Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

kaidah ushuliyah dan implikasinya dalam paraktik ekonomi


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul Fiqh
Dosen Pengampu:

Dr.Alvan fathony,M.HI

Disusun Oleh:
1. ZULFIYAN ALDIANSYAH
2.ZAINULLAH
3. DENY ALFAN HUMAIDI
4. YUSUF
5. UBAIDILLAH
Kelompok : 15

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS NURUL JADID
PAITON PROBOLINGGO
2022-2023

I
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya yang
diberikan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok ini, setelah melalui
banyak ujian dan rintangan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah pada Nabi
Muhammad SAW.
Setelah melalui perjuangan  yang sangat melelahkan, dan telah menguras banyak waktu,
fikiran, tenaga, bahkan materi, akhirnya makalah yanag berjudul memahami kaidah ushuliyah ini
dapat kami selesaikan untuk memenuhi syarat tugas kelompok. kami sangat bersyukur kepada
Allah SWT, karena telah memberikan banyak rahmat dan kesabaran dalam proses penulisan
makalah ini. kami semakin menyadari bahwa dalam melakukan hal apapun dibutuhkan
ketekunan, kesabaran, dan ketelitian.
Dalam makalah ini kami  mengangkat wacana Kaidah-Kaidah Hukum Islam dan Macam-
Macamnya. Namun demikian, kami menyadari bahwa apa yang telah kami hasilkan dalam
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itulah kritik dan saran sangat kami harapkan
demi kesempurnaan analisis yang kami sajikan dalam makalah ini.
Semoga makalah yang telah kami selesaikan ini memberikan manfaat yang besar bagi
umat islam dan bangsa Indonesia, khususnya bagi  kita semua.

PAITON 18 OKTOBER 2022

II
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................II
DAFTAR ISI.................................................................................................................................III
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH........................................................................................................2
C. TUJUAN.................................................................................................................................2
BAB II.............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN..............................................................................................................................3
1. DEFINIS DAN URGENSI KAIDAH USHULIYAH.............................................................3
2. SUMBER-SUMBER KAIDAH USHULIYAH......................................................................4
3.KARAK TERISTIK KAIDAH USHULIYAH.........................................................................5
4. RAGAM KAIDAH USHULIYAH..........................................................................................6
5. APLIKASI KAIDAH USHULIYAH DALAM EKONOMI SYARIAH................................9
BAB III..........................................................................................................................................11
PENUTUP.....................................................................................................................................11
A. KESIMPULAN.....................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................12

III
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hukum Islam yang notabene terbungkus dalam ilmu Fiqih, merupakan hal yang dipandang
esensial keberadaannya. Bila dibandingkan dengan masalah aqidah dan akhlaq, polemik seputar
fiqih lebih seru menjadi bahan obrolan, dari tingkat warung kopi, surau, hingga kelas
akademisi.Hal ini dikarenakan fiqih dalam perjalanannya lebih didominasi oleh hasil ijtihad para
ulama yang tidak menutup kemungkinan memunculkan perbedaan pendapat dari tiap kalangan.
Bahkan perbedaan zaman, letak geografis, dan karakter individu serta komunitas memaksa fiqih
mengalami evolusi.
Pasca wafatnya Rasulullah SAW serta para sahabat radiyallahu ‘anhum, belum ada
formulasi tentang metode penetapan hukum Syariah yang paten. Hingga munculah sejumlah
madzhab ulama dengan produk hukumnya masing-masing yang tak sedikit berbeda antara satu
dengan yang lainnya.Tokoh-tokoh madzahib tersebut menawarkan kerangka metodologi, teori,
dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pedoman mereka dalam menetapkan sebuah hukum.
Al-Qur’an dan hadist yang menjadi sandaran utama pengambilan hukum perlu
diinterpretasikan mengingat tidak semua perkara disebutkan secara spesifik hukumnya dalam
lafadz nushus. Hingga muncullah disiplin ilmu dalam berijtihad, yang seiring berjalannya waktu
disiplin ini hadir agar tidak semua orang menginterpretasi nushus dengan caranya sendiri. Ada
rambu-rambu yang tersusun dan terkemas dalam ilmu ushul fiqh yang dijadikan landasan para
ulama untuk melakukan ijtihad dan pengambilan istinbath ahkam.
Dari sekian banyak metode yang dikeluarkan dalam bidang ilmu ini, ada sekumpulan
prinsipprinsip umum yang merangkum hukum-hukum syara’ yang umum, yang dapat
dikorelasikan dengan masalah-masalah kontemporer, prinsip-prinsip tersebut dibungkus dalam
kemasan ilmu bernama alqawaid al-fiqhiyyah. Qawaid al-fiqhiyyah atau Islamic legal maxim
memiliki posisi penting dalam metode istinbath ahkam. Dia merupakan satu disiplin ilmu untuk
memformulasikan dalil-dalil yang bersifat umum menjadi penunjang dalam menjabarkan sebuah
hukum yang tak disebut dalam nushus.

