Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

KAIDAH FIQHIYAH DAN USHULIYAH

DALAM BIDANG EKONOMI

(Diajukan untuk memenuhi tugas kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam)

Pemakalah :

Eki 3C/sem III

AHMAD SUWANDI (0501183291)

DEKSA IMAM SUHADA (0501182160)

YOLANDA RUCHIYANI (0501181043)

SELFIA RACHMALIJA (0501183275)

Dosen Pengampu : RUKMANA PRASETYO, M.HI

JURUSAN EKONOMI ISLAM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita berbagai macam
nikmat, rahmat dan hidayah-Nya. Penulis ucapkan terimakasih kepada Dosen serta teman-
teman sekalian yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Makalah ini dibuat
untuk menyelesaikan salah satu tugas dari pelajaran “Ushul Fiqh Keuangan” yang diberikan
oleh Dosen Kita bapak Rukmana Prasetyo,M.HI. Sebagai kewajiban kita diperkuliahan ini.

Penulis menyadari, dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
serta banyak kekurangan, baik dari segi tata bahasa maupun dalam hal pengkonsolidasian
kepada dosen beserta teman-teman sekalian, yang kadang kala hanya menuruti egoisme
pribadi, untuk itu besar harapan kami jika ada kritik dan saran yang membangun untuk untuk
memperbaiki makalah di masa yang akan datang.

Harapan yang paling besar dari penyusun makalah ini ialah, mudah-mudahan apa
yang penulis susun ini dapat bermanfaat, baik untuk pribadi maupun orang lain, yang ingin
mengambil hikmah dari makalah kami yang berjudul “ Kaidah Fiqhiyah dan kaidah
Ushuliyah dalam bidang ekonomi”

Demikian penulis mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terimakasih dan
semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

Medan, 08 Desember 2019

Pemakalah
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................... i


Daftar isi .................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................. 2
D. Manfaat Penulisan ........................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Qawa’id Fiqhiyyah dan Qawa’id Ushuliyah .......................................... 3
1.Pengertian Qawa’id Fiqhiyyah dan Qawa’id Ushuliyyah....................... 3
2.Sumber – sumber Kaidah Ushuliyah .................................................. 5
3. Karakteristik Kaidah Ushuliyah ........................................................ 7
4. Ragam Kaidah Ushuliyah ................................................................ 7
5. Aplikasi Kaidah Ushuliyah dalam Ekonomi Syariah ............................8

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .............................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 11


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kaidah fiqhiyyah dan kaidah ushuliyyah adalah asas-asas atau aturan-aturan dalam
ilmu fikih yang perlu diketahui secara umum oleh umat islam, terutama bagi mereka yang
ingin mendalami ilmu fikih serta para mujtahid.Banyak dari kita yang kurang mengerti
bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu kaidah fiqhiyyah dan kaidah ushuliyyah.
Kaidah fiqhiyyah dan kaidah ushuliyyah sangat penting dipelajari karena berfungsi sebagai
alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Al-Qur’an dan
As-Sunnah.

Kaidah ushulliyah merupakan pedoman dalam mengali hukum islam yang berasal dari
sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Hadits, sedangkan kaidahfiqhiyyah ialah kelanjutannya,
yaitu sebagai petunjuk operasional dalam peng-istimbath-an hukum islam. Hal ini sependapat
dengan pernyataan dari Dr. Musthafa al-Zarqa` dalam sebuah alinea kitab al-Madkhal al-
Fiqhi, “seandainya kaidah fiqih tidak ada, maka hukum-hukum fikih akan tetap menjadi
cecaran-cecaran hukum yang secara lahir saling bertentangan satu sama lain”.

Dengan mengetahui dan memahami kaidah-kaidah fikih kita akan mengetahui benang
merah dalam menguasai fikih, karena kaidah fikih itu menjadi titik temu dari masalah-
masalah fikih dan lebih arif dalam menerapkan fikih dalam waktu dan tempat yang berbeda
untuk kasus, adat kebiasaan, dan keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat
di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah
mencari solusi terhadap masalah-masalah yang terus muncul dan berkembang dalam
masyarakat. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk
membahas lebih lanjut mengenai “Qawa’id Fiqhiyyah dan Qawa’id Ushuliyyah serta
Penerapan dalam Ekonomi Syari’ah”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, yang menjadi rumusan masalah dalam makalah
ini adalah:
1.Apa pengertian Qawa’id Fiqhiyyah dan Qawa’id Ushuliyyah ?
2. Apa saja sumber-sumber kaidah Ushuliyah ?
3. Apa Saja Karakteristik Kaidah Ushuliyah ?
4. Mengaplikasikan Kaidah Ushuliyah dalam Ekonomi Syariah ?

