“PINJAM MEMINJAM”
DISUSUN OLEH:
KELAS : IX H
2. Membatasi riba hanya dlm jual beli saja. Adapun dalam pinjam meminjam riba
tidaklah berlaku. Mereka berdalil sebagaimana berikut:
a. Ayat-ayat riba menyebutkan secara global dan ditafsirkan oleh haditshadits
Rasulullah saw. Namun dalam hadits tersebut hanya disebutkan jual beli dan tdk
ada penyebutan qardh.
Jawabannya: Telah disebutkan ada ijma’ tentang berlaku riba dlm qardh.
b. Mereka berdalil dgn penukilan dari fuqaha dan ulama Hanafiah yg membatasi
riba hanya dlm jual beli.
Jawabannya: Telah disebutkan penukilan yg lain dari ulama dan fuqaha tersebut
tentang penetapan ada riba dlm qardh sebagaimana dlm jual beli.
c. Mereka berdalil bahwa sebagian fuqaha Hanafiah menjadikan qardh sebagai
analogi dari berderma sehingga tdk terjadi riba di dalamnya. Karena yg nama riba
hanya berlangsung pada sesuatu yg di dlm ada penggantian.
Jawabannya: Para fuqaha tersebut walaupun mereka menjadikan qardh sebagai
perbuatan derma pada awal namun pada akhir mereka menjadikan perlu pengganti
yg berarti riba bisa terjadi di dalamnya. Mereka menyatakan hal ini secara jelas.
Adapun ucapan mereka bahwa qardh adl berderma bila memang tujuan utk
memberikan manfaat dan berbuat baik. Sedangkan qardh yg disyaratkan ada
ziyadah di dlm mk maksud atau tujuan adl meminta penggantian. Ada syarat ‘minta
tambah’ ini menjadikan muamalah tersebut sama dgn jual beli bukan lagi semata-
mata qardh. Karena qardh hanyalah dilakukan utk tujuan berbuat baik dan memberi
manfaat bagi yg dipinjami. Beda hal dgn qardh yg ada syarat ‘minta tambah’.
Qardh yg seperti ini bukan bertujuan berbuat ihsan dan memberi manfaat tapi
tujuan meminta ganti mendapat untung dan ziyadah.
d. Mereka berdalil dgn haditshadits yg menunjukkan boleh pengembalian dgn
tambahan dlm masalah qardh seperti hadits:
وخنيهرهكنم أونحوسنههكنم قو و
ضاًبء
Artinya;
“Sebaik-baik kalian adl yg paling baik pembayarannya.”
Jawabannya: Hadits seperti ini dibawa pemahaman kepada qardh yg tdk ada
persyaratan minta tambah dlm pengembalian. Sebagaimana orang yg
meminjamkan telah berbuat ihsan kepada orang yg dipinjami mk disyariatkan pula
bagi orang yg dipinjami utk berbuat ihsan kepada orang yg meminjamkan. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
هونل وجوزاًهء ناًرلنحوساًرن إرلرَ ناًرلنحوساًهن
Artinya;
“Tidaklah balasan kebaikan melainkan kebaikan pula .”
Maka hal ini masuk dalam permasalahan membalas kebaikan dengan kebaikan
pula.
Demikian beberapa syubhat yang ada dalam pinjam meminjam yang mengandung
unsur riba. Sebagai penutup bagus sekali untuk kita nukilkan di sini nasihat dari
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Alu Fauzan hafizhahullah. Beliau berkata
“Wajib bagi seorang muslim untuk memerhatikan dan berhati-hati dari qardh yang
mensyaratkan ada tambahan. Hendaklah ia mengikhlaskan niat dlm qardh tersebut
dan juga dlm melakukan amal shalih yg lain. Karena tujuan dari qardh ini bukanlah
utk menambah harta secara hakiki namun hanyalah utk menambah harta secara
maknawi yaitu taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dgn memenuhi hajat
orang2 yg membutuhkan dan hanya menginginkan pengembalian yg sesuai dgn
besar pinjaman . Bila yg seperti ini menjadi tujuan dlm qardh niscaya Allah
Subhanahu wa Ta’ala akan menurunkan barakah penambahan/pertumbuhan dan
kebaikan pada harta.”
2. Deskripsi Alternatif :
Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang berkodrat hidup bersama-sama
dengan makhluk yang lain dalam suatu masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat,
disadari atau tidak manusia senantiasa saling berhubungan antara yang satu dengan
yang lainnya untuk memenuhi berbagai kepentingan dalam hidupnya. Kepentingan-
kepentingan ini akan menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak, sehingga
hak dan kewajiban ini membutuhkan suatu aturan hukum guna menghindari terjadinya
bentrok atau perselisihan diantara para pihak yang melakukan kepentingan itu.
Dalam negara Indonesia menganut tiga sistem hukum yaitu; sistem hukum Adat,
sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat. Hal ini menyebabkan terjadinya
pluralisme hukumdi Indonesi. Dalam lapangan keperdataan misalnya, kita masih
menggunakan sistem hukum Barat (BW) yang nota bene merupakan warisan
peninggalan kolonial Belanda, padahal sitem hukum Islam juga mengatur hal-hal
keperdataan (muamalat). Sebagai contoh masalah pinjam-meminjam yang diatur
dalam K.U.H.Perdata (Bab III), juga diatur dalam hukum Islam.
