Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH AGAMA ISLAM

“RUNGGUHAN, HIWALAH, AL-QARD, WAKALAH,


DHAMAN”
Dosen Pengampu :
AM. Maqdum Biahmada, M .Pd.

Disusun oleh :

Irza Kiswa Faraby (20130210231)


Firda Maghfirohillahi (20130210248)
Ridha Khalimatu Khoiriya (20130210262)

PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN


UNIVERSITAS ISLAM KADIRI
KEDIRI
2021/2022
1. Hiwalah
A. Pengertian
Hiwalah adalah Secara etimologi, pengertian hiwalah adalah istilah dari kata
tahawwul artinya berpindah atau tahwil berarti pengalihan. Sederhananya,
pengertian hiwalah adalah pengalihan utang atau piutang dari pihak kreditur
kepada pihak penanggung pelunasan hutang.
Konsep hiwalah adalah memindahkan utang dari muhil sebagai peminjam
pertama kepada pihak muhal’alaih sebagai peminjam kedua. Proses pengalihan
tanggung jawab ini harus disahkan melalui akad hiwalah atau kata-kata.
B. Dasar Hukum
Dasar hukum hiwalah berpedoman pada Al-quran dan hadist. Berdasarkan
Q.S. Al-Baqarah [2]: 282 mengatakan bahwa Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar.
Sementar dasar hukum hiwalah dari hadist yaitu "Menunda-nunda
pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman.
Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya
(dihiwalahkan) kepada pihak yang mampu (terimalah) (HR. Bukhari).
Kemudian dasar hukum hiwalah tersebut diikuti oleh ijma ulama yang
hukumnya sunnah. Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama
Indonesia mengatur akad hiwalah dengan mengeluarkan fatwa DSN-MUI No.
12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah, Fatwa DSN-MUI No. 34/DSN-
MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Impor Syariah, dan Fatwa DSN-MUI
No. 58/DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah bil Ujrah.
C. Rukun Syarat
Sesuai kaidahnya, transaksi skema hiwalah dalam perbankan syariah wajib
memenuhi beberapa rukun dan syarat. Selengkapnya tentang syarat dan rukun
hiwalah adalah sebagai berikut.
➢ Rukun Hiwalah
Rukun hiwalah adalah rukun-rukun yang wajib dipenuhi sebelum akad hiwalah
terjadi. Apabila tidak terpenuhi salah satunya, maka akad hiwalah tidak dapat
dilakukan. Rukun-rukun tersebut antara lain:
1. Muhil
Pertama, rukun hiwalah adalah muhil, yaitu orang yang mempunyai
hutang. Dalam hal ini, muhil harus berakal sehat, baligh, dan mempunyai
kemampuan melaksanakan akad hiwalah. Selain itu, pemilik hutang atau
muhil menjalankannya atas keinginan pribadi tanpa paksaan dari pihak lain.
2. Muhal
Muhal yaitu orang memberikan hutang atau pihak piutang. Sama seperti
syarat muhil, pihak muhal harus mencapai usia baligh, berakal sehat dan
melaksanakan akad ini secara sukarela tanpa paksaan. Ijab qabul hiwalah
yang dikatakan oleh muhal harus berada dalam majelis akad disaksikan pihak
terkait, dan dilakukan secara sadar tanpa paksaan.
3. Muhal'alaih
Rukun hiwalah ketiga yakni muhal'alaih sebagai orang pemilik hutang dan
bertanggung jawab melunasi hutang pihak muhil. Pihak ini harus mempunyai
akal sehat, baligh, kemampuan finansial, dan memahami pelaksanaan akad,
serta pengucapan ijab qabul dalam majelis akad dengan kehadiran peserta
terkait.
4. Hutang yang Diakadkan
Dalam konsep hiwalah, hutang merupakan bentuk pinjaman yang
dilakukan oleh muhil dari muhal, dan dinyatakan akan dilunasi oleh
muhal’alaih. Hutang tersebut boleh berupa uang, aset, dan benda-benda
berharga lainnya.
Meski demikian, sesuai dengan hukum syariah, hutang tersebut tidak
boleh berbentuk benda setengah jadi atau belum ada nilainya (misal bibit
tanaman yang belum berbuah, janji bantuan hibah belum di tangan, dan
sebagainya).

➢ Syarat Hiwalah
Selain rukun hiwalah, terdapat syarat hiwalah yang harus dipersiapkan dalam
menjalaninya. Adapun syarat hiwalah adalah di bawah ini:
• Pihak berhutang atau muhil rela melaksanakan akad ini.
• Produk hutang harus dibayarkan sesuai haknya yang sama baik jenis dan
jumlah utang, waktu pelunasan, dan kualitasnya. Misalnya bentuk hutang
berupa emas, maka pelunasannya harus berbentuk emas dengan nilai setara.
• Pihak muhal’alaih harus bertanggung jawab dalam menanggung hutang setelah
adanya kesepakatan bersama muhil.
• Pihak muhal atau pemberi hutang harus menyetujui akad hiwalah.
• Hutang tetap berada dalam jaminan pelunasan.
D. Macam - macam Hiwalah
• Hiwalah Al-Muqayyadah
Hiwalah Al-Muqayyadah adalah skema hiwalah yang memindahkan
tanggung jawab pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua.Contoh
hiwalah skema ini yakni seorang individu A berpiutang kepada pihak B sejumlah
Rp 2 juta. Sementara pihak B berpiutang kepada pihak C sebesar Rp 2 juta.
Kemudian pihak B mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang ada di
pihak C kepada individu A sebagai ganti pembayaran utang pihak B kepada A.
• Hiwalah Al-Mutlaqah
Kebalikan dari contoh hiwalah sebelumnya, Hiwalah Al-Mutlaqah yaitu
konsep hiwalah dengan pengalihan utang secara tidak tegas sebagai pengganti
pelunasan utang pihak pertama kepada pihak kedua. Contoh hiwalah al mutlaqah
yaitu bank konvensional sebagai pemberi piutang kepada pihak B sebagai
peminjam. Kemudian hutang pihak B mengalihkan pembayaran utang kepada
pihak muhal'alaih. Sehingga yang membayar hutang pihak B kepada bank
konvensional adalah pihak muhal'alaih tanpa pihak B menegaskan pengalihan
utang.

