Disusun Oleh :
Kelas/Semester : PBA 3 / II
Nim : 0302222075
Segala puji bagi ﷲSubhanahu Wata’ala Tuhan semesta yang menurunkan Al-
Qur'an kepada Nabi ﷴ ﷺsebagai pedoman dan petunjuk hidup bagi selurut umat
manusia. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi besar ﷴ
ﷺyang telah mengajarkan Al-qur’an sehingga dapat membawa manusia dari zaman
jahiliyah menuju zaman terang benderang.
Saya juga menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi
mutu ataupun jumlah materi yang dipaparkan. Semua ini didasari oleh keterbatasan yang
saya miliki. Oleh sebab itu, saya membutuhkan masukan dan kritik yang bersifat
membangun yang berasal dari semua pihak, demi perbaikan terhadap makalah
selanjutnya. Harapan saya semoga makalah ini bermanfaat terlebih bagi saya dan para
pembaca.
Penulis
II
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................II
DAFTAR ISI........................................................................................................................................III
BAB I.......................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................................1
C. Tujuan dan Manfaat.....................................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................................................3
A. Istidlal dalam Mashlahah Mursalah.............................................................................................3
1. Pengertian Istidlal....................................................................................................................3
2. Pengertian Mashlahah Mursalah..............................................................................................4
3. Syarat-syarat Mashlahah Mursalah..........................................................................................4
4. Macam-macam Mashlahah Mursalah......................................................................................4
B. Kaidah Fiqhiyyah “Ijtihad”..........................................................................................................5
1. Defenisi Ijtihad........................................................................................................................5
2. Memaknai kaidah fiqh “ijtihad”..............................................................................................6
3. Penerapan Kaidah fiqh “ijtihad”..............................................................................................8
BAB III..................................................................................................................................................11
PENUTUP.............................................................................................................................................11
Kesimpulan...........................................................................................................................................11
III
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa
petunjuk dan tuntunan Allah untuk umat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan
final. Itulah sebabnya, dengan posisi seperti ini, Allah pun mewujudkan format
Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif. Hal itu dibuktikan
dengan adanya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum yang ada dalam Islam yang
membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat dan kebutuhan manusia
yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Ilmu
Ushul Fiqih adalah ilmu yang sangat diperlukan bagi setiap muslim yang ingin
mengetahui dan mengistimbathkan hukum dari dalil-dalil syar’i, terutama untuk
mengetahui hukum-hukum dari peristiwa atau hal baru yang tidak terjadi pada masa
Rasulullah SAW. Melalui ushul fiqh para ulama berijtihad bersama dalam
memecahkan banyaknya permasalahan yang semakin berkembang dan
mempengaruhi kemantapan hati umat Islam dalam beribadah kepada Allah SWT.
Dalam berijtihad para ulama menggunakan akal pikiran dengan dilandasi teks al-
Qur’an dan al-Hadist. Istidlal secara awam berarti pengambilan dalil, baik memakai
dalil Qur`an, Alaihi Salam-Sunnah, juga alMaslahah, menggunakan berbagai metode
yang muttafaq yakni Qur`an, Alaihi Salam-Sunnah, Ijma‟ serta Qiyas, atau metode
yg masih mukhtalaf yakni Mazhab AS-Shahabi, al-„Urf, dan Syar`u Man Qablana, ,
istihsan, istihlah juga sad al-dzariah. Istidlal dalam ushul fiqh adalah proses
menetapkan hukum syariat dengan menggunakan dalil-dalil atau bukti-bukti yang
relevan.
Dalam kaidah fiqiyyah terdapat kaidah yang mengenai ijtihad. Kaidah ijtihad
ini dapat digunakan atau diterapkan sesuai dengan kondisi yang berlaku sehingga
dapat menerapkan kaidah fiqhiyyah ijtihad. Ada beberapa tempat kaidah ijtihad ini
dapat diterapkan, untuk lebih mendalam maka pada makalah ini telah dipaparkan
mengenai istidalal pada mashlahah mursalah dan mengenai kaidah fiqhiyyah ijtihad.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan di bahas pada bab pembahasan pada makalah ini
adalah, sebagai berikut :
1
5. Seperti apa contoh-contoh dalam penerapan kaidah ijtihad
2
BAB II
PEMBAHASAN
2. Al-Mashlahah al-Mursalah
3. Al-istihsanu / اإلستحسان
8. Al-Urf العرف..
Istidlal menurut bahasa berarti pengambilan dalil. Dalil merupakan obyek materiil,
dan istidlal merupakan obyek formil. Dalam Ushul fiqh, pembagian dalil bermacam-macam.