Untuk itu penulis dalam skripsi ini mencoba mengkaji masalah perjanjian pinjam-
meminjam yang ditinjau dari prospektif hukum Islam dan KUHPerdata. Karena
perjanjian pinjam-meminjam dewasa ini lagi marak terjadi dilingkungan
masyarakat kita, yang dipengaruhi semakin terhimpitnya faktor ekonomi dan imbas
dari krisis yang berkepanjangan yang sampai saat ini masih melanda negara kita.
Berangkat dari hal-hal tersebut, penulis mengangkat tiga permasalahan yang dibahas
dalam tulisan ini yaitu: Bagaimana perbandingan perjanjian pinjam-meminjam dalam
hukum islam dan KUHPdt dalam hal; Pengertian, syarat, subyek dan obyeknya. Apa
hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pinjam-meminjam. Serta bagaimana
aturan perjanjian pinjam-meminjam uang dalam hukum Islam dan KUHPdt.
Permasalahan-permasalahan inilah yang hendak penulis kaji secara mendalam, dan
kemudian mengkaji pula segi persamaan dan perbedaan dari kedua sistem hukum
tersebut. Untuk memperoleh data, penulis melakukan studi pustaka dengan cara
menghimpun dari berbagi literatur, skripsi dan karya ilmiah para ahli hukum,
selanjutnya penulis menganalisa data dengan metode diskriptif kualitatif dan metode
content analisis, artinya suatu analisa yang memberikan gambaran secara sistimatik
dan uraian dengan argumentasi yang logis, serta analisa mendalam dari data-data yang
diperoleh, sehingga menghasilkan kesimpulan yang tepat.
Adapun beberapa temuan penulis secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Bahwa pinjam-meminjam yang diatur dalam hukum Islam dan KUH Perdata
mempunyai persamaan dan perbedaan. Dimana syarat-syarat pinjam-meminjam
yang diatur dalam hukum Islam mempunyai persamaan dengan syarat perjanjian
yang diatur dalam KUHPdt (psl 1320). Adapun perbedaannya terletak pada obyek
pinjaman, dimana dalam hukum Islam menetapkan barang pinjaman adalah sesuatu
yang tidak menghabis karena pemakaian, sedangkan dalam KUHPdt menentukan
barang pinjaman adalah sesuatu yang menghabis karena pemakaian (psl 1754).
2. Bahwa hak dan kewajiban para pihak yang diatur dalam hukum Islam berbeda
dengan yang diatur dalam KUHPdt. Dalam hukum Islam mewajibkan kepada
debitur untuk mengembalikan barang pinjaman yang semula dipinjam, apabila
telah selesai dipakai atau lewatnya waktu yang diperjanjikan, karena dalam hukum
Islam lebih menekankan pada pengambilan manfaat semata dari barang pinjaman.
Adapun yang diatur dalam KUHPdt mewajibkan kepada debitur untuk mengganti
barang pinjaman dengan barang yang baru, karena obyek dari pinjaman adalah
sesuatu yang menghabis, sehingga debitur harus bertanggung jawab atas
kemusnahan barang pinjaman.
D. Rikun Pinjam Meminjam
Rukun pinjam meminjam ada empat macam dengan syaratnya masing-masing
sebagai berikut:
1. Orang-orang yang meminjamkan, disyaratkan;
Berhak berbuat kebaikan tanpa ada yang menghalangi. Orang yang dipaksa
anak kecil tidak sah meminjamkan.
Barang yang dipinjamkan itu milik sendiri atau menjadi tanggung jawab orang
yang meminjamkannya.
2. Orang-orang yang meminjam, disyaratkan;
Berhak menerima kebaikan. Oleh sebab itu, orang gila atau anak kecil tidak sah
meminjam.
Hanya mengambil manfaat dari barang dari barang yang dipinjam.
3. Barang yang dipinjam, disyaratkan;
Ada manfaatnya
Barang itu kekal (tidak habis setelah diambil manfaatnya). Oleh karena itu,
makanan yang setelah dimanfaatkan menjadi habis atau berkurang zatnya tidak
sah dipinjamkan.
4. Akad, yaitu ijab dan qabul.
Pinjam-meminjam berakhir apabila barang yang dipinjam telah diambil manfaatnya
dan harus segera dikembalikan kepada yang memilikinya. Pinjam-meminjam berakhir
apabila salah satu dari kedua belah pihak meninggal dunia atau gila. Barang yang
dipinjam dapat diminta kembali sewaktu-waktu, karena pinjam meminjam bukan
merupakan perjanjian yang tepat.
Jika terjadi perselisihan pendapat antara yang meminjamkan dengan yang
meminjam barang tentang barang itu sudah dikembalikan atau belum, maka yang
dibenarkan adalah yang meminjamkan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini didasarkan
padda hokum asalnya yaitu belum dikembalikan.
A. Kesimpulan
Setelah menyusun makalah ini yang berjudul, “Pinjam Meminjam dalam Islam”,
Penulis menyimpulkan bahwa dalam proses pinjam meminjam di kalangan masyrakat
harus memperhatikan beberapa hal sebelum melakukannya, Agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan seperti yang terjadi saat sekarang ini.
Semoga Allah Taala memberikan kemampuan kepada kita untuk dapat mengikuti dan
mentaati petunjuk dalam hal pinjam-meminjam dan bersedekah dalam ajaran islam.
Amin…
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini, masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan, untuk
itu penulis sangat mengharapkan partisipasi rekan dan dosen berupa saran serta kritik yang
bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA