Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MANFAAT MEMPELAJARI USHUL FIQH

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mengikuti

Mata Kuliah Ushul Fiqh 1

OLEH

KELOMPOK 3

LOKAL D

NANDA IRAWAN (12120514478)

M. ALFU ISKANDAR (12120514732)

ZULIA SAHARA PUTRI (12120521315)

DOSEN PEMBIMBING

AHMAD FAUZI, S.H.I., M.A.

JURUSAN EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2023
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh,

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Manfaat Mempelajari
Ushul Fiqh ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas dari Bapak Ahmad Fauzi, S.H.I., M.A pada bidang studi Ushul Fiqh. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang memperdalam Ahlussunnah Wal
Jama‟ah bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ahmad Fauzi S.H.I., M.A
selaku Dosen bidang studi Ushul Fiqh yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang Kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Wassalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Pekan Baru, 10 Mei 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... i


DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................. 1
C. Tujuan ................................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................................. 2
A. Manfaat Mempelajari Ushul Fiqh .................................................................................... 2
B. Contoh Kasus Ushul Fiqh ................................................................................................. 7
C. pendapat ulama seputar hukum qunut subuh ................................................................ 8
1. Yang Membolehkan Qunut Subuh ............................................................................... 8
2. Yang Tidak Membolehkan Qunut Subuh.................................................................. 10
BAB III PENUTUP .................................................................................................................... 12
A. Kesimpulan ....................................................................................................................... 12
B. Saran ................................................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah atau bahasan-
bahasan sebagai metodologi untuk memperoleh hokum-hukum Syara‟ yang bersifat
praktis dari dalil yang rinci. Pokok bahasan dalam ilmu ushul fiqh ini adalah dalil-dalil
syara‟ yang secara garis besar yang di dalamnya terkandung hokum-hukum secara garis
besar pula.
Sedangkan sumber hokum syara‟ ialah dali-dalil syari‟iyah (al-Adillatusy
Syar‟iyah) yan dari padanya diistinbathkan hokum-hukum syar‟iyah. Pengetahuan fiqh
itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul fiqh. Menurut
aslinya kata “Ushul Fiqh” adalah kata yang berasal dari Bahasa Arab “Ushulul Fiqh”
yang berarti asal-usul Fiqh.

Ushul Fiqh terasa penting terasa penting bilamana dihadapkan pada masalah
yang hakumnya tidak terdapat dalam pemdaharaan fiqh lama. Disamping itu, dengan
maraknya para peminat hokum islam melakukan perbandingan madzab bahkan untuk
mengetahui mana pendapat yang lebih kuat, serta adanya upaya untuk mempebaharui
hokum islam, semakin terasa betapa pentingnya melakukan studi ushul fiqh

B. Rumusan Masalah
Apa manfaat mempelajari Ushul Fiqh?

C. Tujuan
Mengetahui manfaat mempelajari Ushul Fiqh

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Manfaat Mempelajari Ushul Fiqh

Ilmu ushul fikih adalah ilmu yang memiliki kedudukan terhormat, pengaruh yang
agung serta manfaat yang luas. Ia sangat membanggakan mengingat ilmu ini dipandang
sebagai fondasi semua hukum fikih yang telah ada dan terbaru. Dengan mengetahuinya,
seseorang dapat mencari hukum syara' pada setiap kejadian baru atau peristiwa yang
diadakan, sehingga syariah senantiasa pantas untuk setiap zaman dan tempat. Dapat kita
katakan bahwa manfaat ilmu ushul fikih adalah sebagai berikut.
1) Mampu menyimpulkan hukum dari dalil-dalilnya yang terperinci.
2) Dipandang sebagai salah satu ilmu penting yang mengkaji dalil-dalil syar'i
serta menjaganya dari fitnah para pembuat fitnah, kebimbangan para
musuh Islam, serta penyesatan para ateis.
3) Dipandang sebagai salah satu ilmu yang membentuk seorang ahli fikih
mujtahid, serta orang yang pandai tentang kondisi dalil-dalil yang bersifat
kulli (general).
Serta masih banyak lagi manfaat lainnya yang tidak disadari oleh ahli ushul yang faqih.

