KARYA ILMIAH
KAIDAH-KAIDAH PENTING DALAM ILMU FIQIH
DOSEN PEMBIMBING
Harun Al Rasyid, , BS.,M
Alhamdulillah hirobbil ‘aalamiin, dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih
lagi maha penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya kepada kami
segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah karya ilmiah ini
dengan sebaik-baiknya.
Makalah yang berjudul “Kaidah-Kaidah Dalam Ilmu Fiqih” ini disusun untuk memenuhi
salah satu tugas mata pelajaran Qowaid Fiqhiyyah yang disusun oleh Bapak Harun Al
Rasyid, , BS., M
Makalah ini berisi tentang Kaidah-Kaidah dalam Ilmu Fiqih antara lain Makna kaidah fiqih
tersebut maupun sumber kaidahnya. Oleh karena itu kami mengucapkan banyak terima kasih
atas segala dukungan yang diberikan untuk menyelesaikan makalah ini.
Terlepas dari semua itu meski telah disusun secara maksimal, akan tetapi kami sebagai
manusia biasa sangat menyadari bahwa makalah ini sangat banyak kekurangannya dan masih
jauh dari kata sempurna, baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Karenanya
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.
Besar harapan kami pada makalah ini dapat menjadi inspirasi atau sarana untuk bisa
memahami kaidah-kaidah dalam ilmu fiqih dalam kehidupan dan dapat menerapkannya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga para pembaca dapat mengambil manfaat dan
pelajaran dari makalah karya ilmiah ini.
PENDAHULUAN
Qowaid fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) merupakan salah satu kebutuhan bagi kita
semua, khususnya mahasiswa Fakultas Syariah. Dengan menguasai kaidah kaidah fiqh kita
akan mengetahui benang merah dalam menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik
temu dari masalah-masalah fiqh dan lebih arif dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan
tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga
akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial,ekonomi,politik,budaya dan
lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang
dalam masyarakat. Hal ini tidak lain karena kaidah fiqh sebagai hasil dari cara berfikir
induktif, dengan meneliti materi-materi fiqh yang banyak sekali jumlahnya yang tersebar di
dalam ribuan kitab fiqh.
Fiqih merupakan sebuah cabang ilmu, yang tentunya bersifat ilmiyah, logis dan
memiliki obyek dan kaidah tertentu.
Fiqih tidak seperti tasawuf yang lebih merupakan gerakan hati dan perasaan, juga bukan
seperti tarekat yang merupakan pelaksanaan ritual-ritual.
Pembekalan materi yang baik dalam lingkup kehidupan, akan membentuk pribadi yang
mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki budi pekerti yang luhur, sehingga memudahkan
untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam mempelajari fiqih, bukan sekedar teori yang berarti tentang ilmu yang
pembelajarannya bersifat amaliah, tetapi juga harus mengandung unsur teori dan praktek.
Belajar fiqih untuk diamalkan, bila berisi suruhan atau perintah, harus dapat dilaksanakan,
bila berisi larangan, harus dapat ditinggalkan atau dijauhi.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang
menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan
lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat
kebiasaan, keadaan yang berlainan, selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap
problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
1.1 Rumusan Masalah
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah ini
adalah sebagai berikut :
3. Bagaimana kendala penerapan kaidah fiqih dalam mengatasi masalah untuk memecahkan
perbedaan kebiasaan,ataupun adat istiadat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
yang mempunyai keanekaragaman suku dan budaya.
1. Untuk memahami tentang pentingnya kaidah-kaidah fiqih dalam kehidupan sehari-hari dan
juga bagaimana sejarah berkembangnya qowaid fiqhiyyah.
2. Untuk meningkatan minat mahasiswa dalam mempelari lebih dalam tentang kaidah-kaidah
dalam ilmu fiqih karena sangat penting dalam mengambil setiap keputusan dari permasalahan
yang muncul dan timbul dan juga berkembang di dalam masyarakat.
3. Untuk mengetahui apakah mahasiswa mampu menerapkan kaidah fiqih dalam mengatasi
berbagai masalah yang muncul atas perbedaan adat maupun istiadat dengan kaidah fiqih
tersebut.
