Anda di halaman 1dari 20

Makalah Pinjam Meminjam dalam Islam

Tugas individu
Dosen : Drs. Syamsuriadi
 

           

Oleh :
KADDING
K: 1540 5922 11
Kelas : I

PROGRAM PENGAKUAN PENGALAMAN KERJA DAN HASIL BELAJAR (PPKHB)


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2011
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul “Masalah Pinjam
Meminjam dalam Islam” dengan baik. Shalawat dan salam selalu tercurah keharibaan junjungan
kita, Nabi Besar Muhammad SAW, beserta sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada semua
pihak yang telah banyak membantu dalam proses pembuatan makalah ini, baik moril maupun
materiil.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena tak ada gading yang tak
retak. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Masamba, 29 Oktober 2011

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar............................................................................................................        i
Daftar Isi.....................................................................................................................         ii
BAB I: PENDAHULUAN.........................................................................................        1
A.    Latar Belakang Masalah.........................................................................         1
B.     Rumusan Masalah...................................................................................         2
C.     Tujuan Masalah.......................................................................................         2
BAB II: PEMBAHASAN...........................................................................................       3
A.    Pengertian Pinjam meminjam.... ……………………..........................           3
B.     Hukum Pinjam Meminjam (Al-Ariyyah)…….. ………………………..      9
C.     Perjanjian Pinjam-Meminjam Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam
 Dan K.U.H.Perdata…………………………………………………..…      10
D.    Rikun Pinjam Meminjam………………………..………………………       14
E.    Etika Pinjam Meminjam .....................................................................     15
F.      Kewajaiban Peminjam Meminjam ..........................................................        17
BAB III: PENUTUP....................................................................................................       19
A.    Kesimpulan..............................................................................................        19
B.     Saran........................................................................................................        19
Daftar Pustaka. 

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia kadang dirundung kekurangan untuk sebuah keinsyafan akan kelemahannya. Dan
kadang dilimpahi nikmat harta untuk mendidik makna syukur dalam dirinya. Dengan adanya dua
kelompok manusia tersebut maka  terjadilah dalam hidup bermayarakat kita suatu trasnsaksi dan
interaksi untuk saling melengkapi didalam hidup ini.Yang dilanda kekurangan meminjam kepada
yang berkecukupan sepotong hartanya untuk memenuhi kebutuhannya dengan janji akan
mengembalikannya pada bulan tertentu  dan hari tertentu. Orang yang berkecukupanpun
memberinya pinjaman sesuai yang dibutuhkannya dengan harapan mendapatkan pahala dari
Allah SWT.
Kejadian semacam ini akan terus terjadi pada masyarakat dalam irama saling melengkapi. Allah
SWT yang Maha Tahu benar-benar memperhatikan kejadian ini hingga menurunkan wahyu
kepada nabi Muhammad SAW untuk mengatur tentang ini semua agar transaksi dan interaksi
yang seharusnya  saling menguntungkan ini tidak berubah menjadi suatu kedholiman.
Lihatlah kedzoliman dibalik peminjaman yang disertai syarat menguntungkan disaat
mengembalikan. Peminjam akan dipaksa untuk mengembalikan dalam keadaan apapun, apakah
Ia dalam kelonggaran atau dalam kesempitan. Artinya Ia harus mengembalikan disaat tidak ada
biarpun harus mengambil haknya orang lain yang akhirnya menyebabkan terjadinya rentetan
kedzoliman- kedzoliman yang lain. Tidak ada rahmat disini. Sehingga kita bisa saksikan orang
yang berhutang dua juta pada akhirnya harus membayar tiga juta dikarenakan tempo yang
berkepanjangan dalam membayar hutang.
Disisi lain ada kedzoliman dari peminjam yang sebenarnya Allah SWT telah memberikan
kelonggaran kepadanya, akan tetapi karena dibuai oleh kerakusan sehingga ia lebih senang
menunda-nunda pengembalian sehingga hilanglah rahmat dan syukur. Itulah orang yang
dimurkai oleh Allah.
Allah mengajarkan keindahan disaat berada dan kekurangan. Di saat kita meminjami seseorang
agar semata-mata mencari ridho Allah SWT. Ketulusan ini harus di jaga  jangan sampai
tercemari oleh kerakusan untuk meraup keuntungan di balik kebutuhan saudaranya. Sungguh
suatu lahan kedoliman yg sangat luas adalah jika ada orang yang butuh pertolongan dari kita dan
saat itu kita mampu memenuhinya lalu kebutuhan