Tujuan utama mempelajari ushul fiqh ialah, untuk menerapkan kaidah-kaidah


ushul fiqh pada dalil-dalil syara', baik Alquran maupun sunnah sehingga menghasilkan
hukum-hukum syara'. Keberhasilan seorang ulama yang menerapkan ilmu ushul fiqh
untuk menghasilkan hukum-hukum syara' itu sendiri mengandung tiga kemung- kinan
sebagai berikut.
Kemungkinan pertama, hukum-hukum yang dihasilkan itu pada hakikatnya
merupakan pengulangan dari apa yang telah dihasilkan para ulama mujtahid terdahulu.
Dalam hal ini, penerapan ilmu ushul fiqh yang dilaksanakan mengandung makna,
memahami cara-cara menemukan hukum melalui ushul fiqh yang dipraktikkan para
ulama mujtahid yang lalu.

2
Kemungkinan kedua, dengan menerapkan ilmu ushul fiqh, dapat menghasilkan
hukum-hukum yang berbeda dengan apa yang ditemukan ulama terdahulu. Kemungkinan
ini dapat terjadi, disebabkan adanya perbedaan waktu atau tempat atau keadaan dari
peristiwa hukum yang terjadi pada masa ulama yang dahulu dengan waktu atau tempat
atau keadaan yang dialami sekarang ini. Dengan demikian, meskipun secara sepintas
terlihat bahwa peristiwanya sama, tetapi hukum yang dihasilkan dapat berbeda.
Kemungkinan ketiga, hukum-hukum yang dihasilkan itu sama sekali baru, dan
belum pernah dihasilkan oleh para mujtahid dahulu. Dalam konteks ini, ushul fiqh
digunakan untuk menjawab persoalan hukum atas peristiwa-peristiwa yang baru muncul
dewasa ini, di mana pada masa lalu sama sekali belum pernah terjadi peristiwanya,
sehingga terhadap peristiwa itu tidak ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh
warisan para ulama sebelumnya. Misalnya, hukum-hukum fiqh yang berkaitan dengan
bidang kedokteran, ekonomi, dan politik.
Di samping tiga kemungkinan di atas, maka dengan mempelajari ilmu ushul fiqh,
kita dapat pula menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk melakukan perbandingan
(muqâranâh, comparative) terhadap hukum- hukum fiqh yang telah ada. Pada gilirannya
langkah ini dapat pula menghasilkan pendapat yang dianggap paling kuat dan relevan
dengan kebutuhan hukum masa kini.
Adapun beberapa rumusan tujuan mempela- jari ilmu ushul fiqh yang
dikemukakan oleh ulama ushul, yaitu Abdul Wahab Khallaf, Wahbah Zuhaili, dan Satria
Effendi.
Menurut Abdul Wahab Khallaf, mempelajari ilmu ushul figh memiliki tujuan
antara lain: "mampu menerapkan kaidah terhadap dalil-dalil guna memperoleh hukum
syariat dan dapat memahami nas-nas syariat serta kandungan hukumnya."1
Menurut Wahbah Zuhaili, mempelajari ushul fiqh bertujuan: "memberikan
kemampuan kepada mujtahid untuk menerapkan kaidah ushul fiqh guna memperoleh
hukum syara' amali dari dalil-dalilnya yang terperinci". Dengan demikian, seorang
mujtahid akan mampu mema- hami nas-nas syariah baik yang bersifat jali (jelas) dan
khafi (tersem- bunyi) serta mampu menyimpulkan hukum yang dikandungnya seba-

1
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Mesir; Maktabah al-Da‟wah al-Islamiyah, tt.), hlm.4