1. Secara Teoritis
Secara teoritis, karya ilmiah ini dapat meningkatkan minat mahasiswa dalam
mempelajari kaidah-kaidah dalam fiqih, dan juga manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari
terutama juga menambah wawasan.
2. Secara Praktis
Dengan adanya karya ilmiah ini diharapkan mampu meningkatkan minat mahasiswa
dalam mempelajari tentang pentingnya fiqih dalam pemecahkan suatu masalah dengan
berpedoman pada kaidah fiqih dalam syariat islam.
BAB 2
PEMBAHASAN
Kaidah Fiqih adalah ringkasan-ringkasan yang sangat pendek dari berbagai aturan
fiqih. Kaidah-kaidah fiqih adalah pernyataan-pernyataan yang dirumuskan dalam bentuk
hukum yang akurat yang mengilustrasikan gambaran umum dari sifat, semangat, filsafat dan
tujuan hukum islam.
“Suatu prinsip umum di mana ketentuan-ketentuan khusus dapat langsung diketahui” Ahmad
Al-Maqqari.
1. Pada dasarnya tidak mempunyai kekuatan teks hukum seperti Qur’an dan Hadits
Rasul.
2. Sebagian ahli fiqih membolehkan menjadikan qawaid fiqhiyah sebagai dalil dalam
memutuskan suatu perkara
3. Qawaid fiqhiyah berkekuatan hukum hanya saja sifatnya tidak independen.
Kaidah fiqih tetap bersumber dari nash-nash yang shahih. Berikut beberapa sumber kaidah
fiqih:
1. Qawaid yang diturunkan dari teks al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW.
2. Qawaid yang aslinya adalah hadits Rasulullah SAW, namun lebih dikenal sebagai
kaidah-kaidah hukum.
3. Qawaid yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan fiqih, tersebar dalam beberapa bab
berbeda pada kitab-kitab fiqih.
4. Qawaid yang berasal dari ushul fiqh.
Sebagaimana yang telah kita ketahui dalam kaidah fiqih ini terdapat lima kaidah pokok, yaitu
Namun yang akan dibahas dalam makalah ini hanya kaidah-kaidah furu’ yang terdapat dalam
kaidah pokok yang pertama. Kaidah pokok yang pertama yaitu “segala perkara tergantung
kepada niatnya”.
Kaidah : صدِها
ِ ُ ُ األ
مور ِب َمقا
Dasar dalil : “innamal A’malu bin niyyat”
Contoh Kasus:
menjual anggur kepada orang yang mengekstrak anggur menjadi minuman yang
memabukan tidak sah.
Membeli barang-barang yang hasilnya digunakan untuk menzalimi umat muslim.
Menjual senjata kepada penjahat.
Kaidah di atas memiliki beberapa cabang, atau yang disebut kaidah furu’. Berikut beberapa
kaidah furu’ dari kaidah pokok pertama:
Perbuatan baik maupun perbuatan buruk itu tergantung pada niat si pelaku, jika perbuatan itu
diniati baik maka akan mendapatkan pahala, tetapi jika perbuatan itu diniati buruk maka tidak
akan mendapat pahala.
Misal : dalam kerja sama Mudharabah, jika ada ketentuan yang menyatakan bahwa pihak
yang menyediakan modal akan memperoleh semua keutungannya, maka akad itu tidak
sidebut mudharabah, tapi akad hutang.
1. Bay’ al Inah
Menjaul barang secara kredit dengan harga tertentu dan kemudian membelinya
kembali secara kontan dengan harga lebih mura dari harga kredit, di mana kedua
transaksi terjadi pada waktu yang bersamaan.
2. Tawarruq
Suatu transaksi di mana seseorang yang membutuhkan uang untuk membeli suatu
barang secara kredit dari orang tertentu dan kemudian menjaulnya ke pasar secara
kontan dengan harga di bawah harga beli sebelumnya dari pemilik barang.
Kaidah : حرام
َ باط ِل ِهي
ِ ق ِ ق أو إحقا َ ُك ّل حييلَ ِة يَتَو
ٍّ ّ ص ُل بَها إلي ِإبطال َح
“Setiap alat/strategi hukum yang menghilangkan hak atau menguatkan yang salah, adalah
Haram”
Dalam membicarakan kaidah tentang transaksi ini, empat mazhab berbeda-beda dalam
menyusun redaksinya. Redaksi yang ditulis golongan Hanafiah dan Malikiyah berbeda
dengan apa yang ditulis oleh golongan Syafi’iyah dan berbeda pula dengan redaksi yang
ditulis oleh golongan Hanabilah. Hal ini merupakan implikasi dari perbedaan mereka dalam
menjawab hukum-hukum yang terakomodir didalam kaidah tersebut.
