Anda di halaman 1dari 116

TAUHID

MiUK perpustakaan U‫؛‬N SUNAN


KAUJAGA

Diterbitkan Oleh :
Pokja Akademik UIN Sunan
Yogyakarta
2005
Naskah Buku Ajar
Matakuliah
:Tauhid
Bobot : 2 sks
Penyusun : 1. Drs. Musthofa
2. Drs. H.M. Kholili,
M.:
3. Karwadi, M.Ag

Sambutan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Pilar utama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam adalah
pengembangan pendidikan dan pengajaran, keilmuan, dan pengabdian
kepada masyarakat yang didukung dengan sumberdaya dan manajemen
yang baik. Hal itu diperlukan untuk mengantarkan transformasi UIN
Sunan Kalijaga yang diberi mandat untuk mengembangkan “ilmu-ilmu
sekuler” dan “ilmu-ilmu keislaman” seeara terpadu dapat diwujudkan.
Mandat besar kelembagaan tersebut telah diformulasikan menjadi visi
UIN Sunan Kalijaga yaitu unggul dan terkemuka dalam pemaduan dan
pengembangan studi keislaman dan keilmuan bagi peradaban. Untuk
menuju tereapainya visi itu, UIN telah melakukan berbagai program
pengembangan, baik fisik, kelembagaan, manajemen, maupun keilmuan
serta pendidikan dan pengajaran. Dalam pengembangan keilmuan, UIN
Sunan Kalijaga telah menempuh jalan sebagai universitas Islam yang
konsisten mengembangkan paradigma keilmuan “integrasi-
interkoneksi”.
Paradigma keilmuan “integrasi-interkoneksi” sebagai kerangka
dasar akademik merupakan konsep filosofis yang kemudian
dikembangkan secara sistematis dalam berbagai konsep dan perangkat
akademik yang lebih operasional, yaitu dalam bentuk Kompetensi
Program Studi, Kurikulum, Silabus, Rencana Program Kegiatan
Perkuliahan Semester (RPKPS), dan Sumber Belajar dalam bentuk
Buku Ajar. Buku-buku ajar yang diterbitkan UIN Sunan Kalijaga
melalui Pokja Akademik merupakan salah satu
sumber belajar dari Matakuliah Inti Umum Institusional Umum yang
meliputi 13 matakuliah yang terdiri dari 13 buku ajar, yaitu:
1. Al-Qur’an
2. Al-Hadis
3. Tauhid
4. Fiqh & Ushul Fiqh
5. Akhlak/Tasawuf
6. Bahasa Arab
7. Bahasa Inggris
8. Bahasa Indonesia
9. Pancasila & Kewarganegaraan
10. Sejarah Kebudayaan Islam
11. Pengantar Studi Islam
12. Pilsafat Ilmu
13. Islam dan Budaya Lokal
Buku-buku ajar tersebut disusun dengan melibatkan tim dosen
lintas fakultas yang masing-masing buku ajar ditulis oleh tiga orang
penulis sesuai dengan bidang keahliannya. Proses penyusunan buku
diawali dengan kegiatan workshop untuk mengembangkan wawasan
dan orientasi penulisan bahan ajar, kemudian dilanjutkan dengan
penyusunan silabus sebagai acuan ' materi dalam buku bahan
ajar, dan penulisan draft
buku ajar.
Sebagai sumber belajar, buku-buku tersebut memiliki spesifikasi
khusus yang berbeda dengan buku-buku daras lain pada umumnya.
Aspek yang membedakan buku tersebut dari buku pada umumnya
adalah paradigma keilmuan yang dijadikan kerahgka dasar, yaitu
paradigma integrasi-interkoneksi, dan sisi lain, ialah tampilannya yang
dilengkapi dengan kompetensi dasar, peta konsep, glosarium, tugas, dan
daftar buku acuan, sehingga sangat membantu pembaca dalam mengkaji
konsep-konsep yang termuat di dalamnya. Kehadiran buku-buku
tersebut pada awal mulanya dimaksudkan untuk kalangan terbatas UIN
Sunan Kalijaga, tetapi dengan kekhususan tampilan, kiranya buku ajar
tersebut layak untuk disebarkan secara luas.
Memang disadari bahwa buku ajar tersebut belum sempurna,
namun sebagai karya kreatif-inovatif, sudah sepantasnya jika diberi
apresiasi yang tinggi. Buku-buku tersebut tidak hanya berfungsi sebagai
sumber belajar sesuai kajian matakuliah masing-masing, tetapi juga
tidak mustahil menjadi model penulisan bahan ajar untuk matakuliah
lainnya. Sem©ga buku ajar ini turut mengisi hazanah intelektual Islam,
mendorong para dosen untuk terus berkarya kreatif dan meningkatkan
efektifitas pembelajaran di
UIN Sunan Kalijaga.

Yogyakarta, 12 Nopember 2005 Rektor

Prof. Dr. H. M Amin Abdullah


NIP.150216071
Pengantar Penerbit Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga

Paradigma keilmuan integrasi-interkoneksi yang dikembangkan
UIN Sunan Kalijaga tidak terbatas pada formulasi konsep filosofis
maupun kurikulumnya, tetapi dikembangkan secara terus-menerus dan
meliputi berbagai aspek, terutama berkaitan dengan pengembangan
pembelajaran. UIN Sunan Kalijaga melalui Pokja Akademik
mengembangkan Kompetensi Program Studi, Kurikulum, Silabus, dan
Rencana Kegiatan Program Perkuliahan Semester (RPKPS), serta
penulisan bahan ajar yang berbentuk buku ajar. Penulisan buku ajar ini
mengacu pada kurikulum UIN yang didasarkan atas paradigma
keilmuan integrasi- interkoneksi dengan format yang berbeda dengan
buku ajar pada umumnya.
Penulisan buku ini meliputi buku ajar untuk Matakuliah Inti
Umum dan Matakuliah Institusional Umum y'ang terdiri dari 13
matakuliah, yaitu: Al-Qur’an, Al-Hadis, Tauhid, Fiqh/Ushul Fiqh,
Akhlak/Tasawuf, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia,
Pancasila & Kewarganegaraan, Sejarah Kebudayaan Islam, Pengantar
Studi Islam, Filsafat Ilmu, dan Islam dan Budaya Lokal. Matakuliah Inti
Umu m dan Matakuliah Institusional Umum merupakan matakuliah
yang harus dipelajari oleh setiap mahasiswa UIN Sunan Kalijaga untuk
semua program studi. Keberadaan matakuliah tersebut, di samping
merupakan matakuliah dasar juga memiliki jangkauan yang luas,
sehingga dipilih sebagai prioritas untuk dikembangkan bahan ajarnya.
Buku-buku ajar tersebut disusun dengan melibatkan tim dosen
lintas fakultas sesuai dengan bidang keahlian masing-masing yang
dilakukan melalui proses dan tahap kegiatan yang diawali
dengan workshop untuk mengembangkan wawasan dan orientasi
penulisan bahan ajar, kemudian penyusunan silabus m^‫؟‬ing-ma.‫؟‬ing
matakuliah, penulisan draft buku, editing dan penerbitan. Proses dan
persiapan penulisan buku ini telah dilakukan Pokja Akademik dengan
sungguh-sungguh, tetapi sebagai ‫ﺌﺎاط‬-‫ أﻟﻠ‬karya permulaan, disadari bahwa
buku tersebut masih terdapat kekurangan. Karena itu, kritik maupun
saran untuk penyempurnaan buku-buku tersebut senantiasa terbuka.
Kami berharap kehadiran buku-buku tersebut dapat mendukung
e‫؛‬ekti£itas pembelajaran di UIN Sunan Kalijaga pada khususnya, dan
bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya.

Yogyakarta, 12 Nopember 2005


Ketua Pokja Akademik

Tasman Hamami, MA NIP. 150226626


Halaman Judul
Sambutan
Pengantar

BABI
PENGERTIAN ILMU TAUHID
A Kompetensi Dasar
B. Indikator
C. Isu Utama

BAB II
TAUHID DZAT, SIFAT, RUBUBIYYAH,
DAN ULUHIYYAH ...........................................25
A Kompetensi Dasar 25

B. Indikator ....................... 25
G Isu Utama ..................................................... 25

BAB III
HAL-HAL YANG MENGOTORI AQIDAH DAN
HUBUNGAN ANTARA IMAN, ISLAM, DAN IHSAN
A Kompetensi Dasar ..................................................................... 33
B. Indikator................................................... .......................... 33
C Isu Utama ................................................... .......................... 33

BAB IV
KONSEP “TAQDIR” DALAM PENINGKATAN
MUTU SUMBER DAYA MANUSIA DAN
HUBUNGAN ANTARA akal dan WAHYU
........................................ 39
A Kompetensi Dasar
B Indikator 39
C Isu Utama 39
BAB V
AQIDAH POKOK DAN CABANG SERTA FUNGSI TAUHID BAGI
KEHIDUPAN MANUSIA 61
A Kompetensi Dasar 61
B. Indikator
61
C. Peta
Konsep 61
D.
Pembaliasan Materi 62
E. Tugas-
Tugas 80
E Evaluasi 81
G. Buku-Buku Rujukan dan Bahan Pengayaan...................................... 82

BAB VI
ALIRAN-ALIRAN TEOLOGI ISLAM PERIODE KLASIK DAN MODERN
83
A Kompetensi Dasar 83
B. Indikator
Hasil Belajar 83
C. Materi
Pokok 83
E. Glosarium 106‫ا‬
E Tugas-Tugas 107
G. Evaluasi 108
H Daftar Pustaka 108
BAB I
PENGERTIAN ILMU TAUHID

A. Kompetensi Dasar
Mahasiswa mampu memahami pengertian Tauhid, baik secara etimologi dan
terminologi, tujuan dari Tauhid, dan konsep dasar iman, kufur, nifaq, dan syirik

B. Indikator
Mahasiswa dapat:
1• Menjelaskan mengenai pengertian Tauhid baik secara bahasa maupun
istilah
2. Menjelaskan mengenai Perbedaan antara Tauhid, Ilmu Kalam, Teologi
Islam, dan Usuluddin
3. Menjelaskan tujuan dari kajian Tauhid
4. Menjelaskan mengenai konsep iman, kufur, nifaq, dan syirik
5. Men-tauhid-kan Allah dan meningkatkan keimanan serta ketakwaan
kepadaNya

C. Isu Utama
1. Apa pengertian Ilmu Tauhid ?
2. Mengapa harus ada ilmu Tauhid ?
3• Apakah manusia cenderung tidak men-tauhid-kan Allah sehingga harus ada
Ilmu Tauhid ?
4. Apakah Tauhid hanya terkait dengan Tuhan, ataukah juga terkait dengan
yang lain ?