3
gaimana ia mampu memberlakukan qiyas, istihsan, maslahah, istishab, dan sebagainya
untuk memperoleh hukum dari kejadian yang baru."2
Menurut Satria Effendi, sedikitnya ada tiga tujuan penting mempelajari ushul
fiqh:
1) Mengetahui dasar mujtahid masa silam dalam membentuk fiqh- nya,
sehingga dapat diketahui kebenaran pendapat fiqh yang berkembang.
Dengan pengetahuan ini akan memberi ketenangan da- lam mengamalkan
pendapat mereka.
2) Memahami ayat-ayat ahkam dan hadis ahkam dan mampu meng- istinbat
suatu hukum yang berdasar kepada keduanya. Begitu pentingnya ilmu
ushul fiqh, maka pantas dan wajar jika ulama terdahulu lebih
mengutamakan studi ushul fiqh dibanding fiqh. Karena dengan ushul fiqh
seseorang mampu memproduk fiqh.
3) Mampu secara benar melakukan perbandingan mazhab fiqh, studi
komparatif di antara pendapat ulama fiqh dari berbagai mazhab. Karena
ushul fiqh merupakan alat untuk melakukan perbanding-an mazhab fiqh.3

Tujuan-tujuan mempelajari ushul fiqh hasil rumusan para ulama ushul di atas
pada klimaksnya bermuara kepada satu tujuan tertinggi, yaitu memelihara agama Islam
dari penyimpangan dan penyalahgu- naan dalil-dalil syara', sehingga terhindar dari
kecerobohan yang me- nyesatkan.

Sebenarnya tujuan Ushul Fiqh itu telah jelas sebagaimana yang telah banyak
dijelaskan dibeberapa buku ataupun jurnal. Tujuan Ushul Fiqh adalah sampai kepada
istinbath (penetapan hukum) dari dalil-dalilnya.4 Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin,
tujuan yang hendak dicapai dari Ilmu Ushul Fiqh ialah untuk dapat menerapkan kaidah-
kaidah terhadap dalil-dalil syara yang terinci agar sampai kepada hukum-hukum syara‟
yang bersifat „amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dalam kaidah Ushul Fiqh serta

2
Wahbah Zuhaili, Al-Wjiiz Fi Ushul Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr, 1999), Cet. Ke-2 hlm.5
3
Satria Effendi, M, Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2009) Cet. Ke-3, hlm.14-15

4
balasannya itu dapat dipahami nash-nash syara‟ dan hukum yang terkandung
didalamnya. Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat tapa-apa yang
dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan itu.
Memang dengam metode tersebut para ulama telah berhasil merumuskan hukum
syara‟ dan telah terjabar secara rinci dalam kitab-kitab fiqh. Lantas untuk apa lagi ushul
fiqh itu bagi umat yang datang kemudian ?. Dalam hal ini ada dua maksud mengetahui
ushul fiqh.
Pertama, bila kita telah mengetahui metode ushul giqh yang dirumuskan ulama
terdahulu, maka bila suatu ketika kita menghadapi suatu masalah yang baru yang tidak
mungkin ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab terdahulu, maka kita akan mencari
jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil
rumusan ulama terdahulu.
Kedua, bila kita menghadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab- kitab
fiqh, tetapi mengalami kesukaran dalam penerapannya, karena begitu jauh perubahan
yang terjadi dan ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha lama itu dan ingin merumuskan
hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan tuntutan kondisi yang menghendakinya,
maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah baru yang memungkinkan
timbulnya rumusan baru dalam fiqh. Kaji ulang terhadap suatu kaidah atau menentukan
kaidah baru itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui secara baik usaha
dan cara ulama lama dalam merumuskan kaidahnya.