C. Tujuan Penulisan
1.Untuk mengetahui apa itu Qawa’id Fiqhiyyah dan Qawa’id Ushuliyyah.
2. Agar dapat mengetahui sumber-sumber Kaidah Ushuliyah.
3. Untuk mengetahui apa saja karakteristik dari Kaidah Ushuliyah.
4. Dapat mengetahui aplikasi Kaidah Ushuliyah dalam Ekonomi Syariah.

D. Manfaat Penulisan
1.Membantu mahasiswa untuk menambah pengetahuan tentang Qawa’id
Fiqhiyyah dan Qawa’id Ushuliyyah.
2.Membantu mahasiswa dan pembaca lainnya untuk sadar pentingnya mempelajari Qawa’id
Fiqhiyyah dan Qawa’id Ushuliyyah.
3.Menyelesaikan tugas mata Kuliah Ushul Fiqh Keuangan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFENISI QAWA’ID FIQHIYAH DAN QAWA’ID USHULIYAH


1. Pengertian Qawa’id Fiqhiyah
Al-Qawa’id bentuk jamak dari kata qaidah (kaidah). Para ulama
mengartikan qaidah secara etimologis dan terminologis, (lughatan wa istilahan).Dalam arti
bahasa, kaidah bermakna asas, dasar, atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun
yang abstrak, seperti kata-kata qawa’id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawa’id al-
din, artinya dasar-dasar agama, qawa’id al-ilm, artinya kaidah kaidah ilmu. Imam Tajjuddiin
al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi
bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi.
Al-Qawa’id al-fiqhiyah (kaidah-kaidah fikih) secara etimologis adalah dasar-dasar
atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih. Menurut Al-
Jurjani kaidah fikih adalah ketetapan yang kulli(menyeluruh, general) yang mencakup seluruh
bagian-bagian.1

1. Pengertian Qawa’id Ushuliyah

Menurut al-Tiftazani, kaidah adalah suatu patokan bersifat umum yang sesuai
dengan cabang-cabangnya untuk mengetahui hukum-hukum bagian-bagian yang lainnya.2
Sementara Ushul berarti merupakan bentuk plural dari ashl. Dalam bahasa arab, kata al-ashl
ini juga memiliki beragam arti. Akan tetapi, dalam konteks ini,term ushuliyah merupakan
kata sifat yang mengandung arti suatu ilmu yang membahas tentang metode ijtihad (al-ushul)
dalam merumuskan suatu hukum.

Adapun qawaid ushuliyah ini secara definitif belum didefinisikan oleh para
ushuliyun klasik. Qawaid Ushuliyah atau kaidah-kaidah ijtihad ini baru didefinisikan oleh
para pakar ushul fiqh kontemporer. Salah satunya yaitu

 Defenisi Muhammad Utsman Shabir


Yang artinya :

1 Djazuli. Kaidah-Kaidah Fikih, Cet II (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 2


2 Sa’ad al-Din al-Tiftazani, al-Talwih ila kasyfi Haqaiq al-Tanqih, Vol. I, h.52.
”Suatu kaidah yang bersifat kulli yang mengantarkan kepada istinbath hukum syar’i
yang bersifat partikular dari dalil-dalilnya yang terperinci”.3

Dengan demikian, yang dimaksud kaidah Ushuliyah adalah suatu kaidah yang
bersifat kulli (menyeluruh) yang dapat digunakan dalam menggali hukum syar’i, atau dalam
mentarjih antara pendapat-pendapat ahli fikih yang berbeda-beda. Dari sini, maka kaidah
ushul fiqh dapat digunakan oleh para mujtahid lintas zaman yang memenuhi syarat kualifikasi
dalam berijtihad dalam masalah-masalah fikih yang bersifat cabang (far’i). Kaidah-kaidah
ushul fiqh ini pada umumnya berkaitan dengan ketentuan dilalah alfazatau petunjuk
interprestasi teks.