1
tersebut kita manfaatkan dan kita rubah menjadi suatu penganiayaan dengan memberi
pinjaman dengan syarat mengembalikan dengan keuntungan. Karena itu Allah benar-benar
memperhatikan interaksi tersebut sehingga jika ada orang yang memberi pinjaman kepada orang
yang membutuhkannya agar tidak terjerumus dalam memanfaatkan kesempatan dalam
kesempitan. Sehingga jika ada pememinjam dalam kondisi pailit yang sesungguhnya maka wajib
yang meminjami  untuk memberi tempo pada peminjam tanpa harus membebani tambahan
sepeserpun.
Dan begitu juga sebaliknya, Allah SWT akan murka kepada orang yang telah meminjam akan
tetapi dia menunda pengembaliannya padahal disaat itu sudah jatuh tempo dan diapun mampu
untuk membayarnya. Disini ada satu keserasian dalam irama membangun keindahan dalam
kebersamaan agar tidak ada si kaya memeras si miskin dan tidak ada si miskin yang tidak
menghargai kebaikan si kaya yang telah menolongnya.  Wallahu a'lam bishshowab.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan pinjam meminjam dalam islam
2.      Memahami hukum pinjam meminjam dalam islam
3.      Memahami rukun pinjam meminjam dalam islam
4.      Memahami kewajiban peminjam
C.    Tujuan Masalah
1.      Memahami apa yang dimaksud dengan pinjam meminjam dalam islam
2.      Mampu memahami hukum pinjam meminjam dalam islam
3.      Mampu memahami rukun pinjam meminjam dalam islam
4.      Mampu memahami kewajiban peminjam.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pinjam meminjam
Pinjam meminjam dalam bahasa Arab disebut “Ariyah”. Kata “Ariyah” menurut bahasa artinya
pinjaman. Pinjam-meminjam menurut istilah ‘Syara” ialah akad berupa pemberian mamfaat
suatu benda halal dari seseorang kepada orang lain tanpa ada imbalan dengan tidak mengurangi
atau merusak benda itu dan dikembalikan setelah diambil memfaatnya.
Allah swt. Berfirman:
Artinya;
“Dan tolong-memolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong
memolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah
sangat berat siksa-nya.” (Al-Ma’idah: 2).
Rasullullah saw. Bersabda:
Artinya;
“Dan Allah menolong hamba-n-Nya selama hamba itu mau menolong saudaranya.”
Dalam hadis lain Rarulullah saw. Bersabda:
Artinya;
“Dari Abu Umamah ra. Dari Nabi saw. bersabda, “Pinjaman itu harus dikembalikan dan orang
yang meminjam dialah yang berutang, dan utang itu wajib dibayar.” (HR. At-Turmudzi).

Pinjam Meminjam Ribawi


Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
‫ض َج َّر َم ْنفَ َعةً فَه َُو ِربًا‬
ٍ ْ‫ُكلُّ قَر‬
Artinya ;
“Setiap pinjaman yg membawa manfaat keuntungan adl riba.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Haris ibnu Abi
Usamah dan di dalam sanad ada seorang rawi yang gugur periwayatan . Hadits ini memiliki
syahid yang dhaif pula dari Fadhalah bin ‘Ubaid yg diriwayatkan oleh Al-Baihaqi  Pendukung
lain adalah hadits mauquf diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Salam radhiyallahu
‘anhu .” Al-Hafizh juga mengatakan dalam At-Talkhish : “Dalam sanad hadits ini ada Sawar
ibnu Mush’ab dia adl rawi yg matruk .”
                                                                                                                                              3
Hadits ini didhaifkan pula oleh Ibnul Mulaqqin dalam Khulashah Al-Badrul Munir Abdul Haq di
dalam Al-Ahkam Ibnu Abdil Hadi dlm At-Tanqih dan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dlm
Irwa`ul Ghalil .
Ketahuilah tiap pinjam meminjam yang mendatangkan keuntungan teranggap riba . Namun
karna hadits dhaif tentu kita tidak boleh memakai sebagai hujjah. Ha saja makna hadits di atas
terpakai diperkuat oleh ushul syariat dan telah dinukilkan ada ijma’ para ulama dalam masalah
ini. Sebagaimana dinukilkan oleh Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullahu bahwa tiap
pinjam meminjam yang di dalam dipersyaratkan sebuah keuntungan penambahan kualitas
ataupun kuantitas termasuk riba. Pinjam meminjam pada asal adalah perbuatan kebaikan dimana
seseorang memberikan kepada yg lain suatu barang atau uang untuk nanti dikembalikan yg sama
pada waktu yg telah disepakati. Namun manakala ada penambahan dalam pengembalian atau
dikembalikan dengan sesuatu yang lebih bagus/baik terjadilah riba.
Dalam hal ini ada beberapa syubhat yg beredar di tengah kaum muslimin yg sengaja disebarkan
oleh ahlus syubhat yang dipandang tokoh oleh sebagian orang. Kami nukilkan secara ringkas
beberapa syubhat tersebut berikut jawaban dari kitab Syarhul Buyu’ war Riba Min Kitabid
Darari yang ditulis guru kami Asy-Syaikh Abdurrahman bin ‘Umar bin Mar’i Al-’Adni
hafizhahullah.
Beliau hafizhahullah menyatakan ada pihak-pihak yang tidak menganggap riba pinjam
meminjam yg memberi faedah. dalam hal ini mereka menggunakan dua sudut pandang:
1.      Riba yg diharamkan hanyalah riba jahiliah yaitu riba dalam hutang piutang. Misalnya
seseorang menghutangi orang lain dengan perjanjian akan dibayar dalam tempo tertentu namun
ternyata sampai tempo yg ditentukan orang yang berhutang belum melunasinya. Akibat si
pemberi piutang memberi denda dengan jumlah tertentu yang harus dibayarkan bersama hutang
sehingga bertambahlah jumlah hutang dari orang yang berhutang tersebut.
Adapun pembayaran tambahan yang telah disebutkan di awal akad pinjam meminjam mereka
mengatakan bahwa itu bukan riba yg diharamkan.
Mereka yg berpendapat seperti ini di antara Muhammad Rasyid Ridha penulis Tafsir Al-Manar
murid Muhammad Abduh serta diikuti oleh ‘Abdurrazzaq As-Sanhawuri seorang “pakar” hukum
di masa ini. Mereka menguatkan pendapat tersebut dengan beberapa dalil/perkara berikut ini:
4
a.       Gambaran riba jahiliah yang ayat-ayat Al-Qur`an diturunkan tentang hanyalah berupa
‘engkau bayar sekarang atau hutangmu bertambah’.
Jawaban terhadap dalil mereka ini adalah:
1)      Hal ini tdk bisa diterima krn sebenar riba jahiliah itu memiliki dua bentuk:
Bentuk pertama: Bentuk yg masyhur yaitu ‘engkau bayar sekarang atau hutangmu bertambah’
Bentuk kedua: Penetapan ada tambahan pembayaran/ pengembalian dari jumlah yg semesti
dibayarkan sejak awal akad. Bentuk seperti ini adl riba jahiliah disebutkan dlm Ahkamul Qur`an
karya Al-Imam Al-Jashshash.
2)      Kalaupun dianggap bahwa ayat-ayat tentang riba yg ada dlm surah Al-Baqarah hanya
mencakup bentuk yg pertama namun sebenar ayat tersebut juga bisa dijadikan sebagai dalil akan
haram ziyadah yg dipersyaratkan di awal akad. Karena kedua bentuk ini sama-sama menerima
ziyadah hanya bila telah jatuh tempo.
3)      Ziyadah yg dipersyaratkan dlm akad hutang piutang khusus pada mata uang serta yg serupa
dgn kedua sebagai alat pembayaran seperti uang kertas memang tdk dinyatakan keharaman oleh
ayat-ayat yg berbicara tentang riba. Namun demikian pengharaman disebutkan dlm Sunnah.
Untuk lbh jelas perhatikanlah contoh berikut ini: Bila seseorang datang ke bank lalu berkata
“Berikan pinjaman kepada saya sebesar Rp. 100.000-.” Pihak bank mengatakan “Kami akan
memenuhi permintaan anda namun kami catat dlm pembukuan kami jumlah Rp. 120.000-
sampai akhir tahun.”
Memang ayat-ayat tentang riba tdk menunjukkan keharaman bentuk seperti ini namun hadits-
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan secara jelas keharamannya. dlm hadits
disebutkan tentang enam macam barang yg terkena hukum riba:
‫ فَ َم ْن زَ ا َد أَ ِو‬k،‫ ٍد‬kَ‫دًا بِي‬kَ‫ ي‬،‫ل‬k
ٍ k‫ ِم ْثالً بِ ِم ْث‬،‫ح‬
ِ ‫ال ِم ْل‬k
ْ ِ‫التَّ ْم ِر َو ْال ِم ْل ُح ب‬kِ‫ ُر ب‬k‫ ِعي ِْر َوالتَّ ْم‬k‫الش‬
َّ ِ‫ ِع ْي ُر ب‬k‫الش‬ ْ ِ‫رُّ ب‬kkُ‫ ِة َو ْالب‬k‫ض‬
َّ ‫البُ ِّر َو‬k َّ ِ‫ةُ بِ ْالف‬k‫ض‬
َّ ِ‫ب َو ْالف‬ َّ ِ‫الذهَبُ ب‬
ِ َ‫الذه‬ َّ
َ
‫ا ْست َْزدَا َد فَقَ ْد أرْ بَى‬
Artinya;
“Emas dgn emas perak dgn perak burr dgn burr sya’ir dgn sya’ir kurma dgn kurma dan garam
dgn garam harus sama timbangan dan tangan dgn tangan . Barangsiapa menambah atau minta
tambah berarti dia jatuh dlm riba.”

