Anda di halaman 1dari 40

BAB X

BENTUK-BENTUK AKAD TABARRU’ DAN APLIKASINYA DI


LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH

Akad tabarru’sebagaimana telah dibahas sebelumnya merupakan


segala macam perjanjian yang menyangkut not-for profit transaction
(trasaksi nirlaba). Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-
menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr
dalam bahasa Arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak
yang berbuat kebaikan tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun
kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah swt,
bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan
tersebut boleh meminta kepada counter-part–nya untuk sekedar menutupi
biaya yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’
tersebut, tetapi tidak boleh sedikit pun mengambil laba dari akad tabarru’
itu. Contoh akad-akad tabarru’ adalah qard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah,
wadi’ah, hibah, wasiat, dan wakqf.
Berikut akan diulas satu-persatu bentuk-bentuk akad di atas yang
dimulai dari akad hutang piutang (qard), jaminan/gadai (rahn),
pengalihan hutang/piutang (hiwalah), penjaminan/ garansi (kafalah),
titipan (wadi’ah), agensi/perwakilan (wakalah), pinjam meminjam (ariyah),
hibah dan, wasiat.

A. Hutang Piutang (Al-Qardh)


1. Pengertian dan Landasan hukum
Secara etimologi, qardh berarti al-Qath’i (memotong). Harta yang
dibayarkan kepada muqtarid (yang diajak akad qardh) dinamakan qarad,
sebab merupakan potongan dari harta muqrid (pemilik barang).
Pengertian qardh menurut terminologi, antara lain dikemukakan
oleh ulama Hanafiyah. Menurutnya qardh adalah “Sesuatu yang diberikan
seseorang dari harta mitsil (yang memiliki perumpamaan) untuk memenuhi

1
kebutuhannya.”. Sementara definisi Qardh menurut ulama Malikiyah
adalah “suatu penyerahan harta kepada orang lain yang tidak disertai iwadh
(imbalan) atau tambahan dalam pengembaliannya.”
Sedangkan menurut Ulama Syafi’iyah, qardh mempunyai
pengertian yang sama dengan term as-Salaf, yakni akad pemilikan sesuatu
untuk dikembalikan dengan yang sejenis atau yang sepadan.
Dari definisi tersebut tampaklah bahwa sesungguhnya qardh
merupakan salah satu jenis pendekatan untuk bertakarrub kepada Allah
dan merupakan jenis mu’amalah yang bercorak ta’awun (pertolongan)
kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya, karena muqtarid
(penghutang/debitur) tidak diwajibkan memberikan iwadh (tambahan)
dalam pengembalian harta yang dipinjamnya itu kepada muqrid (yang
memberikan pinjaman/kreditur), karena qardh menumbuhkan sifat
lemah lembut kepada manusia, mengasihi dan memberikan kemudahan
dalam urusan mereka serta memberikan jalan keluar dari duka dan kabut
yang menyelimuti mereka.
Adapun yang menjadi landasan hukum diperbolehkannya qardh
adalah al-Qur’an surat Al-Hadid ayat 11: “Siapakah yang mau
meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Allah akan melipat
gandakan pinjaman itu untuknya dan ia akan memperoleh pahala yang
baik.” (QS.). Selain itu ada beberapa hadis Nabi SAW yang mendukung
kebolehan Qardh, yaitu hadis riwayat Ibn majah dan ibn Hibban dari Ibnu
Mas’ud, bahwa Nabi saw bersabda: “Bukan seorang muslim (mereka)
yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali dan yang sekali adalah
(senilai) sedekah.” Hadis yang diriwayatkan Ibn Majah dan Baihaqi dari
Anas, Rasulullah saw bersabda: “Aku melihat pada waktu malam diisra’kan,
pada pintu surga tertulis: sedekah dibalas sepuluh kali lipat dan qardh delapan
belas kali lipat. Aku bertanya : wahai Jibril, mengapa qardh lebih utama daripada
sedekah? Ia menjawab: karena meskipun orang pengemis meminta-minta namun

2
ia masih mempunyai harta, sedangkan yang berhutang pastilah karena sangat
membutuhkannya”.

2. Rukun dan Syarat al-Qardh


Adapun yang menjadi rukun qardh adalah 1). Muqridh (pemilik
barang/yang memberikan pinjaman), 2). Muqtaridh (peminjam), 3). Qardh
(objek / barang yang dipinjamkan), 4). Ijab qabul.
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad qardh
adalah sebagai berikut:
a. Orang yang melakukan akad (Muqridh dan Muqtaridh) harus baligh,
dan berakal. Akad qardh ini menjadi tidak sah apabila yang berakad
itu anak kecil, orang gila dan dipaksa oleh seseorang.
b. Qardh (objek/barang yang dipinjamkan) harus berupa maal
mutaqawwim (harta yang menurut syara’ boleh
digunakan/dikonsumsi). Mengenai jenis harta benda yang dapat
menjadi objek utang piutang terdapat perbedaan pendapat dikalangan
fuqaha. Menurut Hanafiah, akad utang piutang hanya berlaku pada
harta benda mistlayat, yaitu harta benda yang banyak padanannya,
yang lazim dihitung melalui timbangan, takaran dan satuan.
Sedangkan harta benda qimiyat tidak sah dijadikan objek utang
piutang seperti hasil seni, rumah, tanah, hewan dan lain-lain. Namun
menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah setiap harta yang dapat
diberlakukan atasnya akad salam dapat diberlakukan atasnya akad
utang piutang, baik berupa harta benda mistliyat maupun qimiyat.
c. Ijab qobul harus dilakukan dengan jelas, sebagaimana jual beli dengan
menggunakan lafal qardh atau yang sepadan dengannya. Menurut
Maliki, pemilikan terjadi dengan akad saja sekalipun serah terima
belum terjadi.

3
3. Larangan Meraih keuntungan (manfa’at) melalui Qardh
Akad qardh dimaksudkan untuk menolong sesama muslim
(tabarru’), bukan bertujuan untuk memperoleh keuntungan (tijarah),
bukan pula salah satu cara untuk mengeksploitir, karena inilah seorang
yang diberikan qardh tidak dibenarkan mengembalikan kepada pemberi
qardh kecuali apa yang telah ia terima darinya atau mengikuti kaidah fiqh
yang berbunyi:

‫كل قرض جر نفعا فهو ربا‬


Artinya: “Semua bentuk qardh yang membuahkan bunga adalah riba.”
Pengharaman disini berkaitan dengan sesuatu yang terjadi apabila
keuntungan (manfaat) qardh disyaratkan atau tahu sama tahu. Jika tidak
disyaratkan, maka muqtaridh harus membayar lebih, baik dari qardh
dalam sifatnya atau menambahkan kadarnya atau menjual rumahnya jika
disyaratkan demikian. Dan bagi muqridh mempunyai hak untuk
mengambil hartanya dengan tidak memaksa, berdalil kepada hadis yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim serta ashabus sunnah dari Abu
Rifa’i berkata.
“Rasulullah pernah meminjam unta kepada seseorang, kemudian
datanglah unta unta sedekah. Kemudian beliau memberitahukanku agar
membayar piutang orang tersebut yang diambil dari unta sedekah itu. Lalu aku
berkata: “ Aku tidak mendapatkan unta muda didalamnya kecuali unta pilihan
yang sudah berumur enam tahun masuk ketujuh “. Lalu Nabi saw bersabda:

‫اعطه اياه فان خريكم احسنكم قضاء‬


Artinya: “Berikanlah kepadanya. Sesungguhnya orang yang paling baik
diantaramu adalah orang yang paling baik dalam membayar hutang.”
Dan Jabir bin Abdullah mengatakan :

) ‫كان يل على رسول اهلل حق فقضاين وزاديت ( رواه امحد والبخارى و مسلم‬

4
Artinya: “Aku pernah mempunyai hak kepada Rasulullah. Beliau lalu
membayarku dan beliau melebihkan untukku.” (H.R Ahmad, Bukhari
dan Muslim)
Para Fuqaha sepakat bahwa jika pinjaman dipersyaratkan agar
memberikan keuntungan (manfaat) apapun bentuknya atau tambahan
kepada pihak muqaridh, maka yang demikian itu haram hukumnya.
Jika keuntungan tersebut tidak disyaratkan dalam akad atau jika hal
tersebut telah menjadi kebiasaan di masyarakat menurut mazhab
Hanafiyah adalah boleh.
Fuqaha Malikiyah membedakan utang piutang yang bersumber
dari jual beli dan utang piutang saja (al-Qardh). Dalam hal utang piutang
yang bersumber dari jual beli, penambahan pembayaran yang tidak
disyaratkan adalah boleh. Sedangkan dalam hal utang piutang ansich (al-
Qardh) penambahan pembayaran yang tidak dipersyaratkan dan tidak
dijanjikan karena telah menjadi adat kebiasaan di masyarakat hukumnya
haram. Penambahan yang tidak dipersyaratkan dan tidak menjadi
kebiasaan masyarakat, baru boleh diterima.
Penambahan pelunasan hutang yang diperjanjikan oleh muqtaridh
(pihak yang berhutang), menurut Syafi’iyah pihak yang menghutangi
(muqridh) makruh menerimanya. Sedangkan pihak yang menghutangi
boleh menerimanya
4. Aplikasi Akad Qardh di Lembaga Keuangan Syari’ah