Oleh karena itu, kaidah ushuliyah sebagai rumusan atau ekstrak dari berbagai
sumber, maka kaidah-kaidah ushul ini terdiri atas dua rukun utama. Pertama, musnad ilaih;
kedua, al-musnad. Yang dimaksud dengan musnad ilaih adalah redaksi kalimat (al-maudhu’)
yang masih membutuhkan penjelasan. Sementara musnad adalah hukum (al-mahmul) yang
hendak disematkan kepada redaksi sebelumnya (al-maudhu’).4

Adapun urgensi kaidah ushul fiqh dalam pengembangan pemikiran hukum islam
dapat dilihat sebagai berikut:5

Pertama, kaidah ushul fiqh dirumuskan untuk memudahkan metode dalam


mengetahui hukum Tuhan (taisir subul al-wushul ila ma’rifat ahkamillah) yang mengatur
perilaku umat manusia sehari-hari.

Kedua, kaidah ushul fiqh dicetuskan untuk menjaga syariat (hifz al-syariat) yang
mana kaidah tersebut dapat digunakan untuk metode yang benar dalam istinbath hukum
syar’i, sehingga tidak terkontaminasi dengan metode interprestasi lain yang menyesatkan.

Ketiga, sebagai pedoman yang mengikat bagi para mujtahid dalam


mengistinbatkan hukum (manhajan yalzamu bihi fi istinbath al-ahkam al-syar’iyah).6

3Muhammad Utsman Syubair, al-Qawaid al-Kulliah wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah fi al-syari’ah al-islamiyah, h.


27.
4Muhammad Syarif Mustafa, al-Qawaid al-Ushuliyah wa thuruq Istimbath al-Ahkam minha,(Majallah al-
jamiah al-Islamiyah al-mujallad al-Tasi’ Asyar Vol.I), h. 282.
5Muhammad Syarif Mustafa, al-Qawaid al-Ushuliyah Wa Thuruq Istimbath al-Ahkam minha,(Majalallah al-
Jamiah al-Islamiyah al-Mujallad al-Tasi’ Asyar Vol.I), h. 285.
6Ibid,
Keempat, sebagai bukti bagi fukaha di setiap zaman bahwa kaidah ushuliyah
tersebut dapat digunakan sebagai pisau analisis dalam pengembangan hukum islam
kontemporer.

Kelima, kaidah ushuliyah ini sebagai sumbangan berharga bagi praktisi hukum
islam istinbath hukum dan mentarjih pendapat fukaha yang berbeda-beda. Keenam, kaidah
ushul fiqh dapat membantu kajian fiqh lintas mazhab dan proses pentarjihannya. Ketujuh,
kaidah ushuliyah juga berfungsi sebagai “kode etik” (dhawabit) dalam memahami kandungan
Al-Qur’an dan Hadis.