2. Al- Qard
A. Pengertian
Al-qard secara bahasa (etimologis) berarti potongan (‫( القطع‬yaitu
istilah yang diberikan untuk sesutau yang diberikan sebagai modal usaha.
Sesuatu itu disebut qard sebab ketika seseoarang memberikannya sebagai modal
usaha, maka sesuatu itu terputus atau terpotong. Sehubungan dengan itu,
aktivitas pencarian modal diistilahkan dengan (‫)اإلستقراض‬. Begitu pula dalam
bahasa latin kredit berarti “credere”, yang artinya percaya. Maksud dari percaya
bagi si pemberi kredit adalah ia percaya kepada penerima kredit bahwa kredit
yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si
penerima kredit merupakan penerimaan kepercayaan sehingga mempunyai
kewajiban untuk membayar sesuai jangka waktu.

Adapun al-qard secara istilah (terminologis) para ulama berbeda


pendapat sesuai dengan mazhabnya masing-masing :
1. Mazhab Hanafi
Mereka berpendapat bahwa qard adalah sesuatu yang diberikan
sebagai modal untuk dijalankan dengan syarat bahwa harta itu ketika
dikembalikan kepada pemiliknya harus semisal. Batasan semisal adalah asal
jenisnya tidak jauh berbeda. Kategori ini meliputi kesamaan untuk ditakar,
ditimbang dan dihitung jumlahnya 3.
2. Mazhab Maliki
Mereka berpendapat bahwa qard adalah penyerahan dari seseorang
kepada pihak lain berupa sesuatu yang bernilai kebendaan.. Pemberian modal
yang bagi pemberinya berhak mengambil barang tersebut dari orang yang
mendapatkan modal.
Pengertian tersebut dapat dijelaskan lebih rinci sebagai berikut :
a. Sesuatu itu bernilai kebendaan dan bukan merupakan hal yang remeh.
b. Pemberian bersifat murni, maksudnya seluruh keuntungan atau manfaat dari
modal itu kembali atau menjadi milik pihak yang menjalankan usaha.
c. Tidak mengijinkan transaksi peminjaman yakni penerima modal tersebut tidak
mempunyai kebebasan dalam memanfaatkan modal tersebut sebagaimana
seorang peminjam.
d. Menggambil barang pengganti. Hal ini sebagai pembeda dengan hibah yakni
suatau pemberian yang tidak mengharapkan adanya pengganti.
e. Barang pengganti tidak berbeda jenis dengan modal. Hal ini dimaksudkan
sebagai pembeda dari transaksi salam.
3. Mazhab Syafi’i
Mereka berpendapat bahwa qard adalah sesuatu yang diberikan
sebagai pinjaman modal. Qard merupakan pemberian pinjaman modal yang
bersifat menjalankan kebaikan/ sosial. Qard bisa dipersamakan dengan transaksi
salaf yaitu pemilikan sesuatu untuk diberikan kembali dengan sesuatu yang
serupa menurut kebiasaan yang berlaku.
4. Mazhab Hambali
Mereka berpendapat bahwa qard adalah menyerahkan modal pinjaman kepada
orang yang menggunakannya dan modal itu akan dikembalikan berupa barang
penggantinya. Qard bagi mereka merupakan jenis dari transaksi salaf. Sebab
penerimaan modal pinjaman mengambil manfaat dari modal tersebut. Hal ini
merupakan transaksi yang lazim terjadi. Jika modal telah diserahkan maka
pemberi modal tidak boleh mengambil manfaat dari modal tersebut, sebab modal
itu tidak lagi menjadi miliknya, namun ia berhak mendapat gantinya.
5. Abu Sura’i Abd al-Hadi
Menurutnya qard atau pinjaman adalah suata transaksi yang menyempurnakan
jalan pemilikan harta kepada pihak lain secara sukarela untuk dikembalikan lagi
kepadanya dengan hal yang serupa atau seseorang menyerahkan harta kepada
pihak lain untuk dimanfaatkan dan kemudian orang tersebut mengembalikan
penggantinya.
B. Dasar Hukum
o Ayat al-Qur’an
Ayat-ayat al-Qur’an yang mendasari kredit (qard) ini diantaranya
firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2, yang berbunyi:
ِ ‫اإلثْ ِم َو ْالعُد َْو‬
َ‫ َواتَّقُ ْوا هللااَ إِ َّن هللاا‬،‫ان‬ َ ‫علَى البِ ِر َوالتَّ ْق َوى َوالَتَعَ َاونُ ْوا‬
ِ ‫علَى‬ َ ‫َوتَعَ َاونُ ْوا‬
ِ ‫ش ِد ْيدُ ال ِعقَا‬
‫ب‬ َ .
Artinya: “ Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan
bertakwalah kamu kepada Allah sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya.” (Q.S. al-Maidah 2)