5
1. Nasabah mengajukan pembiayaan qardh kepada bank syari’ah
2. Bank syari’ah memberikan pinjaman kepada nasabah
3. Nasabah mempergunakan dana tersebut untuk usaha
4. Ketika usaha tersebut mendapat keuntungan, maka keuntungan
semua menjadi hak nasabah.
5. Nasabah mengembalikan pinjaman (modal) yang diberikan oleh
bank syari’ah.
B. Jaminan/Gadai (al-Rahn)
1. Pengertian dan Dasar Hukum
Secara etimologi, kata ar-rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan.
Akad ar-rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan barang
jaminan/agunan. Ada beberapa definisi ar-rahn yang dikemukakan para
ulama fiqh. Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan: Harta yang
dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.
Adapun yang dapat dijadikan barang jaminan (agunan) bukan saja
yang bersifat materi, tetapi juga yang bersifat manfaat. Benda yang
dijadikan barang jaminan (agunan) tidak harus diserahkan secara aktual,
tetapi boleh juga penyerahanrrya secara hukum, seperti menjadikan

6
sawah sebagai jaminan (agunan), sehingga yang diserahkan adalah surat
jaminannya (sertifikat sawah).
Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan: Menjadikan sesuatu
(barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai
pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagian. Sedangkan
ulama Syafi'iyah dan Hanabilah mendefinisikan ar-rahn dengan :
Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan
pembayar utang apabila orang yang berutang t i dak bisa membayar utangnya itu.
Definisi ini mengandung pengertian bahwa barang yang boleh
dijadikan jaminan (agunan) utang itu hanya yang bersifat materi; tidak
termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan ulama Malikiyah.
Barang jaminan itu boleh dijual apabila dalam waktu yang disepakati
kedua belah pihak, utang tidak dilunasi. Oleh sebab itu, hak pemberi
piutang hanya terkait dengan barang jaminan, apabila orang yang
berutang tidak mampu melunasi utangnya.
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan
dalam Islam berdasarkan al-Qur'an dan sunnah Rasul. Dalam surat al-
Baqarah, 2: 283 Mereka sepakat menyatakan bahwa ar-rahn boleh
dilakukan dalam perjalanan ataupun tidak, asalkan barang jaminan itu
bisa langsung dikuasai (al-qabdh) secara hukum oleh pemberi piutang.
Misalnya, apabila barang jaminan itu berbentuk sebidang tanah, maka
yang dikuasai (al-qabdh) adalah surat jaminan tanah itu. Ar-rahn
dibolehkan, karena banyak kemaslahatan yang terkandung didalamnya
dalam rangka hubungan antar sesama manusia.
2. Ketentuan ar-Rahn
Para ulama fiqh mengemukakan beberapa ketentuan (syarat) ar-
rahn sesuai dengan rukun ar-rahn itu sendiri. Diantara ketentuan ar-rahn
yang penting dijelaskan diantaranya: a) syarat al-marhun bihi (utang)
adalah: (1) Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada orang
berutang, (2) Utang itu boleh dilunasi dengan agunan itu, (3) Utang itu

7
jelas dan tertentu; b) al-marhun (barang yang dijadikan agunan), menurut
para pakar fiqh, adalah: (1) barang jaminan (agunan) itu boleh dijual dan
nilainya seimbang dengan utang, (2) barang jaminan itu bernilai dan
dapat dimanfaatkan, (3) barang jaminan itu jelas dan tertentu, (4) agunan
itu milik sah orang yang berutang, (5) barang jaminan itu tidak terkait
dengan hak orang lain, (6) barang jaminan itu merupakan harta yang
utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat, (7) barang jaminan itu
boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya, dan (8) besarnya
biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
Di samping syarat-syarat di atas, para ulama fiqh sepakat
menyatakan bahwa ar-rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang
yang dirahn-kan itu secara hukum sudah berada di tangan pemberi utang,
dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang. Apabila
barang jaminan itu berupa benda tidak bergerak, seperti rumah dan tanah,
cukup surat jaminan tanah atau surat-surat rumah itu yang dipegang oleh
pemberi utang. Syarat yang terakhir (kesempurnaan ar-rahn) oleh para
ulama disebut sebagai qabdh al-marhun (barang jaminan dikuasai secara
hukum). Syarat ini menjadi penting karena Allah dalam surat al-Baqarah,
2: 283 menyatakan " fa rihanun magbudhah" (barang jaminan itu dikuasai
[secara hukum]).
Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi utang,
maka akad ar-rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab
itu, utang itu terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak
dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan utang dibayar. Apabila
dalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan, maka wajib
dikembalikan kepada pemiliknya.

8
3. Memanfaatkan Barang Jaminan [Agunan] (al-Marhun)
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang
dibutuhkan untuk pemeliharaan barang-barang jaminan itu menjadi
tanggung jawab pemiliknya, yaitu orang yang berutang. Hal ini sejalan
dengan sabda Rasulullah yang mengatakan:” ... pemilik barang jaminan
(agunan) berhak atas segala hasil barang jaminan dan ia juga bertanggwig jawab
atas segala biaya barang jaminan itu.” (HR asy-Syafi'i dan ad-Daruquthni).
Jumhur ulama fiqh, selain ulama Hanabilah, berpendapat bahwa
pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jarninan itu,
karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang barang
jaminan hanya sebagai jaminan piutang, dan apabila orang yang berutang
tidak mampu melunasi utangnya, ia boleh menjual atau menghargai
barang itu untuk melunasi piutangnya. Alasan jumhur ulama adalah
sabda Rasulullah saw. yang berbunyi:
Barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya, karena hasil
(dari barang jaminan) dan resiko (yang timbul atas barang itu) menjadi
tanggung jawabnya. (HR al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban dari Abu
Hurairah)
Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang
barang jaminan memanfaatkan barang itu selama di tangannya, maka
sebagian ulama Hanafiyah membolehkannya, karena dengan adanya izin,
tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan
barang itu. Akan tetapi, sebagian ulama Hanafiyah lainnya, ulama
Malikiyah, dan ulama Syafi'iyah berpendapat, sekalipun pemilik barang
itu mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh
memanfaatkan barang jaminan itu. Karena, apabila barang jaminan itu
dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba yang dilarang
syara' ; sekalipun diizinkan pemilik barang. Bahkan, menurut mereka,
dalam hal ini lebih cenderung dalam keadaan terpaksa, karena khawatir
tidak akan mendapatkan uang yang akan dipinjam itu. Hal ini sesuai

9
dengan hadis Abu Hurairah yang diriwayatkan al-Hakim, al-Baihaqi, dan
Ibn Hibban di atas.
Persoalan lain adalah apabila yang dijadikan barang jaminan itu
adalah binatang ternak. Menurut sebagian ulama Hanafiyah, al-murtahin
boleh memanfaatkan hewan ternak itu apabila mendapat izin dari
pemiliknya. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa apabila yang dijadikan
barang jaminan itu adalah hewan, maka pemegang barang jaminan
berhak untuk mengambil susunya dan mernpergunakannya, sesuai
dengan jumlah biaya pemeliharaan yang dikeluarkan pemegang barang
jaminan. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw. yang mengatakan:
Hewan yang dijadikan barang jaminan itu dimanfaatkan sesuai dengan biaya
yang dikeluarkan, dan susu dari kambing yang dijadikan barang jaminan
diminum sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dun pada setiap hewan yang
dimanfaatkan dan diambil susunya (wajib) dikeluarkan biayanya. (HR al-
Bukhan, at-Tirmizi, dan Abu Dawud dari Abu Hurairah).
Akan tetapi, menurut ulama Hanabilah, apabila barang jaminan
itu bukan hewan atau sesuatu yang tidak memerlukan biaya
pemeliharaan, seperti tanah, maka pemegang barang jaminan tidak
boleh memanfaatkannya.
Di samping perbedaan pendapat di atas, para ulama fiqh juga
berbeda pendapat dalam pemanfaatan barang jaminan itu oleh ar-rahn.
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah menyatakan pemilik barang boleh
memanfaatkan miliknya yang menjadi barang jaminan itu, jika diizinkan
al-murtahin. Mereka berprinsip bahwa segala hasil dan resiko dari barang
jaminan menjadi tanggung jawab orang yang memanfaatkannya. Hal ini
sejalan dengan sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan al-Hakim, al-
Baihaqi, dan Ibn Hibban dari Abu Hurairah di atas. Oleh sebab itu,
apabila kedua belah pihak ingin memanfaatkan barang itu, haruslah
mendapat izin dari pihak lainnya. Apabila barang yang dimanfaatkan itu