B. SUMBER-SUMBER KAIDAH USHULIYAH


Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa kaidah ushuliyah merupakan
serangkaian kata yang dapat mamandu mujtahid dalam mengistinbatkan hokum, maka kaidah
ushuliyah dipastikan memiliki sumber otoratif yang menjadi pijakannya. Yaitu :
1. Al-qur’an
Al-qur’an sebagai sumber ajaran islam yang utama, ia menjadi pikiran pertama
dalam rumusan kaidah ushuliyah. Ada beberapa kaidah yang redaksinya bersumber
langsung dari al-qur’an. Misalnya, kaidah “Al-hakim huwa Allah azza wajalla” yang
bersumber dari QS.al-An’aam [6]: 57. Begitu juga, kaidah “La taklifa illa
bimaqduurin alaihi” yang bersumber dari QS. Al-Baqarah [2] : 286.
2. Hadis nabi
Hadis adalah segala perkataan perbuatan dan persetujuan Nabi yang dapat
menimbulkan kesimpulan hokum. Dengan demikian, kaidah ushul fiqihjuga sangat
mungkin dirumuskan berdasarkan teks-teks hadis. Misalnya, kaidah “al-amru al-
mutlaq yufidu al-wujub”
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, sesungguhnya suami Barirah adalah seorang budak
yang bernama Mughits. Aku ingat bagaimana Mughits mengikuti Barirah ke mana ia
pergi sambil menangis (karena mengharapkan cinta Barirah). Air matanya mengalir
mrmbasahi jenggotnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada
pamannya, abbas. “Wahai Abbas, tidakkah engkau heran betapa besar rasa cinta
Mughits kepada Barira namun betapa besar pula kebencian Barirah kepada Mughits.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Barirah, “andai engkau mau kembali
kepada Mughits?!” Barirah mengatakan, “wahai Rasulullah, apakah engkau
memerintahku?” Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “aku hnaya ingin menjad
perantara (syafi’).” Barirah mengatakan, “aku sudah tidak lagi membutuhkannya.”
(HR. Bukhari).
Indikator bahwa setiap perintsh yang mutlak itu menunjukkan kewajiban, sajatinya,
dapat dipahami dari pertanyaan Barirah kepada Nabi “apakah engkau
memerintahkanku? Pertanyaan itu terlontar, seakan ingin mengonfirmasi apa yang ada
dibenaknya atas pernyataan Nabi sebelumnya. Yakni, ia memahami ungkapan Nabi
sebagai perintah yang mengikat untuk dilaksanakan. Dari situ, Nabi kemudian
menjelaskan bahwa Nabi hanya memberikan Syafaat(saran), bukan bersifat memaksa
dan mengharuskannya rujuk kepada suaminya.
3. Ijma’
Ijma merupakan sumber hokum islam yang dapat diterima oleh para fukaha. Ijma
juga menjadi sumber dalam lahirnya rumusan kaidah-kaidah ushul fiqih.
 Kaidah tentang otoritas mazhab sahabat:
Sebagaimana dikatakan al-Amidi dalam bukunya, bahwa kaidah itu
berdasarkan consensus fukaha yang menyatakan mazhab sahabat dalam
masalah-masalah ijtihad meskipun sahabat itu seorang pemimpin, hakim
maupun mufti tidak termasuk hujjah bagi sahabat lainnya yang memiliki
kapasitas dan kualifikasi seorang mujtahi pula.7
 Kaidah larangan taklid bagi Mujtahid
Sebagaimana pernyataan al-Ghazali dalam kitabnya al-mustasfa bahwa
kaidah di atas berdasarkan ihma fukaha.
4. Qiyas
Qiyas merupakan proses analogi sebab adanya kesamaan dari beberapa aspeknya.
Qiyas dalam hokum islam juga menjadi sumber yang diterima oleh kalangan fukaha.
5. Penalaran Akal
Dalam istinbath hokum, akal mmberikan peran yang penting dalam mengelolah
dalil-dalil yang ditemukan dalam merumuskan hokum. Begitu besar peran akal, tidak
heran juga bila kaida ushul fiqih juga sebagian dihasilkan dari penalaran akal yang
rasional.

7 Al-Amidi, al-ihkam fi ushul Al-ahkam, vol III, h. 195.


6. Bahasa Arab
Bahasa Arab merupakan bahasa Al-qur’an dan Hadis Nabi. Bahasa Arab menjadi b
istimewa karena menjadi media bahasa firman Allah yang meniympan di dalamnya
makna-makna yang sacral.
7. Penalaran Induktif
Istiqra (penalaran induktif) merupakan suatu metode pengambilan kesimpulan
umum yang dihasilkan dari fakta-fakta khusus yang digunakan para fukaha untuk
menetapkan suatu hokum.

C. KARAKTERISTIK KAIDAH USHULIYAH


Seperti diketahui, bahwa kaidah ushuliyah berbeda dengan kaidah – kaidah
fiqhiyah. Jika kaidah – kaidah fikih merupakan kaidah aghlabiyah (secara umum) yang hanya
dapat diaplikasikan dalam sebagian besar cabang – cabangnya, karena kaidah fikih di
dalamnya masih banyak terkandung masalah – masalah yang dikecualikan, maka kaidah
ushul – iyah ruang lingkupnya sangat luas, karena dapat diaplikasikan dalam seluruh bagian –
bagian pembahasan fikih, sekaligus dapat melahirkan kesimpulan hukum baru.