o Hadis Nabi SAW


َ َّ‫آَانَ َر ُجل يُدَا ِي ُن الن‬: ‫ لَ َع َّل ِإذَا أَتَيْتَ ُم ْعس ًِرا فَتَ َج َاو ْز‬،ُ‫ع ْنه‬
ُ‫اس فَ َكانَ َيقُو ُل ِلفَت َاه‬ َ
ُ‫ع ْنه‬
َ َ َ َ‫ز‬ ‫او‬ ‫ج‬ َ ‫ت‬َ ‫ف‬ ‫هللاا‬
َ ‫ِي‬
َ ‫ق‬ َ ‫ل‬ َ ‫ف‬ ‫ا؛‬ َّ ‫ن‬‫ع‬ ُ
‫ز‬ ‫او‬
َ َ َ ‫ج‬ َ ‫ت‬‫ي‬
َ ‫هللاا‬
َ
Artinya: “Dahulu ada seseorang yang suka memberi utang kepada manusia,
maka dia mengatakan kepada pegawainya: ‘Bila kamu datangi orang
yang kesulitan membayar maka mudahkanlah, mudah-mudahan Allah
mengampuni kita.’ Maka ia berjumpa dengan Allah l sehingga Allah l
mengampuninya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
‫ظلَّهُ هللااُ فِى ظِ ِل ِه‬
َ َ ‫ع ْنهُ أ‬
َ ‫ض َع‬ َ ‫ظ َر ُم ْعس ًِرا أ َ ْو َو‬ َ ‫َم ْن أَ ْن‬
Artinya: “Barangsiapa yang memberikan tangguh kepada orang yang kesusahan
atau menggugurkan utangnya niscaya Allah l akan naungi dia dalam
naungan-Nya.” (Shahih, HR. Muslim dan Al-Baihaqi).
Dari keterangan-keterangan di atas, jelaslah bahwa qard ada dalam ajaran Islam.
Lebih dari itu Allah SWT akan memberikan pahala yang berlipatganda bagi
mereka yang meng-qirad kan harta di jalan-Nya. Qirad juga merupakan pekerjaan
yang mulia, sehingga bisa menolong kesusahan orang lain.
Orang yang membantu sesamanya dalam kesusahan niscaya Allah SWT akan
menolongnya di akhirat kelak.
o Ijma’
Para ulama sepakat bahwa qard merupakan perbuatan yang
dibenarkan. Hal ini didasari oleh tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa
bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia
butuhkan. Oleh karena itu pinjam-memnjam sudah menjadi suatu bagian dari
kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap
kebutuhan umatnya.
C. Rukun dan Syarat Al-Qard
Rukun dan syarat merupakan sesuatu yang harus ada dalam setiap
perjanjian dalam mu’amalat. Adapun rukan dan syarat perjanjian kredit al-qard
adalah sebagai berikut:
1) Adanya pihak yang memberikan pinjaman (kreditur) dan pihak menerima
pinjaman (debitur) yang disyaratkan harus orang yang cakap untuk melakukan
tindakan hukum.
2) Obyek (barang yang dipinjam).
Barang yang dipinjam disyaratkan berbentuk barang yang dapat diukur
atau diketahui jumlah maupun nilainya. Disyaratkan hal ini agar pada waktu
pembayarannya tidak menyulitkan, sebab harus sama jumlah atau nilainya
dengan jumlah atau nilai barang yang diterima.
3) Lafaz yaitu adanya pernyataan (ijab-qabul) baik dari pihak yang
meberikan pinjaman (kreditur) maupun dari pihak yang menerima pinjaman
(debitur). Hutang piutang dapat memberikan banyak manfaat atau syafaat
kepada kedua belah pihak. Hutang piutang merupakan perbuatan saling tolong
menolong antara umat manusia yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT selama
tolong-menolong dalam kebajikan. Hutang piutang dapat mengurangi kesulitan
orang lain yang sedang dirudung masalah serta dapat memperkuat tali
persaudaraan kedua belah pihak.
D. Macam-Macam
Macam-Macam Qardh
Menurut lembaga keuangan Syariah, akad Qardh terdiri dari dua macam yaitu:
• Akad Qardh yang berdiri sendiri dan hanya bermaksud sebagai tujuan sosial,
sesuai dengan apa yang tertera di Fatwa MUI DSN Nomor 19/DSN-MUI/IV/2001
yang menjelaskan bahwa Al-Qardh ada bukan sebagai kelengkapan transaksi atau
sarana untuk mencari keuntungan.
• Akad Qardh yang terjadi sebagai sarana untuk melengkapi transaksi lain yang
bersifat komersial atau termasuk ke dalam akad-akad mu’awadhah untuk
mendapatkan keuntungan. Pihak ketiga hanya dalam menggunakan dana tersebut
untuk tujuan komersial seperti pembiayaan pengurusan Haji Lembaga Keuangan
Syariah, produk Rahn Emas, pengalihan utang, dan ajakan piutang.
3. Dhaman
A. Pengertian
Dhaman adalah suatu ikrar atau lafadz yang disampaikan berupa perkataan atau
perbuatan untuk menjamin pelunasan hutang seseorang. Dengan demikian,
kewajiban membayar hutang atau tanggungan itu berpindah dari orang yang
berhutang kepada orang yang menjamin pelunasan hutangnya.
B. Dasar Hukum
Dhaman hukumnya boleh dan sah dalam arti diperbolehkan oleh syariat Islam,
selama tidak menyangkut kewajiban yang berkaitan dengan hak-hak Allah Swt.
Firman Allah Swt. :
‫ع ْال َملِكِ َو ِل َم ْن َجا َء بِ ِه حِ ْم ُل بَعِير َوأَنَا بِ ِه زَ عِيم‬ ُ ُ‫قَالُوا نَ ْف ِقد‬
َ ‫ص َوا‬
“Penyeru-penyeru itu berkata :”Kami kehilangan piala raja dan barang siapa yang
dapat mengembalikan akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan
akan menjamin terhadapnya” (QS. Yusuf : 72)
Sabda Rasulullah saw. : "Penghutang hendaklah mengembalikan pinjamannya dan
penjamin hendaklah membayar” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Sabda Rasulullah saw. : “Sesungguhnya ada jenazah yang dibawa ke hadapan
Nabi Saw. lalu para sahabat berkata:”Ya Rasulullah kami mohon jenazah ini
dishalatkan!”, Tanya Nabi: “Adakah harta pusaka yang ditinggalkan?”, Jawab
sahabat:”Tidak”, lalu Nabi Tanya lagi:”Apakah ia punya hutang?”, jawab
sahabat:”Punya, ada tiga dinar”, kemudian Nabi bersabda:” Shalatkan temanmu
itu!”, lantas Abu Qatadah ra. berkata:”Ya Rasulullah, Shalatkanlah ia dan saya
yang menjamin hutangnya!”. Kemudian Nabi Saw. menshalatkannya” (HR.
Bukhari).
C. Rukun Syarat
Rukun Dhaman antara lain :
a. Penjamin (dammin).
b. Orang yang dijamin hutangnya (madmun ‘anhu).
c. Penagih yang mendapat jaminan (madmun lahu).
d. Lafal/ ikrar.
Adapun syarat dhaman antara lain :
a. Syarat penjamin.
1) Dewasa (baligh).
2) Berakal (tidak gila atau waras).
3) Atas kemauan sendiri (tidak terpaksa).
4) Orang yang diperbolehkan membelanjakan harta.
5) Mengetahui jumlah atau kadar hutang yang dijamin.
b. Syarat orang yang dijamin, yaitu orang yang berdasarkan hukum
diperbolehkan untuk membelanjakan harta.
c. Syarat orang yang menagih hutang, dia diketahui keberadaannya oleh
orang yang menjamin.
d. Syarat harta yang dijamin antara lain:
1) Diketahui jumlahnya.
2) Diketahui ukurannya.
3) Diketahui kadarnya.
4) Diketahui keadaannya.
5) Diketahui waktu jatuh tempo pembayaran.
e. Syarat lafadz (ikrar) yaitu dapat dimengerti yang menunjukkan adanya
jaminan serta pemindahan tanggung jawab dalam memenuhi kewajiban
pelunasan hutang dan jaminan ini tidak dibatasi oleh sesuatu, baik waktu
atau keadaan tertentu.