Tauhid ~ 1
1. Pengertian “Tauhid” secara etimologis dan terminologis
Secara etimologis, “tauhid berasal dari kata ""‫ﺗﻮﺣﯿﺪا‬-‫ ﯾﻮﺣﺪ‬-‫وﺣﺪ‬
yang berarti “menjadikannya esa”.1 Men-tauhid-kan Allah ('tauchidullah) berarti
menjadikan, mengakui, dan meyakini bahwa Allah itu Esa. Sedangkan Ilmu
Tauhid berarti ilmu yang membahas mengenai bagaimana cara mengetahui,
menjadikan, mengakui, dan meyakini bahwa Allah itu

Secara terminologis, banyak ulama yang telah membahas dan ' mengena
Ilmu Tauhid antaranya adalah :
a. M Yusuf Musa mendefinisikan Ilmu Tauhid sebagai ilmu yang
membicarakan tentang kepercayaan tentang wujud Tuhan Yang Esa, Yang
tidak ada sekutu bagiNya, baik zat, sifat maupun perbuatanNya, Yang
mengutus utusan-utusan untuk memberi petunjuk kepada alam dan manusia
kepada jalan kebaikan. Yang meminta pertanggung jawaban sese-orang di
akhirat dan memberikan balasan kepadanya atas apa yang telah
diperbuatnya.2
b. Muhammad Abduh menyatakan bahwa Ilmu Tauhid adalah ilmu yang
membicarakan tentang wujud Tuhan, sifat-sifat yang mesti ada padaNya,
sifat-sifat yang boleh ada padaNya, sifat-sifat yang tidak boleh ada padaNya,
membicarakan tentang Rasul-rasul untuk menetapkan keutusan mereka, dan
sifat-sifat yeng boleh dipertautkan kepada mereka, dan sifat-sifat yang tidak
mungkin terdapat pada mereka.2
c. Muhammad binjasar al-Tharabulisiy menyatakan bahwa ilmu Tauhid adalah
Ilmu yang membahas tentang kepercayaan atau akidah agama Islam dengan
dalil-dalil yang meyakinkan
d. Ibrahim bin Sa’dullah dalam kitabnya “idlach al Dalilfi Qilba’i CJjujaji Ahli al- ٠

Ta’thir menjelaskan bahwa Ilmu Tauhid adalah ilmu yang bertujuan untuk

1
Muhammad ‫ لء؛ﻻ‬Abdul Wahab, Taistr al-’A^zizi al-ChamidjiSjarchi Kitab al-Tauchid, Riyadl:
Maktabah al-Riyadl al-Chaditsah, tt., Juz 1, hal. 17.
2
Muhammad ‘Abduh, Risalah al-Tauchtd\ Mesir: Dar al-Kutub al-’Arabiy, 1332 H, hal. 5.
4
Chusain bin Muhammad bin Jasar al-Tharabulisiy, Al-Chushiusunu al-Chamidiyyah, Jombang:
Abdul Aziz Masyhuri, tt,, hal.2.

2~ Tauhid
mengetahui Allah, mengimaniNya, mengetahui apa yang wajib ada pada /\llah
dan apa yang mustahil ada padaNya, dan segala sesuatu yang terkait dengan
rukun iman yang enam.5
Dari berbagai definisi di atas, dapatlah diambil pengertian bahwa Ilmu
Tauhid adalah ilmu yang membahas mengenai wujud Allah dan segala yang
bertalian denganNya berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan, agar supaya
dengan ilmu tersebut manusia dapat men-tuhid-kan Allah.
Dalam istilah Arab, ada beberapa padanan yang biasa digunakan untuk:
menyebut Ilmu Tauhid. Di antaranya adalah Ilmu al Kalam, yakni ilmu yang
membahas tentang dzat dan sifat Allah, serta segala hal yang mungkin
berdasarkan ajaran Islam (Al-Quran dan Hadits) dalam kerangka logika dan
filsafat. ،Dinamakan demikian karena fokus pemt)icaraannya tentang firman
Tuhan (kalam Allah), apakah 'hal itu azali atau non azali. Persoalan “Kalam
Allah” pernah menjadi perdebatan di kalangan para ulama pad ،‫؛‬abad pertama
hijriah, sehingga ilmu yang dihasilkannya dinamakan Ilmu Kalam.7 Persoalan
dzat dan sifat -Aliah tersebut dibicarakan berdasarkan dalil-dalil akal pikiran
\‘aqli) guna membuktikan kepercayaan-kepercayaan agama dengan logika dan
filsafat, sehingga dapat ditetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan (,Agama
Islam) dengan bukti-bukti yang yakin. Untuk ini, maka ilmu kalam dikatakan
sebagai metode berfikir {tnanhaj al-tafkir•), dan juga biasa disebut mantiq agama.8
Sedangkan Ibnu Khaldun menyatakan bahwa Ilmu Kalam adalah ilmu yang
berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan
menggunakan

Tauhid ~3
dalil-dalil fikiran dan berisi bantahan terbadap orang-orang yang menyeleweng
dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan ahlu Sunnah.9
Ilmu Tauhid juga disebut sebagai Ilmu al Aqaid karena fokus
pembicaraannya adalah tentang kepercayaan atau keimanan atau credos.10
Kepercayaan (I’tiqad) atau keimanan adalah merupakan perasaan dan kesadaran
yang ada pada diri manusia yang menjadi pendorong bagi tindakan dan amal
perbuatannya, penentu niat dan maksud perbuatannya, serta penggerak bagi
perbuatan manusia.”
Kepercayaan aqidah merupakan sesuatu hal yang paling dasar bagi agama
Islam. Oleh karena itu, ilmu yang mempelajari tentang dasar- dasar kepercayaan -
Agama Islam disebut Ilmu Ushuluddtn. Dikatakan demikian karena Ilmu
Ushuluddin membahas tentang dasar-dasar kepercayaan agama, dengan
menggunakan dasar-dasar nalar yang bisa Mengantarkan manusia unt uk
membangun aqidahnya di dalam akal p'ikirannya. Karena fondasi dasar agama itu
terletak pada aqidah (kepercayaan), dan fondasi aqidah itu terletak pada akal atau
nalar.12
Hal pertama dan paling dasar harus dipercayai dalam agama adalah Tuhan.
Dalam istilah modern, ilmu yang membahas mengenai Tuhan disebut teologi,
yang dalam Islam disebut Teologi Islam. “Theology” berasal dari kata “tbeos”
yang berarti “Tuhan” dan “logof yang berarti “ilmu” (science, study, discourse).
Jadi “theology” berarti “ilmu tentang Tuhan” atau “ilmu Ketuhanan”. Teologi
membahas tentang ajaran-ajaran dasar yang harus diyakini dan dipercayai dan suatu
agama, yakni Tuhan.

’ Ibnu Khaldun, Muqaddimatu lbtii Khaldun, Beirut: Dar al Qalam, 1984, juz 1, hal. 88.
٠H‫؛‬arun
‘ Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta:
Universitas In،lonesia, 1978, hal. Ix.
" Hasan Hanafi, ٩op cit., hal. 69.
12
Ibid., hal. 63. Hasan Hanifi lebih lanjut menjelaskan bahwa “akal” menurut para ulama
mencakup segala sesuatu, baik yang bisa dirasakan ‫؛‬dipikirkan, diperkirakan, dan termasuk di
dalamnya pengetahuan yang bersifat teoritis maupun praktis, pengetahuan ilahiah (naql) maupun
berbagai kesaksian sejarah.

4~ Tauhid
Sedangkan Teologi islam adalah ilmu yang membahas tentang Tuhan (Allah)
sebagai hal yang paling dasar dan utama harus dipercayai. Oleh karenanya ilmu
ini juga b‫؛‬asa disebut ilmu Aqa’id13
Berbagai penamaan yang berbeda tersebut di atas disebabkan oleh titik tolak
dan fokus pembahasan dalam setiap kecenderungan dan penemaan ilmu tersebut
yang juga berbeda, Dinamakan Ilmu Kalam karena berangkat dari perbincangan
mengenai Kalam Allah, apakah Kalam Allah Qodim atau Hadits. Dalam konteks
Ilmu Kalam ini, persoalan Tuhan dan berbagai hal yang bertalian denganNya,
baik Dzat, Sifat, ataupun Af’alNya, dapat diperbincangkan dan diperdebatkan,
sehingga bisa ditemukan dan ditetapkan keyakinan yang berdasakan
kebenaranlogika, filsafat, dan waliyu. Dinamakan Ilmu Aqaid karena ilmu ini
bertitik tolak dari dan memfokuskan pembicaraannya mengenai kepercayaan
tentang Tuhan, dan hal ini merupakan dasar bagi agama, sehingga dinamakan
Ilmu Ushuluddtn.
Ilmu ini dinamakan “tauhid” karena asal dari tauhid adalah meyaldni bahwa
Allah itu Esa, yang nada sekutu bagiNya, dan men-tauhid-kan Allah adalah
merupakan bagian terpenting dari agama Islam, yakni menetapkan ke-Esa-an
Allah, baik dzat, sifat, maupun
Tauhid juga merupakan kewajiban pertama ya،،g diperintahkan oleh Allah
kepada hambaNya,15 dan merupakan awal dan akhir dari agama Islam, serta
merupakan inti lahir maupun l)afin dari agama Islam.16 lebih lanjut Ali bin Abi
Thalib menjelaskan bahwa hal paling pertama dalam agama Islam adalah
mengetahui (ma’rifat) Allah, dan sempurna-sempurnanya ma’rifat kepada Allah
adalah membenarkan dan meyakiniNya (tashdiq),

13
A. Hanafi, op. cit hal.
14
Muhammad ‘Abduh, ibid.
15Chafidz Achmad Chukmiy, Ma’arij al Qabul hi Syarchi Silmi al-Wushulila llmi al Ushul, Mekkah:
Dar ibnu al-Qayyim, 1990, hal 98.
Taimiyyah, Minhaj a! Sunnab a•I Nabaiviyyah, Arabia: Muassasayu Qathabah, 1406 H, juz 5, hal
349.

Tauhid ~5
dan tashdiq yang paling sempurna adalah meng-Esa-kan Allah (tauchid) dengan
ikhlas.17
Perintah untuk men-tauhid-kan Allah dan penyataan bahwa Allah Esa dalam
al Quran begitu banyak, di antaranya adalah: (1:‫( ﻗﻞ ھﻮﷲ أﺣﺪ )اﻷﺧﻼص‬Katakanlah:
“Dia-lah Allah, Yang Maha Esa)(al-Baqarah:163)
‫ﻗﻞ أﺗﻌﺒﺪون ﻣﻦ دون ﷲ ﻣﺎﻻﯨﻤﻠﻚ ﻟﻜﻢ ﺿﺮا وﻻﻧﻔﻌﺎ وﷲ ھﻮ اﻟﺴﻤﯨﻊ اﻟﻌﻠﯨﻢ اﻟﻤﺎ ﺋﺔ‬76
‫(واﻟﮭﻜﻢ اﻟﮫ واﺣﺪ ﻻاﻟﮫ اﻻھﻮاﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﯨﻢ‬Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang),( ‫وﻣﺎ ﻣﻦ اﻟﮫ‬
( 73 :‫( اﻻ اﻟﮫ واﺣﺪ)اﻟﻤﺎءدة‬tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa),
(Katakanlah: “Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang
ddak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfa'at?”
Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui), dan masih banyak
lagi.