1
Disiplin ini dikategorikan sebagai bagian dari pendukung dalil syar’i, juga menjadi
komponen penting dalam perumusan penemuan hukum. Terlebih sejumlah ulama menegaskan
bahwa tolak ukur derajat keilmuwan seorang yang faqih salah satunya adalah penguasaan
terhadap ilmu qawaid ini. Imam al-Qarrafi bahkan meletakkan disiplin ilmu ini sebagai dasar
syariat ke-dua setelah ilmu ushul fiqh. Dari sini perlu kita kaji secara detail tentang makna dari
ilmu ini secara definitiv, serta metode penemuan prinsip-prinsip qawaid fiqhiyyah dalam frame
sejarah. Perlu diketahui juga stadium pembentukannya hingga penyusunan, kemudian urgensi
daripada penggunaan ilmu ini bagi mujtahid.

B. RUMUSAN MASALAH
1. apa penegertiyan definisi serta urgensi kaidah ushuliyah ?
2. apa saja sumber-sumber kaidah ushuliyah
3.apa saja karakteristik kaidah ushuliyah
4.apa yang dimaksud ragam kaidah ushuliyah
5.apa yang dimaksud aplikasi kaidah ushuliyah dalam ekonomi syariah

C. TUJUAN
Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang tujuan
mempelajari kaidah-kaidah ushuliyah dan implikasinya dalam paraktik ekonomi

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. DEFINIS DAN URGENSI KAIDAH USHULIYAH

A. definisi ushuliyah
Kata ushul berasal dari kata ‫ اصل‬yang artinya: Sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lain
Selian itu juga ushul diartikan sebagai sumber atau dasar. Asal adalah sesuata yang menjadi
dasar (sendi) oleh sesuatu yang lain, sedangkan furu adalah sesuatu yang diletakkan di atas asal
tadi. Seperti sebuah rumah yang terletak di atas sendi atau fondasi, maka sendi dinamakan asal,
dan rumah yang terletak di atasnya dinamakan furu. Sedangkan secara terminologi, kata ashal
mempunyai beberapa pengertian sebagai berikut :
1. Dalil (landasan hukum)
2. Qaidah (dasar, fondasi)
3. Rajih (yang terkuat)
4. Far’un ( cabang)
5. Mustashab (memberlakukan hukum yang ada sejak semula, selama tidak ada dalil yang
mengubahnya).
Secara umum, dalil itu ada dua, yaitu dalil tafshili (terinci) dan dalil ijmali (global). Yang
dimaksud dalil tafshili adalah al-Quran dan Sunnah, sedangkan yang dimaksud dalil ijmali
adalah ushul fiqh. Kemudian dalil syara’ ada yang bersifat menyeluruh, universal, dan global
(kulli dan mujmal), dan ada yang hanya ditunjukkan bagi hukum tertentu dari cabang hukum
tertentu. Apabila dalil itu bersifat menyeluruh dan berkaitan dengan sumber hokum dan hukum,
maka itu disebut qaidah ushuliyah.
Dari pengertian ushul fiqih terkandung pengertian bahwa objek kajian ushul fiqih itu antara
lain adalah kaidah-kaidah penggalian hukum dari sumbernya. Dengan demikian kaidah
ushuliyah adalah sejumlah proporsi/ pernyataan/ ketentuan dalam menggali hukum islam dari
sumber-sumbernya yaitu al-Quran dan as-sunnah.
Menurut Ibnu Taimiyah, kaidah ushuliyah adalah al-adillah al-‘ammah. Menurut Ali
Ahmad al-Nadawi, kaidah-kaidah ushuliyah adalah kaidah-kaidah universal yang dapat

