Anda di halaman 1dari 4

1.

Pendapat Yang Memperbolehkan Muzraah

Pendapat Jumhur ulama diantaranya Imam Malik, para ulama Syafiiyyah, Abu Yusuf dan
Muhammad bin Hasan (dua murid Imam Abu Hanifah), Imam Hanbali dan Dawud AdDzhiry. Mereka menyatakan bahwa akad muzraah diperbolehkan dalam Islam[4].
Pendapat mereka didasarkan pada al-Quran, sunnah, Ijma dan dalil aqli.
Dalil al-Quran
Surah al-Muzammil: 20





Artinya : dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia
Allah
Surat al-Zukhruf : 32





Artinya : Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan
antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan
sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan.
Kedua ayat diatas menerangkan kepada kita bahwa Allah memberikan keluasan dan
kebebasan kepada umat-Nya untuk bisa mencari rahmat-Nya dan karunia-Nya untuk bisa
tetap bertahan hidup di muka bumi.
Hadits
Rasulullah SAW bersabda:
) :
(

Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah Saw (barangsiapa yang
memiliki tanah maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada saudaranya jika
ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu. (Hadits Riwayat Muslim)


Artinya:Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah
ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya. (Hadits Riwayat Bukhari)

(

)


Artinya : Diriwayatkan oleh Ibnu Umar R.A. sesungguhnya Rasulullah Saw. Melakukan
bisnis atau perdagangan dengan penduduk Khaibar untuk digarap dengan imbalan
pembagian hasil berupa buah-buahan atau tanaman (HR. Bukhari).

Ijma
Banyak sekali riwayat yang menerangkan bahwa para sahabat telah melakukan praktek
muzraah dan tidak ada dari mereka yang mengingkari kebolehannya. Tidak adanya
pengingkaran terhadap diperbolehkannya muzraah dan praktek yang mereka lakukan
dianggap sebagai ijma.[5]
Dalil Aqli
Muzraah merupakan suatu bentuk akad kerjasama yang mensinergikan antara harta dan
pekerjaan, maka hal ini diperbolehkan sebagaimana diperbolehkannya mudarabah untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Sering kali kita temukan seseorang memiliki harta (lahan)
tapi tidak memiliki keterampilan khusus dalam bercocok tanam ataupun sebaliknya. Di sini
Islam memberikan solusi terbaik untuk kedua pihak agar bisa bersinergi dan bekerjasama
sehingga keuntungannya pun bisa dirasakan oleh kedua pihak. Simbiosis mutualisme antara
pemilik tanah dan penggarap ini akan menjadikan produktivitas di bidang pertanian dan
perkebunan semakin meningkat.
1. 2.

Pendapat Yang Melarang Muzraah

Abu Hanifah, Zafar dan Imam Syafii berpendapat bahwa muzraah tidak diperbolehkan.
Abu Hanifah dan Zafar mengatakan bahwa muzraah itu fsidah (rusak) atau dengan kata
lain muzraah dengan pembagian 1/3, 1/4 atau semisalnya tidaklah dibenarkan.
Imam Syafii sendiri juga melarang prakterk muzraah, tetapi ia diperbolehkan ketika
didahului oleh musqh apabila memang dibutuhkan dengan syarat penggarap adalah orang
yang sama. Pendapat yang Ashah menurut ulama Syafiiyyah juga mensyaratkan adanya
kesinambungan kedua pihak dalam kedua akad (musqh dan Muzraah) yang mereka
langsungkan tanpa adanya jeda waktu. Akad muzraah sendiri tidak diperbolehkan
mendahului akad musqh karena akad muzraah adalah tabi, sebagaimana kaidah
mengatakan bahwa tabi tidak boleh mandahului mathbunya. Adapun melangsungkan akad
mukhbarah setelah musqh tidak diperbolehkan menurut ulama Syafiiyyah karena tidak
adanya dalil yang memperbolehkannya.
Para ulama yang melarang akad muzraah menggunakan dalil dari hadis dan dalil aqli.
Hadist


()
Dari Tsabit ibnu Dhahhak bahwasanya Rasulullah Saw. melarang muzarah (H.R.
Muslim)

:
:
,

: : : ,

,

Diriwayatkan oleh Rfi bin Khudaij R.A., ia berkata : Suatu ketika ketika kami sedang
mengadakan pengolahan lahan dengan bagi hasil tertentu (mukhbarah), kemudian
datanglah kepadanya sebagian dari keluarga pamannya dan mengatakan : Sesungguhnya
Rasulullah Saw. melarang akan sesuatu perkara yang sebenarnya bermanfaat bagi kami, dan
sungguh ketaatan atas Allah Swt. Dan Rasul-Nya adalah lebih bermanfaat bagi kami. Lalu
kami mengatakan: dan apakah perkara itu? Ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda : Barang
siapa yang memiliki lahan hendaklah ia menanaminya atau memberikannya kepada
saudaranya untuk ditanami. Dan janganlah ia menyewakan sepertiganya, atau
seperempatnya, dna tidak juga dengan makanan. (H.R. Muslim dan Abu Dawud)

Dari jalan Rafi bin Khadij, ia berkata: Kami kebanyakan pemilik tanah di Madinah
melakukan muzraah , kami menyewakan tanah, satu bagian daripadanya ditentukan untuk
pemilik tanah maka kadang-kadang si pemilik tanah itu ditimpa suatu musibah sedang tanah
yang lain selamat, dan kadang-kadang tanah yang lain itu ditimpa suatu musibah, sedang
dia selamat, oleh karenanya kami dilarang. (H.R. Bukhari).
:




: .
,

: .
Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi bin Khadij, dia berkata, pamanku telah menceritakan
kepadaku bahwasanya mereka menyewakan tanah pada zaman Nabi dengan apa yang
tumbuh dari saluran-saluran air atau sesuatu yang telah dikecualikan pemilik tanah,
kemudian Nabi shollallohu ,alaihi wa sallam melarang hal itu. Aku bertanya kepada Rafi,
bagaimana bila dengan dinar dan dirham?, maka Rafi menjawab, tidak mengapa menyewa
tanah dengan dinar dan dirham.(HR Bukhari).

:

Dari Katsir Ibnu Farqad dari Nafi berkisah, bahwasanya Abdullah Ibnu Umar dulu biasa
menyewakan tanah, kemudian ia mendengar Rafi ibnu Khadij meriwayatkan, bahwa
Rasulullah saw telah melarang hal itu. Maka ia datang kepada Rafi bersamaku dan

bertanya mengenai hal tersebut. Jawab Rafi: Benar, Rasulullah saw telah melarang
seseorang menyewakan sawah. Sejak itu Abdullah tidak lagi mau menyewakannya.(Hadits
Riwayat: An-Nasai)

Anda mungkin juga menyukai