D. Macam-Macam Kafalah atau Dhaman


Secara umum kafâlah dibagi menjadi 2 bagian :
• Kafâlah an-Nafsi adalah Menyatukan tanggung jawab penjamin kepada
tanggung jawab orang yang dijamin dalam komitmen untuk menunaikan
hak wajib menghadirkan orang yang dijamin pada waktunya.[7] Dalam jenis
ini ada keharusan bagi pihak penjamin (al-kafîl/al-dhamîn) untuk
menghadirkan orang yang ia jamin kepada orang yang dia berikan jaminan
(al-makfûl lahu). Penjaminan yang menyangkut masalah manusia,
hukumnya mubah (boleh), menurut pendapat jumhur Ulama dari mazhab
Mâlikiyah, Syâfi’iyah, Hanafiyah dan Hanâbilah dengan dasar firman Allâh
Azza wa Jalla :

َ‫يرا فَ ُخذْ أَ َحدَنَا َمكَانَهُ ۖ ِإنَّا ن ََراكَ مِ نَ ْال ُمحْ ِسنِين‬ ُ ‫قَالُوا يَا أَيُّ َها ْالعَ ِز‬
َ ‫يز ِإ َّن لَهُ أَبًا‬
ً ِ‫ش ْي ًخا َكب‬