Mengapa manusia diperintahkan oleh Allah agar supaya men-tauhid- kan


Allah? Padahal waktu manusia diciptakan oleh Allah dan diberi ruh, saat masih di
dalam kandungan ibu, ia ditanya oleh Allah , ‫أﻟﺴﺖ ﺑﺮﺑﻜﻢ ﻗﺎ ﻟﻮا ﺑﻠﻰ ﺷﮭﺪﻧﺎ‬
(“Bukankah Aku (Allah) ini adalah Tuhan kamu?”, Mereka menjawab “Benar,
Engkau adalah Tuhan kami. Kami menjadi‫ ؛‬saksi akan hal ini”). Namun ketika
manusia telah dilahirkan di dunia, dan berada pada lingkungan tertentu, ia banyak
dipengaruhi oleh lingkungannya, sehingga hal ini menjadikan manusia lebih
banyak lupa kepada Allah ketimbang ingat kepadaNya. Untuk ini.

17
Abu Bakar al Chusniy al Dimasqiy, «،٠Syibhi man Syabbaha wa Tamarrada wa Nusiba D^alika ila
a! Sayyid aljalilAchmad bin Chambal, Mesir: Al Maktabah al Azhariyyah ‫ن‬1al Turats, ,.،،juz ,١hal. 49.

6~ Tauhid
diturunkannya Al-Quran dan Al-Hadits yang berisi aturan-aturan bagi kehidupan
manusia di dunia, merupakan petunjuk dan ' yang harus diperhatikan dan
dipahami oleh manusia dalam rangka men- tauhid-kan Allah.
Jika kita memperhatikan istilah “tauhid” yang memiliki makna
“menjadikannya esa”, dan jika hal ini dikaitkan dengan objeknya yaitu manusia
yang diperintahkan oleh Allah agar meng-Esa-kanNya, maka dalam perintah
“men-tauhid-kan Allah” tersebut terkandung sebuah pemahaman bahwa manusia
memiliki kccenderungan untuk tidak meng- Esa-kan Allah, sehingga perlu
perintah untuk men-tauhid-kan Allah. Kecenderungan manusia untuk tidak meng-
Esa-kan Allah ini, misalnya, bisa dipengaruhi oleh adanya kekuatan-kekuatan di
alam semesta yang sebenarnya sangat terbatas, yang banyak mempengaruhi dan
menjadikan manusia lupa kepada Allah. Mereka lupa bahwa semua kekuatan
yang ada di alam semesta ini diberikan oleh Allah dalam kadar yang sangat
terbatas, dan hanya kekuatan Allah lah yang tidak terbatas. Ketika manusia
mengakui adanya kekuatan di alam semesta ini, dan hanya berhenti di situ, serta
ia lupa bahwa semua kekuatan tersebut dari Allah, maka manusia dalam konteks
ini bisa dikatakan tidak men-tauhid-kan Allah Manusia dikatakan men-tauhid-kan
Allah apabila ia bisa mengetahui dan menyatukan bahwa semua kekuatan yang
ada di alam semesta ini bersumber dari Allah. Kekuatan segala sesuatu sangat
terbatas, dan semua itu pun dari Allah, sedangkan kekuatan Allah adalah mutlak
tak terbatas dan merupakan sumber bagi segala kekuatan yang ada di alam
semesta. Hal inilah yang ditunjukkan oleh Al-Quran dan Al-Hadits. Tanpa adanya
petunjuk dan rambu-rambu berupa a1-Quran manpun Al-Hadits, manusia
eenderung lupa dan tidak men-tauhid-kan Allah meskipun manusia diberi akal
oleh Allah. Karena akal manusia memiliki keterbatasan, dan jika tidak didukung
oleh petunjuk dari Allah, manusia kesulitan untuk bisa men-tauhid-kan Allah.

Tauhid ~7
Sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib, untuk bisa men-
tauhid-kan Allah, manusia pertama-tama harus mengetahui Allah
(ma’rifatullah). Dengan perngatahuannya tersebut manusia kemudian bisa
membenarkan dan meyakiniNya (tashdiquhu). Kemudian dengan dasar
pengetahuan yang dimiliki manusia tentang wujud Allah dan tashdiq
terhadapNya, maka manusia meng-Esa-kan Allah (tauchidillah). Ini berarti
bahwa untuk bisa men-tauhid-kan Allah, manusia harus memiliki ilmu atau
pengetahuan tentang Allah. Tanpa ilmu tersebut tidak mungkin manusia bisa
mengenal Allah, dan tidak mungkin bisa meyakini dan membenarkannya
sehingga tidak mungkin pula bisa men-tauhid-kan Allah.
Hasan Hanafi manyatakan bahwa “tauhid” bisa sebagai “ ‘ilmu”
(pengetahuan, teori) dan juga bisa sebagai “ ‘amat’ (tindakan). Ilmu Tauhid ,
{‘ilmu al-tauchid) adalah dasar teoritis bagi adanya tindakan tauhid (٠amal al-
tauchid), sedangkan tindakan tauhid (‘amal al-tauchid) adalah penyatuan perasaan
(tauchid al-syu’ui) yang ada di dalam hati, kemudian penyatuan sosial tauchid al-
mujtama), kemudian penyatuan alam semesta (tauchid al-’alarn) dalam satu sistem,
yaitu sistem wahyu (nizham al-wahyi)}18 Ini berarti bahwa untuk bisa men-tauhid-
kan Allah, manusia harus berusaha memahami dan mengetahui - dengan
kemampuan akal yang telah diberikan oleh Allah kepadanya - tanda-tanda
kekuasaan Allah, baik yang berupa ayat-ayat Qur’aniyyah maupun ayat-ayat
Kauniyyah. Ayat- ayat Qur’aniyyah adalah merupakan sistem hukum dan aturan
Allah yang tertulis, yakni Al-Qur’an, sedangkan Alam semesta adalah merupakan
realisasi dari semua hukum dan aturan Allah yang terkandung di dala Al- Quran
dalam bentuk struktur alam semesta. $emua tatanan yang ada di alam semesta.
Semua berada dalam satu sistem hukum Allah, yakni sistem hukum wahyu
(nizham alwahji). Untuk ini, guna mencapai kepada tauhid

18
Hasan hanafi‫ ا‬op cit, hal.,‫ا‬67.

8~ Tauhid
yang sesungguhnya, manusia harus berusaha menyatukan rasa (tauchid al syu’ur)
yang ada dalam dirinya guna memahami dan mengetahui kesatuan sosiologis
(tauchid al mujtama') dan kesatuan kosmologis (tauchid al ‘alam) bahwa semua itu
berada dalam satu sistem hukum, yaitu hukum Allah, sehingga dengan demikian
manusia bisa men-tauhid-kan Allah dengan sesungguhnya.
Meski demikian, bukan berarti bahwa ketika manusia tidak mampu
menyatukan rasa yang ada di dalam hatinya untuk memahami kesatuan sosiologis
dan kosmologis tidak bisa men-tauhid-kan Allah. Akan tetapi sekecil apapun rasa
yang dimiliki manusia sehingga bisa mengetahui dan memahami keagungan
Allah, baik dalam aspek sosiologis ataupun kosmologis, manusia bisa men-
tauhid-kan Allah. Semakin dalam dan banyak pengetahuan manusia mengenai
keagungan Allah dalam kedua aspek tersebut, maka semakin tinggi nilainya
dalam men-tauhid-kan Allah.

2. Objek kajian Ilmu Tauhid


Objek kajian Ilmu Tauhid adalah Allah dan segala yang terkait denganNya,
baik dzat, si£at, maupun perbuatan Allah, segala yang wajib ada padaNya dan
segala yang mustahil adan padaNya, dan segala hal yang dictptakan oleh Allah..

3• Tujuan mempelajari Ilmu Tauhid


Tujuan dari mempelajari Ilmu Tauhid adalah agar supaya dengan ilmu
tersebut manusia bisa mengatahui Allah (ma’rifatullah) dengan segala hal yang
wajib ada padaNya dan )'ang mustahil ada padaNya, kemudian bisa
membenarkanNya (tashdiquhu), dan kemudian meng-Esa-kanNya (tauchidullah).

Tauhid ~9
4• Beberapa konsep dasar mengenai Iman, Kufr, Nifaq, dan Syirk
[nian (al-iman). Secara bahasa kata “iman” berakar dari bahasa Arab "‫”أﻣﻦ‬
(amuna) yang asalnya dari kata “‫( ”اﻷﻣﻦ‬al-amnu). Kata tersebut menurunkan‫” اﻷﻣﺎﻧﺔ‬
(al-amanah) dan “‫{ ”اﻷﯾﻤﺎن‬al-iman). Kata ‫( ”اﻟﻤﻦ‬aman, sentosa) lawan katanya
adalah "‫("اﻟﺨﻮف‬takut, khawatir, tidak aman), kata ‫( ”اﻷﻣﺎﻧﺔ‬dipercaya, jujur) lawan
katanya adalah ‫( ”اﻟﺨﯿﺎ ﻧﺔ‬khianat, tidak jujur, tidak dapat d‫؛‬percaya), sedangkan
‫اﻷﯾﻤﺎن‬،،
kata ” (percaya) lawan katanya adalah “‫( ”اﻟﻜﻔﺮ‬kafir, tidak percaya). Kata “”
sendiri memiliki makna‫ ” اﻟﺘﺼﺪﯾﻖ‬atau “tashdiq” (membenarkan) dan lawan
katanya adalah “‫ ”اﺗﻜﺬﯾﺐ‬atau “takdzib” (mendustakan).19
Sedangkan secara istilah, ada banyak definisi yang ditawarkan oleh para
ulama mengenai iman. Di antaranya, di dalam kamus “ta’rifdf’ dikatakan bahwa
iman berarti “membenarkan dalam hati, meyakini dalam "hati, dan mengucapkan
atau mengikrarkannya dengan lisan”.20 Sedangkan ibnu Chajar al ‘Asqalaniy
dalam kitab “Fatch al Bariy bi Syarchi Shachih al Buchariy” menyatakan bahwa
iman secara bahasa adalah membenarkan {tashdiq), sedangkan secara syar’iy
adalah membenarkan rasul dengan segala apa yang datang dari Tuhannya‫أ‬
Dalam buku “Thabaqat al Chanabilah” karya Muchammad bin abi Ya’la
Abi Chusain disebutkan bahwa Iman adalah membenarkan apa yang telah di
gambarkan atau dideskripsikan oleh Allah tentang diriNya, atau tentang rasul-
rasulNya, dengan tidak perlu pembahasan, tidak perlu dibantah dan tidak perlu
dipersoalkan, tidak ada penyerupaan, Perumpamaan, serta tidak perlu ditafsirkan
dan dita’wilkan.22

Ibnu Manzur, Lisan al ‘Arab, Beirut: Dar al Shadir, ٢ ،., juz. 13, hal. 21
''19
20
Ali bin Muchammad Al-Jurjaniy, op. cit., juz 1, hal. 60.
21
Ibnu Chajar al ‘Asqalaniy, Fatch al Bariy bi Syarchi Shachih a! Buchariy, Saudi Arabia: Maktabah
al Salafiyyah wa Maktabatuha, tt., bab mengenai iman.....
23
Muchammad bin abi Ya’la Abi Chusain, Thabaqat al Chanabilah, Beirut: Dar al Ma’rifah, juz 2,
hal. 208.

