Anda di halaman 1dari 4

Al-Ibahah

Pengertian
Perkataan al-ibahah berasal dari kata baha yang berarti lahir atau tampak atau
membolehkan, sedang al-ibahah berarti pembolehan dan mubah berarti yang dibolehkan.
Oleh karena itu, al-ibahah dapat berarti sesuatu yang boleh dipilih atau ditinggalkan. Secara
etimologis, rumusan masalah yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh (sebagaimana dikutip
oleh H.Nasrun Haroen dari beberapa ulama), yaitu :

1.Muhammad Salam Madkur Mubah adalah : ‫ماخیر الشارع المكلف بین‬


‫فعلھ و تركھ‬
2. Imam al-Syaukany adalah : ‫ماال یمدح على فعلھ وال على تركھ‬
(Sesuatu yang apbila dikerjakan atau ditinggaalkan tidak mendapat pujian).
3. Imam al-Ghazaly :
‫ماورد األذن من ﷲ تعلى بفعلھ وتركھ غیر مترونتم فاعلھ ومدحھ وال بذم تركھ ومدحھ‬
(Sesuatu yang ada kezaliman dari Allah swt; untuk melakukan atau tidak melakukannya
yang pelakunya tidak embeli dengan pujian atau dengan celaan dan orang yang tidak
melakukannya tidak pula di embeli dengan pujian dan celaan).
Mubah (bahasa Arab: ‫اح‬TT‫ )المب‬adalah istilah fikih yang menunjukkan suatu perbuatan yang mana
seseorang tidak memiliki tugas khusus terkait dengannya, sehingga ketika dikerjakan atau di
tinggalkan hukumnya tetap sama dan tidak memiliki imbalan dan ganjaran bagi pelaku perbuatan.
Oleh karena itu, setiap perbuatan yang tidak memiliki salah satu dari empat
hukum: wajib, haram, mustahab dan makruh, maka perbuatan tersebut adalah perbuatan yang mubah.
Dalam beberapa riwayat dan literatur, mubah juga dipakai untuk makna umum yaitu boleh dan halal.
Mubah juga memiliki makna lain dan digunakan pada makna yang lebih khusus dalam hal fikih dan
hak-hak perdata yaitu izin kepemilikan sesuatu atau izin pemanfaatan sesuatu.
Mubah adalah hukum yang paling umum di antara lima hukum dan kebanyakan tindakan manusia
berkaitan dengan hukum ini. Kebanyakan Fukaha Syiah meyakini keprinsipan hukum mubah
(Ashalatul Ibahah); artinya bahwa hukum asli segala sesuatu adalah mubah kecuali terdapat dalil yang
menentangnya.

Cara mengetahui al-Ibahah


Bahwa untuk mengetahui ibahah dari nash-nash Alquran yang memerlukan
pemahaman secara mendalam, oleh ahli hukum mengemukakan terdapat tiga cara
memahaminya, yaitu :

a. Adanya ucapan pembuat hukum tentang tidak berdosa atau tidak ada halangannya
seperti dalam Q.S. al-Baqarah: 229, yaitu : ‫ا‬TT‫اح علیھم‬TT‫دود ﷲ فال جن‬TT‫ا ح‬TT‫فإن خفتم أال یقیم‬
‫فیماافتدت بھ‬

Kata “la junaha” pada ayat di atas menunjukkan tidak terlarang atau mubah
hukumnya menebus perkawaninannya.
b. Adanya ucapan pembuat hukum yang secara jelas menghalalkan perbuatan
hukum. Seperti dalam Q.S. al-Maidah : 96, yaitu :
.‫أحل لكم صعیدا البحر وطعامكم متاعا لكم وللسیارة‬
c. Tidak ada nash yang mengharamkannya. Oleh karenanya kembali kepada hukum
asal berdasarkan perinsip ‫البراءة األصلیة‬. Artinya, selama tidak ada titah Allah
yang mengharamkan maka hukumnya adalah mubah.
Dengan demikian, hukum mubah tersebut hanya dapat diketahui bila dilakukan
istimbath yang diteliti dengan cermat terhadap nas-nas syarak.

Makna Mubah

"Ibahah" berasal dari asal kata " ‫ "بَوْ ٌح‬dan "‫ "بُو ٌح‬yang berarti diberikan izin.  Dan "Mubah" adalah
perbuatan yang boleh (Mujaz) dilakukan.Dalam istilah fikih, mubah termasuk bagian dari hukum
yang lima dan digunakan untuk perbuatan yang pelaksanaan dan peninggalannya ditinjau dari kaca
mata fikih memiliki dimensi yang sama dan tidak ada penjelasan tentang pahala,siksa, pujian dan
celaan dalam hal itu. Dengan kata lain, mubah adalah perbuatan yang tidak
dihukumi wajib, haram, mustahab dan makruh. Mukallaf dalam melaksanakan atau meninggalkan
perbuatan itu memiliki kebebasan penuh, seperti perbuatan makan atau tidur yang dalam kondisi biasa
tidak memiliki hukum dan seseorang dapat melakukan apa saja yang dikehendaki.

Atas dasar penjelasan diatas, maka mubah dalam ibadah tidak memiliki contoh konkret (misdak) dan
semua perbuatan yang berkaitan dengan ibadah tercakup dalam salah satu 4 hukum; wajib, mustahab,
haram dan makruh.