3
diaplikasikan kepada seluruh bagian dan objeknya, di mana kaidah berfungsi sebagai dzari’ah
dalam mengistinbath hukum-hukum syara yang bersifat praktis
b. urgensi kaidah ushuliyah
Secara global, kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari naql (Al-Qur’an dan Sunnah), akal
(prinsip-prinsip dan nilai-nilai), dan bahasa (ushul at-tahlil al-lughawi). Qaidah ushuliyah itu
berkaitan dengan bahasa. Dalam pada itu, sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa.
Oleh karena itu, qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk mengganti ketentuan hukum
yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Mengetahui qaidah ushuliyyah dapat mempermudah
Faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si mengemukakan bahwa kaidah ushuliyah itu sangat penting
karena kaidah ushuliyah itu merupakan alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang
tertuang dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah kaidah ushuliyah merupakan modal utama
memproduk fiqh. Tanpa kaidah ushuliyah, pengamalan hukum Islam cenderung belum semuanya
mengelupas jenis-jenis hukum suatu perbuatan. Beliau juga mengemukakan pendapat Abdul
Wahhab Khallaf dan Abdul Hamid Hakim yang mengatakan bahwa penetapan hukum perintah,
larangan, dan sebagainya, berikut penggalian dalil-dalil yang dijadikan hujjah syar’iyyah dalam
hukum Islam merupakan fungsi utama dari kaidah ushuliyah.

2. SUMBER-SUMBER KAIDAH USHULIYAH


lmu Ushul Fiqh bersumber dari 5 ilmu :
1/ Ilmu Ushuludin , yaitu ilmu-ilmu yang membahas masalah keyakinan. Ilmu ushul fiqh
bersumber dari ilmu ushuludin, karena dalil yang dibahas di dalam ushul fiqh adalah dalil yang
terdapat di dalam Al Qur’an dan As Sunnah , dan keduanya diturunkan oleh Allah swt. Kalau
tidak ada keyakinan seperti ini , niscaya ilmu ushul fiqh ini tidak akan pernah muncul ke
permukaan, karena salah satu tujuan ilmu ini adalah meletakkan kaidah-kaidah di dalam proses
pengambilan hukum dari kedua sumber tadi.
2/ Ilmu Bahasa Arab, yaitu ilmu-ilmu yang membahas tentang Bahasa Arab dengan segala
cabangnya. Ilmu Ushul Fiqh bersumber dari Bahasa Arab, karena ilmu ini mempelajari teks-
teks yang ada di dalam Al Qur’an dan Al Hadits yang keduanya menggunakan bahasa Arab.
Ilmu bahasa Arab ini mempunyai hubungan yang paling erat dengan ilmu ushul fiqh, karena
mayoritas kajiannya adalah berkisar tentang metodologi penggunaan dalil-dalil syar’I, baik

4
yang bersifat al-lafdhi ( tekstual ) maupun yang bersifat al ma’nawi ( substansial ) – sebagaimana
yang pernah diterangkan - yang pada hakekatnya adalah pembahasan tentang bahasa Arab.
3, 4, 5/ Ilmu Al Qur’an , dan Hadist, serta Fiqh, karena pembahasan Ilmu Ushul Fiqh ini tidak
bisa dilepaskan dari tiga cabang ilmu tersebu.

dalam ushul fiqh dibahas pula sifat-sifat mujtahid, yakni diantaranya mujtahid yang
melakukan ijtihad secara mutlak tanpa terikat oleh pendapat mujtahid lain dan tanpa membatasi
wilayah ijtihadnya, seperti yang dilakukan oleh empat mazhab besar ( Abu Hanifah, Malik, Al-
Svafi’iy, dan Abu Ahmad Ibn Hanbal) : adapula yang berijthad tetapi terkit dalam satu mazhad :
adapula yang berijtihad menyangkut sebahagian masalah fiqh saja sedang pada masalah lainnya
mengikuti mazhab tertentu.