Ada ulama yang membagi dalil menjadi enam: al-Qur’an, as-Sunnah, al- Maslahah, Mazhab
as-Shahabi, al-‘Urf, dan Syar’u Man Qablana. Sedangkan Qiyas dan Ijma’ masih rancu bila
dimasukkan sebagai dalil (obyek materiil) tapi lebih tepat dimasukkan ke dalam istidlal
(obyek formil), sebab ia mempergunakan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai dalilnya.
Demikian pula dengan istihsan, istislah dan sad al- dzariah lebih tepat dimasukkan ke dalam
istidlal (obyek formil), sebab ia menjadikan al-maslahah sebagai dalilnya.
Istidlal secara umum berarti pengambilan dalil, baik menggunakan dalil Qur'an, as-
Sunnah, maupun al- Maslahah, dengan menggunakan metode yang muttafaq yakni Qur'an, as-
Sunnah, Ijma' dan Qiyas, atau metode yang masih mukhtalaf yakni Mazhab as-Shahabi,
al-'Urf, dan Syar`u Man Qablana,, istihsan, istihlah maupun sad al-dzariah. Dalam melakukan
ijtihad, metode pertama yang dipakai adalah istidlal, baru kemudian ketika tidak ditemukan
dalil sebagai rujukannya, dipakailah metode istishab. Oleh karena itu banyak ulama yang
menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang
terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al- Qur’an, al-Sunnah,
ijma’ atau qiyas.
3
2. Pengertian Mashlahah Mursalah
Kata المصلحة المرسلةtersusun dari dua kata yaitu al-mashlahah dan Mursalah. Kata
al-Mashlahah dari kata َص َلَحyang memiliki arti beres. Dengan bentuk masdarnya ُص ْلحا
atau َم ْص َلحٌةmemiliki arti keberesan, kemaslahatan. Yaitu sesuatu yang mendatangkan
kebaikan. Kata mursalah, dari kata = أرسلmengutus. Bentuk isim mafulnya s diutus, dikirim,
dipakai, dipergunakan.
Perpaduan dari dua kata menjadi mashlahah mursalah, berarti prinsip kemaslahatan,
kebaikan yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti, suatu
perbuatan yang mengandung nilai baik atau bermanfaat.
Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih, bermakna:
المصلحة المرسلة هو أْن ُيْو َج َد َم ْعَنى ُيشِع ُر بالُح ْك م ُم َناِص ٌب َع ْقًال َو اَل ُيوَج ُد إصل
Para ulama terdahulu seperti Asyatibi telah memberi persyaratan terhadap Mashlahah
mursalah yang kemudian diteruskan oleh ulama-ulama berikutnya. Abdul Wahab Khalap dan
Abu Zahrah misalnya memberi persyaratan:
a. Tidak boleh bertentangan dengan Maqasid syariah, dalil-dalil kulli, dan juz 1 yang
qath’i wurud dan dalalahnya, dari nash Alqur’an dan Al-Sunnah
b. Kemaslahatan tersebut harus bersifat rasional, artinya harus ada penelitian dan
pembahasan, hingga yakin hal tersebut memberikan manfaat atau menolak
kemadaratan, bukan kemaslahatan yang dikira-kirakan
c. Kemaslahatan tersebut bersifat umum.
d. Pelaksanaannya tidak menimbulkan kesulitan yang tidak wajar.
4. Macam-macam Mashlahah Mursalah
4
uqubah/jinayat boleh menolak hudud karena subhat.
3) Mashlahah Tahsiniyah, yaitu mempergunakan semua yang layak dan
pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan tercakup pada
bagian mahasimul akhlak. Misalnya dalam hal ibadah menutupi aurat,
menjaga najis, makai pakaian yang bain waktu akan shalat. Dalam adat,
menjaga adat makan dan minum. Dalam muamalah, tidak memberikan
sesuatu melebihi batas kemampuan. Dalam uqubah, tidak berbuat curang
dalam timbangan, tidak membunuh anak-anak, wanita dalam peperangan.