Mempelajari ushul fiqh tentu sangatlah penting bagi umat muslim. Dengan
mengetahui seluk beluk ushul fiqh, kitab isa memahami ilmu agama lebih luas serta
mampu membedakan mana dalil-dalil yang kuat dan lemah. Ilmu ushul fiqh adalah ilmu
hukum Islam yang sering disebut sebgaai The Principles of Islamic Jurisprudence.
Dengan kata lain ushul fiqh adalah perangkat metodologis yang mempunyai otoritas
dalam Menyusun, membentuk, dan memeberikan corak dan warna pada produk fiqh.
Sejalan denga napa yang dikatakan Khlaf, ushul fiqh adalah ilmu yang memiliki kaidah-
kaidah, metodologi dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan acuan dalam penetapan
hukum Islam mengenai perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil yang terperinci.
Maka dikatakan, jika seseorang ingin mendalami kajian ilmu-ilmu islam
khususnya fiqh, dia tidak diharuskan membaca semua literatur-literatur keilmuan

5
tersebut, tetapi cukup mendalami ushul. Sedangkan manfaat praktis ushul fiqh sangat
banyak sekali, diantaranya adalah :5
1. Sebagai benteng pelindung terhadap syariat Islam, karena ushul fiqh menjaga
dalil-dalil syariat dari penyimpangan dan kesalahan dalam istinbath.
2. Metode yang memudahkan dalam mengambil kesimpulan hukum (istinbath)
pada masalah-masalah cabng (fiqh) dari sumbernya.
3. Menghindarkan seseorang menetapkan hukum menurut hawa nafsunya, karena
mengetahui metode dan qaidah istinbath serta cara berijtihad yang benar. Hal ini
karena bermunculan para mujtahid dengan metode ijtihad yang berbeda-beda.
4. Memberikan standar dan syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid,
sehingga ijtihad hanya dilakukan oleh seseorang yang mampu dan tepat.
Disamping itu, bagi masyarakat awam, melalui ushul fiqh mereka dapat
memahami bagaimana para mujtahid menetapkan hukum baik yang disepakati
atau yang diperselisihkan dan pedoman dan norma apa saja yang mereka
gunakan dalam merumuskan masalah – masalah tersebut.

5. Menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan para


mujtahid, sehingga berbagai persoalan baru yang secara lahir belum ada nash-
nya, dan belum ada ketetapan hukumnya di kalangan ulama terdahulu dapat
ditentukan hukumnya.
6. Memelihara syariat Islam dari penyalahgunaan dalil yang mungkin terjadi.
Melalui ushul fiqh diketahui mana sumber hukum Islam yang asli yang harus
dipedomani dan mana yang merupakan sumber hukum Islam yang bersifat
sekunder yang berfungsi untuk mengembangkan syariat sesuai dengan tempat
dan zamannya.
7. Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan guna menetapkan
hukum dari berbagai persoalan social kontemporer yang terus berkembang.
8. Mengetahui kekuatan dan kelemahan sutau pendapat pada dalil yang digunakan
dalam berijtihad, sehingga dapat melakukan tarjih (penguatan) salah satu dalil

5
Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, M.A. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh (Sebuah Pengantar). Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada. 2009.

6
atau pendapat tersebut dengan mengemukakan alasan.
9. Benteng dari perpecahan dan perbedaan pendapat yang lahir dari pemahaman
yang salah terhadap nash.
10. Sebagai metodologi yang mengakomodir dan menggabungkan antara madrasah
ahl al-hadis dan atsar dan madrasah al-ra‟yi yang sebelumnya seakan saling
bertentangan.
11. Menjelaskan nash-nash yang secara dzahir bertentangan dan kemudian bisa
mentarjih dan mengambil kesimpulan hukum ketika terjadi kontradiksi diantara
nash-nash tersebut dan membantah pendapat ekstrim dalam hal ini.
12. Memelihara fiqh islam dari pendapat yang terlalu longgar dan pendapat yang
terlalu kaku dan jumud.
13. Menyeru pada ittiba‟ (mengikuti) dalil dan meninggalkan ta‟ashub madzhab dan
taqlid buta. Karena dengannya bisa ditimbangi dan diukur sejauh mana sebuah
pendapat bisa diterima dan ditolak, atau pendapat mana yang lebih tepat yang
bersandar kepada dalil dan kaidah-kaidah dalam ushul fiqh.