10
rusak, maka orang yang memanfaatkannya bertanggungjawab
membayar ganti ruginya.
Ulama Syafi'iyah mengemukakan pendapat yang lebih longgar
dari pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah di atas, karena apabila
pemilik barang itu ingin memanfaatkan al-marhun, tidak perlu ada izin
dari pemegang al-marhun. Alasannya, barang itu adalah miliknya dan
seorang pemilik tidak boleh dihalang-halangi untuk memanfaatkan hak
miliknya. Akan tetapi, pemanfaatan al-marhun tidak boleh merusak
barang itu, baik kualitas maupun kuantitasnya. Oleh sebab itu, apabila
terjadi kerusakan pada barang itu ketika dimanfaatkan pemiliknya,
maka pemilik bertanggung jawab untuk itu. Hal ini sejalan dengan sabda
Rasulullah saw. yang diriwayatkan al-Bukhari, at-Tirmizi, dan Abu
Daud dari Abu Hurairah.
Berbeda dengan pendapat-pendapat di atas, ulama Malikiyah
berpendapat bahwa pemilik barang tidak boleh memanfatkan al-marhun,
baik diizinkan oleh al-murtahin maupun tidak. Karena barang itu
berstatus sebagai jaminan utang, tidak lagi hak pemilik secara penuh.
4. Aplikasi Akad Rahn di Lembaga Keuangan Syari’ah

11
1. Nasabah menggadaikan barangnya (contoh emas) kepada lembaga
keuangan syari’ah
2. LKS memberikan utang kepada nasabah
3. Nasabah membayar utang yang telah diberikan oleh LKS
4. LKS mengembalikan barang kepada nasabah

C. Pengalihan Hutang (Hiwalah)


1. Pengertian dan Dasar Hukum
Hiwalah menurut etimologi berarti pengalihan atau pemindahan
(al-intiqal).
Sedangkan menurut terminologi, Ibnu Abidin, ulama madzhab
Hanafi, mendefinisikan hiwalah ialah pemindahan kewajiban membayar
hutang dari yang berhutang (Al-Muhil) kepada orang yang berhutang lainnya
(al-muhal alaih).
Menurut Jumhur ulama, hiwalah adalah akad yang menghendaki
pemindahan pengalihan hutang dari tanggung jawab seseorang kepada tanggung
jawab orang lain.
Keabsahan akad hiwalah didasarkan pada Al-Qur’an surat Yusuf
ayat 55: Berkata Yusuf: “jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir),
sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi
berpengetahuan.”, dan Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Imam
Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman. Dan
jika salah seorang dari kamu diikutkan (di hiwalahkan) kepada orang yang
mampu/kaya, terimalah hawalah itu.”

2. Rukun dan Syarat Hiwalah


Rukun hiwalah terdiri dari, 1). Pihak yang berhutang dan
berpiutang (muhil), 2). Pihak yang berpiutang (muhal), 3). Pihak yang
berhutang dan berkewajiban membayar hutang kepada muhil (muhal

12
‘alaih)., Hutang muhil kepada muhal (muhal bih), Hutang muhal alaih
kepada muhil, dan Ijab qabul (sighat).
Dari uraian tentang rukun hiwalah, ada tiga pihak yang terlibat
dalam hiwalah, adapun syarat-syarat untuk masing-masing pihak adalah;
1. Pihak yang berhutang dan berpiutang (muhil), disyaratkan cakap
melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh, dan
berakal. Hiwalah tidak sah jika dilakukan oleh anak-anak, meskipun ia
sudah mengerti (mumayyiz), ataupun dilakukan oleh orang yang gila.
Selain itu muhil harus menyatakan persetujuannya (ridha). Adanya
persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian orang
merasa keberatan dan terhina harga dirinya, jika kewajiban untuk
membayar utang dialih-alihkan kepada pihak lain, meskipun pihak
lain itu memang berutang padanya.
2. Pihak yang berpiutang (muhal) disyaratkan cakap melakukan tindakan
hukum, yaitu baligh dan berakal, sebagaimana pihak pertama. Selain
itu, muhal hendaknya juga memberikan pernyataan persetujuan
terhadap pihak muhiil yang melakukan hiwalah. Persyaratan ini
berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasan orang dalam membayar
utang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada yang sulit
membayarnya, sedangkan menerima pelunasan utang itu merupakan
hak pihak muhal. Jika perbuatan hiwalah dilakukan secara sepihak saja,
pihak muhal dapat saja merasa dirugikan, misalnya apabila ternyata
bahwa pihak muhal ‘alaih sulit membayar utang itu.
3. Pihak yang berhutang dan berkewajiban membayar hutang kepada
muhil (muhal ‘alaih), disyaratkan cakap melakukan tindakan hukum
dalam bentuk akad, selain tu, menurut madzhab Hanafi, ia juga harus
memberikan pernyataan persetujuannya. Walaupun demikian,
madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali tidak mensyaratkan hal itu.
Alasan ulama Hanafi adalah, tindakan hiwalah merupakan tindakan
hukum yang melahirkan pemindahan kewajiban kepada pihak ketiga

13
untuk membayar utang kepada pihak kedua. Atas dasar itu, kewajiban
itu hanya dapat dibebankan kepadanya, jika ia menyetujui akad
hiwalah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad al-Hasan asy-Syaibani
menambahkan bahwa qabul (pernyataan menerima akad) harus
dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga di dalam suatu majlis
akad.
4. Adapun syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (al-
muhal bih) adalah 1). Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah
dalam bentuk utang piutang yang sudah pasti. Jika yang dialihkan itu
belum merupakan utang piutang yang pasti, misalnya, mengalihkan
utang yang timbul akibat jual yang masih berada dalam masa khiyar
(tenggang waktu yang dimiliki pihak penjual dan pembeli untuk
mempertimbangkan apakah akad jual beli dilanjutkan atau
dibatalkan), maka hiwalah tidak sah., 2).Apabila pengalihan utang itu
dalam bentuk al-hiwalah al-muqayaadah, semua ulama fiqh sepakat
bahwa baik utang pihak pertama kepada pihak kedua, maupun utang
pihak ketiga kepada pihak pertama, mestilah sama jumlah dan
kualitasnya. Ulama dari mazhab Syafi’I menambahkan bahwa kedua
utang itu mesti sama pula waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika
terjadi perbedaan waktu jatuh tempo pembayaran diantara kedua
utang itu, maka hiwalah tidak sah.

3. Jenis-Jenis Hiwalah
Dari sekian mazhab yang ada, Imam Hanafi turut andil
memberikan kontribusi pendapat tersendiri dalam menanggapi persoalan
seputar aktifitas hiwalah, menurutnya, hiwalah dapat diklafikasikan atas
beberapa bagian dan dalam sudut pandang yang berbeda. Pertama,
ditinjau dari segi obyek akad, maka hiwalah dapat dibagi menjadi dua.
Apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut hutang, maka
pemindahan itu disebut hiwalah al-haq (pemindahan hak). Sedangkan jika

14
yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang, maka
pemindahan itu disebut hiwalah ad-dain (pemindahan hutang). Hiwalah al-
haqq merupakan sebuah kontrak pengalihan hak dari pemilik piutang
kepada pemilik piutang lainnya. Hiwalah ad-dain adalah kebalikannya,
hiwalah ad-dain merupakan pemindahan hutang dari seorang
penghutang kepada penghutang lainnya. Yakni antara pihak pertama
dengan pihak pertama (penghutang pertama) memiliki piutang pada
pihak ketiga (penghutang kedua)

4. Berakhirnya Akad
Akad hiwalah dapat berakhir karena beberapa sebab berikut ini:
a. Salah satu pihak yang sedang melakukan akad itu mem-fasakh
(membatalkan) akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap,
dengan adanya pembatalan akad itu, pihak kedua berhak menunutu
pembayaran utang kepada pihak pertama. Demikianlah pula hak
pihak pertama kepada pihak ketiga.
b. Pihak ketiga melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.
c. Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris
yang mewarisi harta pihak kedua.
d. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk
membayar utang yang dialihkan itu.