Bila pihak bank memberikan pinjaman Rp. 100.000- kepada orang tersebut namun dicatat jumlah
Rp. 120.000- hingga waktu setahun berarti pihak yang berhutang dan yang memberi piutang
tidak berpegang dengan dua ketetapan yang disebutkan dalam hadits di atas yaitu:
‫ يَدًا بِيَ ٍد‬،‫ِم ْثالً بِ ِم ْث ٍل‬
Mereka yg melakukan muamalah seperti ini berarti telah mengumpulkan dua macam riba riba
fadhl dan riba nasi`ah .
b.      Menurut mereka riba jahiliah dilarang karna mengambil ziyadah dari pokok harta . Hal itu
terjadi karna tertunda pembayaran hutang kepada pihak yg memberi piutang bukan disebabkan
ingin memberikan kemanfaatan kepada si pemberi hutang.
Dijawab: Sebab yg disebutkan ini juga ada pada akad pinjam meminjam yg mensyaratkan
pembayaran tambahan.
c.       Muhammad Rasyid Ridha berdalil juga dari sisi bahasa. Ia berkata “Huruf lif dan lam pada
kata ‫ الرِّ بَا‬adalah lil-’ahd sehingga riba yg dilarang dan dicerca adalah riba yang dikenal
dimaklumi dan diketahui kalangan orang 2 jahiliah yaitu ‘engkau bayar atau hutangmu
bertambah’.
Dijawab: Kalaulah dianggap alif dan lam yg ada pada kata riba tersebut lil-’ahd yakni Rabb kita
menyebutkan keharaman riba atas sesuatu yg tertentu yg biasa dilakukan orang2 jahiliah mk As-
Sunnah telah menyebutkan keharaman bentuk riba yg lain . Sehingga lafadz riba menjadi sebuah
hakikat syariat di mana didudukkan pada seluruh bentuk riba. Apalagi memang di antara mereka
ada yg mengatakan “Riba adl lafadz yg global penafsiran disebutkan dlm As-Sunnah.”
d.      Muhammad Rasyid Ridha juga berdalil dgn akal. Ia berkata “Ancaman yg keras dan
cercaan yg demikian menikam tidaklah mungkin diberikan kecuali kepada dosa-dosa yg besar.
Bila ada seseorang menukar 1 real perak dgn 4 real perak dgn serah terima yg ditunda sampai
waktu tertentu apakah bisa diterima oleh akal bahwa perbuatan seperti ini dikenakan ancaman yg
disebutkan dlm ayat-ayat yg melarang riba berupa diperangi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan Rasul-Nya? Yang bisa diterima oleh akal hanyalah bila bentuk seperti bentuk yg awal yaitu
‘engkau bayar atau hutangmu bertambah’.
6
Jawabannya: Menggunakan akal dan pendapat dlm perkara yg telah disebutkan nash- secara
syar’i adl sesuatu yg sia-sia. Sungguh keumuman dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah telah
mencakup hal yg ditolak tersebut.
e.       Muhammad Rasyid Ridha pun berdalil bahwa riba jahiliah adl riba yg menyebabkan
kerusakan kemudaratan meruntuhkan rumah-rumah dan memutuskan silaturahim.
Dijawab: Mensyaratkan tambahan pembayaran/pengembalian di awal akad justru lbh besar dan
lbh tampak kedzaliman daripada tambahan yg ditetapkan setelah jatuh tempo. Karena dlm riba
jahiliah seseorang memberi satu pinjaman kepada orang lain utk dikembalikan dlm tempo
sebulan misalnya. Ketika telah jatuh tempo orang yg meminjamkan berkata kepada pihak yg
dipinjami “Engkau bayar sekarang atau hutangmu bertambah .” Sehingga persyaratan tambahan
di awal akad tentu lbh tampak dan lbh jelas kedzalimannya.
Kemudian apa yg dianggap masuk akal oleh Muhammad Rasyid Ridha justru bertentangan dgn
nash dan tdk sepantas ditanyakan “Mengapa?” dan “Bagaimana?” kepada nash. Karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‫إِنَّ َما َكانَ قَوْ َل ْال ُم ْؤ ِمنِ ْينَ إِ َذا ُدعُوا إِلَى هللاِ َو َرسُوْ لِ ِه لِيَحْ ُك َم بَ ْينَهُ ْم أَ ْن يَقُولُوا َس ِم ْعنَا َوأَطَ ْعنَا‬
Artinya;
“Hanyalah ucapan kaum mukminin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar
Allah dan Rasul-Nya menghukumi di antara mereka mereka akan mengatakan ‘Kami dengar dan
kami taat’.”
f.       Muhammad Rasyid Ridha berargumen dgn ucapan-ucapan ulama utk membatasi riba yg
dilarang hanyalah ‘engkau bayar atau hutangmu bertambah’. Di antara ulama yg disebutkan adl
Malik Ath-Thabari Al-Qurthubi Ath-Thahawi Asy-Syathibi Ibnu Rusyd Al-Mawardi An-
Nawawi dan Ibnu Hajar Al-Haitsami.
Jawabannya: dlm hal ini ada perbedaan antara membatasi bentuk dgn membatasi hukum. Tatkala
ulama yg disebutkan di atas memaparkan hal itu yg mereka maukan adl menerangkan tentang
riba yg masyhur dan dikenal/dimaklumi yaitu riba ‘engkau bayar atau hutangmu bertambah’.
Bukan utk membatasi hokum riba hanya pada bentuk seperti ini. Beda hal dgn apa yg dipegangi
oleh Muhammad Rasyid Ridha. Dan ketahuilah pada sebagian ucapan ulama yg disebutkan
justru didapatkan bantahan terhadap pendapat Muhammad Rasyid Ridha di mana
                                                                                                                                7
mereka menyatakan bahwa ini adl bentuk riba jahiliah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah menerangkan bentuk-bentuk riba lain yg diharamkan seperti riba fadhl dan riba nasi`ah.