إذا وصل بالفاظ العقود ما يخرجها موضوعها فهل يفسد العقد بذلك؟ أو يجعل كناية عما يمكن صحته عل ذلك الوجه؟
Terlihat bahwa dikalangan masing-masing dari dua mazhab ini masih terjadi pertentangan
antara yang memenangkan sisi makna atau tujuan dan yang memenangkan sisi kata-kata.
“Yang diperhitungkan dalam transaksi itu adalah tujuan dan makna bukan kata-
kata dan bentuknya.”
Qaidah ini dapat membedakan salah satu ibadah dengan ibadah yang lainnya. Misalnya,
orang menjamak sholat dhuhur dan asar, keduanya dilakukan dalam satu waktu dan sama-
sama 4 raka’at, maka untuk membedakan ini sholat dhuhur dan itu sholat asar adalah dengan
niat.
Dapat juga memberi perbedaan ibadah dengan adat kebiasaan. Misal mandi, mandi ini adalah
hal biasa, namun jika dilakukan dengan niat ibadah, maka mandi ini akan bernilai ibadah,
misal mandi wajib, mandi sebelum ihram, mandi sebelum sholat jum’at.
Dapat pula membedakan yang dituju dalam ibadah. Kita masuk masjid kemudian kita sholat
2 raka’at, ada kemungkinan kita melakukan sholat tahiyatal masjid atau sholat sunnah
qobliyah (sunnah rawatib) untuk membedaknya adalah dengan niat, dsb.
“Seseorang yang tidak dapat melaksanakan ibadah karena sesuatu halangan, padahal ia
berniat untuk melakukannya jika tiada halangan, maka ia mendapatkan pahala.”
تخصيص العام بالبينة مقبول ديانة القضاء وعند الخصاف مقبول قضاء أيضا وأما تعميم الخاص بالبينة فقد إختلف فيه
علماء حنفية
“Mengkhususkan lafal yang umum dengan niat itu diterima dalam hal menggugurkan
tanggungan pada Allah namun tidak diterima secara hukum formal syar’i.”
Dan menurut Imam Khasshaf bisa diterima pula sebagai hukum syar’i. Adapun yang
mengumumkan lafal yang khusus itu masih diperselisihkan oleh golongan Hanafiyah.
“Niat itu bisa mengumumkan lafal yang khas dan bisa mengkhususkan lafal yang umum.”
“Niat dalam sumpah itu bisa mengkhususkan lafal yang umum dan tidak bisa mengumumkan
lafal yang khusus.”
البينة تعمم الخاص وتخصص العامبغير خالف فيها ولكن اختلفوا هل النية تفيد المطلق أو تكوناستثناء من النص
“Niat itu bisa mengumumkan lafal yang khusus dan bisa mengkhususkan lafal yang umum
dengan tanpa ada khilaf (pada golongan hanabilah) di dalamya.”
Hanya saja mereka berbeda pendapat, adakah niat itu bisa menghasilkan kemutlakan atau
menjadi pengecualian dari nash (teks kata-kata).
Al-‘am dalam terminologi fiqh secara definitif bisa diartikan “lafal atau kata-kata yang bisa
menghabiskan pada seluruh perkara yang pantas baginya tanpa ada batasan tertentu”, seperti
lafal الرجالyang bisa menghabiskan seluruh macam orang yang termasuk lelaki. Adapun
takhsis (mengkhususkan) adalah “membatasi lafadz yang ‘am sehingga hanya menunjukan
sebagian dari bagian-bagian persialnya.”
مقاصد الفظ عل نية الالفظ إال في موضع واحد وهو اليمين عند القاضي فإنه عل يية القاضي
“Maksud dari suatu lafal itu menurut niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalam satu
tempat, yaitu dalam satu sumpah di hadapan qadli. Dalam keadaan demikian, maksud lafal
adalah menurut niat qadli.”