Di antara para ulama ushul ada yang menerima dan ada pula yang menolak berhujjah
dengan mashlahah mursalah;
2) Menurut sebagian ulama Maliki dan sebagian ulama Syafi”I, tetapi harus
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
“pengerahan seluruh kemampuan untuk menentukan sesuatu yang zhanni dari hukum-
hukum syara’, sehingga mujtahid itu merasakan tidak lagi dapat melakukan upaya
melebihi dari apa yang telah dilakukannya itu”
5
Artinya: pengerahan seluruh kemampuan dan upaya seorang mujtahid untuk menemukan
hukum syara.
Artinya: upaya seorang mujtahid untuk mendapatkan ilmu tentang hukum syara’
Beliau juga menambahkan bahwa, ijtihad yang sempurna adalah bila dilakukan dengan
usaha yang maksimal dan dirasakan oleh si mujtahid akan ketidakberdayaannya lagi untuk
melakukan usaha lebih berat dari itu.
4) Menurut Abu Zahrah, seorang pakar ushul fiqh kontemporer Ijtihad adalah:
Artinya: usaha seorang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk
menggali hukum yang bersifat amaliyah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.
6
Perubahan bukan berarti pembatalan hukum yang lama, melainkan hanya
penyesuaian terhadap tuntutun keadaan. Menurut Wahbah al-Zuhailī, pembatalan berbeda
dengan perubahan. Perubahan adalah persoalan menetapkan hukum baru yang berbeda
dari ijtihad sebelumnya. Sedangkan pembatalan ijtihad terkait dengan aspek kehidupan
dan fatwa yang dapat menjerumuskan kepada perselisihan dan kekacauan di antara
manusia.' 'Abd al-'Aziz Muhammad Azzam menjelaskan bahwa ijtihad hanya
menghasilkan suatu kesimpulan hukum pada tingkat zhanni, dan semua hasil ijtihad
memiliki potensi benar dan salah. Ijtihad yang kedua tidak lebih kuat daripada yang
pertama, karena keduanya sama-sama pada kategori zhanni. Oleh sebab itu, sesuatu yang
zhanni tidak dapat membatalkan sesuatu lainnya yang juga bersifat zhanni.
Makanya Sayyid Sabiq berpandangan bahwa apabila seorang hakim menghukumi
suatu perkara berdasarkan ijtihadnya kemudian muncul hukum baru darinya yang
bertentangan dengan hukum yang pertama maka hukum baru itu tidaklah merusak hukum
yang pertama. Demikian pula bila diajukan kepadanya keputusan dari hakim lain, sedang
dia tidak sependapat dengan yang demikian, maka keputusan hukum yang lain itu tidaklah
merusak keputusan yang telah ditetapkannya.
Hal senada juga diutarakan Mohammad Hashim Kamali dengan mencontohkan
seorang hakim yang memutus suatu sengketa atas dasar ijtihadnya sendiri ketika tidak ada
teks yang jelas untuk menentukan persoalan tersebut. Kemudian hakim ini pensiun dan
hakim lainnya dari tingkatan peradilan yang sama mengkaji kembali perkara tersebut dan
dengan ijtihadnya sendiri menemukan kesimpulan berbeda atas persoalan yang sama.
Perbedaan ijtihad ini tidak mempengaruhi otoritas ijtihad yang pertama semata-mata
karena satu ijtihad tidak dapat dibalikkan oleh putusan ijtihad yang lain," sesuai dengan
kaidah yang berlaku, al-ijtihādu la yunqadhu bi al-ijtihādi.
Di sisi lain, ada pula yang mengkritisi keberadaan kaidah tersebut. Kritikan muncul
dikarenakan bisa saja terjadi hasil ijtihad dihapus ijtihad lain yang dianggap lebih benar,
seperti qaul qadim dan gaul jadid Imam Syafi'i. A. Djazuli memandang bahwa ada
kesalahan dari sebagian orang dalam memahami kaidah tersebut. Menurutnya, yang
dimaksud dengan kaidah "ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang lain" adalah sah
segala perbuatan yang telah dilakukan dengan dasar ijtihad yang pertama. Tetapi
kemudian dengan pentarjihan, muncul hukum hasil ijtihad yang baru dan diterapkan.