15
5. Aplikasi Akad Hiwalah di Lembaga Keuangan Syari’ah

D. Jaminan/Garansi (Kafalah)
1. Pengertian dan Dasar Hukum
Kafalah memilik beberapa istilah dalam bahasa arab yang memiliki
makna yang sama yaitu al-dhamanah, hamalah , dan za’aamah. Menurut
istilah, al-Kafalah adalah “Jaminan yang diberikan oleh kafiil (penanggung)
kepada pihak ketiga atas kewajiban yang harus ditunaikan pihak kedua
(tertanggung)”.
Kafalah diisyaratkan oleh Allah SWT. pada Qur’an Surat Yusuf ayat
72; Penyeru itu berseru, “Kami kehilangan piala raja dan barang siapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan
aku menjamin terhadapnya
Dasar hukum al-Kafalah yang kedua adalah al-Sunnah, dalam hal
ini Rasulullah SAW. bersabda:

16
“Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah
membayar” (Riwayat Abu Dawud).
Kafalah ini bermanfaat bagi orang yang memiliki kewajiban tetapi
tidak sanggup atau ada faktor-faktor yang membuatnya tidak dapat
memenuhi kewajibannya itu maka dapat diambil alih oleh orang lain
untuk menjaminnya.
2. Rukun Dan Syarat kafalah
Menurut Mazhab Hanafi bahwa rukun al-Kafalah adalah satu, yaitu
ijab dan kabul. Sedangkan menurut para ulama yang lainnya, bahwa
rukun dan syarat al-Kafalah adalah sebagai berikut:
a. Dhamin, Kafil atau Zai’im, yaitu orang yang menjamin di mana ia
disyaratkan sudah baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan harta
(mahjur) dan dilakukan dengan kehendaknya sendiri.
b. Madmun lah, yaitu orang yang berpiutang, syaratnya ialah bahwa orang
yang berpiutang diketahui oleh orang yang menjamin. Madmun lah
disebut juga dengan makful lah, madmun lah disyaratkan dikenal oleh
penjamin karena manusia tidak sama dalam hal tuntutan, hal ini
dilakukan demi kemudahan dan kedisiplinan.
c. Madmun ‘anhu atau makful ‘anhu adalah orang yang berutang, syaratnya
ialah: (1) Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada
penjamin; (2) dikenal penjamin.
d. Madmun bih atau makful bih adalah utang, syarat makful bih adalah: (1)
merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang, baik berupa
uang, benda maupun pekerjann; (2) bisa dilaksanakan oleh penjamin;
(3) harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin
dihapus kecuali setelah bayar atau dibebaskan; (4) harus jelas nilai,
jumlah dan spesifikasinya; (5) tidak bertentangan dengan syariah.
e. Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak
digantungkan kepada seauatu dan tidak berarti sementara.

3. Macam-macam al-Kafalah

17
Secara umum Kafalah dibagi menjadi dua bagian, yaitu kafalah
dengan jiwa dan kafalah dengan harta. Kafalah dengan jiwa dikenal pula
dengan Kafalah bi al-Wajhi, yaitu adanya kesediaan pihak penjamin (al-
Kafil, al-Dhamin atau al-Za’im) untuk menghadirkan orang yang ia
tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (Makful lah).
Penjaminan yang menyangkut masalah manusia adalah boleh
hukumnya. Orang yang ditanggung tidak mesti mengetahui
permasalahan, karena kafalah menyangkut badan bukan harta.
Penanggungan tentang hak Allah, seperti had al-Khamar dan hadd
menuduh zina adalah tidak sah, sebab Nabi SAW. bersabda: “Tidak ada
kafalah dalam hadd” (Riwayat al-Baihaqi).
Alasan lainnya ialah, karena menggugurkan dan menolak had
adalah perkara syubhat, oleh karena itu tidak ada kekuatan jaminan yang
dapat dipegang dan tidaklah mungkin hadd dapat dilakukan kecuali oleh
orang yang bersangkutan.
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa kafalah dinyatakan sah dengan
menghadirkan orang yang terkena kewajiban menyangkut hak manusia,
seperti qishas dan qadzaf, karena kedua hal tersebut menurut Syafi’i
termasuk hak yang pasti. Sedangkan bila menyangkut hadd yang telah
ditentukan oleh Allah, maka hal itu tidak sah dengan kafalah.
Ibnu Hazm menolak pendapat tersebut, menjamin dengan
menghadirkan badan pada dasarnya tidak boleh, baik menyangkut
persoalan harta maupun menyangkut masalah hadd, karena syarat apapun
yang tidak terdapat dalam kitabullah adalah bathil.
Sebagian ulama membenarkan adanya kafalah jiwa (Kafalah bil al-
Wajh), dengan alasan bahwa Rasulullah SAW. pernah menjamin urusan
tuduhan. Namun menurut Ibnu Hazm, hadits yang menceritakan tentang
penjaminan Rasulullah SAW. pada masalah tuduhan adalah bathil, karena
hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibrahim bin Khaitsam bin Arrak, dia
adalah dha’if dan tidak boleh diambil periwayatannya.

18
Jika seseorang menjamin akan menghadirkan seseorang, maka
orang tersebut wajib menghadirkannya, bila ia tidak dapat
menghadirkannya, sedangkan penjamin masih hidup atau penjamin itu
sendiri berhalangan hadir, menurut mazhab Maliki dan penduduk
Madinah, penjamin wajib membayar hutang orang yang ditanggungnya,
dalam hal ini Rasulullah SAW. bersabda: “Penjamin adalah berkewajiban
membayar” (Riwayat Abu Dawud).
Sementara itu, mazhab Hanafi berpendapat bahwa penjamin (kafil
atau dhamin) harus ditahan sampai ia dapat menghadirkan orang tersebut
atau sampai penjamin mengetahui bahwa ashil telah meninggal dunia.
Dalam keadaan demikian penjamin tidak berkewajiban membayar dengan
harta, kecuali bila ketika menjamin mensyaratkan demikian (akan
membayarnya).
Menurut mazhab Syafi’i, bila ashil telah meninggal dunia, maka
kafil tidak membayar kewajibannya, karena ia tidak menjamin harta tapi
menjamin orangnya dan kafil dinyatakan bebas tanggung jawab (sabiq, t.t:
161).
Kafalah yang kedua ialah kafalah harta, yaitu kewajiban yang mesti
ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan)
berupa harta. Kafalah harta ada tiga macam, yaitu:
1. Kafalah bi al-Dayn, yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi
beban orang lain. Dalam hadits Salamah bin Akwa disebutkan bahwa
Nabi SAW. tidak mau menshalatkan jenazah yang mempunyai
kewajiban membayar utang; kemudian Qathadah ra. berkata:
“Shalatkanlah dia dan saya akan membayar hutangnya, Rasulullah kemudian
menshalatkannya”.
Dalam kafalah utang disyaratkan sebagai berikut:
a). Utang tersebut bersifat mengikat/ tetap (mustaqir) pada waktu
terjadinya transaksi jaminan, seperti utang qiradh, upah dan mahar.

19
Sementara Abu Hanifah, Malik dan Abu Yusuf berpendapat boleh
menjamin suatu utang yang belum mengikat (ghairu mustaqir).
b). Hendaklah barang yang dijamin diketahui. Menurut Mazhab Syafi’i
dan Ibnu Hazm, seseorang tidak sah menjamin barang yang tidak
diketahui, sebab perbuatan tersebut adalah gharar, sementara Abu
Hanifah, Malik dan Ahmad berpendapat bahwa seseorang boleh
menjamin sesuatu yang tidak diketahui.
2. Kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan
benda-benda tertentu yang ada di tangan orang lain, seperti
mengembalikan barang yang di-ghashab dan menyerahkan barang
jualan kepada pembeli. Dalam hal ini disyaratkan materi yang dijamin
tersebut adalah untuk ashil seperti dalam kasus ghasab. Namun bila
bukan berbentuk jaminan, maka kafalah batal.
3. Kafalah dengan ‘aib, maksudnya adalah jaminan bahwa jika barang
yang dijual ternyata mengandung cacat, karena waktu yang terlalu
lama atau karena hal-hal lainnya, maka penjamin (pembawa barang)
bersedia memberi jaminan kepada penjual untuk memenuhi
kepentingan pembeli (mengganti barang yang cacat tersebut).
4. Aplikasi Kafalah di Lembaga Keuangan Syari’ah
Dalam mekanisme sistem perbankan prinsip-prinsip kafalah dapat
diaplikasikan dalam bentuk pemebrian jaminan bank dengan terlebih
dahulu diawali dengan pembukaan fasilitas yang ditentukan oleh bank
atas dasar hasil analisa dan evaluasi dari nasabah yang akan diberikan
fasilitas tersebut. Fasilitas kafalah yang diberikan akan terlihat pada
perkiraan administratif baik berupa komitmen maupun kontinjen
Fasilitas yang dapat diberikan sehubungan dengan penerapan
prinsip kafalah tersebut adalah fasilitas bank garansi, fasilitas letter of
credit, kartu kredit dll. Fungsi kafalah adalah pemberian jaminan oleh
bank bagi pihak-pihakyang terkait untuk menjalankan bisnis mereka
secara lebih aman dan terjamin, sehingga adanya kepastian dalam

20
berusaha/bertransaksi, karena dengan jaminan ini bank berarti akan
mengambil alih risiko/kewajiban nasabah, apabila nasabah
wanprestasi/lalai dalam memenuhi kewajibannya
Pihak bank sebagai lembaga yang memberikan jaminan ini, juga
akan memperoleh manfaat berupa peningkatan pendapatan atas upah
yang mereka terima sebagai imbalan atas jasa yang diberikan, sehingga
akan memberikan kontribusi terhadap perolehan pendapatan mereka

E. Titipan (Wadi’ah)
1. Pengertian dan Dasar Hukum
Secara etimologi, kata wadi'ah berarti menempatkan sesuatu yang
ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk dipelihara. Secara
terminologi, ada dua definisi wadi'ah yang dikemukakan pakar fiqh.
Pertama, menurut ulama Hanafiyah, wadi'ah adalah: Mengikutsertakan
orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui
tindakan, maupun melalui isyarat. Kedua, menurut ulama Malikiyah,
Syafi'iyah, dan Hanabilah (jumhur ulama) wadi'ah adalah: Mewakilkan
orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu. Dari definisi

21
di atas, secara esensi wadi’ah adalah menitipkan sesuatu harta/barang
pada orang yang dapat dipercaya untuk menjaganya.
Sebagai salah satu akad yang bertujuan untuk saling menolong
(tabarru’), para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa wadi'ah
disyariatkan dan hukum menerimanya adalah sunat. Alasannya QS an-
Nisa' ayat 58: “sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan
amanat (titipan), kepada yang berhak menerimanya ….” dan surat al-Baqarah,
ayat 283: “…. Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah
yang dipercaya itu menunaikan amanahnya (utangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya …..”
Landasan hukum akad al-wadi'ah yang lain bersumber dari Hadits
Nabi: “Serahkanlah amanah orang yang mempercayai engkau, dan jangan kamu
mengkhianati orang yang mengkhianati engkau.” (HR Abu Daud, at-Tirmizi
dan al-Hakim).
Berdasarkan ayat dan hadis ini, para ulama fiqh sepakat
mengatakan bahwa akad wadi'ah (titipan) boleh dan disunatkan, dalam
rangka saling tolong menolong antara sesama manusia. Oleh karena
itu, Ibn Qudamah (541-620 H/1147-1223 M), pakar fiqh Hambali,
menyatakan bahwa sejak zaman Nabi saw. sampai generasi-generasi
berikutnya, akad wadi'ah telah menjadi ijma' 'amali (konsensus dalam
praktek) bagi umat dan tidak ada ulama yang mengingkarinya.

2. Rukun dan Syarat Wadi’ah


Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa rukun Al-Wadi’ah hanya
satu, yaitu ijab (ungkapan penitipan barang dari pemilik, seperti ”Saya
titipkan sepeda ini pada kamu), sedangkan qabul (ungkapan menerima
titipan oleh orang yang dititipi seperti “saya terima titipan ini” ) tidak
menjadi rukun Wadi’ah.
Jumhur ulama mengatakan bahwa rukun al-Wadi’ah ada tiga 1).
orang yang berakad (muwaddi’ dan wadii’), 2). barang titipan (syai’
muwadda’), 3). shigat ijab dan qabul baik secara lafal maupun melalui

22
tindakan. Rukun pertama dan kedua yang dikemukakan jumhur ulama
ini menurut Hanafiyah termasuk syarat bukan rukun.
Sedangkan syarat-syarat Al-wadi’ah adalah sebagai berikut:
a. Pihak-pihak yang melakukan akad al-Wadi’ah (yang menitipkan atau
menerima titipan) disyaratkan telah balig, berakal, dan cerdas (rusyd)
karena akad Al-wadi’ah merupakan akad yang mengandung banyak
resiko penipuan.
b. Barang titipan itu jelas wujudnya dan bisa dikuasai. Maka tidak boleh
menitipkan burung yang ada di udara, mobil yang sedang dicuri
orang, atau harta yang jatuh di sungai.

3. Sifat Akad al-Wadi `ah


Dilihat dari segi sifat akad al-wadi'ah, para ulama fiqh sepakat me-
nyatakan akadnya bersifat mengikat kedua belah pihak. Apabila
seseorang dititipi barang oleh orang lain dan akadnya ini memenuhi
rukun dan syarat al-wadi'ah, maka pihak yang dititipi bertanggung jawab
untuk memelihara barang titipan itu. Namun demikian, apakah tanggung
jawab memelihara barang itu bersifat amanah atau bersifat ganti rugi (adh-
dhaman), para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa status al-wadi'ah di
tangan orang yang dititipi bersifat amanah, bukan adh-dhaman, sehingga
seluruh kerusakan yang terjadi selama penitipan barang tidak menjadi
tanggung jawab orang yang dititipi, kecuali kerusakannya disengaja atau
atas kelalaian orang yang dititipi. Alasan mereka adalah sabda Rasulullah
saw. yang mengatakan: Orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan
pengkhianatan, tidak dikenakan ganti rugi. (HR al-Baihaqi dan ad-
Daraquthni). Dalam riwayat lain dikatakan: Orang yang dipercaya
memegang amanah tidak boleh dituntut ganti rugi. (HR ad-Darquthni dari
'Amr ibn Syu'aib).
Berdasarkan hadis-hadis ini, para ulama fqh sepakat apabila
dalam akad al-wadi'ah disyaratkan bahwa orang yang dititipi dikenai

23
ganti rugi atas kerusakan barang selama dalam titipan, sekalipun
kerusakan barang itu bukan atas kesengajaan atau kelalaiannya, maka
akadnya batal. Akibat lain dari sifat amanah yang melekat pada akad
al-wadi'ah adalah pihak yang dititipi barang tidak boleh meminta upah
dari barang titipan itu.
Berkaitan dengan sifat akad wadi'ah sebagai akad yang bersifat
amanah, yang imbalannya hanya mengharap ridha Allah, para ulama
fiqh juga membahas kemungkinan perubahan sifat akad al-wadi'ah dari
sifat amanah menjadi sifat adh-dhaman (ganti rugi). Para ulama fiqh
mengemukakan beberapa kemungkinan tentang hal ini:
a. Barang itu tidak dipelihara secara semestinya oleh orang yang
dititipi. Apabila seseorang merusak barang itu dan orang
yang dititipi tidak berusaha mencegahnya, padahal ia
mampu, maka ia dianggap melakukan kesalahan, karena
memelihara barang itu merupakan kewajiban baginya. Atas
kesalahan ini ia dikenakan ganti rugi (adh-dhaman).
b. Barang titipan itu dititipkan oleh penerima titipan kepada
orang lain (pihak ketiga) yang bukan keluarga dekat dan
bukan pula tanggungjawabnya. Resiko ditanggung pihak
kedua (penerima titipan). Apabila barang itu hilang atau
rusak, dalam kasus seperti ini, orang yang dititipi dikenakan
ganti rugi.
c. Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi.
Dalam hal ini menurut kesepakatan ulama, jika barang titipan
tersebut rusak ketika digunakan/dimanfaatkan oleh pihak
yang dititipi, maka pihak yang dititipi tersebut wajib
mengganti kerusakan yang ditimbulkannya meskipun
kerusakannya di luar kekuasaan atau kontrolnya. Alasan
mereka adalah, karena barang titipan itu dititipkan hanya

24
untuk dipelihara saja, dengan demikian pemanfaatan barang
titipan dianggap sebagai suatu penyelewengan.
d. Orang yang dititipi mengingkari al-wadi'ah itu. Para ulama
sepakat, apabila pemilik barang meminta kembali barang
titipannya pada orang yang ia titipi, lalu orang yang dititipi
menolak tanpa alasan yang jelas, maka ia dikenakan ganti
rugi.
e. Orang yang dititipi mencampurkan barang titipan dengan harta
pribadinya sehingga sulit untuk dipisahkan. Jumhur ulama
berpendapat apabila barang itu sulit dipisahkan, maka pemilik
berhak atas ganti rugi. Tetapi, jika barang dapat dipisahkan,
maka pemilik barang mengambil barangnya tersebut.
f. Orang yang dititipi melanggar syarat-syarat yang telah
ditentukan. Jika syarat tersebut dilanggar oleh pihak yang
dititipi maka ia dikenakan ganti rugi, kecuali syarat seperti
tempat pemindahannya sama dengan syarat-syarat yang
dikemukakan penitip barang.
g. Barang titipan dibawa bepergian jauh (as-safar).
Dalam perkembangan konsep al-wadi'ah di dunia Islam, dijumpai
berbagai bentuk dan variasi, serta pihak-pihak yang terlibat pun semakin
beragam. Misalnya, giro pos atau tabungan yang dikelola oleh pihak bank.
Pada dasarnya, giro dan tabungan tersebut merupakan titipan (wadi’ah)
yang dapat diambil setiap saat oleh orang yang menitipkannya.
Jika barang titipan itu (umpamanya uang) dimanfaatkan oleh pihak
penerima titipan, kemudian dikembalikan lagi secara utuh, dan bahkan
dilebihkan sebagai imbalan jasa, menurut Malikiyah dan Hanafiyah,
hukumnya boleh, sekalipun dalam pemanfaatan imbalan jasa dari bank ini
disedekahkan pada orang yang memerlukan atau bait al-mal. Akan tetapi
menurut ulama Syafi'iyah tidak boleh dan akadnya dinyatakan gugur.

25
Sedangkan masalah yang menyangkut biaya pemeliharaan barang
(yang dalam bank diistilahkan sebagai biaya administrasi), merupakan
tanggung jawab pemilik barang atau uang, karena pihak yang dititipi
hanya bertugas memelihara, sedangkan biaya pemeliharaan dibebankan
kepada pemilik barang.