Maka tidak mengherankan jika kemudian para ulama kita menjadikan ilmu ini
sebagai standarisasi dan sekaligus barometer untuk menilai benar dan salah sebuah
kerangka dan metodologi sebuah pemikiran. Ilmu ini bukan saja memberi kemudahan
jalan bagi para penuntut ilmu dan para pemikir Islam dalam mengistinbathkan hukum
dan bermuamalah dengan dalil, tapi sekaligus mampu menimbang dan memberikan
barometer serta jaminan mutu pada produk istinbath dan pemikiran yang dihasilkan.

B. Contoh Kasus Ushul Fiqh


َُ ُ‫يَ ْقن‬-‫َت‬
Qunut secara bahasa diambil dari fi‟il tsulasy “‫ت‬ ََ ‫ ”قَن‬yang memiliki
banyak arti di antaranya qunut berarti diam, ayat yang semakna dengan ini adalah
firman Allah swt.,
‫ت َعلَى َحبفِظُوْ ا‬ َّ ‫ْطى َوالص َّٰلو َِة ال‬
َِ ‫صلَ ٰو‬ َّ ٰ ِ ََ‫ ٰقنِتِيْن‬238.
ٰ ‫ِلِ َوقُوْ ُموْ ا الْ ُوس‬

“Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'(baca: diam). (Q.S.


al-Baqarah: 238).

7
Sahabat Zaid bin Aslam berkata, “Dulu kami berbicara –satu sama lainnya-
dalam shalat hingga turunlah ayat “‫”وقوموا َِل َقبنتين‬kemudian kami diperintahkan untuk
diam dan dilarang untuk berbicara”.6

Qunut berarti berdiri lama, semakna dengan ini hadis Rasulullah saw. yang
diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdullah,

ْ ‫َطُوْ ل‬:‫ضلُ؟َقَب َل‬


َِ ْ‫َُالقَُنُو‬
.‫ت‬ َ ْ‫صالَ ِةَأَف‬
َّ ‫َأَيُّ َال‬:‫صلََّهللاَُ َعلَ ْي ِهَ َوَ َسلَّ َم‬
َ َِ‫َرسُوْ لَُهللا‬
ِ ‫ُسئِ َل‬
Rasulullah saw. pernah ditanya, “Bagaimanakah sholat yang paling utama?”
Maka beliau menjawab, “Yaitu yang lama berdirinya.” (HR. Muslim).

C. pendapat ulama seputar hukum qunut subuh


Para ulama berselisih pendapat seputar masalah hukum melaksanakan qunut
pada waktu shalat subuh, secara umum terpecah menjadi dua ada yang membolehkannya
namun ada pula yang melarangnya. Berikut kami sebutkan pendapat beserta
argumentasinya (hujah) masing-masing.

1. Yang Membolehkan Qunut Subuh


Ulama yang membolehkan qunut subuh adalah para ulama dari kalangan
Malikiyah dan Syafi‟iyah. Termasuk di antaranya Ibnu Abi Laili, al-Hasan bin Shalih
yang diriwatkan dari Abu Musa al-Asy‟ary, Ibnu Abas, dan Abu Bakar.7

Pengarang “Mawa<hib al-Jalil” mengatakan bahwa hukum qunut subuh


yang masyhur menurut pendapat ulama Malikiyah adalah mustahab.8 Sedangkan
Muhammad bin Abdullah al-Kharasy al-Maliki mengatakan bahwa qunut hanya
dilakukan pada waktu shalat subuh dan sebelum ruku‟.9

