Disusun oleh :
➢ Syarat Hiwalah
Selain rukun hiwalah, terdapat syarat hiwalah yang harus dipersiapkan dalam
menjalaninya. Adapun syarat hiwalah adalah di bawah ini:
• Pihak berhutang atau muhil rela melaksanakan akad ini.
• Produk hutang harus dibayarkan sesuai haknya yang sama baik jenis dan
jumlah utang, waktu pelunasan, dan kualitasnya. Misalnya bentuk hutang
berupa emas, maka pelunasannya harus berbentuk emas dengan nilai setara.
• Pihak muhal’alaih harus bertanggung jawab dalam menanggung hutang setelah
adanya kesepakatan bersama muhil.
• Pihak muhal atau pemberi hutang harus menyetujui akad hiwalah.
• Hutang tetap berada dalam jaminan pelunasan.
D. Macam - macam Hiwalah
• Hiwalah Al-Muqayyadah
Hiwalah Al-Muqayyadah adalah skema hiwalah yang memindahkan
tanggung jawab pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua.Contoh
hiwalah skema ini yakni seorang individu A berpiutang kepada pihak B sejumlah
Rp 2 juta. Sementara pihak B berpiutang kepada pihak C sebesar Rp 2 juta.
Kemudian pihak B mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang ada di
pihak C kepada individu A sebagai ganti pembayaran utang pihak B kepada A.
• Hiwalah Al-Mutlaqah
Kebalikan dari contoh hiwalah sebelumnya, Hiwalah Al-Mutlaqah yaitu
konsep hiwalah dengan pengalihan utang secara tidak tegas sebagai pengganti
pelunasan utang pihak pertama kepada pihak kedua. Contoh hiwalah al mutlaqah
yaitu bank konvensional sebagai pemberi piutang kepada pihak B sebagai
peminjam. Kemudian hutang pihak B mengalihkan pembayaran utang kepada
pihak muhal'alaih. Sehingga yang membayar hutang pihak B kepada bank
konvensional adalah pihak muhal'alaih tanpa pihak B menegaskan pengalihan
utang.
2. Al- Qard
A. Pengertian
Al-qard secara bahasa (etimologis) berarti potongan (( القطعyaitu
istilah yang diberikan untuk sesutau yang diberikan sebagai modal usaha.
Sesuatu itu disebut qard sebab ketika seseoarang memberikannya sebagai modal
usaha, maka sesuatu itu terputus atau terpotong. Sehubungan dengan itu,
aktivitas pencarian modal diistilahkan dengan ()اإلستقراض. Begitu pula dalam
bahasa latin kredit berarti “credere”, yang artinya percaya. Maksud dari percaya
bagi si pemberi kredit adalah ia percaya kepada penerima kredit bahwa kredit
yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si
penerima kredit merupakan penerimaan kepercayaan sehingga mempunyai
kewajiban untuk membayar sesuai jangka waktu.
َيرا فَ ُخذْ أَ َحدَنَا َمكَانَهُ ۖ ِإنَّا ن ََراكَ مِ نَ ْال ُمحْ ِسنِين ُ قَالُوا يَا أَيُّ َها ْالعَ ِز
َ يز ِإ َّن لَهُ أَبًا
ً ِش ْي ًخا َكب
a. Al-Qur'an
Dasar hukum Wakalah dari Al-Quran terdapat dalam Q.S. Al-Kahfi ayat 19, yaitu:
Artinya: "... Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota
dengan membawa uang perakmu ini,...."(Q.S. Al-Khafi: 19).
Selain itu terdapat juga dalam Q.S. An-Nisa ayat 35, yaitu:
Artinya: "... Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan,...."(Q.S. An-Nisa: 35).
b. Al-Hadis
Rasulullah SAW semasa hidupnya pernah memberikan kuasa kepada
sahabatnya, di antaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had
dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan dan
lain-lain yang kemudian dapat dijadikan landasan keabsahan wakalah. Salah satu
Hadis yang menjadi landasan wakalah yaitu:
Artinya: "Dan dari Sulaiman bin Yasar: Bahwa Nabi SAW, mengutus Abu Rafi’,
hamba yang pernah dimerdekakannya dan seorang laki-laki Anshar, lalu kedua
orang itu menikahkan Nabi dengan Maimunah binti Harits dan pada saat itu
(Nabi SAW) di Madinah sebelum keluar (ke mieqat Dzil Khulaifah)" (HR. Maliki
No.678, Kitab al-Muaththa').
c. Ijma Ulama
Menurut Antonio (2008), para ulama berpendapat dengan ijma atas
dibolehkannya wakalah. Mereka mensunahkan wakalah dengan alasan bahwa
wakalah termasuk jenis ta'awun atau tolong menolong atas dasar kebaikan dan
takwa.