4. Hukum Meminta Imbalan dalam wadi’ah


Menurut Wahbah Zuhaili, penerima wadi’ah tidak boleh meminta
imbalan atas wadi’ah, kecuali bila harta atau barang titipan itu
memerlukan ruang khusus di dalam rumahnya, maka ia boleh meminta
uang sewa. Apabila harta atau barang titipan itu mengharuskan pintu
harus dibuka dan ditutup, maka hal ini menjadi kewajiban penerima
titipan.
5. Aplikasi Akad Wadi’ah di Lembaga Keuangan Syari’ah
Produk dengan akad wadiah di lembaga keuangan syari’ah dapat
berupa Tabungan atau Giro. karena sifatnya titipan, maka produk
dengan akad ini tidak akan mendapatkan return dari bank berupa bagi
hasil. Namun sesuai dengan kebijakan bank nasabah dengan produk
wadiah bisa mendapatkan bonus terutama untuk nasabah dengan akad
Wadiah Al-Dhamanah.
Jika anda datang ke bank syariah dan tujuannya untuk berinvestasi
atau dengan kata lain untuk mendapatkan keuntungan dari dana yang
kita simpan maka jangan pilih produk dengan akad wadiah tetapi pilih
produk dengan akan mudharabah, tetapi jika tujuannya hanya untuk
mendapatkan tempat yang lebih aman dalam menyimpan uang saja maka
wadiah bisa menjadi alternatif pilihan produk.

26
F. Perwakilan/Agency (Wakalah)
1. Pengertian dan Dasar Hukum
Secara etimologi wakalah berarti, al-hifdh ( ‫ ( احلفظ‬pemeliharaan, Al-

Tafwidh (‫ ) التفويض‬penyerahan, pendelegasian atau pemberian mandat.

Menurut terminologi wakalah berarti :1 "Pemberian kewenangan /kuasa


kepada pihak lain tentang apa yang harus dilakukannya dan ia (penerima kuasa)
secara syar'i menjadi pengganti pemberi kuasa selama batas waktu yang
ditentukan."
Islam mensyari'atkan al-wakalah karena manusia
membutuhkannya dalam berbagai mu'amalah. Al-Wakalah diperbolehkan
dalam al-Qur'an (Q.S. Kahfi, 18: 19; 9/60; 4/35; 12/55); al-Hadits.
Dalam kehidupan sehari-hari Rasulullah saw. pernah mewakilkan
kepada para sahabat untuk berbagai urusan. Di antaranya untuk
membayarkan hutangnya, menetapkan hukuman-hukuman dan
melaksanakannya, dan lain-lain. Para ulama telah sepakat (ijma’) atas

1Nazih Hammad, Mu'jam al-Musthalahat al-Iqtishadiyyah fi Lughat al-Fuqaha', (Al-


Ma'had 'Ali lil fikri al-Islamy, 1995), cet. 3, h. 354.

27
diperbolehkannya wakalah karena kebutuhan ummat terhadapnya.
Wakalah termasuk jenis ta'awun atau tolong-menolong atas dasar
kebaikan dan taqwa. (Q.S. 5/2).

2. Rukun dan Syarat Wakalah


a. Al-Muwakkil (yang mewakilkan) harus memenuhi syarat: (1)
pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang
diwakilkan; (2) orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-
batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti
mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan
sebagainya
b. Wakil harus memenuhi syarat: (1) Cakap hukum; (2) dapat
mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya; (3) wakil adalah
yang diberi amanat.
c. Hal-hal yang diwakilkan harus memenuhi syarat: (1) diketahui
dengan jelas oleh orang yang mewakili; (2) tidak bertentangan
dengan syariah; (3) dapat dwakilkan menurut syariah Islam
2. Al-Wakalah dengan bayaran
Wakalah boleh dilakukan dengan menerima bayaran atau tanpa
bayaran. Rasulullah saw. memberi komisi ( ‫ )عمولظ‬kepada para petugas

penarik zakat. Dari Bisr ibn Said dari ibn As-Sa'idi berkata, “Umar ra
pernah memperkerjakan aku untuk menarik zakat (shadaqah). Setelah
pekerjaanku selesai, Umar memberiku upah, maka saya protes: “saya
bekerja ini hanya untuk Allah". Umar menjawab, "Ambil saja apa yang
diberikan kepadamu. Sungguh aku pernah dipekerjakan Rasulullah saw.
dan beliau memberiku upah”. Imam Abu Daud juga meriwayatkan
tentang sahabat yang menerima pemberian (upah, pemberian) dari kepala
kampung yang telah disembuhkannya dari sengatan binatang
(kalajengking) melalui bacaan surat "al-Fatihah." Abu Daud mengangkat
kasus ini dalam kitabnya bab ‫( كسظ اطببظاء‬jasa/ pendapatan dokter). Jika

28
diperhatikan, dua kasus di atas adalah termasuk amal tabarru' (suka rela
dan sosial) tetapi dalam kasus ini diperkenankan menerima fee. Seiring
dengan perkembangan zaman, aktivitas yang terkait dengan jasa seperti
mengajar, pengobatan dan lain-lain dinilai sebuah pekerjaan yang dapat
menghasilkan uang atau imbalan.
Jika seorang wakil menerima upah, maka baginya berlaku hukum
orang ‘upahan’ (pegawai/pekerja-ijarah). Maka wajib baginya
melaksanakan tugas yang diwakalahkan kepadanya. Ia tidak boleh
meninggalkan pekerjaannya begitu saja tanpa ada uzur yang dapat
dimaklumi. Seperti wakalah terhadap seorang pengacara atau kepada
broker yang biasanya setelah melaksanakan tugas dengan tuntas, mereka
mendapat fee sesuai lazimnya atau sesuai kesepakatan.

3. Bentuk-bentuk al-Wakalah
Secara global al-Wakalah ada dua macam :
a. Al-Wakalah Muqayyadah (khusus), yaitu wakalah terhadap pekerjaan
tertentu seperti untuk membelikan tanah atau mobil. Dalam hal ini
seorang wakil tidak boleh keluar dari wakalah yang telah ditentukan.
b. Al-Wakalah Mutlaqah, yaitu pendelegasian secara mutlak, seperti
engkau sebagai wakilku dalam berbagai pekerjaan. Maka seorang
wakil dapat melaksanakan wakalah secara luas.
c. Wakalah adalah jenis akad ghairu lazimah (tidak meningkat) maka
muwakkil dan wakil boleh menghentikan akad tersebut kapan saja.
Hanya saja jika dalam wakalah itu ada kesepakatan fee dan waktu,
maka harus disepakati ulang antara keduanya.
4. Aplikasi Akad Wakalah di Lembaga Keuangan Syari’ah
Wakalah dalam jasa lembaga keuangan syari’ah, dapat digunakan
dalam beberapa produk, antara lain L/C (letter of credit), transfer, kliring,
RTGS, inkaso, dan pembayaran gaji.

29
1. Importir mewakilkan kepada bank untuk mengurus dokumen-
dokumen transaski import.
2. Importir menabung ke bank syari’ah untuk keperluan pembayaran
impor, dan membayar biaya administrasi untuk pengurusan
dokumen.2
3. Bank melakukan pengurusan dokumen dan melakukan
pembayaran terhadap eksportir.
4. Eksportir mengirim barang kepada importer.

G. Pinjam-Meminjam (‘Ariyah )
1. Pengertian dan Dasar Hukum
Menurut bahasa ‘ariyah artinya sesuatu yang dipinjam, pergi dan
kembali atau beredar. Sedangkan menurut termologi, ada beberapa
definisi tentang ariyah yang dikemukakan oleh ulama fiqh.
Menurut al-Syarakhsy dan ulama Malikiyah, ‘ariyah adalah
“Pemilikan manfaat tanpa imbalan “.Sedangkan menurut ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah, ‘ariyah didefinisikan“ Kebolehan
memanfaatkan sesuatu tanpa imbalan..
Jadi yang dimaksud dengan al-‘ariyah adalah memberikan manfaat
suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma (gratis),

2Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal,
bukan dalam bentuk prosentase

30
bila digantikan dengan sesuatu atau ada imbalannya, maka hal itu tidak
dapat disebut al-‘ariyah.
Al-‘Ariyah sebagai sarana dalam rangka tolong-menolong antara
orang yang mampu dengan orang yang tidak mampu, menurut ulama
fiqh, didasarkan kepada firman Allah yang berbunyi : “Dan tolong-
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran “ ( Q.S Al-Maidah : 2
),selain dari al-Qur’an landasan hukum yang kedua ialah hadits riwayat
Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda “Barang pinjaman adalah benda yang
wajib dikembalikan, dan Hadis yang diriwayatkan Daruquthni, bahwasanya
rasulullah SAW bersabda “ Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban
mengganti kerugian dan orang yang menerima titipan yang tidak khianat tidak
berkewajiban mengganti kerugian)
Berdasarkan ayat dan hadits diatas para ulam fiqh sepakat
mengatakan bahwa hukum al-‘ariyah adalah mandub (sunnah), karena
melakukan al-‘ariyah ini merupakan salah satu bentuk ta’abbud (ketaatan)
pada Allah.