Dalam “al-Adzka<r” Imam an-Nawawi mengatakan bahwa hukum qunut


subuh adalah sunnah muakkad, apabila meninggalkannya tidak membatalkan shalat

6
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jami‟ ash-Shahih, (Bairut; Dar Thuq an-Najah, 1422 H), Jld: II, Hal: 210.
7
Abdullah bin Muhammad –Ibnu Qudamah-, al-Mughni, (Bairut: Dar al-Fiqr, 1412 H), Juz: I, Hlm: 821.
8
Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Maliki, Mawa<b al-Jalil fi Syarhi Mukhtashar Khali<l,
(Bairut; Dar al-Fiqr, 1412 H), Juz: 1, Hlm: 539. Lihat juga, Sulaiman bin Khalaf, al-Muntaqa Syarah al-Muwatha‟,
(Qohira; Dar al-Kitab al-Islami, T.t) Juz: 1, Hlm: 281.
9
Muhammad bin Abdullah al-Maliki, Syarah Mukhtashar Khalil, (Bairut; Dar al-Fiqr, T.t), Juz: 1, Hlm: 282.

8
namun sunnah untuk melakukan sujud sahwi baik karena disengaja atau pun karena
lupa.10

Imam asy-Syarbini mengatakan, “Qunut disunahkan pada i‟tidal rakaat kedua


dari shalat subuh.”11

Secara umum dalil yang menjadi sandaran hukum kedua mazhab di atas adalah
sebagai berikut;

Pertama,

َ ‫سله َم ٌَ ْقىُتُ فًِ ا ْلفَ ْج ِر َحتهى فَا َر‬


»‫ق ال ُّد ْوٍَا‬ َ ََ ًِ ٍْ َ‫صلهى َّللاُ َػل‬ ‫سُ ُه ه‬ ِ َ‫ػَهْ أَو‬
ُ ‫ « َما َزا َه َر‬:‫س ْب ِه َمالِ ٍل قَا َه‬
12
َ ِ‫َّللا‬
Dari Anas bin Malik berkata, “Rasulullah saw. senantiasa melakukan qunut pada shalat
subuh sampai Beliau meninggalkan dunia”

Kedua,

ِ ‫َّللاُ َػ ْىًُ " ٌَ ْقىُتُ فًِ ال هر ْم َؼ ِت‬


ْ‫اَخ َر ِة ِمه‬ ‫ض ًَ ه‬ ِ ‫ فَ َنانَ أَبُُ ٌُ َر ٌْ َرةَ َر‬،‫سله َم‬
َ ََ ًِ ٍْ َ‫صلهى َّللاُ َػل‬ َ ‫ ََلُقَ ِّربَهه‬:‫ قَا َه‬،َ‫ػَهْ أَبًِ ٌُ َر ٌْ َرة‬
َ ًِّ ِ‫صالَةَ الىهب‬
. 13‫ار‬ َ ‫ فٍََ ْدػُُ ِل ْل ُمؤْ ِمىٍِهَ ٌَََ ْل َؼهُ ال ُنفه‬،ُ‫َّللاُ لِ َمهْ َح ِم َدي‬
‫س ِم َغ ه‬
َ :‫ بَ ْؼ َد َما ٌَقُُ ُه‬،‫ح‬ ُّ ‫صالَ ِة‬
ِ ‫الص ْب‬ َ ََ ،‫صالَ ِة ال ِؼشَا ِء‬ َ ََ ،‫ظ ٍْ ِر‬ ُّ ‫صالَ ِة ال‬
َ
Dan dari Abu Hurairah, ia berkata, “Sungguh aku akan mendekatkan kamu dengan shalat
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam. Maka, Abu Hurairah kemudian qunut dalam
raka‟at yang akhir dari shalat Zuhur, „Isya dan shalat Shubuh, sesudah ia membaca:
„Sami‟allahu liman hamidah.‟ Lalu ia mendo‟akan kebaikan untuk orang-orang Mukmin
dan melaknat orang-orang kafir.”

