kita langsung sholat saja itu sah, meski pada kenyataannya wudhu’ kita
telah batal.
Contoh: apabila kita melakukan perjalanan yang mana perjalana tersebut sudah sampai pada
batas diperbolehkannya mengqasar sholat, maka kita boleh mengqasar sholat tersebut, karena
apa bila kita tidak mengqsar shoalat kemungkinan besar kita tidak akan punya waktu yang cukup
untuk shalat pada waktunya. Karena seseorang yang melakukan perjalanan pastilah akan dikejar
waktu untuk agar cepat sampai pada tujuan, dan itu termasuk pada pekerjaan yang sulit di
lakukan apabila harus melakukan sholat pada waktu sholat tersebut.
Qaidah ini berdasarkan pada ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 185, yang artinya: “Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”. Dan Surat An-
Nisa’ ayat 28, yang artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia
dijadikan bersifat lemah.”
1. Kaidah ushuliyah pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para
mujta hid dalam istinbath (menyimpulkan hukum syar’iyah amaliah. ) sebuah Kaidah ini
menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Sedangkan,
kaidah fiqhiyyah adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah
aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami
bahwa kaidah fiqhiyyah adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istih dhar
(menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya kaidah ushuliyah)
2. Kaidah ushuliyah dalam teksnya tidak mengandung rahasiarahasia syar’i tidak pula
mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqhiyyah dari teksnya terkandung kedu a
hal tersebut, maka tepat bila dikatakan bahwa kaidah fiqhiyah menjadi interpretasi dari
dalil dng konotasi umum.
3. Kaidah ushuliyah merupakan kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup
seluruh furu’ (penge di bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah cualian) hanya ada sedikit sekali
atau bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqhiyyah yang banyak terdapat
istitsna’iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
4. Perbedaan antara kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyyah pun b isa dilihat dari
maudhu’nya (objek). Jika Kaidah ushuliyah maudhu’nya dalildalil sam’iyyah. Sedangkan
kaidah fiqhiyyah maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti
sholat, zakat dan lain
5. Kaidahkaidahkaidah ushuliyah lebih lain. kuat dari kaidah fiqhiyyah. Seluruh ulama
sepakat bahwa kaidahkaidah ushuliyah adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil
yang qot’i. Adapun kaidahkaidah fiqhiyyah ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan
bahwa kaidahbukan h kaidah fiqh ujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah bagi
mujtahid ‘alim dan bukan hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain mengatakan bahwa
kaidah kaidah tersebut hujjah secara mutlak
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya
boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabah atau musyarakah),
perwakilan (wakalah), dan lain-lain, kecuali yang tegas diharamkan seperti mengakibatkan
kemudaratan seperti tipuan (tadlis), ketidakpastian (taghrir), perjudian dan riba.
Dalam transaksi ekonomi di lembaga keuangan syariah, tidak lepas dari akad Musya̅rakah,
Mudha̅rabah, Mura̅bahah , musawamah, ijarah, wakalah, Musahamah, Wadi’ah, dan
banyak lagi akad dan konsep ekonomi di lembaga keuangan syariah yang dimana konsep
tersebut ditetapkan dan disepakati atas kaidah-kaidah fiqih.
Adapun kaidah kaidah fiqih yang diterapkan dalam transaksi ekonomi di lembaga keuangan
syariah sebagai berikut:
ضى ْال ُمتَ َعا قِ َد ْي ِن َونَتِ ْي َجتُهُ َماإِ ْلتِ َز َماهُ بِالتَّ َعاقُد
َ اَاْل َصْ ُل فِى ْال َع ْق ِد ِر
“Hukum pokok pada akad adalah kerelaan kedua belah pihak yang mengadakan akad dan
hasilnya apa yang salingditentukan dalam akad tersebut.
Maksud kaidah diatas adalah bahwa setiap transaksi harus didasarkan atas kebebasan dan
kerelaan, tidak ada unsur paksaan atau kekecewaan salah satu pihak, bila itu terjadi maka
transaksinya tidak sah. Contohnya pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual
karena barangnya terdapat cacat yang disembunyikan.
"Tidak dibenarkan seseorang mendistribusikan milik orang lain tanpa adanya pemberian otoritas
dari pemiliknya."
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) adalah suatu unit jasa pelayanan keuangan yang
melayani lalulintas transaksi keuangan. Transaksi baik tunai, secara angsuran, maupun Letter of
Credit (LC), serta transaksi elektronik akan mendapat pelayanan secara legal bila dilakukan oleh
orang atau badan hukum yang memiliki kecakapan hukum untuk bertindak hukum atau
bertransaksi secara sah dan akan menolak pelayanan bertransaksi bagi pihak yang tidak memiliki
hak atau tidak cakap bertindak hukum atau bertransaksi. Semisal, lembaga keuangan syariah
tersebut tidak akan men-tasharruf-kan (menggunakan) kepemilikan orang lain tanpa seizin
pemiliknya.