2.      Membatasi riba hanya dlm jual beli saja. Adapun dalam pinjam meminjam riba tidaklah
berlaku. Mereka berdalil sebagaimana berikut:
a.       Ayat-ayat riba menyebutkan secara global dan ditafsirkan oleh haditshadits Rasulullah
saw. Namun dalam hadits tersebut hanya disebutkan jual beli dan tdk ada penyebutan qardh.
Jawabannya: Telah disebutkan ada ijma’ tentang berlaku riba dlm qardh.
b.      Mereka berdalil dgn penukilan dari fuqaha dan ulama Hanafiah yg membatasi riba hanya
dlm jual beli.
Jawabannya: Telah disebutkan penukilan yg lain dari ulama dan fuqaha tersebut tentang
penetapan ada riba dlm qardh sebagaimana dlm jual beli.
c.       Mereka berdalil bahwa sebagian fuqaha Hanafiah menjadikan qardh sebagai analogi dari
berderma sehingga tdk terjadi riba di dalamnya. Karena yg nama riba hanya berlangsung pada
sesuatu yg di dlm ada penggantian.
Jawabannya: Para fuqaha tersebut walaupun mereka menjadikan qardh sebagai perbuatan derma
pada awal namun pada akhir mereka menjadikan perlu pengganti yg berarti riba bisa terjadi di
dalamnya. Mereka menyatakan hal ini secara jelas.
Adapun ucapan mereka bahwa qardh adl berderma bila memang tujuan utk memberikan manfaat
dan berbuat baik. Sedangkan qardh yg disyaratkan ada ziyadah di dlm mk maksud atau tujuan
adl meminta penggantian. Ada syarat ‘minta tambah’ ini menjadikan muamalah tersebut sama
dgn jual beli bukan lagi semata-mata qardh. Karena qardh hanyalah dilakukan utk tujuan berbuat
baik dan memberi manfaat bagi yg dipinjami. Beda hal dgn qardh yg ada syarat ‘minta tambah’.
Qardh yg seperti ini bukan bertujuan berbuat ihsan dan memberi manfaat tapi tujuan meminta
ganti mendapat untung dan ziyadah.
d.      Mereka berdalil dgn haditshadits yg menunjukkan boleh pengembalian dgn tambahan dlm
masalah qardh seperti hadits:
َ َ‫خَ ْي ُر ُك ْم أَحْ َسنُ ُك ْم ق‬
‫ضا ًء‬
Artinya;
“Sebaik-baik kalian adl yg paling baik pembayarannya.”
8
Jawabannya: Hadits seperti ini dibawa pemahaman kepada qardh yg tdk ada persyaratan minta
tambah dlm pengembalian. Sebagaimana orang yg meminjamkan telah berbuat ihsan kepada
orang yg dipinjami mk disyariatkan pula bagi orang yg dipinjami utk berbuat ihsan kepada orang
yg meminjamkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ُ‫ان إِالَّ ْا ِإلحْ َسان‬
ِ ‫هَلْ َج َزا ُء ْا ِإلحْ َس‬
Artinya;
“Tidaklah balasan kebaikan melainkan kebaikan pula .”
Maka hal ini masuk dalam permasalahan membalas kebaikan dengan kebaikan pula.
Demikian beberapa syubhat yang ada dalam pinjam meminjam yang mengandung unsur riba.
Sebagai penutup bagus sekali untuk kita nukilkan di sini nasihat dari Fadhilatusy Syaikh Shalih
bin Fauzan Alu Fauzan hafizhahullah. Beliau berkata “Wajib bagi seorang muslim untuk
memerhatikan dan berhati-hati dari qardh yang mensyaratkan ada tambahan. Hendaklah ia
mengikhlaskan niat dlm qardh tersebut dan juga dlm melakukan amal shalih yg lain. Karena
tujuan dari qardh ini bukanlah utk menambah harta secara hakiki namun hanyalah utk menambah
harta secara maknawi yaitu taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dgn memenuhi hajat
orang2 yg membutuhkan dan hanya menginginkan pengembalian yg sesuai dgn besar pinjaman .
Bila yg seperti ini menjadi tujuan dlm qardh niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
menurunkan barakah penambahan/pertumbuhan dan kebaikan pada harta.”