10
Muhyiyuddin Abu Zakariya yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Adzka<r min Kala<mi Sayyid al-Abra<r, (Bairut:
Dar al-Manha<j, 1425 H), Hlm: 123-124.
11
Muhammad al-Khatib asy-Syarbini, Mughny al-Muhtaj ila Ma‟rifati Ma‟ani Alfadz al-Manha<j, (Bairut: Dar al-
Fiqr, T.t), Juz: 1, Hlm: 166.
12
Ahmad bin Husain al-Baihaqy, Sunan as-Shaghir, (Pakistan: Ja<mi‟atu ad-Dira<sa<t al-Islamiyyah, 1410 H),
Hlm: 273, No: 446.
13
al-Bukhari, al-Ja<mi‟ ash-Shahih, (Bairut; Dar Thuq an-Najah, 1422 H), Jld: I, Hal: 275. No: 764.

9
2. Yang Tidak Membolehkan Qunut Subuh
Ada pun ulama yang tidak membolehkannya adalah para ulama dari kalangan
Hanafiyah dan Hanabilah. Menurut kedua mazhab ini tidak ada qunut pada shalat subuh
selain qunut nazilah. Sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas‟ud,
Abu ad-Darda‟.14

Berkata Abu Sulaiman al-Jurja>ni, “Aku bertanya kepada Muhammad bin al-
Hasan, „Dalam shalat apa sajakah qunut itu dilakukan?‟ Beliau menjawab: „Tidak ada,
selain pada shalat witir‟.”15 Demikian pula apa yang dikatakan oleh pengarang al-
Mughni.16

Dalil yang menjadi sandaran hukum kedua mazhab ini adalah sebagai berikut;

Pertama,

17
"ً‫ قىت شٍرا بؼد الرمُع ٌدػُ ػلى أحٍاء مه الؼرب ثم ترم‬-‫ أن الىبً –صلى َّللا ػلًٍ َسلم‬-ً‫ػه أوس –رضً َّللا ػى‬

Dari Anas ra. bahwa Nabi saw. qunut selama sebulan mendo‟akan atas kabilah-kabilah
Arab kemudian beliau meninggalkannya.

Kedua,

‫ قىت بؼد الرقُع فً صالتً شٍرا ٌدػُ لفالن َفالن ثم ترك‬-‫ أن الىبً –صلى َّللا ػلًٍ َسلم‬-ً‫ػه أبً ٌرٌرة –رضً َّللا ػى‬
18
‫الدػاء لٍم‬

Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. melakukan qunut sehabis ruku‟ pada shalatnya
selama sebulan mendo‟akan si fulan dan si fulan kemudian beliau meninggalkannya.

Ketiga,

‫ َأبً بنر َػمر‬-‫ ٌا أبً إول قد صلٍت خلف رسُه َّللا –صلى َّللا ػلًٍ َسلم‬:ً‫ قلت َلب‬:‫ػه سؼد به طارق اَلشجؼً قاه‬
19
"‫َػثمان َػلً فناوُا ٌقىتُن فً الفجر؟ أي بىً محدث‬

14
Ibnu Qudamah-, al-Mughni, Hlm: 828.
15
Asy-Syaibani, Kita>b al-Ashal, (Bairut: „Alim al-Kutub, 1410 H), Juz: I, Hlm: 161.
16
Ibnu Qudamah-, al-Mughni, Hlm: 823.
17
Muhammad bin al-Hasan –asy-Syaibany-, Kitab al-Ashal, (Bairut: „Alimu al-Kutub, 1410 H), Hlm: 161.
18
Ibnu Qudamah-, al-Mughni, Hlm: 823.

10
Dari Saad bin Thariq al-Asyja‟iy berkata, “Aku bertanya kepada bapakku:
„Wahai bapak! Sesungguhnya engkau pernah shalat di belakang Rasulullah saw. Abu
Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Apakah mereka qunut pada shalat Subuh?‟ Beliau
menjawab: „Tidak benar wahai anakku! Itu perkaara baru‟.