Dengan demikian, hasil ijtihad yang lalu berlaku pada masa yang lalu dan hasil ijtihad
yang sekarang berlaku pada masa sekarang sampai nanti terjadi perubahan lagi. Artinya,
hasil ijtihad yang sekarang tidak berlaku surut kepada masa yang lalu, sehingga
manghapuskan hasil ijtihad yang telah lalu.
Contoh-contoh:
1. Ijtihad Abu Bakar terhadap tawanan perang Badar dengan membayar tebusan Lalu
ada ijtihad Umar yang memutuskan agar mereka dibunuh, dengan dikuatkan wahyu al-
Anfal: 67. Ijtihad Umar yang dijalankan dengan tidak membatalkan ijtihad abu Bakar
3. Berubah ijtihad dalam arah salat, tidak perlu mengulangi rakaat atas ijtihadnya
yang pertama.
7
3. Penerapan Kaidah fiqh “ijtihad”
Yang menjadi dasar dalam penyusunan kaidah al-ijtihādu lä Yunqadhu bi al-ijtihadi
adalah ijma’ al-shahabah. 19 Para sahabat Rasulullah saw. Yang terkenal sebagai mujtahid di
antaranya adalah Abu Bakar, Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit,
Abdullah ibn Abbas dan Abdullah ibn Mas’ud. Dalam berbagai kasus, hasil ijtihad mereka
berbeda- beda. Abu Bakar r.a pernah memutuskan sejumlah perkara hukum yang berlawanan
dengan hasil ijtihad Umar r.a., begitu pula sebaliknya. Namun apa yang diputuskan oleh Abu
Bakar tidak sampai membatalkan keputusan Umar. 20 Keputusan Mujtahid Sahabat yang
saling berbeda dan tidak membatalkan salah satu putusan yang mendahuluinya diterima oleh
para sahabat, sehingga merupakan ijma’.
Perbedaan hasil ijtihad tidak saja terjadi antara mujtahid satu dengan lain. Terkadang
seorang mujtahid sahabat juga menetapkan suatu hukum yang berbeda dengan hasil ijtihadnya
sendiri sebelumnya. Kasus seperti ini pernah dipraktikkan Umar bin Khaththab, dalam
menyelesaikan masalah musytarakah. Musytarakah merupakan masalah pembagian harta
pusaka, dimana seorang wanita mati meninggalkan suami, ibu, beberapa saudara laki- laki
seibu dan beberapa saudara laki-laki sekandung. Dalam hal ini, Umar memutuskan bahwa
suami mendapatkan ½ bagian, ibu memperoleh 1/6, dan selebihnya adalah 1/3 diberikan
kepada saudara laki-laki seibu. Sedangkan saudara laki-laki kandungnya yang ashabah tidak
mendapatkan bagian, lantaran sudah tidak ada sisa lagi. Langkah yang ditempuh Umar ini
Sebenarnya sesuai dengan petunjuk nash Alquran.
Kemudian pada kesempatan lain dalam kasus yang serupa, Umar memutuskan bahwa
Saudara kandung tersebut berserikat dengan beberapa Saudara seibu dalam menerima 1/3
harta peninggalan. Keputusannya ini dilatarbelakangi oleh adanya pengaduan beberapa
saudara laki-laki sekandung yang tidak mendapat bahagiannya. “wahai Amirul mukminin,
kami satu bapak dengan mayat sedangkan mereka (saudara seibu) tidak. Kami juga satu ibu
dengan mayat sebagaimana mereka satu ibu dengannya. Jika kamu menahan kami untuk
mendapatkan warisan sebab bapak kami, maka kami seharusnya mendapatkan warisan
disebabkab ibu kami, sebagaimana mereka mendapatkan warisan disebabkan ibu mereka. Dan
jika demikian, mereka mengganggap bapak kami keledai. Bukankah kami dilahirkan dari
rahim yang sama?” Pengaduan ini ditanggapi Umar dengan mengatakan: “Kalian benar.