B.     Hukum Pinjam Meminjam (Al-Ariyyah)


Al-Ariyyah adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain dalam jangka waktu tertentu lalu
dikembalikan kepada pemilik.
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam  kebajikan dan takwa…” (Al Maaidah 2).
Ketika Rasulullah saw. meminjam baju besi dari Shafwan bin Umaiyyah, Shafwan berkata,
“Apakah ini perampasan hai Muhammad ?”. Maka Rasulullah saw. bersabda, “Namun Al
Ariyyah itu harus diganti.”

9
Hukum-hukumnya :
Harus sesuatu yang boleh dipinjamkan. “…dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran…” (Al Maaidah 2)
Jika yang meminjamkan mensyaratkan kepada peminjam untuk mengganti barang yang
dipinjamkan jika mengalami kerusakan, maka pihak peminjam wajib mengganti. Jika yang
meminjamkan tidak mensyaratkan, tetapi barang rusak bukan karena keteledoran peminjam,
maka disunnahkan untuk mengganti, tidak diwajibkan. Tetapi jika rusak karena keteledoran
peminjam, maka wajib diganti walaupun pemilik tidak mensyaratkannya. Rasulullah Shalallahu
Alaihi wa Salam bersabda, “Tangan berkewajiban atas apa yang diambilnya hingga ia
menunaikannya.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi, Al Hakim mengshahihkannya).
Peminjam harus menanggung biaya pengangkutan pada saat pengembalian.
Peminjam tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamnya. Boleh meminjamkan lagi ke
orang lain dengan izin dari pemilik.
Jika seseorang meminjamkan kebun untuk ditembok, peminjam tidak boleh mengambil lagi
hingga temboknya roboh. Jika meminjamkan sawah untuk ditanami, peminjam tidak boleh
mengambilnya hingga panen usai.
Jika meminjamkan dalam jangka waktu tertentu, peminjam disunnahkan untuk tidak mengambil
barangnya sebelum masa waktunya habis.
C.    Perjanjian Pinjam-Meminjam Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam Dan K.U.H.Perdata
1.      Perspektif Hukum Islam & KUHP
·         Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang berkodrat hidup bersama-sama
dengan makhluk yang lain dalam suatu masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat, disadari atau
tidak manusia senantiasa saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya untuk
memenuhi berbagai kepentingan dalam hidupnya. Kepentingan-kepentingan ini akan
menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak, sehingga hak dan kewajiban ini
membutuhkan suatu aturan hukum guna menghindari terjadinya bentrok atau perselisihan
diantara para pihak yang melakukan kepentingan itu.
·         Dalam negara Indonesia menganut tiga sistem hukum yaitu; sistem hukum Adat, sistem
hukum Islam dan sistem hukum Barat. Hal ini menyebabkan terjadinya
                                                                                                                                10
pluralisme hukumdi Indonesi. Dalam lapangan keperdataan misalnya, kita masih menggunakan
sistem hukum Barat (BW) yang nota bene merupakan warisan peninggalan kolonial Belanda,
padahal sitem hukum Islam juga mengatur hal-hal keperdataan (muamalat). Sebagai contoh
masalah pinjam-meminjam yang diatur dalam K.U.H.Perdata (Bab III), juga diatur dalam hukum
Islam.
·         Untuk itu penulis dalam skripsi ini mencoba mengkaji masalah perjanjian pinjam-
meminjam yang ditinjau dari prospektif hukum Islam dan KUHPerdata. Karena perjanjian
pinjam-meminjam dewasa ini lagi marak terjadi dilingkungan masyarakat kita, yang dipengaruhi
semakin terhimpitnya faktor ekonomi dan imbas dari krisis yang berkepanjangan yang sampai
saat ini masih melanda negara kita.
·         Berangkat dari hal-hal tersebut, penulis mengangkat tiga permasalahan yang dibahas
dalam tulisan ini yaitu: Bagaimana perbandingan perjanjian pinjam-meminjam dalam hukum
islam dan KUHPdt dalam hal; Pengertian, syarat, subyek dan obyeknya. Apa hak dan kewajiban
para pihak dalam perjanjian pinjam-meminjam. Serta bagaimana aturan perjanjian pinjam-
meminjam uang dalam hukum Islam dan KUHPdt.
·         Permasalahan-permasalahan inilah yang hendak penulis kaji secara mendalam, dan
kemudian mengkaji pula segi persamaan dan perbedaan dari kedua sistem hukum tersebut.
Untuk memperoleh data, penulis melakukan studi pustaka dengan cara menghimpun dari berbagi
literatur, skripsi dan karya ilmiah para ahli hukum, selanjutnya penulis menganalisa data dengan
metode diskriptif kualitatif dan metode content analisis, artinya suatu analisa yang memberikan
gambaran secara sistimatik dan uraian dengan argumentasi yang logis, serta analisa mendalam
dari data-data yang diperoleh, sehingga menghasilkan kesimpulan yang tepat.
·         Adapun beberapa temuan penulis secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
·         1. Bahwa pinjam-meminjam yang diatur dalam hukum Islam dan KUHPerdata
mempunyai persamaan dan perbedaan. Dimana syarat-syarat pinjam-meminjam yang diatur
dalam hukum Islam mempunyai persamaan dengan syarat perjanjian yang diatur dalam KUHPdt
(psl 1320). Adapun perbedaannya terletak pada obyek pinjaman, dimana dalam hukum Islam
menetapkan barang pinjaman adalah
11
sesuatu yang tidak menghabis karena pemakaian, sedangkan dalam KUHPdt menentukan barang
pinjaman adalah sesuatu yang menghabis karena pemakaian (psl 1754).
·         2. Bahwa hak dan kewajiban para pihak yang diatur dalam hukum Islam berbeda dengan
yang diatur dalam KUHPdt. Dalam hukum Islam mewajibkan kepada debitur untuk
mengembalikan barang pinjaman yang semula dipinjam, apabila telah selesai dipakai atau
lewatnya waktu yang diperjanjikan, karena dalam hukum Islam lebih menekankan pada
pengambilan manfaat semata dari barang pinjaman. Adapun yang diatur dalam KUHPdt