19
Muhammad bin Isa –at-Tirmidzi-, al-Ja>mi‟ ash-Shahih, (Bairut: dar Ihya at-Turats al-Araby, T.t), Juz: II, Hlm:
252, No: 402.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tujuan Ushul Fiqh adalah menerapkan kaidah-kaidahnya dan teori-teorinya
terhadap dalil-dalil yang rinci untuk menghasilkan hokum syara‟ yang ditunjuki dalil
tersebut. Ushul Fiqh merupakan satu satu sarana untuk mendapatkan hokum-hukum
Allah SWT dan Rasulnya baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, ibadah,
Mu‟amalah, „uqubah, maupun akhlak. Dengan kata lain, ushul fiqh bukanlah sebagai
tujuan melainkan hanya sebagai sarana, Oleh karena itu, secara rinci ushul fiqh berfungsi
sebagai brikut:
Memberikan pengertian dasar tentang kaidah-kaidah metodologi para ulama
ijtihad alam menggali hokum. Menggambarkan persyaratan yang harus dimiliki seorang
mujtahid agar mampu menggali hokum syara‟ secara tepat, sedangkan bagi orang awan
agar lebih mantap dalam mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahid
setelah mengetahui cara yang mereka gunakan untuk berijtihad. Memberi bekal untuk
menentukan hokum melalui berbagai metode yang dikembangkan pleh para mujtahid,
sehingga dapat memecahkan berbagai persoalan yang baru memelihara agama dari
penyimpangan dan penyalahgunaan dalil. Dengan pedoman pada ushul fiqh, hokum yang
dihasilkan melalui ijtihad tetap diakui syara‟.

B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini tentu masih banyak kekurangan, maka dari itu
jika ada kesalahan kata atau kalimat yang kurang tepat serta sistematika penulisan yang
kurang, kritik dan saran kami perlukan agar penulisan atau penyusunan makalah
selanjutnya akan lebih baik lagi.

12
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad bin Isa –at-Tirmidzi-, al-Ja>mi‟ ash-Shahih, (Bairut: dar Ihya at-Turats al-Araby,
T.t), Juz: II,

Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, M.A. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh (Sebuah Pengantar). Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada. 2009.

atria Effendi, M, Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2009)

Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jami‟ ash-Shahih, (Bairut; Dar Thuq an-Najah, 1422 H),
Jld: II
Abdullah bin Muhammad –Ibnu Qudamah-, al-Mughni, (Bairut: Dar al-Fiqr, 1412 H), Juz: I.
Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Maliki, Mawa<b al-Jalil fi Syarhi
Mukhtashar Khali<l, (Bairut; Dar al-Fiqr, 1412 H), Juz: 1, Hlm: 539. Lihat juga, Sulaiman bin
Khalaf, al-Muntaqa Syarah al-Muwatha‟, (Qohira; Dar al-Kitab al-Islami, T.t) Juz: 1.
Muhammad bin Abdullah al-Maliki, Syarah Mukhtashar Khalil, (Bairut; Dar al-Fiqr, T.t), Juz: 1.
Muhyiyuddin Abu Zakariya yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Adzka<r min Kala<mi Sayyid al-
Abra<r, (Bairut: Dar al-Manha<j, 1425 H).
Muhammad al-Khatib asy-Syarbini, Mughny al-Muhtaj ila Ma‟rifati Ma‟ani Alfadz al-Manha<j,
(Bairut: Dar al-Fiqr, T.t), Juz: 1.
Ahmad bin Husain al-Baihaqy, Sunan as-Shaghir, (Pakistan: Ja<mi‟atu ad-Dira<sa<t al-
Islamiyyah, 1410 H).
al-Bukhari, al-Ja<mi‟ ash-Shahih, (Bairut; Dar Thuq an-Najah, 1422 H), Jld: I.

13

Anda mungkin juga menyukai