Kalian akan bersama-sama membagi 1/3 kelebihan warisan itu dengan saudara seibu kalian”.
Setelah Umar ra merubah pendapatnya dengan adanya musyarakah, ada yang mengajukan
pertanyaan kepadanya: “dulu engkau memberikan bagian 1/3 kepada saudara seibu. Kenapa
sekarang engkau juga memberikannya kepada saudara sekandung mayat? Beliau menjawab:
Itu adalah kepuhusan saya dahulu, dan ini adalah) 24 على ما قضينا و هذا على ما نقضىkeputusan
yang sekarang). Keputusan Umar yang terakhir ini tidak sampai mencabut keputusannya yang
dahulu meskipun berbeda.
Di waktu yang lain, Umar r.a pernah memberikan keputusan hukum terhadap seorang
wanita musyrik lantaran kesyirikannya, tetapi pada tahun berikutnya ia membiarkan kasus
yang sama. Ketika ada yang bertanya mengenai hal ini Umar menjawab: "itu adalah
keputusan hukum kami yang dulu, sedangkan keputusan hukum kami yang sekarang seperti
ini." Terhadap praktik Umar tersebut, Ibnu Qayyim berkomentar: "Dalam kedua ijtihadnya
ini, Amirulmukminin mengambil keputusan yang menurut dia adalah benar" Dengan
demikian, Keputusan seorang mujtahid yang saling berbeda tidak membatalkan salah satu
keputusan yang mendahuluinya, sehingga lahirlah kaidah: al-ijtihādu la yungadhu bi al-
ijtihādi. Lebih jauh mengenai hal ini Hasbi ash-shiddieqy menjelaskan: Apabila para
mujtahid berijtihad dalam sesuatu kejadian untuk mengetahui hukumnya, kemudian
condonglah keyakinannya kepada sesuatu hukum, maka jika ia berijtihad untuk dirinya dan
telah ia amalkan ijtihadnya itu, kemudian berubah pendapatnya, lazimlah ia rubah apa yang
telah ia tegakkan atas ijtihad pertama. Umpamanya, seorang yang dituntun oleh ijtihadnya
kepada pendapat bahwa khulu itu fasakh, tidak mengurangi bilangan talak. Maka ia pun
menikah dengan perempuan yang telah tiga kali dikhulu'. Kemudian berubah ijtihadnya,
8
yakni ia berpendapat bahwa khulu' adalah talak, lazimlah ia melepaskan itu tidak boleh
ditahan lagi. Tetapi jika ia seorang hakim dan memutuskan hukum menurut hasil ijtihadnya
kemudian merubah ijtihadnya itu maka tidak boleh lagi baginya merusakkan hukum yang
telah lalu.
Demikian pula tidak boleh lagi bagi orang lain yang menyalahi ijtihadnya membatalkan
hukum yang telah diberikan itu dengan syarat hukum itu tidak nyata berlawanan dengan nash
dan dalil yang qath 'i. Karena itu, apabila seorang mujtahid menetapkan bahwa talak tiga
sekaligus, dihukum satu dan dibenarkan lelaki yang menjatuhkan talak rujuk kepada isterinya
itu dalam masa iddah, tidaklah boleh bagi hakim lain yang tidak menyetujui ijtihad tersebut
memisahkan lelaki tersebut dari isterinya. Karena tidak ada keterangan yang tegas dan qath'i
yang menerangkan bahwa talak tiga dalam sekali sebut jatuh tiga.
Contoh lain adalah, seorang fasiq mempersaksikan suatu perkara hingga diambil suatu
keputusan oleh hakim atas persaksiannya itu. Beberapa waktu kemudian setelah keputusan
hakim menjadi tetap dan dijalankan oleh pihak terhukum, ia mencabut persaksiannya lalu
bertaubat dan mengulang persaksiannya kembali. Dalam hal ini tidak dapat diterima, sebab
menerima persaksiannya kembali setelah dia bertaubat termasuk dalam kriteria Membatalkan
ijtihad dengan ijtihad yang baru.