3.KARAK TERISTIK KAIDAH USHULIYAH


Asimilasi budaya dan bahasa masyarakat di daerahdaerah yang telah memeluk Islam
dengan budaya dan bahasa Arab, sangat mempengaruhi pemahaman terhadap nash al Qur’an dan
hadis. Dan hal ini menimbulkan polemik bagi para ulama masa itu dalam melakukan ijtihad.
Artinya polemik yang dirasakan adalah kemungkinan terjadinya kesalahan penafsiran terhadap
nash dan bertambah banyak model (ragam) penetapan hukum syara’. Atas dasar ini, maka ulama
masa itu merasa perlu menyusun kaidah kaidah atau undangundang yang berkaitan dengan
kebahasaan, maka terbentuklah ilmu ushul fiqh (tepatnya pada abad keII Hijriyah).
Dari perintah rasulullah bahwasanya memberikan kelonggaran bagi para sahabatnya untuk
mengerahkan segala daya pikirnya dalam memutuskan perkara yang dihadapi, artinya Rasulullah
juga memotivasi para sahabatnya untuk melakukan ijtihad terhadap masalah yang tidak ada
nashnya. Bahkan Rasulullah sendiripun melakukan ijtihad. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Abdul Jalil ’Isa Abu alNashr dalam kitabnya Ijtihad alRasul Sholla Allah ’alaih wasallam. Abdul
Jalil ’Isa mengemukakan beberapa contoh ijtihad yang dilakukan Rasulullah, diantaranya:
 Qiblat umat Islam sebelum ditetapkan Allah Swt adalah Bait alMaqdis. Umat Islam
shalat menghadap ke Bait alMaqdis selama 16 atau 17 bulan. Shalat menghadap Bait al-
Maqdis adalah ijtihad Rasulullah.
 Ketika ditanya tentang cara memperlakukan anakanak musyrikin yang ikut dalam
berperang, Rasulullah menjawab: ”Mereka diperlakukan seperti bapakbapaknya.

5
 Abdullah bin Ubay (tokoh munafik) datang kepada Rasulullah dan meminta beliau agar
beristighfar (memohonkan ampunan kepada Allah) untuknya. Kemudian Rasul memohon
kepada Allah agar Abdullah bin Ubay diampuni dan diberi petunjuk oleh Allah.
Kemudian turun QS. alTaubah (9):80

6
4. RAGAM KAIDAH USHULIYAH
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si menjelaskan bahwa penerapan kaidah ushuliyah yang
pertama adalah kaidah lughawiyah, yaitu kaidah bahasa yang berhubungan dengan kalimat-
kalimat yang tersirat dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Adapun kaidah-kaidah tersebut
adalah sebagai berikut:
A. AMR DAN NAHI
Ø Pengertian Amr
Menurut jumhur ulama ushul, definisi amr adalah lafadz yang menunjukkan tuntutan dari
atasan kepada bawahannya untuk mengerjaan suatu pekerjaan. Amar menurut bahasa berarti
perintah. Sedangkan menurut istilah adalah, amr adalah perbuatan meminta kerja dari yang lebih
tinggi tingkatannya kepada yng lebih rendah tingkatannya. atau dapat didefinisikan, Suatu
tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada
pihak yang lebih rendah kedudukannya.
Ø Kaidah dalam Amr.
Apabila dalam nash syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah, maka ada beberapa kaidah
yang mungkin bisa diberlakukan.
Kaidah pertama,
meskipun suatu perintah bisa menunjukkan berbagai pengertian, namun pada dasarnya suatu
perintah menunjukkan hukum wajib dilaksanakan kecuali bila ada indikasi atau dalil yang
memalingkannya.
Contoh perintah yang terbebas dari indikasi yang memalingkan dari hukum wajib adalah QS.
An-Nisa (4) : 77
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: Tahanlah tanganmu
(dari berperang), Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat!.
Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan sholat lima waktu dan menunaikan
zakat. Adapun contoh perintah yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain wajib,
QS. Al-Baqarah : 283 Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan

7
persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
B. NAHI
Ø Pengertian Nahi
Jika lafal khusus yang terdapat dalam nash syara’ berbentuk nahi atau bentuk berita yang
nermakna larangan, maka berarti haram. Yaitu menuntut untuk tidak melakukan yang dilarang
secara tetap dan pasti. Menurut ulama ushul, definisi nahi adalah kebalikan amr, yakni lafad
yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu (tuntutan yang mesti di kerjakan) dari
atasan kepada bawahan. Namun, para ulama ushul sepakat bahwa nahyi itu seperti juga amr
dapat digunakan dalam berbagai arti.
Kaidah yang berhubungan dengan Nahi
Kaidah, pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan
yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain.
Contohnya ayat 151 surat al-An’am.dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar
Contoh larangan yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain haram, dalam Surat Al-
Jum’ah (62) : 9. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih
baik bagimu jika kamu Mengetahui.
C. AAM DAN KHAS
Pengertian Aam
Am menurut bahasa artinya merata, yang umum; dan menurut istilah adalah " Lafadz yang
memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadz itu. Dengan
pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang
terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Menurut istilah ‘am yaitu suatu lafadz yang dipergunakan untuk menunjukkan suatu makna
yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja.Seperti
lafadz arrijal maka lafadz ini meliputi semua laki-laki.
Disamping pengertian ‘am diatas ada beberapa pengertian ‘am menurut ulama’ lainnya antara
lain:
a) Hanafiah yaitu Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna”.