2. Rukun dan Syarat ‘Ariyah


Menurut ulama Hanafiyah, bahwa rukun al-‘ariyah adalah satu,
yaitu ijab dan qabul, tidak wajib diucapkan tapi cukup dengan
menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh
hukum ijab qabul dengan ucapan.
Sedangkan menurut jumhur ulama fiqih, rukun ariyah ada empat
yaitu: 1). Mu’ir ( peminjam ), 2). Musta’ir ( yang meminjam ), 3). Mu’ar (
barang yang dipinjam ), dan 3),. Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan
kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun
perbuatan.

31
Sedangkan syarat-syarat ariyah adalah pertama, Bagi mu’ir (
peminjam ) dan musta’ir ( yang meminjam) hendaknya baligh, Berakal,
dan tidak sedang dalam pengampuan (mahjur).
Sedangkan Mu’ar ( barang yang dipinjam ), disyaratkan tiga hal:
pertama, barang yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak sah
‘ariyah yang barangnya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung
yang sudah hancur, sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan
padi. Kedua, pemanfaatan barang dibolehkan, maka batal ‘ariyah yang
pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’, seperti meminjam
benda-benda najis. Ketiga, Barang yang dipinjamkan harus langsung dapat
dikuasai oleh peminjam.

3. Hukum Meminjamkan Barang pinjaman (Mu’ar)


Perbedaan para ulama dalam memberikan definisi ariyah, pada
gilirannya memunculkan perbedaan mereka dalam menetapkan hukum
meminjamkan barang pinjaman (mu’ar). Ulama Hanafiyah dan Malikiyah
mengatakan bahwa al-‘ariyah merupakan akad yang menyebabkan
peminjam “memiliki manfaat” barang yang dipinjam. Peminjaman itu
dilakukan secara sukarela, tanpa imbalan dari pihak peminjam. Oleh
sebab itu, pihak peminjam berhak meminjamkan barang itu kepada orang
lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang itu telah menjadi
miliknya, kecuali apabila pemilik barang membatasi pemanfaatannya bagi
peminjam saja atau pemilik barang itu melarang peminjam untuk
meminjamkannya kepada orang lain.
Akan tetapi ulama Syafi’iyah, Hanabilah, dan Abu al-Hasan al-
Karkhi (260-340 H / 870-952 M), pakar fiqh Hanafi, berpendapat bahwa
akad al-‘ariyah itu hanya bersifat kebolehan memanfaatkan benda itu.
Oleh sebab itu, pemanfaatannya hanya terbatas bagi pihak peminjam dan
ia tidak boleh meminjamkannya kepada orang lain. Namun demikian,

32
seluruh ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa pihak peminjam tidak
boleh menyewakannya kepada orang lain.

4. Sifat Akad Al-‘Ariyah


Disepakati oleh para ulama fiqh bahwa akad al-‘ariyah itu bersifat
tolong menolong, akan tetapi mengenai masalah apakah akad al-‘ariyah
bersifat amanah ditangan peminjam sehingga ia tidak boleh dituntut ganti
rugi jika barang itu rusak, terdapat perbedaan pendapat dikalangan
mereka.
Menurut ulama Hanafiyah al-‘ariyah ditangan peminjam bersifat
amanah. Menurut mereka, peminjam tidak dikenakan ganti rugi terhadap
kerusakan barang yang bukan disebabkan perbuatannya atau
kelalaiannya dalam pemanfaatan barang ini. Akan tetapi, apabila
kerusakan itu disengaja atau karena kelalaian peminjam dalam
memelihara amanah itu, maka ia dikenakan ganti rugi.
Sementara, Ulama Malikiyah menyatakan apabila barang yang
dipinjamkan itu dapat disimpan, seperti pakaian, cincin emas dan kalung
mutiara, lalu peminjam mengatakan bahwa barang itu hilang atau hancur,
sedang ia tidak dapat membuktikannya, maka ia tidak dikenakan ganti
rugi. Selanjutnya, apabila barangyang dipinjam itu rusak ketika
dimanfaatkan, tetapi barang itu tidak dapat disimpan, seperti rumah dan
tanah, maka tidak dikenakan ganti rugi atas kerusakan itu. Alasan mereka
adalah hadits Rasulullah SAW, yang menyatakan bahwa :
“ Pihak peminjam yang tidak bersifat khianat tidak dikenakan ganti rugi “ (
HR Abu Daud dan Al-Hakim )
dan hadist :
“ Barang pinjaman apabila rusak dikenakan ganti rugi “ ( HR Ahmad ibn
Hanbal dan Abu Daud )
Menurut mereka, hadits pertama berlaku pada barang pinjaman
yang tidak boleh disembunyikan dan pada barang pinjaman yang

33
dikatakan hilang atau hancur tetapi dapat dibuktikan. Sedangkan hadits
kedua berlaku pada barang pinjaman yang hilang atau hancur, tetapi
dapat disimpan, sedangkan peminjam tidak boleh mengemukakan alat
bukti hilang atau hancurnya barang itu. Dengan demikian, menurut
mereka, kedua hadits itu dapat diamalkan.
Sedangkan, menurut ulama Syafi’iyah, apabila kerusakan barang
itu disebabkan pemanfaatan yang tidak disetujui pemilik barang, maka
peminjam dikenakan ganti rugi, baik pemanfaatannya oleh peminjam
maupun orang lain.
Akad al-‘ariyah yang semula bersifat amanah boleh berubah
menjadi akad yang dikenakan ganti rugi, dalam hal-hal sebagai berikut :
1). apabila barang itu secara sengaja dimusnahkan atau dirusak, 2).
apabila barang itu disewakan atau tidak dipelihara sama sekali, 3). apabila
pemanfaatan barang pinjaman itu tidak sesuai dengan adat kebiasaan
yang berlaku, atau tidak sesuai syarat yang disepakati bersama ketika
berlangsungnya akad, 4). apabila pihak peminjam melakukan sesuatu
yang berbeda dengan syarat yang ditentukan sejak semula dalam akad.

H. Hibah
1. Pengertian dan Dasar Hukum
Pengertian Hibah tercakup di dalamnya hadiah dan shadaqah, hal
ini karena ketiga istilah tersebut memiliki makna yang berdekatan satu
dengan lainnya. Jika maksudnya untuk mendekatkan diri kepada Allah
dengan memberikan sesuatu kepada orang yang membutuhkan disebut
Shadaqah, jika dimaksudkan untuk penghargaan atau karena motif kasih
sayang maka dinamakan hadiah, dan jika selain itu dinamakan hibah.
Hibah menurut terminologi adalah:

‫عقد موضوعه متليك اط نسان ماله لغريه يف احلياة بال عوض‬


“Akad yang pokok persoalannya pada pemberian harta milik seseorang kepada
orang lain diwaktu ia masih hidup tanpa adanya imbalan.”

34
Ada dua definisi lain yang dikemukakan oleh para ulama,
pertama, adalah definisi hibah yang dikemukakan oleh jumhur ulama,
yaitu :

‫عقد يفيد الثمليك بغري عوض حال احلياة تطوعا‬


"Akad yang menyebabkan adanya kepemilikan tanpa

mengharapkan imbalan yang dilakukan semasa hidup seseorang secara


sukarela.
Kedua definisi yang rinci dan komperehensif yang dikemukakan
oleh ulama Hanabilah, yang artinya :“Pemberian milik yang dilakukan orang
dewasa yang cerdas sejumlah harta yang diketahui atau namun sulit
diketahuinya, harta tersebut memang ada, dapat diserahkan dalam kondisi tidak
wajib dalam keadaan masih hidup dan tanpa imbalan.”
Ketiga definisi di atas sama-sama mengandung makna pemberian harta
kepada seseorang secara langsung tanpa mengharapkan imbalan apapun, kecuali
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dasar hukum hibah dapat kita ketahui dari al-Qur’an surat An-
Nisa ayat “Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu, dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”, Surat Al-Baqarah ayat
177: Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (orang yang memerlukan pertolongan).”
Surat Al-Maidah ayat 2: Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan taqwa.” Dan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Nasa’i,
Hakim, dan Baihaqi, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda “Saling
memberi hadialah kalian dan juga saling mengasihi”

2. Rukun dan Syarat Hibah


Rukun hibah menurut Hanafi yaitu ijab dan qobul. Sebagaimana
dikiaskan pada akad jual beli. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun

35
hibah ada empat, yaitu: 1). Pemberi hibah (wahib), 2). Penerima hibah
(mauhub lahu), 3). Barang yang dihibahkan (mauhub), dan 4). Shighat.
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam hibah adalah
sebagai berikut:
1). Pemberi hibah merupakan orang yang cakap hukum (berakal, baligh,
dan cerdas) oleh karena itu, anak kecil dan orang gila tidak sah
hibahnya karena mereka termasuk orang-orang yang tidak cakap
hukum.
2). Barang yang dihibahkan disyaratkan yaitu ada ketika hibah terjadi,
berupa barang mutaqawwim (halal dimanfaatkan), milik penuh, milik
pribadi, barang yang terjaga dan terpisah, dapat dibedakan, terpisah
dan tidak menduduki barang lainnya.
3). Shighat (ijab dan qobul) menurut madzhab syafi’i harus bersambung,
tidak dibatasi dengan syarat karena hibah adalah pengalihan
kepemilikan mutlak seperti jual beli.