“Sumpah itu sesuai dengan maksud atau niatnya orang yang menyumpah.”
أن مقاصد الفظ عل نية الالفظ إال في اليمين عند القاضي فإنها عل نية الحالف إن كان مظلوما
“Sesungguhnya tujuan dari lafadz itu disesuaikan dengan niat orang yang melafadzkan
kecuali dalam sumpah dihadapan qadli, maka sumpah yang demikian ini disesuaikan dengan
niat orang yang bersumpah jika ia orang yang tertindas.”
“Sumpah itu dalam semua hukumnya disesuaikan dengan niat orang yang menyumpah, yaitu
qadli.”
Termasuk contoh dari qa’idah ini yang tidak berupa sumpah adalah seorang istri bernama
Thalak atau Hurrah, kemudian suaminya memanggil ya Thalak atau ya Hurrah, maka apabila
nama panggilan itu diniati menthalak atau memerdekakan dari ikatan suami istri, maka thalak
terjadi, dan apabila tidak diniati demikian, maka ia tetap menjadi istri yang sah.
2.2 Sejarah Perkembangan Qowaid Fiqhiyah
Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah
diklarifikasikan menjadi 3 fase,yaitu :
”Tidak bisa menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain)
"
Demikianlah beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai
kaidah fiqh.Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu
kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat
membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah
SAW dan mereka tahu apa yang menjadi turunnya wahyu dan kemudian wahyu turun
berkenaan dengan mereka.
Generasi berikutnya adalah tabi'in dan tabi 'tabi'in selama 250 tahun. Ulama
Diantara yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi'in adalah Abu Yusuf
Ya'kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj,
kaidah-kaidah yang disusun adalah:
"Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diterima ke Bait al."
-
mal ”
Kaidah ini berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai
salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan (tirkah
atau mauruts), diverifikasi yang diterima dunia tidak memiliki ahli waris.Ulama
berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi'i,
yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang
membentuknya, yaitu: ”Sesuatu yangh diizinkan untuk disetujui”
Dalam sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada
zaman ini,sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat
imam mazhabnya masing-masing. Usaha modifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah guna
agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh di masa-masa
berikutnya.Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi
kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu cepat. Buku-
buku kaidah fiqh utama dan termasyhur abad ini adalah:
Al-Asybah wa al- Nazha'ir, karya ibn wakil al-Syafi'i (W. 716 H)
Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
Al-Majmu 'al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala'i al-
Syafi'i (W. 761H)
Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)
Sebuah kaidah fiqih bisa digunakan untuk mengetahui banyak permasalahan fiqih
yang tercakup dalam pembahasannya. Dan ini akan sangat memudahkan seorang
penuntut ilmu untuk mengetahui hukum-hukum fiqih tanpa harus menghafal sebuah
permasalahan satu persatu.
Kaidah fiqih yang teksnya terambil langsung dari nash Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kaidah fiqih yang teksnya tidak diambil langsung dari nash Al-Qur’an dan As-
Sunnah, namun kandungannya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kaidah fiqih yang tersusun berdasarkan ijtihad para ulama. Dan biasanya didasarkan
atas sebuah qiyas atau ta’lil (melihat sebab dari sebuah hukum) atau dengan meliaht
kepada sifat hukum syar’i secara umum serta melihat kepada maqashid syar’iyyah
(maksud dan tujuan dari sebuah hukum syar’i) atau yang lainnya.
Lebih jauh lagi Ali Ahmad al-Nadwi memerinci perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah-
kaidah fikih.
1. Kaidah-kaidah ushul adalah timbangan dan patokan untuk melakukan istinbath al-
ahkam secara benar. Dengan ushul fiqh digali hukum-hukum dari dalil-dalilnya,
seperti hukum asal dari kata perintah (al-amr) adalah wajib, kata-kata larangan
menunjukkan haram.
2. Kaidah ushul fiqh meliputi semua bagian, sedang kaidah fikih hanya bersifat
aglabiyah (pada umumnya), sehingga banyak sekali pengecualiannya. Dalam hal ini
komentar Jaih Mubarok, penulis kira ada benarnya, yang menyatakan bahwa dalam
kaidah ushul pun ada kekecualiannya.