Mereka berkata, “Wahai al-Aziz, Sesungguhnya ia mempunyai ayah yang


sudah lanjut usianya, lantaran itu ambillah salah seorang diantara kami
sebagai gantinya, Sesungguhnya kami melihat kamu termasuk oranng-orang
yang berbuat baik”. [Yûsuf/12: 78]. Imam al-Qurthubi rahimahullah
mengatakan bahwa maksudnya; ambillah salah seorang dari kami sebagai
gantinya sehingga saudaranya tersebut bisa pulang bersama mereka.Ini juga
didukung oleh sabda
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫ضي‬ِ ‫ َوالدَّ ْي ُن َم ْق‬،‫َارم‬ َّ
ِ ‫الزعِي ُم غ‬
Penjamin itu menanggung hutangnya dan hutang harus ditunaikan. [HR. Ibnu
Mâjah no. 2405 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Ibnu
Mâjah]. Dengan demikian orang yang ditanggung tidak mesti mengetahui
permasalahan karena kafâlah menyangkut badan bukan harta. Contohnya :
A menjamin akan menghadirkan B yang sedang dalam perkara mahkamah
(pengadilan) pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Dengan ini,
maka si A wajib berusaha maksimal untuk menghadirkan si B dalam sidang
yang telah ditentukan tersebut. Penjaminan ini hanya berlaku pada hak-hak
manusia, bukan berhubungan dengan hak Allâh seperti hukuman (had)
minum al-khamr dan had menuduh zina dan yang lainnya. Jenis kafâlah ini
merupakan akad memberikan jaminan atas diri. Sebagai contoh dalam
praktik perbankan untuk kafâlah ini yaitu seorang nasabah yang mendapat
pembiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau
pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang
apapun tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan
pembayaran ketika nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan.
• Kafâlah bil mal (kafâlah dengan harta) yaitu kewajiban yang mesti
ditunaikan oleh dhamîn/kafîl dengan pembayaran (pemenuhan) harta.
Kafâlah harta ada 3 macam :
a. Kafâlah bid dain adalah kewajiban membayar utang yang menjadi beban
orang lain. Contoh : A menjamin utang B kepada C.
b. Kafâlah dengan penyerahan benda (Kafâlah at-taslîm) adalah kewajiban
menyerahkan benda-benda tertentu yang ada di tangan orang lain, seperti
mengembalikan barang yang dighasab dan menyerahkan barang jualan
kepada pembeli, disyaratkan materi tersebut yang dijamin untuk ashil (pihak
yang berhutang) seperti dalam kasus ghasab. Namun bila bukan berbentuk
jaminan, kafâlah batal. Contoh : A menjamin mengembalikan barang yang
dipinjam oleh B kepada C. Apabila B tidak mengembalikan barang itu
kepada C maka A wajib mengembalikannya kepada C.
c. Kafâlah dengan ‘aib adalah bahwa barang yang didapati berupa harta
terjual dan didapati ada bahaya (cacat) karena waktu yang terlalu lama atau
karena hal-hal lainnya maka ia (pembawa barang) sebagai jaminan untuk
hak pembeli pada penjual, seperti jika terbukti barang yang dijual adalah
milik orang lain atau barang tersebut adalah barang gadai.
4. Wakalah
A. Pengertian
Berdasarkan buku Buku Ajar Fiqih Muamalah Kontemporer, akad wakalah
dapat diartikan dengan memberikan kuasa kepada pihak lain untuk melakukan
suatu kegiatan di mana yang memberikan kuasa sedang tidak dalam posisi
melakukan kegiatan tersebut. Akad wakalah digunakan oleh seseorang apabila ia
membutuhkan orang lain atau mengerjakan sesuatu yang tidak dapat ia lakukan
sendiri sehingga meminta orang lain untuk melaksanakannya.
• Menurut Hasbi Ash Shiddieqy, wakalah adalah akad penyerahan kekuasaan yang
pada akad itu seseorang menunjuk orang lain dalam bertindak.
• Menurut Sayyid Sabiq, wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang
kepada orang lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa wakalah adalah tindakan seseorang mewakilkan dirinya
kepada orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan yang merupakan haknya di
mana tindakan tersebut tidak dikaitkan dengan pemberian kuasa setelah mati,
karena tindakan setelah mati sudah berbentuk wasiat.
• Ulama Hanifiyah mengungkapkan bahwa wakalah adalah seseorang yang
mempercayakan orang lain untuk menjadi ganti dirinya dalam bertindak pada
bidang-bidang tertentu yang boleh diwakilkan.
• Menurut ulama Syafi'iyah, wakalah adalah suatu ungkapan yang mengandung
pendelegasian sesuatu oleh seseorang kepada orang lain supaya orang lain itu
melaksanakan apa yang boleh dikuasakan atas nama pemberi kuasa.
B. Dasar Hukum
Islam mensyariatkan al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak
setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan
segala urusan sendiri. Pada suatu kesempatan, seseorang perlu mendelegasikan
suatu pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili dirinya.
Dasar hukum dari wakalah adalah boleh dilakukan dalam ikatan kontrak yang
di syariatkan dengan dasar hukum ibadah (diperbolehkan), al-wakalah bisa
menjadi sunah, makruh, haram, atau bahkan wajib sesuai dengan niat pemberi
kuasa, pekerjaan yang di kuasakan atau faktor lain yang mendasarinya dan
mengikutinya.

Adapun landasan hukum wakalah antara lain adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur'an

Dasar hukum Wakalah dari Al-Quran terdapat dalam Q.S. Al-Kahfi ayat 19, yaitu:
Artinya: "... Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota
dengan membawa uang perakmu ini,...."(Q.S. Al-Khafi: 19).

Selain itu terdapat juga dalam Q.S. An-Nisa ayat 35, yaitu:

Artinya: "... Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan,...."(Q.S. An-Nisa: 35).