10~~ Tauhid
Persoalan iman, merupakan persoalan yang telah banyak menimbulkan
perbedaan pemahaman di kalangan sahabat nabi dan para ulama. Apakah dalam
beriman seseorang cukup dengan membenarkan saja, atau juga harus diikrarkan
dengan lisan, atau harus direalisasikan dalam perbuatan? Abu Ja’far al-Razi
menyatakan bahwa iman adalah membenarkan ('tashdtq), sama seperti
pendapatnya sahabat Ibnu ‘Abbas. Mu’ammar al-Raziy menyatakan bahwa iman
adalah perbuatan (al-’amai), sedangkan menurut Ibnu Anas, iman adalah takut
(khasyyah). Sementara Ibnu jarir mengatakan bahwa yang namanya iman adalah
orang-orang yang percaya terhadap yang gaib, baik secara lisan, keyakinan, dan
perbuatannya, dan termasuk di dalamnya adalah rasa takut kepada Allah dan
membenarkan secara lisan maupun perbuatan. Iman menurutnya merupakan kata-
kata paten bagi iman kepada allah kitab-kitabnya, rasul- rasulnya, dengan cara
membenarkan secara lisan dan perbuatan. Memang iman secara bahasa membenarkan
saja, akan tetapi secara syar’i adalah meyakini (al-i’tiqad), mengucapkan dengan
lisan (al-qaui) dan melakukan dengan perbuatan (al-’amai).23
Persoalan iman juga menjadi perbedaan pendapat di kalangan kelompok
aliran atau golongan dalam Islam. Golongan salaf berpendapat bahwa iman
adalah meyakini dalam had, mengucapkan dengan lisan dan menjalankan rukun-
rukunnya. Mereka berpendapat bahwa merealisasikan iman.dalam bentuk
perbuatan merupakan syarat bagi sempurnanya iman. Golongan Murji’ah
berpendapat bahwa ،aman itu cukup meyakini dan mengucapkan dalam lisan
saja. Golongan Karomijjah berpendapat bahwa iman cukup dengan mengucapkan
secara lisan. Sedangkan golongan Mu’tadilah berpendapat bahwa iman adalah
melakukan dengan perbuatan, mengikrarkan dengan lisan, dan meyakini dalam
hati. Perbedaan antara golongan Salaf dan Mu’ta^ilah berada pada
23
Abu Chamid Muchammad al-Ghazaliy, Qowa’id al-’Aqaid., Beiiut: Alam al-Kutuh, 1985, hal. 249.

Tauhid ~ 11
persoalan bahwa jika golongan Salaf berpendapat bahwa merealisasikan iman
dalam perbuatan dianggap sebagai penyempurna iman maka golomgan Mu’ta^ilah
berpendapat bahwa ha‫ ؛‬itu sebagai syarat sahnya iman.24
Al Asy’ari dari golongan Asy’ariyyah menyatakan bahwa iman adalah
pengakuan dalam hati tentang ke-Esaan Tuhan dan tentang kebenaran rasul-
rasulNya serta segala apa yang mereka bawa. Mengucapkannya dengan lisan dan
mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang dari iman. Lebih lanjut ia
mengatakan bahwa orang yang berdosa besar, jika mati tanpa taubat, nasibnya
tergantung Tuhan. Mungkin diampuni dan mungkin pula tidak diampuni dosa-
dosanya. Orang yang berdosa mungkin akan disiksa terlebih dahulu sesuai dosa
yang diperbuat, baru kemudian dimasukkan ke surga, dan berarti tidak kekal di
neraka.25
Sedangkan imam Al-M^uridiy dari golongan Al Maturidiyah berpendapat
bahwa iman adalah kepercayaan dalam hati yang dinyatakan dengan lisan.
Kepatuhan pada perintah-perintah Tuhan merupakan akibat dari kepercayaan atau
iman. Orang yang meninggalkan kepatuhan kepada Tuhan tidak menjadi kafir.
Lebih lanjut ia berpendapat bahwa iman merupakan jaminan bagi seseorang
untuk masuk surga dan kepatuhan kepada Tuhan lah yang menentukan derajat
yang akan diperoleh seseorang di dalam surga. Sementara Al Bazdawi
berpendapat bahwa iman adalah kunci untuk masuk surga, sedangkan amal akan
menentukan tingkatan yang dimasuki seseorang dalam surga.
Menurut Ibnu Chajar al-’Asqalaniy, jika seseorang sudah mengikrarkan diri
secara lisan bahwa ia beriman, maka ia tidak bisa dihukumi sebagai orang kafir,
kecuali jika ada perbuatan-perbuatannya yang menunjukkan kepada kekafiran,
seperti menyembah berhala dan
24
Ibnu Chajar a‫‘ ؛‬Asqalaniy, op. tit.
25
Harun Nasution, op. tit., hal. 28.
26
27
Ibid hal. 29-30.
Ibid.

12~ Tauhid
semacamnya. Iman seseorang, menurut Imam Syafi’i, imam Ibnu Chambal, dan
sebagaian besar ulama Mesir pada saat itu, bisa bertambah dan berkurang
('ya^zdu wa yanqushu). Iman seseorang bisa bertambah dengan ketaatan, dan
bisa berkurang dengan melakukan kemaksiatan.28 Hal ini karena kataatan atau
perbuatan baik akan bisa menghapuskan keburukan, dan perbuatan jahat atau
maksiat bisa menghapus kebaikan, termasuk di dalamnya adalah kebaikan iman.
Iman sendiri sebenarnya, menurut sahabat Ibnu Mas'ud, adalah yakin (al-
yaqin), dan yakin merupakan asal bagi iman. Jika seseorang telah memiliki iman
di dalam hatinya, katanya lebih lanjut, maka hal itu akan mampu menggerakkan
seluruh anggota badannya untuk bertemu dengan Allah dengan melakukan
perbuatan-perbuatan baik (al-a'mal al- Shalichah).29 Dengan demikian, jika asal
iman adalah yakin, dan yakin adalah dasar bagi iman, maka orang bisa yakin dan
beriman apabila ia bisa mengetahui dan memahami apa yang diyakini dan
diimaninya. Artinya, seseorang harus memiliki ilmu dan pengetahuan tentang
sesuatu yang diyakini dan diimaninya. Tanpa ilmu dan pengetahuan tentang
sesuatu, seseorang tidak akan bisa meyakini dan mengimani sesuatu tersebut.
Bila demikian, maka iman memiliki kaitan erat dengan ilmu, bahkan ilmu lah
yang bisa menjad^an seseorang beriman, dan ilmu mendahului adanya yakin dan
iman pada seseorang yang beriman.
Para ulama ada yang membagi iman menjadi 5 macam. Pertama, iman yang
sudah paten (al-iman al-mathbu), yaitu imannya para malaikat; kedua, ‫؛‬man yang
selalu terjaga (al-iman al-ma’shun), yaitu imannya para nabi; ketiga, iman yang
diterima (al-iman al-maqb{il), yaitu imannya para orang- orang mukmin; keempat,
iman yang terhenti (al-iman al-mauquf), yaitu imannya orang-orang yang berbuat
bid’ah; dan kelima, iman yang ditolak (al-iman al-mardud), yaitu imannya orang-
orang munafiq.30

28
IbnuChajar al ‘Asqalaniy, op. cit.
29
Ibid
30
Ali bin Muchammad Al-Jurjaniy, op. cit., juz 1, hal. 60 .

Tauhid ~13
Kafir (al-kufr). Secara bahasa, kafir (al-kufr•) berarti tertutup (al-
taghthijyah).31Kafir (al-kufr) juga berarti terhalang atau tertutup (al-juchud),
sehingga orang-orang yang kafir juga disebut (al-jachidun).32 Al-Qurthubiy juga
menyatakan bahwa asal makna kafir (al-kufr) adalah tertutup (al- sitru wa al-
taghthiyah). Di dalam syair dikatakan ‫ﻓﻲ ﻟﯿﻠﺔ ﻛﻔﺮ اﻟﻨﺠﻮم ﻏﻤﺎ ﻣﮭﺎ‬
(pada suatu malam awan menutupi bintang-bintang). Oleh karenanya “malam”
('al-lail) dalam tradisi Arab kadang juga disebut “kafir” ('kafir) karena kegelapan
malam itu telah menutup segala sesuatu sehingga tidak nampak oleh mata.33
Sebagaimana disebutkan dalam bagian iman, bahwa “kafir” adalah lawan
dari “iman”. Jika dikatakan bahwa iman adalah mengetahui Allah (ma’rifatullah),
maka kafir berarti tidak mengetahui Allah (al-jahlu bihi). Jika dikatakan bahwa
iman adalah taat (al-tha’ai), maka kafir berarti maksiat ('al-ma’shijyab).34 Dengan
demikian, secara istilah, orang kafir (al- kafir) adalah orang yang tidak bisa
mengetahui dan memahami Allah dan segala yang datang dari ،Allah, sehingga
tidak bisa percaya kepadaNya, dan cenderung melakukan maksiat kepada Allah.
Sebagian ulama membagi kategori kafir menjadi empat macam. Pertama,
kafir ingkar (kufru al-inkar), yakni orang yang tertutup hati dan lisannya sehingga
tidak dapat mengetahui dan memahami tauhid; kedua, Kafir Juchud ('kufru al-
jucbud), yakni orang yang hatinya mengetahui dan memahami (Allah), tetapi tidak
mau mengikrarkan dengan lisannya, seperti kafirnya Iblis dan Umayyah bin Abi
Shilat; ketiga, kafir yang bersikap menentang (kufru al-mu’anidah), yakni orang
yang mengetahui Allah dengan hatinya dan mau menyatakan dengan lisannya,
tetapi ia tidak mau mengakui agama Allah karena rasa dengki dan menentang
terhadap agama Allah, seperti kafirnya Abu Jahal; keempat, kafir nifak
31
Ibnu Chajar al ‘Asqalaniy, op. cit., bab mengenai kafir .....
32
Ibnu Manzur, op. cit., juz 5, hal. 144.
33
Al Qu^biy, Al ]ami’ li Ahkam al Qur’an, Cairo: Dar al Sya’bi, 1372 H., juz 1, hal. 183.
34
Abdul Mun’im Hifniy, Al Mu’jam alFalsajiy, Kairo: Dar al Syarqiyyah, 1990, hal. 278.

14~ Tauhid
(kujru al-nifaq), yakni orang yang meyatakan iman dengan lisannya tetapi hatinya
35
kafir dan tidak percaya.
Di dalam Al-Quran dan Al-Hadits dikenal banyak sekali bentuk perbuatan kufur.
Di antaranya adalah sebagaimana firman Allah berikut:

83:‫ﺛﻢ ﯾﻨﻜﺮوﻧﮭﺎ وأﻛﺜﺮ ھﻢ اﻟﻜﺎ ﻓﺮون اﻟﻨﺤﻞ‬ ‫ﯾﻌﺮﻓﻮن ﻧﻌﻤﺔ ا‬


،
Artinya : Mereka mengetahui ni mat Allah, kemudian mereka mengingkarinya
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.

87: ‫وﻻ ﺗﯿﺌﺴﻮ ﻣﻦ روح ﷲ اﻧﮫ ﻻﯾﯿﺌﺲ ﻣﻦ روح ﷲ اﻻ اﻟﻘﻮم اﻟﻜﺎ ﻓﺮون ﯾﻮﺳﻒ‬
Artinya : Jangan lah kamu semua berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”.