mewajibkan kepada debitur untuk mengganti barang pinjaman dengan barang yang baru, karena
obyek dari pinjaman adalah sesuatu yang menghabis, sehingga debitur harus bertanggung jawab
atas kemusnahan barang pinjaman.
2.      Deskripsi Alternatif :
·         Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang berkodrat hidup bersama-sama
dengan makhluk yang lain dalam suatu masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat, disadari atau
tidak manusia senantiasa saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya untuk
memenuhi berbagai kepentingan dalam hidupnya. Kepentingan-kepentingan ini akan
menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak, sehingga hak dan kewajiban ini
membutuhkan suatu aturan hukum guna menghindari terjadinya bentrok atau perselisihan
diantara para pihak yang melakukan kepentingan itu.
·         Dalam negara Indonesia menganut tiga sistem hukum yaitu; sistem hukum Adat, sistem
hukum Islam dan sistem hukum Barat. Hal ini menyebabkan terjadinya pluralisme hukumdi
Indonesi. Dalam lapangan keperdataan misalnya, kita masih menggunakan sistem hukum Barat
(BW) yang nota bene merupakan warisan peninggalan kolonial Belanda, padahal sitem hukum
Islam juga mengatur hal-hal keperdataan (muamalat). Sebagai contoh masalah pinjam-meminjam
yang diatur dalam K.U.H.Perdata (Bab III), juga diatur dalam hukum Islam.
·         Untuk itu penulis dalam skripsi ini mencoba mengkaji masalah perjanjian pinjam-
meminjam yang ditinjau dari prospektif hukum Islam dan KUHPerdata. Karena perjanjian
pinjam-meminjam dewasa ini lagi marak terjadi dilingkungan
12
·         masyarakat kita, yang dipengaruhi semakin terhimpitnya faktor ekonomi dan imbas dari
krisis yang berkepanjangan yang sampai saat ini masih melanda negara kita.
·         Berangkat dari hal-hal tersebut, penulis mengangkat tiga permasalahan yang dibahas
dalam tulisan ini yaitu: Bagaimana perbandingan perjanjian pinjam-meminjam dalam hukum
islam dan KUHPdt dalam hal; Pengertian, syarat, subyek dan obyeknya. Apa hak dan kewajiban
para pihak dalam perjanjian pinjam-meminjam. Serta bagaimana aturan perjanjian pinjam-
meminjam uang dalam hukum Islam dan KUHPdt.
·         Permasalahan-permasalahan inilah yang hendak penulis kaji secara mendalam, dan
kemudian mengkaji pula segi persamaan dan perbedaan dari kedua sistem hukum tersebut.
Untuk memperoleh data, penulis melakukan studi pustaka dengan cara menghimpun dari berbagi
literatur, skripsi dan karya ilmiah para ahli hukum, selanjutnya penulis menganalisa data dengan
metode diskriptif kualitatif dan metode content analisis, artinya suatu analisa yang memberikan
gambaran secara sistimatik dan uraian dengan argumentasi yang logis, serta analisa mendalam
dari data-data yang diperoleh, sehingga menghasilkan kesimpulan yang tepat.
·         Adapun beberapa temuan penulis secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
1.      Bahwa pinjam-meminjam yang diatur dalam hukum Islam dan KUH Perdata mempunyai
persamaan dan perbedaan. Dimana syarat-syarat pinjam-meminjam yang diatur dalam hukum
Islam mempunyai persamaan dengan syarat perjanjian yang diatur dalam KUHPdt (psl 1320).
Adapun perbedaannya terletak pada obyek pinjaman, dimana dalam hukum Islam menetapkan
barang pinjaman adalah sesuatu yang tidak menghabis karena pemakaian, sedangkan dalam
KUHPdt menentukan barang pinjaman adalah sesuatu yang menghabis karena pemakaian (psl
1754).
2.      Bahwa hak dan kewajiban para pihak yang diatur dalam hukum Islam berbeda dengan yang
diatur dalam KUHPdt. Dalam hukum Islam mewajibkan kepada debitur untuk mengembalikan
barang pinjaman yang semula dipinjam, apabila telah selesai dipakai atau lewatnya waktu yang
diperjanjikan, karena dalam hukum Islam lebih menekankan pada pengambilan manfaat semata
dari
13
barang pinjaman. Adapun yang diatur dalam KUHPdt mewajibkan kepada debitur untuk
mengganti barang pinjaman dengan barang yang baru, karena obyek dari pinjaman adalah
sesuatu yang menghabis, sehingga debitur harus bertanggung jawab atas kemusnahan barang
pinjaman.
D.    Rikun Pinjam Meminjam
Rukun pinjam meminjam ada empat macam dengan syaratnya masing-masing sebagai berikut:
1.      Orang-orang yang meminjamkan, disyaratkan;
a.       Berhak berbuat kebaikan tanpa ada yang menghalangi. Orang yang dipaksa anak kecil
tidak sah meminjamkan.
b.      Barang yang dipinjamkan itu milik sendiri atau menjadi tanggung jawab orang yang
meminjamkannya.
2.      Orang-orang yang meminjam, disyaratkan;
a.       Berhak menerima kebaikan. Oleh sebab itu, orang gila atau anak kecil tidak sah
meminjam.
b.      Hanya mengambil manfaat dari barang dari barang yang dipinjam.
3.      Barang yang dipinjam, disyaratkan;
a.       Ada manfaatnya
b.      Barang itu kekal (tidak habis setelah diambil manfaatnya). Oleh karena itu, makanan yang
setelah dimanfaatkan menjadi habis atau berkurang zatnya tidak sah dipinjamkan.
4.      Akad, yaitu ijab dan qabul.
Pinjam-meminjam berakhir apabila barang yang dipinjam telah diambil manfaatnya dan harus
segera dikembalikan kepada yang memilikinya. Pinjam-meminjam berakhir apabila salah satu
dari kedua belah pihak meninggal dunia atau gila. Barang yang dipinjam dapat diminta kembali
sewaktu-waktu, karena pinjam meminjam bukan merupakan perjanjian yang tepat.
Jika terjadi perselisihan pendapat antara yang meminjamkan dengan yang meminjam barang
tentang barang itu sudah dikembalikan atau belum, maka yang dibenarkan adalah yang
meminjamkan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini didasarkan padda hokum asalnya yaitu belum
dikembalikan.