8
b) Al-Ghazali yaitu Suatu lafazh yang dari suatu segi menunjukkan dua makna atau lebih”
c) Al-Bazdawi yaitu Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dalam satu
kata
d) Menurut Uddah ( dari kalangan ulama' Hanbali ) suatu lafadz yang mengumumi dua hal atau
lebih..
Pengertian Khas
Khas ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan
kata lain, khas itu kebalikan dari `âm. Menurut istilah, definisi khas adalah:“Al-khas adalah
lafadz yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau
menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga
belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan lafadz-lafadz lain
yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu”
Dalam pengertian lain khas adalah lafaz yang khash itu lafaz yang diletakkan untuk
menunjukkan suatu individu yang satu perseorangannya, seperti seorang laki-laki, atau menunjuk
kepada sejumlah individu dan tidak menunjukkan terhadap penghabisan seluruh individu-
individu. Atau khas ialah lafadz yang tidak meliputi mengatakannya sekaligus terhadap dua
sesuatu atau beberapa hal tanpa menghendaki kepada batasan.

D. KAIDAH YANG BERKAITAN DENGAN MANTHUQ


Menurut beliau menambahkan, selain kaidah lughawiyah, sebenarnya ada pula kaidah
tasyri’iyah, tetapi acuan pokoknya tetap kaidah bahasa. Yaitu kaidah al-tasyri’iyah terdiri dari
dua kata yaitu kaidah dan al-tasyri’iyah. Apa yang dimaksud dengan kaidah, secara jelas telah
penulis bahas pada pembahasan qaidah al-ushuliyah. Adapun yang dimaksud dengan al-
tasyri’iyah akan diterangkan berikut ini.
Dr. Juhaya S. Praja mengemukakan bahwa dalam bahasa Arab dijumpai kata shara’a yang
berarti membuat jalan raya, suatu jalan besar yang menjadi jalan utama, dengan demikian, kata
tasyri’ berarti pembentukan jalan raya itu. Terdapat dua macam tasyri’, antara lain tasyri’
samawiy dan tasyri’ wad’iy. Tasyri’ Samawiy yaitu peraturan perundang-undangan yang murni
dari pembuat hukum, yaitu Allah. Adapun tasyri’ wad’iy ialah peraturan perundang-undangan
yang dibuat dan dirumuskan oleh manusia yang didasarkan atau dengan referensi tasyri’
samawiy.

9
Kaidah perundang-undangan yang dalam istilah ahli ushul fiqhi dikenal dengan nama
Qawa’idut- Tasyri’iyah ialah tata aturan yang dibuat pedoman oleh pembuat undang-undang
dalam menyusun undang-undang dan merealisir tujuan yang ingin dicapainya melalui pemberian
beban kewajiban kepada orang-orang mukallaf.
Dari definisi di atas diketahui bahwa qaidah al-tasyri’iyah itu sangat berguna terutama dalam
proses penyusunan undang-undang. Undang-undang secara garis besar ada dua macam, yaitu
qanun tasyri’i (peraturan perundangan) dan qanun ijra’i (peraturan prosedural).Qanun tasyri
(peraturan perundangan) adalah undang-undang yang materinya berupa hukum syara’, atau
aqidah, atau kaidah kulliyah syar’iyyah, atau sumber-sumber hukum syara’. Qanun ijra’i
(peraturan prosedural) adalah undang-undang yang materinya berkaitan dengan sekumpulan cara
(uslub), sarana (wasilah), dan alat (adawat) untuk melaksanakan hukum syara’ tertentu.