3. Pemberian Orang Tua Kepada Anak.


Ulama jumhur tidak berbeda pendapat dalam mengutamakan
persamaan pada pemberian diantara anak-anak dan dibencinya
perbedaan pemberian diantara mereka semasa hidup. Namun mereka
berselisih pendapat dalam penjelasan maksud dari persamaan tadi.
Menurut Hanbali dan Muhammad dari Hanafi : untuk seorang ayah agar
membagi kepada anak-anaknya sesuai dengan pembagian Allah dalam
warisan. Yaitu bagian anak laki-laki adalah seperti bagian dua anak
perempuan. Sementara, menurut Ahmad, ats-tsauri, thowwus, Ishak dan
lainnya menyamakan pemberian diantara anak-anak hukumnya wajib
dan batal jika tidak sama. Sedangkan menurut jumhur ulama (Abu Yusuf,
Hanafi, Maliki, dan syafi’I), persamaan dalam pemberian kepada anak
tidak wajib melainkan mandub. Pengistimewaan atau melebihkan
sebagian pewaris dibolehkan namun hukumnya makruh. Karena setiap

36
orang bebas bertasharruf dengan hartanya. Hal ini didasarkan pada hadits
Nabi SAW :

)‫سووا بني اوطدكم ىف العطي ولو كنت مؤثرا طثرت النساء على الرجال (رواه الطرباىن‬
Artinya : “Samakanlah pemberian diantara anak-anak mu walau kamu lebih
menyayangi anak perempuan dari pada anak laki-laki”.(HR.
Thabrani)
Adapun sebaliknya, berkaitan dengan pemberian anak kepada orang
tuanya, Disunnatkan agar menyamakan pemberian untuk kedua orang tua, dan
boleh juga mengutamakan ibu dan mengistimewakannya melalui pemberian dan
penghormatan yang lebih. Seperti yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari
Abu Hurairah r.a: “ Datang seorang lelaki kepada rasul saw. Dan berkata :
wahai rasul, siapa yang lebih berhak aku muliakan ? nabi menjawab:
Ibumu. Ia berkata :Kemudian siapa? Nabi menjawab ; Ibumu. Ia berkata:
Kemudian siapa ? nabi menjawab: Ibumu Ia berkata: Kemudian siapa
lagi ? ayahmu.”

H. Wasiat
1. Pengertian dan Dasar Hukumnya
Wasiat menurut etimologi berarti janji kepada orang lain untuk
melakukan sesuatu, ketika hidup maupun setalah meninggal. Atau
memberikan harta untuk orang lain (ja’lu al-maal lighairihi).
Sedangkan menurut terminologi, para ulama Fiqh memberikan
definisi wasiat adalah penyerahan kepemilikan yang disandarkan kepada
saat setelah kematian melalui akad tabarru’ (derma), baik berupa benda
(ain) maupun nilai guna (manfaatan).
Dari beberapa definisi di atas, jelas bahwa wasiat merupakan
penyerahan kepemilikan harta kepada pihak lain yang secara efektif
berlaku seetelah pemberi wasiat meninggal dunia. Dari sisi “penyerahan
harta kepada pihak lain” wasiat termasuk bagian dari hibah. Namun

37
karena harta yang diserahkan itu baru dimiliki setelah pemberi wasiat
meninggal dunia maka wasiat merupakan pemberian dalam bentuk
khusus.
Adapun perbedaan wasiat dengan warisan adalah dalam wasiat
peralihan harta atas kehendak si pemilik yang diucapkan semasa masih
hidup, pada warisan tidak harus ada kehendak dari pemilik harta selama
masih hidup.
Wasiat merupakan perbuatan kebajikan yang diperintahkan Allah
SWT dan Rasulnya. Hal ini dapat ditemukan dalam Al-Qur’an surat al-
Baqarah ayat 180: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.” Surat An-Nisa’ ayat 12: ”Sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya…”.
Sedangkan hadis Nabi yang menjelaskan wasiat terdapat dalam riwayat
Turmudzi bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Penuhilah hutang
sebelum melaksanakan wasiat”
2. Rukun dan Syarat Wasiat

Menurut jumhur ulama wasiat terdiri dari empat rukun yaitu : 1).
Pemberi wasiat, 2). Penerima wasiat, 3). Barang yang diwasiatkan, 4).
Shighat, yaitu ijab dan qobul.

Adapun Syarat-syarat wasiat adalah sebagai berikut:


a. Bagi Pemberi wasiat hendaknya cakap hukum, yaitu mukallaf (baligh,
berakal dan merdeka), dan atas kehendak dankerelaan pribadi.
b. Bagi penerima wasiat disyaratkan telah ada ketika wasiat dinyatakan,
diketahui dengan jelas ketika pernyataan wasiat, dan bukan
pembunuh dari pemberi wasiat.
c. Untuk barang yang diwasiatkan disyaratkan berupa mal mutaqawwim,
dapat dimiliki, ada ketika wasiat dinyatakan, Merupakan milik sah

38
dari pemberi wasiat, dan tidak untuk maksiat. Selain itu, menurut
jumhur ulama ada ketentuan bahwa wasiat tidak berlaku jika lebih
dari 1/3, kecuali dengan persetujuan ahli waris. Jika disetujui maka
wasiat berlaku dan jika tidak maka wasiat batal. Karena Allah
memberikan hak tasharruf kepada pemberi wasiat hanya 1/3 saja,
demi menjaga hak ahli waris. Dalam sebuah hadits Bukhari Muslim
dikatakan : “Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli waris mu sebagai
orang-orang kaya adalah lebih baik dari pada engkau meninggalkan mereka
sebagai orang-orang miskin yang meminta-minta kepada orang banyak”
d. Shighat, dapat dipergunakan sebagai segala perkataan yang memberi
pengertian adanya wasiat. Shighat dapat diungkapkan melalui tiga
cara yaitu berupa ucapan (lisan), tulisan dan berupa isyarat bagi yang
tidak mampu berbicara atau menulis.

3. Wasiat Kepada Ahli Waris


Jumhur ulama menyaratkan untuk keabsahan wasiat agar tidak
ditujuan kepada ahli waris. Lebih-lebih apabila masih ada pewaris (ahli
waris) selainnya. Akan tetapi apabila ahli waris lain dengan sukarela
menerima adanya wasiat tersebut maka wasiat dinilai sah. Dengan
demikian kebolehan wasiat kepada ahli waris sangat tergantung kepada
restu ahli waris lainnya. Hal ini didasarkan kepada hadis yang
diriwayatkan oleh Ahmad dari umar Ibn Kharijah bahwasanya Rasulullah
SAW bersabda “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak-hak bagi
pemiliknya, maka tidak ada lagi wasiat untuk ahli waris”. Demikian juga hadis
yang diriwayatkan Dar al-Quthni dari Ibn Abbas, rasulullah SAW
bersabda “Tidak boleh wasiat untuk ahli waris, kecuali ada restu dari ahli waris
lain”.
Walaupun demikian, ada beberapa syarat untuk menilai
keabsahan restu atau izin ahli waris. Yaitu pertama, hendaknya ahli waris
yang merestui tersebut terkenal sebagai orang yang suka berderma dan

39
mengetahui dengan baik keadaan obyek wasiat, kedua, hendaknya restu
tersebut diberikan setelah wafatnya orang yang berwasiat.

4. Perbedaan Hibah dan Wasiat


Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa wasiat merupakan
bagian hibah, tetapi ia memiliki beberapa karakteristik tersendiri yang
membedakan dengan hibah, adapun letak perbedaannya adalah:
a. Hibah itu diberikan kepada sipenerima sebelum si pemberi hibah itu
meninggal dunia, Sedangkan wasiat, diberiakan ketika sipemberi
wasiat meninggal dunia.
b. pada hibah, sipenerima boleh menolak pemberian harta hibah,
sedangkan pada wasiat sipenerima tidak boleh menolak
c. Pada hibah, tidak ada ukuran pada jumlah harta yang diberikan,
sedangkan padea wasiat harta yang diberikan maksimal adalah 1/3
dari harta yang dimiliki sipewasiat.
d. Pada hibah, harta boleh diberikan kepada ahli waris, sedangkan pada
wasiat harat tidak boleh diberikan kepada ahli waris.
e. Pada hibah itu bersifat mengikat dan wasiat itu tidak mengikat.
f. Hibah berupa barang, wasiat itu berupa barang, piutang, ataupun
manfaat.

40

Anda mungkin juga menyukai