semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam
keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang, menurut Rasulullah SAW,
merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang
juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas
berdusta, dan berjanji lantas memungkiri. (HR. Bukhari).
Rasulullah SAW pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui
masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya.
Rasulullah SAW bersabda: Akan diampuni orang yang mati syahid semua
dosanya, kecuali hutangnya. (HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin
Amr bin Ash R.A).
Dan dari Ibnu Umar R.A bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa
meninggal dunia dalam keadaan menanggung hutang satu Dinar atau satu Dirham,
maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada
lagi Dinar dan tidak (pula) Dirham. (HR. Ibnu Majah II/807 no: 2414. dan dishahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
C. Rukun dan Syarat Utang Piutang
Adapun yang menjadi rukun qardh adalah:
1. Muqridh (yang memberikan pinjaman).
2. Muqtaridh (peminjam).
3.Qardh (barang yang dipinjamkan)
4.Ijab qabul
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad qardh adalah:
1. Orang yang melakukan akad harus baligh, dan berakal.
2. Qardh harus berupa harta yang menurut syara boleh digunakan/dikonsumsi.
3. Ijab qabul harus dilakukan dengan jelas.
D. Hukum Qardh
Menurut Malikiyah, qardh hukumnya sama dengan hibah, shadaqah dan ariyah,
berlaku dan mengikat dengan telah terjadinya akad walaupun muqtaridh belum
menrima barangnya. Muqtaridh boleh mengembalikan persamaan dari barang yang
dipinjamnya, dan boleh pula mengembalikan jenis barangnya, baik barang tersebut
mitslii atau ghair mitslii, apabila barang tersebut belum berubah dengan tambah atau
kurang. Apabila barang telah berubah, maka muqtaridh wajib mengembalikan barang
yang sama.
Menurut pendapat yang sahih dari Syafiiyah dan Hanabilah, kepemilikan dalam
qardh berlaku apabila barang telah diterima. Muqtaridh mengembalikan barang yang
sama kalau barangnya maal mitslii. Menurut Syafiiyah, apabila barangnya maal
qiimii maka ia mengembalikannya dengan barang yang nilainya sama dengan barang
yang dipinjamnya. Menurut Hanabilah, dalam barang-barang yang ditaksir (makilat)
dan ditimbang (mauzunat), sesuai dengan kesepakatan fuqahaa, dikembalikan dengan
barang yang sama. Sedangkan dalam barang yang bukan makilat dan mauzunat, ada
dua pendapat. Pertama, dikembalikan dengan harganya yang berlaku pada saat utang.
Kedua, dikembalikan dengan barang yang sama yang sifat-sifatnya mendekati dengan
barang yang diutang atau dipinjam.
7.
8.
9.
KESIMPULAN Qardh (hutang piutang) pada intinya adalah perbuatan atau aktifitas yang
mempunyai tujuan untuk membantu orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan
berupa materi, dan sangat dianjurkan karena memberikan hikmah dan manfaat bagi pemberi
utang maupun bagi penerima utang. Qardh diperbolehkan selama tidak ada unsur-unsur yang
merugikan salah satu pihak.
Daftar Pustaka
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah, 2010. Al-Fauzan, shaleh.
Fiqih
Sehari-hari.
Jakarta:
Gema
Insani
Press,
2005.