Ayat-ayat tersebut menyimpulkan bahwa dalam hal muamalah dapat dilakukan


perwakilan dalam bertransaksi, ada solusi yang bisa diambil manakala manusia
mengalami kondisi tertentu yang mengakibatkan ketidak-sanggupan melakukan
segala sesuatu secara mandiri, baik melalui perintah maupun kesadaran pribadi
dalam rangka tolong menolong, dengan demikian seseorang dapat mengakses atau
melakukan transaksi melalui jalan Wakalah.

b. Al-Hadis
Rasulullah SAW semasa hidupnya pernah memberikan kuasa kepada
sahabatnya, di antaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had
dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan dan
lain-lain yang kemudian dapat dijadikan landasan keabsahan wakalah. Salah satu
Hadis yang menjadi landasan wakalah yaitu:

Artinya: "Dan dari Sulaiman bin Yasar: Bahwa Nabi SAW, mengutus Abu Rafi’,
hamba yang pernah dimerdekakannya dan seorang laki-laki Anshar, lalu kedua
orang itu menikahkan Nabi dengan Maimunah binti Harits dan pada saat itu
(Nabi SAW) di Madinah sebelum keluar (ke mieqat Dzil Khulaifah)" (HR. Maliki
No.678, Kitab al-Muaththa').
c. Ijma Ulama
Menurut Antonio (2008), para ulama berpendapat dengan ijma atas
dibolehkannya wakalah. Mereka mensunahkan wakalah dengan alasan bahwa
wakalah termasuk jenis ta'awun atau tolong menolong atas dasar kebaikan dan
takwa.

C. Rukun dan Syarat Wakalah

Menurut jumhur ulama, rukun wakalah ada empat, yaitu 1) Orang yang
memberi kuasa (al-Muwakkil), 2) Orang yang diberi kuasa (al-Wakil), 3)
Perkara/hal yang dikuasakan (al-Taukil), dan 4) Pernyataan Kesepakatan (Ijab dan
Qabul). Adapun penjelasan ke-empat rukun wakalah tersebut adalah sebagai
berikut (Suhendi, 2002)

a. Orang yang memberi kuasa (Al-Muwakkil)

1. Seseorang yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki hak untuk


tasharruf pada bidang-bidang yang didelegasikannya. Karena itu seseorang
tidak akan sah jika mewakilkan sesuatu yang bukan haknya.
2. Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi lain
juga dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf.
Tidak boleh seorang pemberi kuasa itu masih belum dewasa yang cukup akal
serta pula tidak boleh seorang yang gila.

b. Orang yang diberi kuasa (al-Wakil)

1. Penerima kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan yang
mengatur proses akad wakalah ini. Sehingga cakap hukum menjadi salah satu
syarat bagi pihak yang diwakilkan.
2. Seseorang yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan untuk
menjalankan amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa. ini berarti bahwa
ia tidak diwajibkan menjamin sesuatu yang di luar batas, kecuali atas
kesengajaannya.

c. Objek/perkara/hal yang dikuasakan (al-Taukil)

1. Objek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual
beli, pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan
pihak yang memberikan kuasa.
2. Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang bersifat
ibadah badaniyah, seperti salat, dan boleh menguasakan sesuatu yang bersifat
ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya. Selain itu
hal-hal yang diwakilkan itu tidak ada campur tangan pihak yang diwakilkan.
3. Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga objek yang
akan diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar syari'ah Islam.

d. Pernyataan Kesepakatan (Ijab dan Qabul)

1. Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa,


dari mulai aturan memulai akad Wakalah ini, proses akad, serta aturan yang
mengatur berakhirnya akad Wakalah ini.
2. Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada
penerima kuasa.
3. Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas
pemberi kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu.

Adapun syarat-syarat wakalah adalah sebagai berikut:

1. Pekerjaan/urusan itu dapat diwakilkan atau digantikan oleh orang lain. Oleh
karena itu, tidak sah untuk mewakilkan untuk mengerjakan ibadah seperti salat,
puasa, dan membaca alquran.
2. Pekerjaan itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad wakalah. Oleh karena itu,
tidak sah berwakil menjual sesuatu yang belum dimilikinya.
3. Pekerjaannya itu diketahui secara jelas. Maka tidak sah mewakilkan sesuatu
yang masih samar seperti "aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk
mengawini salah satu anakku".
4. Shigat, hendaknya berupa lafal yang menunjukkan arti mewakilkan yang
diiringi kerelaan dari muwakkil seperti "saya wakilkan atau serahkan
pekerjaan ini kepada kamu untuk mengerjakan pekerjaan ini" kemudian
diterima oleh wakil. Dalam shigat qabul si wakil tidak syaratkan artinya
seandainya si wakil tidak mengucapkan qabul tetap dianggap sah.

D. Macam-macam Wakalah

Menurut Ayub (2009), terdapat tiga jenis wakalah, yaitu sebagai berikut:

1. Al-wakalah al-khosshoh, adalah prosesi pendelegasian wewenang untuk


menggantikan sebuah posisi pekerjaan yang bersifat spesifik. Dan
spesifikasinyapun telah jelas, seperti halnya membeli Honda tipe X atau menjadi
advokat untuk menyelesaikan kasus tertentu.
2. Al-wakalah al-ammah, adalah prosesi pendelegasian wewenang bersifat umum,
tanpa adanya spesifikasi. Seperti belikanlah aku mobil apa saja yang kamu temui.
3. Al-wakalah al-muqoyyadoh dan al-wakalah mutlaqoh, adalah akad dimana
wewenang dan tindakan si wakil dibatasi dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya
juallah mobilku dengan harga 100 juta jika kontan dan 150 juta jika kredit.
Sedangkan al-wakalah al-muthlaqoh adalah akad wakalah dimana wewenang dan
wakil tidak dibatasi dengan syarat atau kaidah tertentu, misalnya juallah mobil ini,
tanpa menyebutkan harga yang diinginkan.