14
E.    Etika Pinjam Meminjam
Hudhur aba telah mengingatkan kita dalam khutbah beliau aba tanggal 13-8-2004, agar para
Ahmadi dengan secermatnya mengikuti petunjuk yang ada di dalam KS Alquran (2 :283–284:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu berhutang pada sesamamu, hendaklah
menuliskannya …..) dalam hal urusan transaksi terutama mengenai hal pinjam dan
meminjamkan, supaya ditaati dengan penuh ketakwaan, takut kepada Allah, agar terhindar dari
hal-hal yang buruk, yang memalukan, seperti pertengkaran, dan kehinaan.
·        Dalam hubungan di masyarakat acapkali kita terpaksa membuat transaksi seperti
meminjam dan meminjamkan. Dan disebabkan urusan pinjam dan meminjamkan ini acapkali
terjadi pertengkaran dan permusuhan di antara saudara dan di antara teman-teman, yang bisa
sampai ke pengadilan, dan dapat menyebabkan kebangkrutan dan kehinaan.
·        Dalam ajaran Islam, Allah, Taala telah memberikan petunjuk agar urusan pinjam –
meminjam ini harus ditulis; dengan syarat-syaratnya kapan pinjaman akan dikembalikan, kalau
dicicil berapa dan berapa lama, kapan penyelesaiannya.
·        Seringkali orang merasa berkeberatan untuk menuliskan urusan pinjam-meminjam ini,
dengan alasan bahwa kami berteman sangat dekat dan bersahabat sangat kental, kami bersaudara
dekat, dan kalau kami menuliskannya, maka seolah-olah kami tidak saling mempercayai. Atau
karena merasa jumlahnya pinjamannya ini sedikit atau tidak banyak, maka kami segan untuk
menuliskannya.
·        Padahal perintah dalam Islam sudah tegas, ialah harus ditulis, berapa pun besarnya atau
dengan siapa pun. Perintah ini harus diikuti atau ditaati, sebagai orang beriman yang takwa; yang
meminjam harus menulisnya dengan benar dan dengan perasaan takut kepada Tuhan; jumlahnya
syarat-syaratnya, cicilannya, waktu penyelesaiannya.
·        Kadang-kadang pinjaman ini kecil, seperti untuk urusan dapur; tetapi perintahnya ialah
tetap harus ditulis, kalau Anda tidak ingin berakhir dengan pertengkaran, dan menjadi jauh dari
Tuhan.
·        Syaitan bisa berusaha untuk memberikan salah pengertian di dalam hati orang-orang; oleh
karena itu, ikutilah perintah Tuhan ini dengan perasaan takwa, sehingga syaitan tidak bisa
menjauhkan manusia dari Tuhan-nya.
15
·        Karena yang ada dalam keadaan terpepet atau terdesak, atau membutuhkan itu adalah
pihak peminjam, maka orang yang meminjam itulah yang menulisnya, bagaimana syarat-
syaratnya yang ia akan penuhi. Kalau peminjam tidak dapat menulis maka walinya-lah yang
akan menulisnya sesuai keinginan atau kemampuan peminjam.
·        Dalam transaksi besar, seperti jual beli besar, maka diperlukan 2 orang saksi laki-laki; 1
orang saksi laki-laki dapat diganti dengan 2 saksi perempuan, sehingga jika wanita yang satu itu
lupa maka yang lainnya bisa mengingatkannya.
·        Pihak yang meminjamkan, karena ia berada di pihak yang memiliki fasilitas dan diberikan
kemampuan, perlu berbaik hati, bersifat pemurah, atau melonggarkan diri, sehingga mau
memenuhi atau mengikuti persyaratan yang dikemukakan peminjam.
·        Ahmadi jangan ikut kebiasaan orang-orang, tetapi Ahmadi harus ikut perintah Islam; kalau
tidak menurut, maka akan menjauh dari Tuhan.
·        Janganlah meminjam; kecuali ada hal mendesak, ada hal yang tak terhindarkan.
·        Satu kali terjadi di Rabwah zaman dulu. Hadhrat Mirza Syarif Ahmad ra bersama seorang
temannya masuk di grocery toko bahan makanan; ketika berbelanja uang beliau kurang, lalu
temannya membayarkan kekurangannya. Maka ketika pulang dan sampai di depan pintu gerbang
rumahnya, Hadhrat Mirza Syarif Ahmad masuk ke dalam rumahnya, dan minta agar temannya
tetap memegang bungkusan belanjaannya. Setelah keluar lagi, dan beliau membayar uang yang
tadi di-pinjamkan oleh temannya itu, maka beliau berkata, nah sekarang bisa saya ambil
bungkusan belanjaan ini, karena saya telah melunasi uang saudara yang dipakai berbelanja itu.
·        Kalau meminjam uang dalam mata uang lain, seperti UK Pound Sterling, dan berjanji akan
dibayar nanti dengan uang Rupees, setelah pulang, maka ini harus ditulis dengan jelas, tentang
kurs mata uang dan waktu penyelesaiannya.
·        Kalau sampai di pengadilan, merubah tulisan atau apa yang tertulis, atau menyangkal apa
yang ditulis, maka Allah akan menghukum.
·        Kalau memaksa saksi, Allah akan menghukumnya.
·        Jika menyimpang, maka akan menjauh dari Tuhan.
·        Yang bertanggung-jawab di dalam urusan pinjam meminjam ini adalah: 1. Orang yang
meminjam, 2. Yang meminjamkan dan 3. Para saksi.
16
·        Ada kalanya peminjam tidak dapat memenuhi apa yang dijanjikannya. Maka yang pihak
yang meminjamkan perlu bersifat lunak, dan berbaik hati; apalagi jika yang meminjam itu
dikarenakan kemiskinan atau kekurangan.
·        Yang meminjamkan dapat mengundurkan jangka waktu penyelesaian pinjamannya; atau
memberikan keringanan, atau bahkan membebaskannya sebagai sedekah. Allah Taala akan
memberikan ganjaran dan pahala. Karena Allah adalah Maha Pemurah.
·        Dalam perjalanan Isra’, Hadhrat Rasulullah saw membaca tulisan di pintu gerbang: “Yang
memberikan pinjaman dan menolong membebaskan hutangnya, diberi pahala 18 kali dari pada
sedekah”.