Menurut jumhur ulama, rukun wakalah ada empat, yaitu 1) Orang yang
memberi kuasa (al-Muwakkil), 2) Orang yang diberi kuasa (al-Wakil), 3)
Perkara/hal yang dikuasakan (al-Taukil), dan 4) Pernyataan Kesepakatan (Ijab dan
Qabul). Adapun penjelasan ke-empat rukun wakalah tersebut adalah sebagai
berikut (Suhendi, 2002)
1. Penerima kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan yang
mengatur proses akad wakalah ini. Sehingga cakap hukum menjadi salah satu
syarat bagi pihak yang diwakilkan.
2. Seseorang yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan untuk
menjalankan amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa. ini berarti bahwa
ia tidak diwajibkan menjamin sesuatu yang di luar batas, kecuali atas
kesengajaannya.
1. Objek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual
beli, pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan
pihak yang memberikan kuasa.
2. Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang bersifat
ibadah badaniyah, seperti salat, dan boleh menguasakan sesuatu yang bersifat
ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya. Selain itu
hal-hal yang diwakilkan itu tidak ada campur tangan pihak yang diwakilkan.
3. Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga objek yang
akan diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar syari'ah Islam.
1. Pekerjaan/urusan itu dapat diwakilkan atau digantikan oleh orang lain. Oleh
karena itu, tidak sah untuk mewakilkan untuk mengerjakan ibadah seperti salat,
puasa, dan membaca alquran.
2. Pekerjaan itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad wakalah. Oleh karena itu,
tidak sah berwakil menjual sesuatu yang belum dimilikinya.
3. Pekerjaannya itu diketahui secara jelas. Maka tidak sah mewakilkan sesuatu
yang masih samar seperti "aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk
mengawini salah satu anakku".
4. Shigat, hendaknya berupa lafal yang menunjukkan arti mewakilkan yang
diiringi kerelaan dari muwakkil seperti "saya wakilkan atau serahkan
pekerjaan ini kepada kamu untuk mengerjakan pekerjaan ini" kemudian
diterima oleh wakil. Dalam shigat qabul si wakil tidak syaratkan artinya
seandainya si wakil tidak mengucapkan qabul tetap dianggap sah.
D. Macam-macam Wakalah
Menurut Ayub (2009), terdapat tiga jenis wakalah, yaitu sebagai berikut:
5. Rungguhan
A. Pengertian
Gadai dalam bahasa arab disebut dengan rahn. Secara etimologi berati
tetap, kekal, dan jaminan. Gadai istilah hukum positif di indonesia adalah apa
yang disebut barang jaminan, agunan, rungguhan, cagar atau cagaran, dan
tanggungan. Gadai merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi
agunan dari fasilitas pembiayaan yang diberikan.
Dalam terminologinya gadai mempunyai banyak pengertian dan
pemaknaan. Dalam kitab undang-undang hukum perdata, gadai diartikan sebagai
suatu hak yang di peroleh kreditor (si berpiutang) atas suatu barang bergerak,
yang diserahkan kepadanya oleh debitur (si berhutang), atau oleh seorang lain atas
namanya, dan yang memberikan kekuasaan pada kreditor itu untuk mengambil
pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada kreditur-kreditur
lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya
yang telah di keluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan
dan biayabiaya yang harus didahulukan. Azhar Basyir memaknai rahn (gadai)
sebagai perbuatan menjadikan suatu benda yang bernilai menurut pandangan
syara’ sebagai tanggungan uang, dimana adanya benda yang menjadi tanggungan
itu di seluruh atau sebagian utang dapat di terima.