5. Rungguhan
A. Pengertian
Gadai dalam bahasa arab disebut dengan rahn. Secara etimologi berati
tetap, kekal, dan jaminan. Gadai istilah hukum positif di indonesia adalah apa
yang disebut barang jaminan, agunan, rungguhan, cagar atau cagaran, dan
tanggungan. Gadai merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi
agunan dari fasilitas pembiayaan yang diberikan.
Dalam terminologinya gadai mempunyai banyak pengertian dan
pemaknaan. Dalam kitab undang-undang hukum perdata, gadai diartikan sebagai
suatu hak yang di peroleh kreditor (si berpiutang) atas suatu barang bergerak,
yang diserahkan kepadanya oleh debitur (si berhutang), atau oleh seorang lain atas
namanya, dan yang memberikan kekuasaan pada kreditor itu untuk mengambil
pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada kreditur-kreditur
lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya
yang telah di keluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan
dan biayabiaya yang harus didahulukan. Azhar Basyir memaknai rahn (gadai)
sebagai perbuatan menjadikan suatu benda yang bernilai menurut pandangan
syara’ sebagai tanggungan uang, dimana adanya benda yang menjadi tanggungan
itu di seluruh atau sebagian utang dapat di terima.
Dalam hukum adat gadai di artikan sebagai menyerahkan tanah untuk
menerima sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan si penjual (penggadai)
tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.17
Ar-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam atas pinjaman yang
diterimanya. Barang yang di tahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan
demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil
kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan
hutang atau gadai.18 Gadai adalah jaminan atas barang yang dapat di jual sebagai
jaminan hutang, dan kelak nantinya dapat di jual untuk membayar hutang, jika
yang hutang tidak mampu membayar hutangnya karena kesulitan.19 Rahn Disebut
juga dengan al-habsu yang artinya menahan. sedangkan menurut syari’at islam
gadai berati menjadikan barang yang memiliki nilai menurut syari’at sebagai
jaminan hutang, hingga orang tersebut dibolehkan mengambil hutang atau
mengambil sebagian manfaat barang tersebut. Pemilik barang gadai disebut rahin
dan orang yang mengutangkan yaitu orang yang mengambil barang tersebut serta
menahannya disebut murtahin, sedangkan barang yang di gadaikan disebut rahn.

B. Dasar Hukum
a. Al Qur’an
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan dalam islam
berdasarkan al-Qur‟an dan sunnah Rasul. Dalam surat al-Baqarah ayat 283 Allah
berfirman :
Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan. Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak
percaya mempercayai.” (QS. Al-Baqarah : 283)
Para ulama fiqh sepakat bahwa ar-rahn boleh dilakukan dalam perjalanan dan dalam
keadaan hadir di tempat, asal barang jaminan itu bisa langsung dipegang/dikuasai secara
hukum oleh si piutang. Maksudnya, karena tidak semua barang jaminan bisa dipegang /
dikuasai oleh si pemberi piutang secara langsung, maka paling tidak ada semacam
pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status al-Marhun (menjadi jaminan
hutang). Misalnya, apabila barang jaminan itu berbentuk sebidang tanah, maka yang
dikuasai adalah surat jaminan tanah itu.
b. Hadist 24 Kemudian dalam sebuah HR. Bukhari, Kitab Ar-Rahn dikatakan bahwa :
Artinya : “Dari Aisyah, sesungguhnya Nabi saw membeli makanan secara tidak tunai dari
seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya”. (HR. Bukhari) Menurut
kesepakatan pakar fiqh, peristiwa Rasul SAW. merahn-kan baju besinya itu, adalah kasus
ar-rahn pertama dalam islam dan dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw. Berdasarkan ayat
dan hadis-hadis diatas, para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa akad ar-rahn itu
dibolehkan, karena banyak kemaslahatan yang terkandung di dalamnya dalam rangka
hubungan antar sesama manusia.
c. Ijma Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan ulama
ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan
saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh
karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini.
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya. Di
samping itu, berdasarkan fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 25/DSNMUI/III/2002,
tanggal 26 Juni 2002 dinyatakan bahwa, pinjaman 8 Ibnu Qudamah, Al-Mugni, (Riyadh:
Maktabah ar-Riyadh al-Haditsah), Jilid IV, h. 337. 25 dengan menggadaikan barang
sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan. Jumhur ulama berpendapat bahwa
rahn disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian
C. Rukun Dan Syarat
Rukun dan Syarat Akad Rahn:
a. Rukun Rahn Gadai memiliki empat rukun:
1. Rahin adalah orang yang memberikan gadai.
2. Murtahin adalah orang yang menerima gadai.
3. Marhun atau rahn adalah harta yang digadaikan untuk menjamin utang.
4. Marhun bih adalah utang.