3. Kaidah ushulfiqh adalah cara untuk menggali hukum syara’ yang praktis, sedangkan
kaidah fikih adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu
hukum yang sama. Menurut hemat penulis, kaidah-kaidah fikih pun bisa menjadi cara
untuk menetapkan hukum syara yang praktis. Sehingga sering terjadi, di samping
menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh juga menggunakan kaidah-kaidah fikih dalam
menentukan hukum terutama dalam penerapan hukum (tathbiq al-ahkam).
4. Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu. Sedangkan kaidah fikih muncul
setelah/«ru’. Hal inilah yang penulis coba gambarkan di dalam proses pembentukan
kaidah-kaidah fikih.
5. Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam
berbagai macam dalil yang rinci yang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-
dalil tersebut. Sedangkan kaidah fikih menjelaskan masalah fikih yang terhimpun di
dalam kaidah tadi.
Seperti dijelaskan oleh Abu Zahrah bahwa kaidah-kaidah ushul adalah metode yang
digunakan oleh ahli hukum Islam agar dia tidak salah dalam menentukan hukum. Dengan
menggunakan kaidah-kaidah ushul dia bisa menghasilkan hukum-hukum fikih yang sangat
rinci atau disebut furu.24 Di sinilah ada perbedaan antara yang umum (kaidah- kaidah ushul)
dengan furu atau fikih sebagai hasil dari penggunaan kaidah-kaidah ushul tadi. Inilah yang
penulis maksud dengan penggunaan pemikiran secara deduktif, sedangkan kaidah-kaidah
fikih muncul dengan cara meneliti/istiqra terhadap fikih yang rinci tadi, dengan mencari
persamaan-persamaannya hasilnya memunculkan kaidah-kaidah fikih. Inilah yang penulis
maksud bahwa di dalam menentukan kaidah-kaidah fikih digunakan pola pikir induktif,
karena itu tidak muncul kaidah-kaidah fikih kecuali setelah adanya fikih, meskipun kemudian
kaidah fikih sebagai "teori umum di dalam fikih Islam",25 bisa digunakan untuk
memecahkan masalah-masalah baru yang muncul dengan meng-qiyas-kannya kepada
masalah-masalah lain yang ada di bawah ruang lingkup kaidah fikih tadi.
Selain itu kaidah-kaidah ushul adalah hasil penelitian ahli ushul fiqh dan terdapat di dalam
kitab-kitab ushul fiqh. Sedangkan kaidah- kaidah fikih adalah hasil penelitian fuqaha (ahli
fikih) dan terdapat di dalam kitab-kitab kaidah fikih dan/atau kitab-kitab fikih.
Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan kebahasaan termasuk kaidah usul dan kaidah yang
digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya juga termasuk kaidah ushul,
misalnya kaidah-kaidah yang berhubungan dengan qiyas, istishab.
Memang ada juga beberapa kaidah ushul fiqh yang dimasukkan oleh para ulama di dalam
kaidah-kaidah fikih.26 Hal semacam ini bisa terjadi karena, pertama, di dalam proses
pengujian kaidah-kaidah fikih oleh Al-Qur’an dan hadis nabi, bisa bertemu dengan beberapa
kaidah yang telah dikumpulkan oleh ahli ushul fiqli, sehingga digunakanlah sebagai kaidah
fikih, bukan sebagai kaidah ushul fiqh seperti halnya ada kaidah-kaidah fikih yang sama
dengan hadis nabi. Maka para ahli fikih menggunakannya bukan sebagai hadis tapi sebagai
kaidah fikih.
25 Istilah teori umum dalam fikih Islam, penulis meminjam dari Abu Zahrah dengan kata-
katanya, "al-Nazhariyat al-’Ammah li al-fiqh al-Islam". Meskipun demikian ada pula ulama
yang membedakan antara kaidah fikih dengan teori-teori fikih, misalnya, Mustafa Ahmad
Zarqa, di dalam bukunya al-Fiqh al-lslamifi Tsaubih al-Jadid, (lilin. 237). juga Ahmad al-
Nadwi (hhn. 62).
Akan tetapi proses pembentukan kedua kaidah itu tetap berbeda. Jadi dua proses yang
berbeda atau dua metode yang berbeda bisa menghasilkan kaidah yang sama, hal tersebut
malah bisa menunjukkan kadar kebenarannya lebih tinggi.