Perintah menasharrufkan (memanfaatkan) properti orang lain (tanpa izin pemiliknya) adalah
batal.
Transaksi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat dikatakan sah dan legal apabila
dilaksanakan oleh pihak-pihak yang secara hukum memiliki kecakapan untuk bertransaksi dan
memiliki hak penuh obyek transaksi perbankan tersebut. Apabila ada suatu instruksi transaksi
kepada pihak tertentu atau dengan obyek transaksi tertentu yang bukan miliknya atau bukan di
bawah kekuasaannya, maka transaksi perbankan tersebut batal demi hukum.
Resiko sejalan dengan keuntungan (yakni orang yang memperoleh manfaat atas sesuatu, pada
saat yang sama harus mau berkorban bila terjadi resiko dari usaha yang telah memberikan
keutungan kepada dirinya)
Mengkonsumsi materi yang berasal dari pendapatan yang dilarang oleh syâri’at adalah haram
hukumnya.
Contohnya membelanjakan harta dari hasil korupsi, kolusi, merampok, menipu, upah
perbuatan zina, keuntungan berdagang barang haram dan lain-lain adalah haram untuk
memakannya.
اأْل َ ْم َوا ُل تُضْ َمنُ بِ ْال َخطَأ ِ َك َما تُضْ َمنُ بِ ْال َع ْم ِد
Aset kekayaan menjadi tanggungjawab seseorang untuk menggantinya manakala karena faktor
kesalahan sama dengan tanggungjawabnya bila merusaknya secara sengaja.
Contohnya, bila seorang supir mobil rental yang merental mobil, dalam perjalanan ia
menabrak atau ditabrak oleh mobil lainnya, maka ia menanggung biaya perbaikan atau
mengganti mobil yang direntalnya.
Bila terjadi sengketa perdata ekonomi. Maka pihak yang memiliki bukti otentik berupa
kwitansi, dokumen yang sah dari instansi terkait, faktur pembayaran atau semisal cara lisan,
status alat buktinya lebih kuat dibandingkan dengan alat bukti pengakuan yang hanya dapat
menguatkan gugatannya secara pribadi.
Sesuatu yang diperdebatkan tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi juga tidak dapat menafikan
keputusan hakim.
Menjadikan landasan hukum dari sesuatu yang masih dalam proses debatable adalah tidak
dibenarkan kecuali sudah menjadi keputusan hukum yang memiliki kekuatan yang mengikat atau
in crach.
Suatu perbuatan itu dimintakan pertanggungjawaban kepada pelakunya dan bukan kepada yang
memerintahkan perbuatan tersebut, kecuali pada suatu kasus yang terpaksa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut Bani Ahmad Salbani kaidah fiqhiyah adalah pedoman umum dan universal bagi
pelaksanaan hukum islam yang mencakup seluruh bagiannya. Kaidah Fiqhiyah disebut juga
kaidah syari’yah yang berfungsi untuk memudahkan mujtahid mengisntinbatkan hukum yang
bersesuaian dengan tujuan syara’ dan kemaslahatan manusia. Kaidah-kaidah ushuliyah
merupakan gambaran umum yang pada lazimnya mencakup metode istimbathiayah dari sudut
pemaknaan, baik dari tinjauan lughawi ( kebahasaan ) maupun tarkib ( susunan ) dan uslub-
uslubnya ( gaya bahasa ).
Kaidah ushuliyah pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah
para mujta hid dalam istinbath (menyimpulkan hukum syar’iyah amaliah. ) sebuah Kaidah ini
menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Sedangkan,
kaidah fiqhiyyah adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah
aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami
bahwa kaidah fiqhiyyah adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istih dhar
(menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya kaidah ushuliyah).
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini masih belum sempurna. Diharapkan kritik dan sarannya dari
bapak dan pembaca agar kedepannya penulis lebih baik dari ini dalam penyusunan makalah.
DAFTAR PUSTAKA
Muchlis Usman. Kaidah-Kaidah ushuliyahiyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam istinbath
hukum. PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta.
Ucok. 2018. Makalah Qawaid Fiqhiyyah dan Qawaid Ushuliyyah Serta Penerapannya dalam
Muamalah. https://mustakimpulungan.blogspot.com/2018/07/makalah-qawaid-fiqhiyah-dan-
qawaid.html?m=1. Diakses pada 9 September 2021 pukul 10.42.