47 : ‫وﻣﺎ ﯾﺠﺤﺪ ﺑﺎﯾﺎ ﺗﻨﺎ اﻻ اﻟﻜﺎ ﻓﺮون اﻟﻌﻨﻜﺒﻮت‬


Artinya : Dan tidak adalah orang yang mengingkari ayat-ayat Kami
selain orang-orang

44 : ‫و ﻣﻦ ﻟﻢ ﯾﺤﻜﻢ ﺑﻤﺎ اﻧﺰل ﷲ ﻓﺄ وﻟﺌﻚ ھﻢ اﻟﻜﺎ ﻓﺮون اﻟﻤﺎ ﺋﺪة‬


Artinya : Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir .
Konsep kafir juga banyak kita temukan dalam sabda Rasulullah
sebagaimana berikut :

35
Ibnu Manzur, op cit., juz 5, hal. 144-145

Tauhid ~ 15
‫ﻗﺎل ﻋﺒﺪﷲ ان اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠﻢ ﻗﺎل ﺳﺒﺎب اﻟﻤﺴﻠﻢ ﻓﺴﻮق وﻗﺘﺎﻟﮫ ﻛﻔﺮ‬

‫)رواه اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ واﻟﺘﺮﻣﺬى واﻟﻨﺴﺎءى واﺑﻦ ﻣﺎﺟﮫ واﺣﻤﺪ‬


Artinya:
‘Abdullah berkata bahwa Nabi SAW bersabda:
memaki orang Islam adalah perbuatan fasik, sedangkang
membunuh orang Islam adalah perbuatan kafir (HR.
Bukhori, Muslim, Turmudzi, Nasa’I, Ibnu Majah, dan
Ahmad)
‫ﻋﻦ ا ﺑﻲ ھﺮﯾﺮة ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﷺ ﻗﺎل ﻻﺗﺮﻏﺒﻮا ﻋﻦ اﺑﺎﺋﻜﻢ ﻓﻤﻦ رﻏﺐ ﻋﻦ اﺑﯿﮫ ﻓﮭﻮ ﻛﻔﺮ‬
(‫)رواه اﻟﺒﺨﺎرى‬
Artinya:
dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau
bersabda: janganlah engkau membenci bapakmu, karena
barang siapa yang membenci bapaknya, maka ia adalah
kafir (HR. Bukhori

‫ﻋﻦ اﺑﻲ ھﺮﯾﺮة ﻗﺎ ل رﺳﻮل ﷲ ﷺ اﺛﻨﺘﺎن ﻓﻲ اﻟﻨﺎس ھﻤﺎ ﺑﮭﻢ ﻛﻔﺮ اﻟﻄﻌﻦ ﻓﻲ‬

(‫اﻟﻨﺴﺐ واﻟﻨﯿﺎ ﺣﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﯿﺖ ) رواه وﻣﺴﻠﻢ واﻟﺘﺮﻣﺬى واﺣﻤﺪ‬


Artinya : dari Abu Hurairah,
ia berkata bahwa Nabi SAW
dua hal yang jika ada pada manusia, bersabda dari Abu
kafir, yakni memalsu maka mereka itu termasuk orang
atau berbohong dalam hal nasab (keturunan) dan
menangis tersedu-sedu sehingga mencucurkan airmata di
atas mayat (HR
Muslim, Turmudzi, dan Ahmad)

16~ Tauhid
‫ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﷲ ﺑﻨﺒﺮﯾﺪة ﻋﻦ أﺑﯿﮫ ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ اﻟﮫ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ان اﻟﻌﮭﺪ اﻟﺬي ﺑﯿﻨﻨﺎ‬

(‫وﺑﯿﻨﮭﻢ اﻟﺼﻼة ﻓﻤﻦ ﺗﺮﻛﮭﺎ ﻓﻘﺪﻛﻔﺮ )رواه ا ﻟﻨﺴﺎءى وا ﻟﺘﺮﻣﺬى واﺑﻦ ﻣﺎﺟﮫ واﺣﻤﺪ‬
Artinya : dari Abdillah bin Baridah, ia berkata bahwa Nabi SAW
bersabda : perjanjian antara kami (Allah dan Rasulullah)
dengan kamu semua adalah sholat. Barang siapa yang meninggalkan
sholat, maka ia telah kafir. (HR. Nasa’i, Muslim, Turmudzi, Ibnu
Majah dan Ahmad).
Dari berbagai pengertian iman dan kafir, juga bentuk-bentuk kafir
sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Quran dan Al-Hadits di atas, maka
kita dapat mengambil sebuah pengertian bahwa “iman” atau “kafir”
adalah “sebuah nama atau klaim atau sebutan yang menunjuk kepada
aktifitas atau perbuatan manusia”. Ketika seseorang itu terbuka hatinya
sehingga dapat mengetahui, memahami, dan kemudian bisa
membenarkan terhadap sesuatu itu, maka pada saat itu disebut
“beriman”. Tetap sebaliknya, jika seseorang itu tertutup hatinya
sehingga tidak dapat mengetahui, tidak dapat memahami, dan
kemudian tidak bisa membenarkan terhadap sesuam itu, maka pada
saat itu ia disebut “kafir”. Karena begitu banyak hal atau sesuatu yang
bisa terkait dengan manusia, dan adakalanya manusia bisa megetahui
dan memahami, serta membenarkannya, tetapi ada kalanya juga
manusia tidak dapat mengetahui, tidak dapat memahami, serta tidak
bisa membenarkan semua hal itu, maka “iman” dan “kafir” begitu
banyak, dan tidak hanya satu. Semuanya itu tergantung kepada
seberapa banyak manusia dapat mengetahui atau tidak dapat
mengetahui, dapat memehami atau tidak

Tauhtd ~17
dapat memahami, dapat membenarkan atau tidak dapat membenarkan terhadap
segala hal yang ada.
Semakin banyak hal yang ada yang bisa diketahui, difahami, dan dibenarkan
oleh manusia, maka semakin besar dan kuat iman seseorang. Sebaliknya, semakin
sediet hal yang ada yang bisa‫ ا‬diketahui, difahami, dan dibenarkan oleh manusia,
maka semakin kecil dan semakin lemah iman seseorang. Hal utama dan pertama
yang harus diketahui, difahami, dan dibenarkan oleh manusia adalah Allah.
Karena ‫؛‬man kepada Allah merupakan akidah pokok yang harus ada pada
manusia yang mengaku dirinya muslim. Barangkali sekema iman dan kafir bisa
diilustrasikan sebagaimana berikut:
1 AUah
2 Malaikat
3 Kitab Rasul
4 Qadar Hari
5 kiamat Dzat
3 Allah Sifat
7 Allah Alam
Semesta ‫ﻟﻠﻚ‬
9

Gb. Skema Iman

Skema di atas menggambarkan bahwa setiap relung sudut hati manusia


yang terbuka, yang dapat mengetahui, memahami obyek yang berada di
sampingnya, yaitu Ailah, malaikat, kitab, rasul, qadar, kiamat, Dzat Allah,
Sifat Allah, atau alam semesta dan yang lain-latn, maka manusia tersebut
disebut “beriman”.

18~ Tauhid
1. Allah
2. Malaikat
3. Kitab
4. Rasul
5. Qadar
6. Hari kiamat
Tertutup, tidak
7. Dzat Allah
mengetahui, dan tidak
8. Sifat Allah
membenarkan
9. Alam
Semesta dll

Gb. Skema Kafir

Skema di atas menggambarkan bahwa setiap relung sudut hati manusia


yang tidak terbuka, yang tidak dapat mengetahui, tidak dapat memahami
obyek yang berada di sampingnya, yaitu Allah, malaikat, kitab, rasul, qadar,
kiamat, Dzat Allah, Sifat Allah, atau alam semesta dan yang lain- lain, maka
manusia tersebut disebut “kafir”.
Demikianlah gambaran iman dan kafir seseorang yang sangat tergantung
kepada pengetahuan yang ia miliki. Artinya, seseorang akan bisa
membenarkan dan mengimani sesuatu apabila ia memiliki pengetahuan atau
ilmu tentang sesuatu tersebut. Tanpa ilmu seseorang tidak akan bisa beriman.
Fasik (al-fisq). Secara bahasa, fasik (al-fisq) berarti keluar ('al-khuruj).
Sedangkan secara istilah atau syara’ adalaH keluar dari ketaatannya kepada
Allah dan rasulNya (al-khuruj ‘an thaatillah iva rusulihi).36
(
Al-Kisa’i menyatakan bahwa fasik al-fusuq) adalah orang yang orang yang
keluar dari agama Allah dan cenderung melakukan maksiat. Ini seperti
fasiknya Iblis danjin terhadap perintah Allah, sebagaimana firman AJlah
berikut :

‘36Ibnu Chajar al ‘Asqaalaniy, bab mengenai fasik..

Tauhid—19
‫واذﻗﻠﻨﺎ ﻟﻠﻤﻼﺋﻜﺔاﺳﺠﺪواﻻدﻣﻔﺴﺠﺪوا اﻻدم ﻓﺴﺠﺪوااﻻاﺑﻠﯿﺲ ﻛﺎن ﻣﻦ اﻟﺠﻦ ﻓﻔﺴﻖ ﻋﻦ آﻣﺮ رﺑﮫ أﻓﺘﺘﺨﺬوﻧﮫ‬
5 ‫وذرﯾﺘﮫ أوﻟﯿﺎء ﻣﻦ دوﻧﻲ ھﻢ ﻟﻜﻢ ﻋﺪو ﺑﺌﺲ ﻟﻠﻈﺎﻟﻤﯿﻦ ﺑﺪﻻ اﻟﻜﮭﻒ‬

Artinya : Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat:


“Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia
adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya, ? Patutkah
kamu mengambil dia dan mranan-turunannya sebagai pemimpin selain
daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu
sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim
Kata “fasaqo” pada ayat tersbut, dai'am kamus lisan al-’Arab, berarti berpaling
dari ketaatannya kepada Allah atau keluar dari ketaatannya kepada Allah Dan
perbuatan fasik: merupakan salah satu perbuatan y'ang dilarang oleh Allah,
sebagaimana dalam firmanNya berikut:

‫واﻋﻠﻤﻮاان ﻓﯿﻜﻢ رﺳﻮل ﷲ ﻟﻮ ﯾﻄﯿﻌﻜﻢ ﻓﻲ ﻛﺜﯿﺮ ﻣﻦ اﻻﻣﺮﻟﻌﻨﺘﻢ وﻟﻜﻦ ﷲ ﺣﺐ اﻟﯿﻜﻢ اﻻﯾﻤﺎن وزﯾﻨﮫ ﻓﻲ‬
7: ‫ﯾﻘﻠﻮ ﺑﻜﻢ وﻛﺮه اﻟﯿﻜﻢ اﻟﻜﻔﺮ واﻟﻔﺴﻮق واﻟﻌﺼﯿﺎن آﻟﺌﻚ ھﻢ اﻟﺮاﺷﺪون اﻟﺤﺠﺮات‬

Rasulullah. Kalau Artinya : Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada
benar-benarlah kamu ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan
kamu cinta kepada akan mendapat kesusahan tetapi Allah menjadikan
keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam

37
Ibnu Manzur, op. cit., juz ,١٠hal. 308

20~ Tauhid
hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan
kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.
Munafik ('al-nifaq). Secara bahasa, munafik (,al-nifaq) adalah berbeda antara
apa yang ada di dalam batin dengan apa yang ada di luarnya (mukhalafatu al-
zhahir /i al-bathin).38 Sedangkan secara istilah, munafik adalab orang yang
mengaku dirinya percaya di dalam hati, tetapi sebenarnya hatinya tidak
percaya atau kafir. 3 9 Mereka menampakkan seakan dirinya percaya kepada
Allah, dan menyembunyikan kekafirannya.40
Di dalam Al-Quran disebutkan bahwa ciri-ciri orang munafik adalah suka
menyuruh orang berbuat mungkar, suka melarang orang yang berbuat ma‘ruf,
tidak suka bersedekah, dan mereka cenderung lupa kepada Allah. Hal ini
sebagaimana firman Allah berikut :

‫اﻟﻨﺄﻓﺘﻮن واﻟﻤﺂﻓﻨﺎت ﺑﻌﻀﮭﻢ ﻣﻦ ﺑﻌﺾ ﯾﺄﻣﺮون ﺑﺎﻟﻤﻨﻜﺮ وﯾﻨﮭﻮن ﻋﻦ اﻟﻤﻌﺮوف وﯾﻘﺒﻀﻮن‬


67 :‫اﯾﺪﯾﮭﻢ ﻧﺴﻮا ﷲ ﻓﻨﺴﯿﮭﻢ ان اﻟﻤﻨﺎ ﻓﻘﯿﻦ ھﻢ اﻟﻔﺎ ﺳﻘﻮن اﻟﺘﻮﺑﺔ‬
Artinya : Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan
sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang munkar dan
melarang berbuat yang ma‘ruf dan mereka menggenggamkan tangannya.
Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.
Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang f a s i k -
Sedangkan di dalam Al-Hadits ciri-ciri orang munafik adalah suka berkata
dusta, suka mengingkari janji, dan suka berkhianat. Hal ini sebagaimana sabda
Rasulullah berikut :

38
Ibnu Chajar al ‘Asqalaniy, bab mengenai munafik.....
‘Ali bin Muchammad Al-Jurjaniy, op. cit., juz 1, hal. 298. ‫؛‬
39 40

Qurtubiy, op. cit., , juz 8, hal. 27.

Tauhid ~21
‫ﻋﻦ اﺑﻲ ھﺮﯾﺮة ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﷺ ﻗﺎل آﯾﺔاﻟﻤﻨﺎﻓﻖ ﺛﻼث‬

‫اذاﺣﺪث ﻛﺬب واذا وﻋﺪ أﺧﻠﻒ واذا اؤﺗﻤﻦ ﺧﺎن )رواه ااﺑﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬
‫واﻟﺘﺮﻣﺬى واﻟﻨﺴﺎئ واﺣﻤﺪ‬
Artinya : dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda : tanda- tanda
orang munafik ada 3 (tiga), yakni jika berkata dusta, jika berjanji tidak
menepati, dan jika dipercaya malah berkhianat. (HR. Bukhori, Muslim,
Turmudzi, Nasa’i, dan Ahmad)
Berdasarkan ayat dan Hadits di atas, orang-orang munafik termasuk juga
dalam kategori orang-orang fasik. Hal ini karena mereka tidak taat kepada
Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat.
Syirtk (,al-syirk). Secara bahasa, syirik ('al-syirk) berarti mencampur-
adukkan antara dua hal ('mukhalathah baina al-syarikain). Menserikatkan atau
menyekutukan Allah (asyraka billah) berarti menjadikan sesuatu selain Allah
sebagai sekutu bagi kekuasaan Allah.41‫؛‬
Syirk adalah meyakini adanya banyak Tuhan (ta’addud al-alihafi). Para
ulama membagi syirik menj'،tdi beberapa macam. Di antaranya adalah
pembagian syirik berdasarkan sejarah kecenderungan kelompok masyarakat
dalam beragama, sehingga syirik dibedakan menjadi:pertama, syirik bebas
(syirku al-istiqlal), yakni syiriknya kaum Tsanawiy yang menetapkan atau
mengakui adanya dua Tuhan yang saling terpisah, yaitu Tuhan yang
menguasai kebaikan dan Tuhan yang menguasai keburukan; kedua, syirik
bagian (syirku al-tab’Ml), yakni syiriknya orang-orang Nasrani yang
menganggap Isa sebagai anak Allah; ketiga, syirik takrib (syirku al- taqriB),
yakni beribadah kepada selain Allah utuk mendekatkan diri kepada

41
Ibnu Manzur, op. cit., juz 10, hal. 448-449.

22~ Tauhid
Allah, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah pada masa
Awal; keempat, syirik yang ikut-ikutan (syirku al-taqlid), yakni beribadah kepada
selain Allah karena ikut-ikutan terhadap orang lain, sebagaimana syiriknya
orang-orangjahiliyah pada masa akhir; kelima, syirik sebab (.syirku al-asbab),
yakni syiriknya para filosof yang menganggap bahwa kekuatan alam semesta
ini adalah wajib wujud ('wajibulwujub) dan tidak boleh tidak ada ('adam)\
keenam, syirk tujuan (syirku al-aghradt), yakni berbuat dan beranal untuk tujuan
selain Allah.42
Abu Bakar Aceh membagi Syirk dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu syirk
akbar., syirk sighar, dan syirk khafi. Syirk Akbar ialah syirk yang tidak akan pernah
diampuni oleh Tuhan, seperti menyembah, berdo’a, berkehendak dan
mempunyai tujuan selain Allah. Syirk Asghar adalah semua amalan dan
perbuatan yang dilakukan karena suatu maksud bukan semata-mata karena
Allah, seperti ibadah yang dilakukan karena riak, ujub, dan takabur. Syirk Khafi
adalah syirk yang hmpir tidak kelihatan dan terasa oleh manusia karena
halusnya dan tidak terasanya.43 Pembagian syirk ke dalam beberapa bentuk
tersebut mengikuti pendapat para ulama terdahulu yang didasarkan kepada Al-
Quran dan Al-Hadits, serta pendapat sahabat nabi dan tabiin.
Dalam ajaran Islam, Allah adalah Maha dalam segalanya. Maha Esa, Maha
Kuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Perkasa, dan sebagainya. Allah
memiliki kekuasaan dalam menciptakan alam dan seisinya tanpa
membutuhkan bantuan yang lain. Allah juga memiliki kekuatan yang tak
terbatas, dan tidak ada kekuatan lain yang bisa menandingi dan menyamai
kekuatanNya. Seluruh kekuatan yang ada di alam semesta ini semuanya
terbatas, dan itu pun berasal dari dan diberikan oleh Allah. Untuk ini, orang
‫'؛‬ang menganggap ada kekuatan lain yang mampu menandingi kekuatan Allah,
maka orang itu dianggap menserikatkan atau menyekutukan Allah dan bisa
dikatakan “musyrik”.

42
Abdul Mun’im Hifniy, op. cit., hal. 158.
43
Aboebakar Aceh, Sejarah Filsafat Is/am, Solo: Ramadhan1991‫؛‬, . hal. 124-125.

Tauhid ~23
BAB II
TAUHID DZAT, SIFAT, RUBUBIYYAH, DAN
ULUHIYYAH
A. Kompetensi Dasar
Mahasiswa mampu memahami mengenai Tauhid Dzat, Sifat, Rububiyyah,
dan Uluhiyyah

B. Indikator
Mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan mengenai Dzat Allah dan pengertian Tauhid Dzat
2. Menjelaskan mengenai Sifat Allah dan pengertian Tauhid Sifat
3. Menjelaskan mengenai pengertian Tauhid Rububiyyah
4. Menjelaskan mengenai Tauhid Uluhiyyah

C. Isu Utama
1. Apa itu Dzat Allah dan pengertian Tauhid Dzat?
2. Apa itu Sifat Allah dan pengertian Tauhid Sifat?
3. Apakah Dzat Allah yang mutlak itu bisa kita ketahui, sedangkan kita
manusia adalah tidak mutlak dan terbatas?
4. Apakah Allah memiliki Dzat dan Sifat, ataukah hanya memiliki Dzat
saja?
5. Mengapa harus ada Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah?

1. Tauhid Dzat, Sifat, Rububiyyah, dan Uluhiyyah


Tauhid adalah merupakan aqidah dan keimanan, yang dengannya manusia
bisa mendapatkan kebahagiaan. Para ulama terdahulu sepakat bahwa Ilmu
Tauhid dan Ilmu Kalam adalah ilmu tentang aqidah agama dengan
menggunakan argumen-argumen yang meyakinkan yang mampu
mengantarkan manusia kepada sahnya aqidah.‫ ؛‬Dengan argumen-
, ' Hasan hanafi, Min al ‘Aqidah ila ٥/ Tsaurah, Mesir: Maktabah Madpoli, 1988,Jilid 1hal. 72 ■ '
‫ء‬. Ibnu Khaldun, Muqaddimatu Ibni Khaldun, Beirut: Dar a‫ ؛‬Qalam, 1984, juz ١, hal. 461.

Tauhid ~25
argumen yang meyakinkan berdasarkan bukti-bukti kekuasaan Allah, baik yang
bersifat (^ur’an^ah maupun Kauniyyah, manusia diharapkan bisa men-tauhid-kan
Allah. Ini merupakan aqidah utama dan pertama yang harus ada pada setiap orang
Islam, karenanya aqidah ‫ ﻧﻤﻦ‬biasa disebut sebagai aqidah pokok.
Sebagaimana dikatakan oleh Hasan Hanafi, Ilmu Tauhid dan Ilmu Kalam
adalah sama-sama membahas mengenai aqidah, yakni akidah Tauhid. Tema pokok
dan objek kajian dari ilmu ini adalah Dzat Allah, Sifat-sifat Allah, Perbuatan-
perbuatan Allah, Dzat Rasul dan persoalan- persoalan lainnya berkaitan dengan
penciptaan alam. Tema-tema inilah yang kemudian memunculkan istilah Tauhid
Dzat, Tauhid Sifat, Tauhid Rububiyyah, dan Tauhid Uluhiyyah.
Persoalan tentang Dzat dan Sifat Allah, telah lama menjadi perbincangan dan
perbedaan pemahaman di kalangan para ulama. Ada
yang berpendapat bahhwa Allah memiliki Dzat dan Sifat sebagaimana pendapat
ulama Salaf dan Golongan Asy’ariyah, dan ada yang berpendapat bahwa Allah
hanya memiliki Dzat saja dan tidak memiliki Sifat sebagaimana pendapat
golongan Mu’tazilah. Apa sebenarnn^a Dzat dan Sifat Allah tersebut ? Dan
bagaimana kita men-tauhid-kan Dzat dan Sifat Allah tersebut ? Untuk bisa men-
tauh‫؛‬d-kan Dzat dan Sifat Allah, jika kita mengikuti konsep tauhid yang mestinya
didahului oleh adanya ilmu, kemudian keyakinan, dan kemudian tauhid, maka
mengetahui Dzat dan Sifat Allah adalah sebuah keharusan bagi setiap orang Islam
agar supaya bisa sampai kepada men-tauhid-kan Dzat dan Sifat Ailah.
Dzat adalah sesutu itu sendiri, dan inti dari sesuatu itu. Dzat (al- clzat) lebih
umum jika dibandingkan dengan pribadi (al-syakhshu), karena dzat dikaitkan
dengan badan ('al-jism) dan yang lainnya, sedangkan pribadi (al-syakhshu) hanya
dihubungkan dengan badan {al-jism). Dzat adalah sesuatu yang berdiri sendiri,
sedangkan lawannya adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri (‘aradl), dan Dzat
adalah esensi, yakni hakikat