Kedua, apabila kaidah yang sama tadi digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalil
Al-Qur’an dan Hadis yang rinci, maka itu jelas kaidah ushul. Tetapi apabila kaidah tadi
digunakan untuk memberikan hukum dalam perbuatan mukallaf, maka kaidah tadi disebut
kaidah fikih. Dengan kata lain apabila kaidah digunakan untuk mengeluarkan hukum dari
dalilnya, itu adalah kaidah ushul. Sedangkan apabila kaidah tadi digunakan untuk
menerapkan hukum (tathbiq al- ahkam) itu adalah kaidah fikih.
Ketiga, dalam sistem hukum Islam, meskipun ada perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah
fikih, para ulama selalu mempertimbangkan keduanya agar meraih maslahat dan menolak
mafsadah, serta hukum yang dihasilkan benar, baik, dan indah.
1. Dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih kita akan mengetahui asas-asas umum fikih.
Sebab, kaidah-kaidah fikih itu berkaitan dengan materi fikih yang banyak sekali
jumlahnya. Dengan kaidah-kaidah fikih kita mengetahui benang merah yang
mewarnai fikih dan menjadi titik temu dari masalah-masalah fikih.
2. Dengan memerhatikan kaidah-kaidah fikih akan lebih mudah menetapkan hukum bagi
masalah-masalah yang dihadapi, yaitu dengan memasukkan masalah tadi atau
menggolongkannya kepada salah satu kaidah fikih yang ada.
3. Dengan kaidah fikih akan lebih arif di dalam menerapkan fikih dalam waktu dan
tempat yang berbeda untuk keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan.
4. Dengan menguasai kaidah-kaidah fikih, bisa memberikan jalan keluar dari berbagai
perbedaan pendapat di kalangan ulama, atau setidaknya menguatkan pendapat yang
lebih mendekati kepada kaidah-kaidah fikih.
5. Orang yang mengetahui kaidah-kaidah fikih akan mengetahui rahasia-rahasia dan
semangat hukum-hukum Islam (ruh al-hukrn) yang tersimpul di dalam kaidah-kaidah
fikih.
6. Orang yang menguasai kaidah-kaidah fikih di samping kaidah-kaidah ushul, akan
memiliki keluasan ilmu, dan hasil ijtihadnya akan lebih mendekati kepada kebenaran,
kebaikan, dan keindahan.
1. Semua ibadah ritual adalah batil, kecuali yang memiliki dasar dalam syariat.
Kaidahnya:
“Asal dari ibadah adalah batil, sampai tegaknya dalil yang memerintahkannya” (Lihat Imam
Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 1/344. 1968M-1388H. Maktabah Al Kulliyat Al
Azhariyah. Syaikh Zakariya bin Ghulam Qadir Al Bakistani, Ushul Al Fiqh ‘Ala Manhaj
Ahli Al Hadits, Hal. 45, Cet. 1. 2002M-1423H. Darul Kharaz)
Kaidah ini membimbing kita untuk tidak merekayasa dan mengarang amalan ibadah ritual
(mahdhah) tertentu yang tidak dikenal dalam sumber-sumber pokok syariat Islam. Sebab hal
itu menjadi sia-sia, bahkan dapat membawa pelakunya pada sebuah dosa.
Dari Ummul Mu’minin, Ummu Abdillah, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata:
“Barangsiapa yang menciptakan hal baru dalam urusan kami ini (yakni Islam), berupa apa-
apa yang bukan darinya, maka itu tertolak.” (HR. Bukhari No. 2550, Muslim No. 1718, Abu
Daud No. 4606, Ibnu Majah No. 14, Ahmad dalam Musnadnya No.26033, Abu Ya’la dalam
Musnadnya No. 4594, Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 26, 27, Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil ,
1/247, Ad Daruquthni dalam Sunannya No. 78, Al Baihaqi dalam Sunannya No. 20158,
20323, Al Lalika’i dalam Al I’tiqad, No. 190-191, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No.