D. RAGAM KAIDAH USHULIYAH

Ragam kaidah – kaidah ushul fiqih dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria
berikut

1. Berdasarkan tema besar kaidah ushul fikih

Kaidah – kaidah fikih berdasarkan tema – tema besar dalam pembahasan ushul fiqh
dapat dibagi menjadi enam ragam, (1) kaidah – kaidah metodis secara umum (qawaid
manhajiyah amah), seperti kaidah “al – hukmu bi al – syai far’u tashawwuruhu”;(2) kaidah –
kaidah ushul fiqh yang berhubungan dengan hukum syar’i, seperti, “al – ahkam al – syar’iyah
innama tatsbutu bi adillah syar’iyyah”; (3) kaidah – kaidah yang berhubungan dengan dalil –
dalil syar’i, seperti, “al – Qur’an huwa al – ashl al – marju’ilahi fi al – syara’i” (4) kaidah -
kaidah yang brhubungan dengan interpretasi teks (dalalat al – alfaz); (5) kaidah – kaidah yang
berhubungan dengan ijtihad, taklid dan fatwa seperti “la musagha lil al – ijtihad fi maurid al –
nash”; (6) kaidah – kaidah yang berhubungan dengan kontradiksi (ta’arudh) dalil dan tarjih.

2. Berdasarkan sumber kaidah


Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa sumber kaidah – kaidah ushul fiqh
(al – Qawaid al – ushuliyah) ini bersumber dari berbagai sumber yang otoritatif. Karena itu,
ushul fiqh juga dapat diklasifikasikan berdasarkan sumbernya menjadi tiga kategori: pertama,
kaidah yang bersumber dari Bahasa arab, misalnya kaidah “al – wawu yufidu al – jam’u al –
mutlaq” dan kaidah – kaidah Bahasa lainnya; kedua, kaidah yang bersumber dari prinsip –
prinsip syariat, misalnya, kaidah al – taisir wa raf’u al – haraj, al – ashlu fi al – asyya al –
ibahah dan lainnya; ketiga, kaidah ushul fiqh yang bersumber dari rasio/akal sehat
berdasarkan penalaran qiyas, seperti “al – nahyu ba’da al – amr la yadullu al – tahrim”.

3. Berdasarkan validitas kaidah

Dilihat dari segi validitas kaidah, maka kaidah – kaidah ushul fiqh dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian; pertama, kaidah ushul fiqh yang bersifat qath’iyah.
Kaidah qath’iyah in disukung dengan dalil –dalil yang qath’I (pasti) sehingga berdasarkan
istiqra (penelitian mendalam) bahwa kaidah tersebut melahirkan kepastian pula.

Kedua, kaidah – kaidah ushul fiqh yang bersifat zhanniyah. Kaidah ini biasanya
memunculkan perbedaan pada porsi penggunannya dalam menetapkan hukum. Hal ini
karena, kaidah ini berdasarkan ijtihad berdasarkan dalil – dalil yang zhanni yang dilakukan
oleh fukaha.

E. APLIKASI KAIDAH USHULIYAH DALAM EKONOMI SYARIAH

1.Ihtikar Komoditas Non – Makanan Pokok

Ihtikar merupakan Bahasa arab, secara etimologis adalah perbuatan menimbun,


pengumpulan (barang – barang) atau tempat untuk menimbun. Sementara secara terminologis
adalah menahan (menimbun) barang – barang pokok manusia untuk dapat meraih keuntungan
dengan menaikkan harganya. Adapun menurut Adiwarman bahwa ihtikar adalah mengambil
keuntungan diatas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga
yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya disebut dengan monopoly’s rent.

2. Hukum Saksi dalam Transaksi Jual Beli dan utang – piutang

Para fukaha berbeda pendapat dalam hukum adanya saksi dalam transaksi jual beli
atau utang piutang. Hal ini karena mereka berbeda dalam mengaplikasikan dari kaidah ushul
fiqh yang sangat popular, “al – Ashlu fi al – amri al – mutlaq lil al – wujub”, (pada dasarnya,
setiap lafaz perintah secara mutlak itu merupakan suatu kewajiban).
Menurut fukaha, hukum saksi dalam transaksi jual beli dan utang piutang dibagi
menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, mengatakan bahwa keberadaan saksi dalam
transaksi tersebut hanya bersifat anjuran bahwa keberadaan saksi dalam transaksi tersebut
hanya bersifat anjuran (sunah), bukan wajib.