Beliau saw bertanya mengapa, karena tidak mengerti.?


Yang diberi sedekah belum tentu ia membutuhkannya, sedangkan yang terpaksa meminjam
adalah karena kebutuhannya yang benar-benar mendesak, atau karena kemiskinannya. Karena
Allah adalah Maha Pemurah; dan Dia memberikan fasilitas dan kemampuan kepada orang yang
dikehendaki oleh Nya.
F.     Kewajaiban Peminjam Meminjam
Orang yang meminjam barang orang lain, ia berkewajiban untuk:
1.      Mengembalikan barang itu kepada pemilliknya jika telah selasai. Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Pinjaman itu wajib dikembalikan dan yang meminjam sesuatu harus membayar.” (HR. Abu
Dawud).
2.      Mengganti apabila barang itu hilang atau rusak. Dalam satu hadis yang diriwatkan Shafwan
Bin Ummayyah, bahwa Nabi saw. pada waktu Perang Hunain meminjam beberapa buah baju
perang kepada Shafwan. Ia bertanya kepada Rasulullah, “Apakah ini pengembalian paksa wahai
Rasulullah?” Rasulullah menjawab:
Artinya:
“Bukan, tetapi ini adalah pinjaman yang dijamin (akan diganti apabila rusak atau hilang).” (HR.
Abu Dawud).
17
3.      Merawat barang pinjaman dengan baik selama ditangannya.
Rasul Allah saw. besabda:
Artinya:
“Kewajiban peminjam merawat apa yang dipinjamnya, sehingga ia mengembalikan barang itu.”
(HR. Ahmad).
18
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Setelah menyusun makalah ini yang berjudul, “Pinjam Meminjam dalam Islam”, Penulis
menyimpulkan bahwa dalam proses pinjam meminjam di kalangan masyrakat harus
memperhatikan beberapa hal sebelum melakukannya, Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan seperti yang terjadi saat sekarang ini.
Semoga Allah Taala memberikan kemampuan kepada kita untuk dapat mengikuti dan mentaati
petunjuk dalam hal pinjam-meminjam dan bersedekah dalam ajaran islam. Amin…

B.     Saran
Dalam penyusunan makalah ini, masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan, untuk itu
penulis sangat mengharapkan partisipasi rekan dan dosen berupa saran serta kritik yang bersifat
membangun demi penyempurnaan makalah ini.
19
DAFTAR PUSTAKA

·         Al-Qur’an dan Terjemahannya


·         Amir Abyan dan Zainal Muttaqin, Fikih, PT. Karya Toha Putra, Semarang, 2006
·         Departemen Agama RI, Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama
Islam di Madrasah, Departemen Agama RI, 2008
·         Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996
·         Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 57
·         An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya:
Risalah Gusti.
·         Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam
Kaffah, Edisi Revisi, 2005.
·         Sumber: www.asysyariah.com
·         friday-sermon.blogspot.com/2007/05/etika-pinjam-meminjam.html
·         www.buyayahya.org/.../153-keindahan-islam-dalam-pinjam-meminja
·         digilib.itb.ac.id › ... › Dept._of_Shariah › 2002 › Even_SemesterTembolok - Mirip 27 Jan
2003

Anda mungkin juga menyukai