Dalam hukum adat gadai di artikan sebagai menyerahkan tanah untuk
menerima sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan si penjual (penggadai)
tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.17
Ar-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam atas pinjaman yang
diterimanya. Barang yang di tahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan
demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil
kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan
hutang atau gadai.18 Gadai adalah jaminan atas barang yang dapat di jual sebagai
jaminan hutang, dan kelak nantinya dapat di jual untuk membayar hutang, jika
yang hutang tidak mampu membayar hutangnya karena kesulitan.19 Rahn Disebut
juga dengan al-habsu yang artinya menahan. sedangkan menurut syari’at islam
gadai berati menjadikan barang yang memiliki nilai menurut syari’at sebagai
jaminan hutang, hingga orang tersebut dibolehkan mengambil hutang atau
mengambil sebagian manfaat barang tersebut. Pemilik barang gadai disebut rahin
dan orang yang mengutangkan yaitu orang yang mengambil barang tersebut serta
menahannya disebut murtahin, sedangkan barang yang di gadaikan disebut rahn.
B. Dasar Hukum
a. Al Qur’an
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan dalam islam
berdasarkan al-Qur‟an dan sunnah Rasul. Dalam surat al-Baqarah ayat 283 Allah
berfirman :
Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan. Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak
percaya mempercayai.” (QS. Al-Baqarah : 283)
Para ulama fiqh sepakat bahwa ar-rahn boleh dilakukan dalam perjalanan dan dalam
keadaan hadir di tempat, asal barang jaminan itu bisa langsung dipegang/dikuasai secara
hukum oleh si piutang. Maksudnya, karena tidak semua barang jaminan bisa dipegang /
dikuasai oleh si pemberi piutang secara langsung, maka paling tidak ada semacam
pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status al-Marhun (menjadi jaminan
hutang). Misalnya, apabila barang jaminan itu berbentuk sebidang tanah, maka yang
dikuasai adalah surat jaminan tanah itu.
b. Hadist 24 Kemudian dalam sebuah HR. Bukhari, Kitab Ar-Rahn dikatakan bahwa :
Artinya : “Dari Aisyah, sesungguhnya Nabi saw membeli makanan secara tidak tunai dari
seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya”. (HR. Bukhari) Menurut
kesepakatan pakar fiqh, peristiwa Rasul SAW. merahn-kan baju besinya itu, adalah kasus
ar-rahn pertama dalam islam dan dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw. Berdasarkan ayat
dan hadis-hadis diatas, para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa akad ar-rahn itu
dibolehkan, karena banyak kemaslahatan yang terkandung di dalamnya dalam rangka
hubungan antar sesama manusia.
c. Ijma Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan ulama
ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan
saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh
karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini.
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya. Di
samping itu, berdasarkan fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 25/DSNMUI/III/2002,
tanggal 26 Juni 2002 dinyatakan bahwa, pinjaman 8 Ibnu Qudamah, Al-Mugni, (Riyadh:
Maktabah ar-Riyadh al-Haditsah), Jilid IV, h. 337. 25 dengan menggadaikan barang
sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan. Jumhur ulama berpendapat bahwa
rahn disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian
C. Rukun Dan Syarat
Rukun dan Syarat Akad Rahn:
a. Rukun Rahn Gadai memiliki empat rukun:
1. Rahin adalah orang yang memberikan gadai.
2. Murtahin adalah orang yang menerima gadai.
3. Marhun atau rahn adalah harta yang digadaikan untuk menjamin utang.
4. Marhun bih adalah utang.
1. Syarat Aqid
Syarat yang harus dipenuhi oleh aqid dalam gadai yaitu rahin dan murtahin
adalah ahliyah (kecakapan). Kecakapan menurut Hanafiah adalah kecakapan
untuk melakukan jual beli. Sahnya gadai, pelaku disyaratkan harus berakal dan
mumayyiz.
2. Syarat Shighat Menurut Hanafiah, shighat gadai tidak boleh digantungkan
dengan syarat, dan tidak disandarkan kepada masa yang akan datang. Hal ini
karena akad gadai menyerupai akad jual beli, dilihat dari aspek pelunasan utang.