103)
Riwayat lainnya:
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak kami kami perintahkan dalam agama
kami maka itu tertolak.” (HR. Bukhari, beliau meriwayatkan secara mu’allaq (tanpa
menyebut sanad) dalam kitab Shahihnya, Kitab Al I’tisham bil Kitab was Sunnah Bab Idza
Ijtahada Al ‘Amil aw Al Hakim Fa Akhtha’a Khilafar Rasuli min Ghairi ‘Ilmin fahukmuhu
Mardud. (lalu disebutkan hadits: man ‘amila ‘amalan .. dst, dan dengan shighat jazm (bentuk
kata pasti): Qaala Rasulullah ….), Muslim No. 1718, Ad Daruquthni dalam Sunannya No. 81,
Ahmad dalam Musnadnya No.26191)
Selanjutnya, ibadah hasil rekaan manusia disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dengan muhdatsatul umuur (perkara-perkara baru) dan bid’ah.
Dari Irbadh bin Sariyah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘ Alaihi wa Sallam
bersabda:
“Maka, sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup setelah aku, akan melihat
banyak perselisihan. Oleh karena itu, peganglah sunahku dan sunah khulafa ar rasyidin yang
telah mendapatkan petunjuk, dan gigitlah dengan geraham kalian sunah itu, dan hati-hatilah
dengan perkara yang baru, sesungguhnya setiap hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap
bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 16521, Al Baihaqi, As Sunan
Al Kubra, 10/114, Al Hakim, Al Mustadrak, No. 330 Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
dalam Al Irwa’ No. 2455, Al Misykah No. 165)
Dalam riwayat lain tertulis, dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Maka, tidak boleh bagi seorang pun menyembah Allah kecuali dengan apa-apa yang telah
disyariatkan oleh RasulNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, baik berupa kewajiban atau
sunah, serta tidak menyembahNya dengan perkara-perkara yang baru (Al Umur Al
Mubtadi’ah) .” (Majmu’ Fatawa, 1/12. Mawqi’ Al Islam)
...أنه ال واجب إال ما أوجبه هللا وال حرام إال ما حرمه هللا وال دينا إال ما شرعه هللا
“ ... sesungguhnya tidak ada kewajiban kecuali sesuatu yang diwajibkan oleh Allah, dan tidak
ada keharaman kecuali sesuatu yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang
Allah syariatkan. (I’lamul Muwaqi’in, 1/344)
...أن هللا سبحانه ال يعبد إال بما شرعه على ألسنة رسله فإن العبادة حقه على عباده
“ ... sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah disembah kecuali dengan apa-apa yang
disyariatkanNya melalui lisan para RasulNya, karena ibadah adalah hakNya atas hambaNya ..
(Ibid)
- Ada seorang atau sekelompok orang yang mengadakan ritual shalat tahajud secara khusus
pada malam tertentu saja, dan tidak pada malam lainnya. Lalu ritual tersebut dilakukan terus
menerus dan menjadi adat baru. Maka, menurut kaidah ini, pengkhususan ritual ini adalah
batil karena telah membuat cara baru dalam tahajud. Cara pengkhususan tersebut tidak
pernah ada dalam Al Quran, As Sunnah, perilaku sahabat, tabi’in, dan imam empat madzhab
ahlus sunnah. Sebab, ibadah tahajud adalah ibadah mutlak yang dapat dilakukan pada malam
apa saja, bukan pada malam tertentu saja. Maka, dari sudut pandang waktu (Az Zaman), tidak
dibenarkan melakukan ibadah pada waktu-waktu khusus dengan keyakinan tertentu pula,
yang tidak ada contohnya dalam sumber-sumber syariat.
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Kaidah-kaidah fiqh terdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu komprehensif
yang memuat bagian-bagiannya, dalam arti bisa diterapkan bagi juz'iyatnya (bagian-
bagiannya).
2. Salah satu manfaat dari keberadaan kaidah fiqh, kita akan mempelajari prinsip-prinsip
umumfiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang menggambarkan fiqh dam
kemudian menjadititik temu dari masalah-masalah fiqh.
3. Sementara kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu :
Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil Penghasilan kena
pajak using doa dalil pokok, Yaitu alQur'an dan as-sunnah
Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan
sebagai dalil hukum Yang Berdiri Sendiri, Tanpa using doa dalil pokok.
3.2 Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya
mengandalkan bukureferensi. Maka dari itu kami membahas agar
para pembaca yang ingin mendalami masalah Qawaidul Fiqhiyah,
agar setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak
hanya sebatas membaca makalah ini saja.
DAFTAR PUSTAKA