26~ Tauhid
sesuatu.3 Sedangkan Dzat Allah, menurut Ibnu sina, adalah wujud Allah jtu
sendiri, dan bersifat mutlak.4 Dzat Allah, lanjut Ibnu Sina, tidak tersusun dari
pada dzat yang lain yang datang dari luar, karena Dzat Tuhan berlainan dengan
semua dzat yang ada. Dzat Tuhan tidak ada batasnya, tidak ada jenisnya, dan
tidak dapat dibagi-bagi.5
Menurut AI-Farabi, wujud dibagt menjadi 2 (dua), yaitu wujud yang wajib
dan wujud yang mungkin. Wujud yang wajib tidak mempunyai sebab bagi
wujudnya, sedangkan wujud yang mungkin mempunyai sebab bagi wujudnya.‫؛‬
Sementara Ibnu Sina berpendapat bahwa wujud dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu
wujud wajib, wujud mungkin dan wujud mustahil.6 Berkaitan dengan hal ini,
Allah adalah wajib adaNya (al-wajib al-uwjud), sedangkan selain Allah adalah
mungkin adanya (mumkin al-wujud). Wajib wujud Allah tidak lah bersekum dengan
benda lain apa pun juga, karena benda yang lain dari padaNya termasuk yang
mungkin (boleh ada boleh tidak) yang merupakan hasil ciptaan dari wjibul
wujud.7
Allah adalah wajib wujud bagi DzatNya, dan sifat wujud Allah adalah wajib
dan lazim dalam DzatNya.‫ ؛؛‬Segala yang wujud di dunia ini selain Allah, menurut
Al-Ghazaliy, adalah badan atau b©dy (al-jism) dan sesuatu yang tidak tetap
(‘aradl), sedangkan Allah adalah Dzat.7 Oleh karena Allah wajib wujud bagi
DzatNya (al-wajib // dzatihi), maka wujud Dzat Allah tidak boleh terhalang oleh
tidak ada (jamna’uhu al-’adam). Allah wujud karena DzatNya dan bukan karena
yang lain, dan wajib wujud
Allah adalah wajib wujud bagi DzatNya yang ddak membutuhkan sesuatu pun
selain Allah.10 Sedangkan wujudnya sesuatu selain Allah membutuhkan kepada
wujud Dzat Allah. Dengan demikian, maka Dzat Allah adalah Esa, dan tidak ada
yang menyerupainya.

3
Abdul Mun’im Hifniy, Al Mu’jam al Fa/safiy, Kaiio: Dar al Syarqiyyah, 1990, hal. 127.
3
Abdurrachm^ bin Chasan al-Jabrtiy, Tarikh Ajaib al-atsarfi al-Tarajim wa al-akhbar, juz 1,
4
Abu Bakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, Solo: Butmadhani, 1991, hal. 131
6
Ibid, hal 51
7
Abu 'Bakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, Solo: Ramadhani, 1991, hal. 1.1
5
Harun Nasudon, Islam Ditinjau Dari berbagai Aspeknya, Jakarta : UI Press, jilid 11, hal. 49.
8
Anonim, Syarchu al-Aqidah al-Thachaiviyyah, Beirut: Al-Maktab al-Islamiy, 1391 H., hal. 138
9
Abu Chamid al-Ghazaliy, al-lqtishad fi al-I’tiqad, Mesir: Mushthafa al-Babiy al-Chalabiy,

Tauhid ~27
Allah, sebagaimana diakui dan diyakini oleh para ulama, adalah Dzat, dan
Dzat Allah adalah mudak. Persoalan yang kemudian muncul berkaitan dengan
hal ini adalah : apakah mungkin kita bisa menggambarkan Dzat Allah yang
mudak dan tak terbatas itu, sedangkan kita adalah makhluk Allah yang terbatas?
Apakah mungkin kita bisa mengetahui Dzat Allah? Apakah mungkin kita bisa
menunjuk Dzat Allah guna membenarkan Dzat Allah, dan kemudian
merealisasikan kebenaran Dzat Allah tersebut? Apakah mungkin kita bisa
memperbincangkan dan mengungkapkan dengan kata-kata tentang Dzat Allah
itu? Dan apakah mungkin kita bisa merealisasikan Dzat Allah dalam kehidupan
praktis ini? Persoalan Dzat Allah ini memang sebuah persoalan yang rumit yang
tidak mudah untuk difahami oleh manusia. Oleh karenanya para ulama Salaf
me}'aktni dan mengimani tentang Dzat Allah, serta menerima seutuhnya tanpa
mempertanyakan dan mempersoalkannya (bila kaifa). Mereka menganggap
bahwa jika kita mepertanyakan seperti apa Dzat Allah, maka hal ini justru akan
membingungkan dan cenderung akan menjadikan manusia kut'ur.
]ika kita memperbincangkan mengenai Dzat Allah, maka secara implisit
telah memunculkan pertentangan di dalamnya. Karena sesungguhnya Dzat Allah
adalah mutlak, sedangkan ilmu pengetahuan — sesuai dengan tabiatnya, tema-
temanya, metodenya, dan tujuannya —, jika memperbincangkan Dzat Allah,
adalah sebuah upaya untuk menarik sesuatu yang mutlak, yakni Dzat Allah, ke
dalam sesuatu yang terbatas (nisbi). Hal ini karena Dzat Allah sebagai fenomena
yang mutlak' dan

٠٠Muhammad ‫؛‬bn Ali aljurjani, AITa’rifat, ‫}؛‬،;،rut: Dar al'‫ دااﻻ؛ ا‬al Arabiy, ‫؛‬٧/ 1, hal. 322•

28~ Tauhid
tidak dibatasi oleh ruang dan waktu itu,dalam konteks ilmu pengetahuan, harus
ditarik ke dalam sebuah fenomena yang khusus dan terbatas, serta terbatasi oleh
ruang dan waktu, yaitu ilmu pengetahuan. Pengetahuan atau mengetahui, berarti
pembatasan terhadap sebuah fernomena dalam sebuah realitas tertentu, sehingga
fenomena tersebut dapat dikuasai dan difahami, baik melalui cara praktis atau
melalui penelitian, atau dengan cara membedakan antara satu fenomena dengan
fenomena yang lain dalam sebuah realitas tertentu. Dan pengetahuan, berkaitan
dengan hal ini, membutuhkan bukti-bukti.11
Allah adalah mutlak, baik Dzat maupun sifatNya. Sebagai tema dan objek
pengetahuan, Dzat dan Sifat Allah tidaklah tampak dalam realitas, dan tidak bisa
dibedakan dengan yang lainnya, dalam berbagai realitas yang ada di dunia ini.
Dengan demikian, bagaimana mungkin Dzat Allah yang tidak terbatas (al-kulliy)
bisa menjadi terbatas I'juziy)? Dan bagaimana mungkin bagi akal manuisa yang
terbatas ( ‘aqlu al-itisan al-nisbiy) — dengan berbagai kehidupanya yang terbatas, juga
pengetahuannya, kemaslahatannya, keinginannya, kesenangannya,
kecenderungannya, dan semua keadaan manusia yang serba terbatas ini - mampu
menetapkan dan memahami Dzat Allah yang mutlak dan tidak pernah mati, yang
tidak bisa dibatasi oleh akal dan pengetahuan? Memang, akal manusia memiliki
keistimewaan dengan berbagai sifat mampunya untuk mengetahui, intuisi
manusia mampu mengetahui berbagai kebenaran yang mungkin tak terbantahkan,
dan mekanisme akal manusia bersifat umum, mutlak dan menyeluruh, akan tetapi
bagimanapun juga akal manusia tetap berada dalam sebuah lingkungan tertentu,
yang pemilik akal, yakni

11
Para ulama mendefinisikan ilmu sebagai “memahami sesuatu secara yakin sesuai dengan
realitas yang ada baik dalam bentuk deskripsi ataupun keyakinan”. Bagi para mutakalhmin tidak ‫هلءه‬
yang lain dalam ilmu kecuali untuk mencapai kepada sebuah keyakinan. Setiap ilmu harus mencakup
tiga hal yaitu : tema, masalah (yang mencakup ‫ ء‬dalamnya teori) dan prinsip-prinsip (yang mencakup
di dalamnya cara atau metode). (Muhammad ibn Ali al Jurjani, Al Ta’rifat, beiut: Dar al Kutub al
Arabiy, juz 1, hal. 199, dan Abdul Mun’im Hifniy, op. cit., hal. 214-215).

Tauhid ~29
manusia, juga memiliki temperamen tertentu, yang sangat terkait dan tergantung
pada keinginan-keinginan ‫؛‬،an perasaannya, yang juga sangat terkait dengan
kemaslahatan-kemaslahatannya, baik khusus ataupun umum. Karena keterbatasan
akal dan kemampuan manusia untuk mengetahui i n i l a h yang telah menjadikan
para ulama terdahulu untuk tidak membahas Dzat Allah secara langsung, akan
tetapi mereka membahasnya dengan cara lain, yakni menggunakan konsep-
konsep seperti “esensi” (al-jauhar) dan “bukan esensi” (al-’aradl).
Meski demikian, Dzat Allah, sesuai dengan pengertianya yang mutlak dan tak
terbatas, adalah sesuatu yang tidak berada dalam ruang dan waktu. Sedangkan
pengetahuan (‘ilmu) hanya untuk tema-tema atau objek- objek yang nyata. Jika
tidak, maka gambaran pengetahuan ‫ آاآ؛ﻻ؛ااا؛‬sebuah gambaran yang kosong dan
tidak nyata. Karena Dzat Allah adalah mutlak dan tak terbatas, tidak berada
dalam ruang dan waktu, serta tidak berada dalam realitas tertentu, maka
menggambarkan dzat Allah hanyalah bisa dengan menggunakan bahasa manusia.
Namun persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana mungkin bahasa
manusia yang terbatas (nisbiy) ini bisa menggambarkan dan mengungkapkan
Dzat Allah yang mutlak? Jika memang demikian, maka apapun studi tentang
“Allah”, karena menggunakan bahasa manusia, maka tidak bisa tidak akan berada
dalam kerangka “personifikasi” (,tasjkbish'). ‫؛؛‬al ini karena kita tidak mungkin
،memperbincangkan “Allah” kecuali dengan menggunakan bahasa manusia,
dengan berbagai bentuk usaha yang bersifat manusiawi, dan menggunakan
perasaan yang juga bersifat manusiawi.
Jika demikian, maka deskripsi tentang Allah bahwa Dia adalah Sang
Pencipta, dan bahwa Dia memilik Dzat dan Sifat, adalah deskripsi yang bersifat
manusiawi. Dengan demikian, perbincangan tentang Allah, hanya bisa dilakukan
dengan melalui cara imajinasi dan deskripsi artistik sebagaimana juga dilakukan
oleh Para ulama terdahulu. Dan apa yang ada di hadapan manusia, jika ia ingin
membicarakan tentang Dzat Allah,

30~ Tauhid
maka ia hanya bisa melalui cara menyerupakan (al-tasybih) dan analogi (al-
qiyas)• Menyerupakan dengan dirinya, dan menganalogikan dengan alam
semesta. Akhirnya segala perbincangan mengenai .\llah, seperti
memperbincangkan tentang dirinya. Manusia berimajinasi memperbincangkan
Allah sebagaimana ia memperincangkan tentang dirinya.