Apabila akad gadai digantungkan dengan syarat atau disandarkan kepada masa
yang akan datang, maka akad akan fasid seperti halnya jual beli. Syafi‟iyah
berpendapat bahwa syarat gadai sama dengan syarat jual beli, karena gadai
merupakan akad Maliyah.
3. Syarat Marhun Para ulama sepakat bahwa syarat-syarat marhun sama dengan
syarat-syarat jual beli. Artinya, semua barang yang sah diperjualbelikan sah
pula digadaikan.
Secara rinci Hanafiah mengemukakan syarat-syarat merhun adalah sebagai
berikut :
a. Barang yang digadaikan bisa dijual, yakni barang tersebut harus ada pada
waktu akad dan mungkin untuk diserahkan. Apabila barangnya tidak ada
maka akad gadai tidak sah.
b. Barang yang digadaikan harus berupa maal (harta). Dengan demikian, tidak
sah hukumnya menggadaikan barang yang tidak bernilai harta.
c. Barang yang digadaikan harus haal mutaqawwin, yaitu barang yang boleh
diambil manfaatnya menurut syara‟, sehingga memungkinkan dapat
digunakan untuk melunasi utangnya.
d. Barang yang digadaikan harus diketahui (jelas), seperti halnya dalam jual
beli.
e. Barang tersebut dimiliki oleh rahin. Tidak sah menggadaikan barang milik
orang lain tanpa ijin pemiliknya.
f. Barang yang digadaikan harus kosong, yakni terlepas dari hak rahin. Tidak
sah menggadaikan pohon kurma yang ada buahnya tanpa menyertakan
buahnya itu.
g. Barang yang digadaikan harus sekaligus bersama-sama dengan pokoknya
(lainnya). Tidak sah menggadaikan buah-buahan saja tanpa disertai dengan
pohonnya, karena tidak mungkin menguasai buah-buahan tanpa menguasai
pohonnya.
h. Barang yang digadaikan harus terpisah dari hak milik orang lain, yakni
bukan milik bersama. Akan tetapi menurut Malikiyah, Syafi‟iyah dan
Hanabilah, barang milik bersama boleh digadaikan.
Berdasarkan fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN)- MUI No. 25/ DSN-
MUI/III/2002, tanggal 22 Juni 2002, bahwa semua barang dapat diterima sebagai agunan
pinjaman. Akan tetapi semua pegadaian syariah di Pekalongan mempunyai pengkhususan
pada barang-barang yang tidak dapat diterima sebagai marhun, yaitu :
4. Syarat Marhun Bih Marhun bih adalah suatu hak yang karenanya barang gadaian
diberikan sebagai jaminan kepada rahin. Menurut Hanafiah, marhun bih harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Marhun bih harus berupa hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya, yaitu
rahin, karena tidak perlu memberikan jaminan tanpa ada barang yang
dijaminnya.
b. Pelunasan utang memungkinkan untuk diambil dari marhun bih. Apabila tidak
memungkinkan pembayaran utang dari marhun bih, maka rahn hukumnya tidak
sah.
c. Hak marhun bih harus jelas (ma‟lum), tidak boleh majhul (samar/tidak jelas).
Daftar pustaka
https://www.ocbcnisp.com/id/article/2021/07/15/hiwalah-
adalah#:~:text=Pengertian%20Hiwalah,-
Hiwalah%20adalah%20Secara&text=Konsep%20hiwalah%20adalah%20m
emindahkan%20utang,akad%20hiwalah%20atau%20kata%2Dkata
https://katadata.co.id/intan/berita/620b5eaa65b8e/pengertian-wakalah-
beserta-syarat-dan-ketentuan-pembatalannya
https://kamus.tokopedia.com/q/qardh
https://www.bacaanmadani.com/2018/01/pengertian-dhaman-dasar-hukum-
syarat.html?m=1
https://almanhaj.or.id/6999-dhaman-atau-kafalah.html
https://www.bing.com/search?q=dasar+hukum+wakalah&cvid=4f12adac65
4a4b4f8dd75add165f091a&aqs=edge.0.0.15749j0j1&pglt=43&FORM=AN
NTA1&PC=ASTS&ntref=1
https://www.kajianpustaka.com/2020/10/al-wakalah.html
https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/10501