Menurut jumhur ulama, rukun gadai ada empat, yaitu:

1. Syarat Aqid
Syarat yang harus dipenuhi oleh aqid dalam gadai yaitu rahin dan murtahin
adalah ahliyah (kecakapan). Kecakapan menurut Hanafiah adalah kecakapan
untuk melakukan jual beli. Sahnya gadai, pelaku disyaratkan harus berakal dan
mumayyiz.
2. Syarat Shighat Menurut Hanafiah, shighat gadai tidak boleh digantungkan
dengan syarat, dan tidak disandarkan kepada masa yang akan datang. Hal ini
karena akad gadai menyerupai akad jual beli, dilihat dari aspek pelunasan utang.
Apabila akad gadai digantungkan dengan syarat atau disandarkan kepada masa
yang akan datang, maka akad akan fasid seperti halnya jual beli. Syafi‟iyah
berpendapat bahwa syarat gadai sama dengan syarat jual beli, karena gadai
merupakan akad Maliyah.
3. Syarat Marhun Para ulama sepakat bahwa syarat-syarat marhun sama dengan
syarat-syarat jual beli. Artinya, semua barang yang sah diperjualbelikan sah
pula digadaikan.
Secara rinci Hanafiah mengemukakan syarat-syarat merhun adalah sebagai
berikut :
a. Barang yang digadaikan bisa dijual, yakni barang tersebut harus ada pada
waktu akad dan mungkin untuk diserahkan. Apabila barangnya tidak ada
maka akad gadai tidak sah.
b. Barang yang digadaikan harus berupa maal (harta). Dengan demikian, tidak
sah hukumnya menggadaikan barang yang tidak bernilai harta.
c. Barang yang digadaikan harus haal mutaqawwin, yaitu barang yang boleh
diambil manfaatnya menurut syara‟, sehingga memungkinkan dapat
digunakan untuk melunasi utangnya.
d. Barang yang digadaikan harus diketahui (jelas), seperti halnya dalam jual
beli.
e. Barang tersebut dimiliki oleh rahin. Tidak sah menggadaikan barang milik
orang lain tanpa ijin pemiliknya.
f. Barang yang digadaikan harus kosong, yakni terlepas dari hak rahin. Tidak
sah menggadaikan pohon kurma yang ada buahnya tanpa menyertakan
buahnya itu.
g. Barang yang digadaikan harus sekaligus bersama-sama dengan pokoknya
(lainnya). Tidak sah menggadaikan buah-buahan saja tanpa disertai dengan
pohonnya, karena tidak mungkin menguasai buah-buahan tanpa menguasai
pohonnya.
h. Barang yang digadaikan harus terpisah dari hak milik orang lain, yakni
bukan milik bersama. Akan tetapi menurut Malikiyah, Syafi‟iyah dan
Hanabilah, barang milik bersama boleh digadaikan.

Berdasarkan fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN)- MUI No. 25/ DSN-
MUI/III/2002, tanggal 22 Juni 2002, bahwa semua barang dapat diterima sebagai agunan
pinjaman. Akan tetapi semua pegadaian syariah di Pekalongan mempunyai pengkhususan
pada barang-barang yang tidak dapat diterima sebagai marhun, yaitu :

a) Barang milik pemerintah.


b) Mudah membusuk.
c) Berbahaya dan mudah terbakar.
d) Barang yang dilarang peredarannya oleh peraturan yang berlaku dan atau hukum
Islam.
e) Cara memperoleh barang tersebut dilarang oleh hukum Islam.
f) Serta ketentuan khusus sebagai berikut :
1. Barang yang disewa-belikan.
2. Barang tersebut masih berupa hutang dan belum lunas.
3. Barang tersebut dalam masalah.
4. Berupa pakaian jadi.
5. Pemakaiannya sangat terbatas.
6. Hewan ternak.
7. Barang yang kurang nilai rahn-nya dibawah biaya invest gadai.

Ketentuan-ketentuan tersebut diberlakukan mengingat keterbatasan tempat, sumber


daya, fasilitas. Chatamarrasid menambahkan barang yang tidak dapat digadaikan
yaitu barangbarang karya seni yang nilainya relative sukar ditaksir dan kendaraan
bermotor tahun keluaran 1996 keatas.

4. Syarat Marhun Bih Marhun bih adalah suatu hak yang karenanya barang gadaian
diberikan sebagai jaminan kepada rahin. Menurut Hanafiah, marhun bih harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Marhun bih harus berupa hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya, yaitu
rahin, karena tidak perlu memberikan jaminan tanpa ada barang yang
dijaminnya.
b. Pelunasan utang memungkinkan untuk diambil dari marhun bih. Apabila tidak
memungkinkan pembayaran utang dari marhun bih, maka rahn hukumnya tidak
sah.
c. Hak marhun bih harus jelas (ma‟lum), tidak boleh majhul (samar/tidak jelas).
Daftar pustaka

https://www.ocbcnisp.com/id/article/2021/07/15/hiwalah-
adalah#:~:text=Pengertian%20Hiwalah,-
Hiwalah%20adalah%20Secara&text=Konsep%20hiwalah%20adalah%20m
emindahkan%20utang,akad%20hiwalah%20atau%20kata%2Dkata
https://katadata.co.id/intan/berita/620b5eaa65b8e/pengertian-wakalah-
beserta-syarat-dan-ketentuan-pembatalannya
https://kamus.tokopedia.com/q/qardh
https://www.bacaanmadani.com/2018/01/pengertian-dhaman-dasar-hukum-
syarat.html?m=1
https://almanhaj.or.id/6999-dhaman-atau-kafalah.html
https://www.bing.com/search?q=dasar+hukum+wakalah&cvid=4f12adac65
4a4b4f8dd75add165f091a&aqs=edge.0.0.15749j0j1&pglt=43&FORM=AN
NTA1&PC=ASTS&ntref=1
https://www.kajianpustaka.com/2020/10/al-wakalah.html
https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/10501

Anda mungkin juga menyukai