Kelompok kedua, berpendapat bahwa saksi dalam jual beli dan utang – piutang
hukumnya wajib. Pendapat ini dipelopori oleh Abu ja’far al – Thabari dan Muhammad Ibn
Hazm dari kalangan Mazhab Dhahiriyah.

Oleh karena itu, hukum saksi dalam transaksi jual beli dan utang piutang antara
sebagai anjuran atau kewajiban harus melihat konteksnya. Jika masyarakat di era sekarang,
kejujuran menjadi barang yang langka, maka saksi mutlak dibutuhkan umtuk menghindari
timbulnya sengketa dalam perkara ekonomi syariah.

3. Hukum Pencatatan Utang (Akuntansi)

Para fukaha sepakat, bahwa transaksi utang piutang tanpa pencatatan di “hitam di
atas putih” hukumnya sah. Tetapi, fukaha berbeda pendapat,apakah utang yang tidak
dicatatkan itu berdosa atau tidak? Ini juga masih ada kaitannya, dengan kaidah sebelumnya:
“al – Ashlu fi al – amri al – mutlaq lil al – wujub

Fukaha berbeda pendapat menjadi dua kelompok. Kelompok jumhur fukaha


berpendapat bahwa pencatatan utang merupakan anjuran, bukan kewajiban. Karenanya,
transaksi utang piutang yang tidak dicatat tidak berdosa.

Berbeda dengan pendapat kelompok kedua, yang dipelopori Ibn Hazm dan al –
Thabari, cenderung berpendapat bahwa perintah pencatatan utang merupakan suatu
kewajiban yang harus dilakukan kedua belah pihak.oleh karena itu, pihak – pihak yang
meninggalkan kewajiban ini dianggap meninggalkan perintah Allah dalam QS. Al – baqarah
(2) : 282 “faktubuhu” (catatlah) yang layak mendapatkan dosa8

8 .Moh.mufid,Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer.(Jakarta:Prenamedia Group.2018),Cet. 2,hlm


256-261.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kaidah Ushuliyyah adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul dari lafal. Contohnya
seperti kaidah yang menyebutkan bahwa perintah menunujukkan kewajiban, larangan
menunjukkan keharaman, dan lafal-lafal tertentu bisa menerima nasakh.sedangkan Kaidah
Fiqhiyyah adalah Kaidah-kaidah yang bisa membatasi cabang-cabang ilmu fiqh yang sangat
luas. kaidah Fiqhiyyah juga mencakup berbagai rahasia hukum syara’ dan
hikmahnya.perbedaan antara Kaidah Ushuliyyah dan Kaidah Fiqhiyyah adalah jika kaidah
ushuliyah merupakan pedoman beristibath yang bersumber dari penelitian nash-nash yang
ada maka kaidah fiqhiyyah merupakan pedoman yang menghimpun hukum-hukum yang
sama.
1) Sumber-Sumber kaidah Ushuliyah
Al-qur’an
Hadist Nabi
Ijma’
Qiyas
Penalaran akal
Bahasa arab
Penalaran induktif
DAFTAR PUSTAKA

Al-Amidi. al-ihkam fi ushul Al-ahkam, vol III.

Djazuli.2006. Kaidah-Kaidah Fikih, Cet II .Jakarta: Kencana,


Mufid,MohUshul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer.Jakarta:Prenamedia
Group.2018,Cet. II.

Mustafa, MS .al-Qawaid al-Ushuliyah wa thuruq Istimbath al-Ahkamminha:Majallah al-


jamiah al-Islamiyah al-mujallad al-Tasi’ Asyar Vol.I.

Mustafa, MS. al-Qawaid al-Ushuliyah Wa Thuruq Istimbath al-Ahkam minha:Majalallah al-


Jamiah al-Islamiyah al-Mujallad al-Tasi’ Asyar Vol.I.

Sa’ad al-Din al-Tiftazani. al-Talwih ila kasyfi Haqaiq al-Tanqih Vol. I.

Syubair, MU. al-Qawaid al-Kulliah wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah fi al-syari’ah al-islamiyah,

Anda mungkin juga menyukai