5. APLIKASI KAIDAH USHULIYAH DALAM EKONOMI SYARIAH


Kaidah hukum merupakan perumusan yang bersifat general dari sub-sub bagian hukum atau
peristiwa yang dengan rumusannya tersebut dapat digunakan sebagai pedoman dalam
menyelesaikan peristiwa hukum yang terjadi secara parsial. Kaidah hukum tersebut bersumber
dari perundang-undangan yang tertulis ataupun tidak tertulis melalui proses yang sah yang harus
ditaati oleh warga masyarakat.
Dalam pengertian sederhana atau sempit, kaidah hukum merupakan asas-asas, nilai-nilai atau
norma yang terkandung dalam suatu hukum konkret. Salah satu contoh kaidah hukum adalah
apabila gugur perkara pokok, maka gugur pula perkara assesornya.
Kaidah Hukum Tentang Akad Murabahah
A. Putusan Nomor : 362 K/Ag/2013
 Margin yang terlalu besar dalam akad murabahah tidak bertentangan dengan syari'ah,
selama akad tersebut dibuat secara sukarela, suka sama suka dan tanpa paksaan.
 Perbuatan kreditur yang mengeksekusi hak tanggungan sebagai jaminan utang dari
debitur bukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH), apalagi kreditur telah menerima kuasa
untuk menyelesaikan utang debitur dengan melelang objek tanggungan sebagai
konsekwensi dari akad syari`ah yang telah disepakati.
B. Putusan Nomor : 48 PK/Ag/2009

10
 Gugatan pembatalan akad murabahah tidak dapat diajukan ke Pengadilan Agama, sebab
perkara tersebut telah diputus oleh Pengadilan Negeri Bukittinggi pada tanggal 27
Desember 2004.
 Lelang eksekusi atas putusan PN Bukittinggi tersebut tidak dapat dibatalkan oleh
Pengadilan Agama, sebab perkara pokok sudah diputus sebelum Pengadilan Agama
berwenang mengadili perkara gugatan ekonomi syari'ah, oleh karena itu gugatan tersebut
harus dinyatakan tidak dapat diterima.
C. Putusan Nomor : 104 K/Ag/2017
Surat gugatan atas objek jaminan fidusia yang kurang pihak dan tidak menjelaskan secara rinci
perihal objek tersebut, mengakibatkan gugatan menjadi kabur.
D. Putusan Nomor : 539 K/Ag/2017
 Addendum tentang perubahan pemilihan lembaga penyelesaian sengketa ekonomi syariah
yang dibuat oleh isteri almarhum setelah perkara masuk di Pengadilan Agama
bertentangan dengan hukum acara dan kepastian hukum.
 Addendum dibuat untuk menyelesaikan realisasi perjanjian, bukan untuk mengubah
kewenangan tentang lembaga mana yang berhak mengadili setelah perkara tersebut
diajukan ke Pengadilan Agama.
D. Putusan Nomor : 138 K/Ag/2017
 Restrukturisasi akad pembiayaan murabahah tidak boleh dilakukan terhadap debitur yang
jelas-jelas sudah tidak mampu membayar angsuran sesuai perjanjian.
 Lelang yang sudah dilaksanakan dengan benar dan pemenang lelang sebagai pembeli
yang beritikad baik harus dilindungi.
E. Putusan Nomor : 452 K/Ag/2016
Dalam akad murabahah dapat diletakkan Perjanjian Jaminan Fidusia. Di mana akad murabahah
sebagai perjanjian pokok sedangkan perjanjian fidusia sebagai asesor perjanjian.

11
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa pengertian ushul fiqh terkandung pengertian
bahwa objek kajian ushul fiqh itu antara lain adalah kaidah-kaidah penggalian hukum dari
sumbernya. Dengan demikian, kaidah ushuliyah adalah sejumlah proporsi / pernyataan /
ketentuan dalam menggali hukum islam dari sumber-sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Kaidah-kaidah ushuliyah berfungsi sebagai alat atau metode dalam menggali ketentuan-
ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Menguasai kaidah-kaidah ushuliyah
dapat mempermudah seorang ahli fiqih dalam mengetahui dan mengistinbathkan hukum Allah
dari sumber-sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Fungsi kaidah ushuliyah adalah menggali
dan mengeluarkan hukum islam dari sumber-sumbernya.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. https://butterflyonly.wordpress.com, di akses pda tanggal 18 oktober 2022.


2. https://journal.walisongo.ac.id/index.php/JISH/article/download/5963/pdf. Di akses pada
tanggal 19 oktober 2022
3. https://www.ahmadzain.com. Di akses pada tanggal 20 oktober 2022
4. http://shohifu.blogspot.com. Di akses pada tanggal 20 oktober 2022
5. https://journal.uin-alauddin.ac.id, Di akses pada tanggal 20 oktober 2022

13

Anda mungkin juga menyukai