Namun demikian, bukan berarti bahwa tidak ada keputusan hakim atau Mujtahid yang tidak
dapat dibatalkan oleh hakim mujtahid yang lain. Keputusan hakim mujtahid dikatakan batal
apabila terdapat kesalahan. Kesalahan yang dimaksud terletak pada 3 tempat :
1) Terletak pada isi keputusan itu sendiri. Kesalahan yang terletak pada keputusan
disebabkan keputusan itu berlawanan dengan nash atau ijma’ atau qiyas jali.
Sebagai contoh putusan hakim yang berlawanan dengan nash misalnya suatu
keputusan yang isinya mengesahkan perkawinan seorang laki-laki dengan bekas
isterinya yang sudah ditalak tiga yang sudah diceraikan oleh Suami kedua dalam
pernikahan muhallil (pernikahan yang hanya bermaksud untuk menghalalkan
kepada suami yang pertama untuk mengawini kembali dengan ketentuan bahwa
perkawinannya dengan suami yang kedua tidak sampai terjadi persetubuhan).
Keputusan tersebut berlawanan dengan sabda Rasulullah saw. Yang ditujukan
kepada isteri Rifa’ah al-Qurazhi yang telah ditalak tiga dan dikawini oleh Abdur
Rahman bin Zubair yang diduga impoten. Nabi bersabda:
Artinya: Apakah kamu akan kawin kembali dengan Rifa’ah? Jangan, sebelum
kamu merasakan setetes madu Abdur Rahman dan ia merasakan setetes madumu.
“(HR. Bukhari dan Muslim).
9
yang lain atau hakim yang lebih tinggi daripada hakim yang memutus semula dapat
membatalkan dan membuat keputusan baru. Keputusan yang terakhir inilah yang menjadi
keputusan yang tetap yang harus dijalankan dan tidak dapat dibatalkan lagi. Contoh lain
yang dikecualikan dari kaidah ini adalah:
1. Jika seorang mujtahid berijtihad bahwasannya khulu’ sama dengan fasakh lalu menikahi
perempuan yang telah tiga kali dikhulu’. Kemudian ijtihadnya berubah dan memandang
khulu’ sebagai talak maka tidak halal lagi baginya untuk melanjutkan hubungan tersebut.
Ia harus meninggalkan ijtihadnya yang lama dan mengamalkan hasil ijtihadnya yang
baru.
2. Lahan yang dilindungi (hima) dan telah ditetapkan menjadi milik umum sebagai tempat
tumbuhnya rerumputan dan pengembalaan hewan ternak, boleh dialihkan
pemanfaatannya untuk mendirikan sekolah atau rumah sakit dan sebagainnnya melalui
ijtihad baru seorang Imam.
10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara bahasa berasal dari kata / Istadalla artinya: minta petunjuk, memperoleh dalil,
menarik kesimpulan. Menurut Imam Abdul Hamid Hakim, istidlal adalah mencari dalil yang
tidak ada pada nash Alquran dan al-Sunnah, tidak ada pada Ijma dan tidak ada pada Qiyas.
Istidlal secara umum berarti pengambilan dalil, baik menggunakan dalil Qur'an, as-Sunnah,
maupun al- Maslahah, dengan menggunakan metode yang muttafaq. Di antara para ulama
ushul ada yang menerima dan ada pula yang menolak berhujjah dengan mashlahah mursalah;
2) Menurut sebagian ulama Maliki dan sebagian ulama Syafi”I, tetapi harus
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
Ijtihad adalah
“pengerahan seluruh kemampuan untuk menentukan sesuatu yang zhanni dari hukum-
hukum syara’, sehingga mujtahid itu merasakan tidak lagi dapat melakukan upaya
melebihi dari apa yang telah dilakukannya itu”
1. Ijtihad Abu Bakar terhadap tawanan perang Badar dengan membayar tebusan Lalu
ada ijtihad Umar yang memutuskan agar mereka dibunuh, dengan dikuatkan wahyu al-
Anfal: 67. Ijtihad Umar yang dijalankan dengan tidak membatalkan ijtihad abu Bakar
3. Berubah ijtihad dalam arah salat, tidak perlu mengulangi rakaat atas ijtihadnya
yang pertama.
11
DAFTAR PUSTAKA
12