Perbedaan antara Mubah dan Halal


Halal dalam hukum syar'i merupakan lawan dari haram dan meliputi segala sesuatu yang tidak haram.
Dari sisi ini, halal lebih umum dari pada mubah, artinya setiap perbuatan mubah adalah halal, namun
setiap perbuatan halal belum tentu mubah seperti perbuatan-perbuatan makruh; ia halal dilakukan tapi
bukan mubah.
Perbedaan Ibahah (mubah) dan Jawaz (Boleh)
"Jawaz" adalah kebalikan dari "man'u" (larangan). Jawaz seperti halal meliputi mubah. Karena setiap
hal-hal yang mubah, adalah jaiz (boleh), namun setiap yang Jāiz (dibolehkan), belum tentu mubah,
misalnya perbuatan makruh dan mustahab; ia boleh dilakukan (jāiz) tapi bukan mubah.
Mubah dalam Alquran dan Sunah Nabawi
Dalam Alquran, kata "Ibahah" tidak digunakan, demikian juga Nabi Muhammad saw tidak
menggunakan lafadz tersebut, namun para fukaha dan para ulama meyakini bahwa banyak sekali
dari ayat-ayat Alquran yang sejatinya menjelaskan kedudukan Ibahah. Misalnya ayat:
ً ‫الرْ ض َحالالً طَیبا‬
ْ ‫یا اَیهَا النّاس کلوا ِم ّما فِی ا‬
"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi"
Prinsip Ibahah
Terdapat pembahasan di antara para fukaha dan ushuliyun tentang amalan dan tindakan yang
tidak disebutkan dalam aturan agama, yaitu apabila Alquran dan hadis tidak memberikan
aturan tertentu tentang suatu perbuatan, dalam hal ini apakah seseorang boleh melakukan
tindakan itu ataukah tidak?
Terdapat dua jawaban atas pertanyaan di atas: Ashalah al-Ibāhah (hukum asal segala sesuatu
adalah boleh) dan Ashalah al-Hazhar (hukum asal segala sesuatu adalah larangan). Prinsip
Hazhar (larangan) menyatakan selama tidak ada dalil syar'i yang membolehkan suatu
tindakan untuk dikerjakan, maka harus menjauhi tindakan tersebut. Sedangkan prinsip Ibahah
adalah kebalikannya yaitu apabila syar'i mengambil sikap diam atas amalan tertentu, maka
seseorang boleh melakukan tindakan tersebut dan tindakan itu merupakan bagian dari hal-hal
yang mubah.
Pendapat Masyhur dalam Imamiyah
Pendapat masyhur di antara fukaha Imamiyah adalah bahwa baik hukum akal dan syar'i
keduanya berdiri di atas prinsip mubah.  Dasar syar'i kaum Imamiyyah adalah ayat-ayat dan
hadis-hadis yang dinukilkan dari para Imam as, diantaranya:

ْ ‫;هُ َو الَّذی خَ لَق لَکم ما ا‬


ً ‫الرْ ض َجمیعا‬

"Dia-lah yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kamu".

ً ‫الرْ ض َحالالً طَیبا‬


ْ ‫;یا اَیهَا النّاس کلوا ِم ّما فِی ا‬

"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi"

ْ ‫;قُل ال اَ ِج ُد فی ما اُو ِحی اِلَی ُم َحرَّما ً عَلی طا ِعم‬


‫یط َع ُمه اِالّ اَن یکون َمیتةً اَو دَما ً َم ْسفُوحا ً اَوْ لَحْ م ِخ ْنزیر‬

"Katakanlah, "Aku tidak menemukan dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali apabila makanan itu
berupa bangkai, darah yang telah mengalir keluar (dari tubuh seekor binatang), atau
daging babi"
ْ ‫ ;کل َشی ء ُم‬Semua perkara adalah mubah kecuali
ِ ‫طلَق َحتّی‬
Imam Shadiq as bersabda: ‫یرد فیه نَهْی‬
jika ada larangan didalamnya.

Ibahah Kepemilikan Dan Ibahah Pemanfaatan Dalam Fikih Dan Hak – Hak Sipil
Ibahah memiliki makna lain dalam hukum fikih dan hak-hak sipil yang meliputi ijin untuk memiliki
dan memanfaatkan harta-harta yang tidak dimiliki oleh seseorang. Dalam hal-hal yang
dibolehkan untuk memiliki maka hal itu disebut dengan "Ibahah kepemilikan" dan hal-hal yang
dibolehkan untuk memanfaatkan, hal itu disebut dengan "Ibahah pemanfaatan". Berdasarkan
pembagian ini, "Ibahah" dibagi menjadi dua: Ibahah pemanfaatan dan Ibahah kepemilikan.
1. Mubāhāt pemanfaatan adalah hal-hal mubah yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh
kaum Muslimin. Oleh sebab itu, pemanfaatan secara pribadi dilarang melainkan harus
dimanfaatkan secara bersama sehingga orang lain juga bisa memanfaatkannya, misalnya
jalan raya.
2. Mubāhāt kepemilikan adalah hal-hal mubah yang bisa dimiliki dengan izin Imam kaum
Muslimin dan sesuai dengan peraturan-peraturan syar'i, seperti memberdayakan lahan-
lahan kosong dengan cara menghidupkannya atau menangkap ikan dari air-air yang mubah.
Hukum-hukum perdata Iran karena mengikuti fikih Imamiyah, membagi Mubāhāt kepada dua
bagian: Mubāhāt yang bisa dimanfaatkan dan Mubāhāt yang bisa dimiliki. Mubahat bagian
pertama disebut dengan harta-harta umum atau harta-harta yang digunakan oleh
masyarakat. [10] Pada pasal 27 disebutkan: "Harta-harta yang bukan merupakan pribadi, maka
masyarakat bisa memiliki harta-harta tersebut atau memanfaatkannya sesuai dengan ketentuan-
ketentuan dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan hal itu, hal ini disebut dengan
Mubāhāt seperti lahan yang sudah lama tidak digarap dan diolah."

Anda mungkin juga menyukai