Ibnu Sina berpendapat:


a. sifat-sifat Tuhan adalah lengkap, dan sen^ua sifat-sifat Tuhan merupakan inti
zat Tuhan itu sendiri. ( Abu Bakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, Solo:
Ramadhan1991‫؛‬, , hal.31)
b. sifat wujud Allah memiliki kedudukan yang terpenting di atas segala sifat lain,
walaupun esensinya lain.
b. Esensi (zat) terdapat dalam akal, sedangkan wujud terdapat ‫ﻣﻢ‬، luar akal.
Wujud lah yang membuat tiap esensi yang ada dalam akal mempunyai
kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh karena
pendapatnya itu lah Ibnu Sina dianggap sebagai dari aliran existensialisme
(wujudiyah). (Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta :
Bulan Bintang, 1973, hal. 39).
Al Ma’ali:
a. Allah tidak tergantung dengan ciptaanNya, dan tidak pula ciptaanNya itu
tergabung dengan zatNya, tetapi pada ciptaanNya itu ada ZatNya. (Abu
Bakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, $olo: Ramadhani, 1991, hal. 126).

Tauhid— 31
Al Farabi:
a. segala yang ada memancar dari zat Tuhan melalui akal yang berjumlah
sepuluh.
b. wujud dibagi menjadi 2 (dua), yaitu wujud yang wajib dan wujud yang
mungkin. Wujud yang wajib tidak mempunyai sebab bagi wujudnya,
sedangkan wujud yang mungkin mempunyai sebab bagi wujudnya. (Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta : UI Press, jilid II, hal.
49).
Ibnu Sina:
a. wujud dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu wujud wajib, wujud mungkin dan
wujud mustahil. (Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,
Jakarta : UI Press, jilid II, hal. 51). ‫إ‬
b. wajibul wujud tidak lah bersekutu dengan benda lain apa pun juga, karena
benda yang lain dari padaNya termasuk yang mungkin (boleh ada boleh
tidak) yang merupakan hasil ciptaan dari wjibul wujud. (Abu Bakar Aceh,
Sejarah Filsafat Islam, Solo: Ramadhani, 1991, hal. 131).

32~ Tauhid
BAB III
HAL-HAL YANG MENGOTORI AQIDAH DAN
HUBUNGAN ANTARA IMAN, ISLAM, DAN
IHSAN

A. Kompetensi Dasaf
Mahasiswa mampu memahami hal-hal yang mengotori Aqidah, dan
mampu memahami hubungan antara Iman, Islam, dan Ihsan

B. Indikator
Mahasiswa dapat:
1. Menjelaskan mengenai hal-hal yang mengotori Aqidah dan
menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bisa mengotori
aqidah
2. Menjelaskan apa itu iman, islam, dan ihsan.
3. Posisi Iman, Islam, dan Ihsan
4. Hubungan antara Iman, Islam, dan Ihsan
C. 1su Utama
1. Apakah aqidah bisa kotor ?
2. Yang kotor itu aqidah ataukah hati yang merupakan tempat aqidah ،
berada ?
3. Apa sajakah hal-hal yang bisa mengotori aqidah ?
4. Apakah Tauhid hanya terkait dengan Tuhan, ataukah juga terkait
dengan yang lain ?
1. Hal-hal yang mengotori Aqidah
Secara etimologis, “tauhid’ berasal dari kata ‫ ﺗﻮﺣﯿﺪا‬- ‫ ﯾﻮﺣﺪ‬- ‫وﺣﺪ‬،”
yang berarti “menjadikannya esa”1men-tauhid-k'an Allah (tauhidilldh)
berarti menjadikan, mengakui, dan meyakini bahwa Allah itu Esa
1
Syarchu Kitab al-Tauchid, Juz ١, hal. 1.

Tauhid ~33
Sedangkan Ilmu "Tauhid berarti ilmu yang membahas mengenai bagaimana
cara mengetahui, menjadikan, mengakui, dan meyakini bahwa Allah itu
Esa.

34~ Tauhid
Secara terminologis, banyak ulama yang mendefinisikan mengenai
Ilmu Tauhid, di antaranya adalah:
a. al-Syahrastani mendefinisikan Ilmu Tauhid sebagai ilmu yang membicarakan
tentang kepercayaan tentang wujud Tuhan Yang Esa, Yang tidak ada sekutu
bagiNya, baik zat, sifat maupun '
Yang mengutus utusan-utusan untuk memberi petunjuk kepada alam dan manusia
kepada jalan kebaikan, Yang meminta pertanggung jawaban seseorang di akhirat
dan memberikan balasan kepadanya atas apa yang telah diperbuatnya.
b. Muhammad Abduh menyatakan bahwa Ilmu Tauhid adalah ilmu yang
membicarakan tentang wujud Tuhan, sifat-sifat yang mesti ada padaNya, sifat-sifat
yang boleh ada padaNya, sifat-sifat yang ddak boleh ada padaNya, membicarakan
tentang Rasul-rasul untuk menetapkan keutusan mereka, dan sifat-sifat yeng boleh
dipertautkan kepada mereka, dan sifat-sifat yang tidak mungkin terdapat pada
mereka.

Tauhid ~35
Ilmu Kalam
fokus pembicaraannya tentang firman Tuhan (kalam Allah), apakah
hal itu azali atau non azali.
berdasarkan dalil-dalil akal pikiran (aqli).
membuktian kepercayaan-kepercayaan agama dengan logika dan filsafat-
membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan
(Agama Islam) dengan bukti-bukti yang yakin, untuk itu ilmu kalam dikatakan
sebagai metode berfikir (manhaj al- tafkir), dengan demikian ilmu kalam juga
disebut mantiq agama (Hasan Hanafi).
ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan- kepercayaan iman
dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang
menyeleweng dari kepercayaan- kepercayaan aliran golongan salaf dan ah،u Sunnah.
(Ibnu Khaldun). Teologi Islam
“Theology” berasal dart kata “theos” yang berarti “Tuhan” dan “logos” yang
berarti “ilmu” (science, study, discourse). Jadi “theology” berarti “ilmu tentang
Tuhan” atau “ilmu Ketuhanan”.
Teologi membahas tentang ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Ajaran-ajaran
dasar tersebut juga disebut ‘Aqa’id, credos atau keyakinan-keyakinan.
Ilmu Aqaid
fokus pembicaraannya tentang kepercayaan atau keimanan atau credos.
Usuluddin
tentang dasar-dasar kepercayaan Agama.
dasar-dasar nalar yang bisa mengantarkan manusia untuk membangun aqidahnya di
dalam akal pikirannya. Karena fondasi dasar agama itu terletak pada aqidah
(kepercayaan), dan fondasi aqidah itu terletak pada akal atau nalar.

36~ Tauhid
Tauhid 37~
BAB IV
KONSEP “TAQDIR” DALAM PENINGKATAN MUTU
SUMBER DAYA MANUSIA DAN HUBUNGAN ANTARA
AKAL DAN WAHYU

A. Kompetensi Dasar
Mahasiswa mampu memahami konsep “taqdir” dalam peningkatan mutu sumber
daya manusia, hubungan antara Akal dan Wahyu

B. Indikator
Mahasiswa dapat:
1. Pengertian Taqdir
2. Konsep “taqdir” dalam peningkatan mutu sumber daya manusia
3. Pengertian “akal” dan “wahyu”
4. Hubungan antara akal dan wahyu

C. Isu Utama
1. Apa pengertian Takdir ?
2. Bagaimana manusia menyikapi Takdir ?
3. Apakah manusia bisa merubah atau mengantisipasi Takdirnya ?
4. Apa pengertian akal dan dan wahyu ?
5. apakah fungsi akal dan wahyu ?
6. Apakah manusia bisa mengetahui Tuhan dengan akalnya, atau dengan wahyu ?

1. Konsep “taqdir” daiam Peningkatan Mutu Sumber Daya


Manusia
Percaya atau iman terhadap “takdir” Tuhan merupakan salah satu rukun iman yang
harus dipercayai oleh setiap orang yang mengaku dirinya Islam. Namun mempercayai
“takdir” Tuhan masih menyisakan berbagai persoalan pemahaman yang rumit, karena
keberadaannya yang bersifat

Tauhid ~39
gaib, abstrak, dan tidak mudah dipahami oleh nalar manusia, sebagaimana rukun-
rukun iman yang lain.1 Problem kegaiban dan keabstrakan dari keenam rukun iman
kemudian memunculkan berbagai problem “pemahaman” bagi manusia terhadap yang
gaib, termasuk di dalamnya pemahaman mengenai “takdir” Tuhan.
Percaya terhadap “takdir” Tuhan mengandaikan adanya sebuah proses yang
menyangkut dua hal penting, yaitu pertama, adanya sebuah aktivi tas manusia yang
dinamakan “percaya” atau iman 2, dan kedua, pemahaman mengenai “takdir” sebagai
sesuatu yang harus dipahami dan dipercayai. Jadi, adanya aktivitas “percaya”
mengandaikan adanya aktivitas yang mendahuluinya yaitu “memahami” takdir.
Takdir3 telah lama menjadi wacana4 dan akan selalu menjadi wacana, paling tidak
selama manusia masih berbicara tentang teologi Islam atau -ilmu Kalam, karena takdir
berkaitan erat dengan Tuhan dan manusia

1
Allah Yang ^lah ،‫؛‬Esa, misalnya, bersifat gaib dan abstrak. Malaikat-malaikat Allah juga bersifat
gaib dan abstrak. Rasul-rasul Allah semuanya sudah mcninggal sehingga bersifat gaib dan abstrak.
Keempat kitab Allah yang diturunkan kepada para nabiNya juga bersifat gaib dan abstrak dan hanya satu
yang nampak nyata yaitu al Quran, itupun memunculkan berbagai macam penafsiran yang akhirnya
memunculkan pemahaman yang berbeda-beda. Hari kiamat juga semakin gaib dan abstrak karena belum
terjadi.
‫؛‬2Iman dalam bahasa Arab berarti “al Tashdiq “ yang berarti “membenarkan” dalam had. Dalam
konteks berfikir ilmiyah, seseorang bisa “membenarkan” sesuatu jika ia bisa “menyakini” sesuatu itu, dan
seseorang bisa meyakini sesuato jika ia bisa “memaham‫؛‬i sesuatu itu, dan seseorang bisa memahami
sesuata kalau ia memiliki atau menggunakan “cara arau metode” untuk memahaminya yaitu “ilmu”. Para
ulama mendefinisikan ilmu sebagai “memahami sesutu sesuai dengan realitas yang ada baik dalam bentuk
deskripsi ataupun keyakinan”, dan bagi para mutakallimin tidak ada yang lain dalam ilmu kecuali untuk
mencapai kepada sebuah keyakinan. Setiap ilmu harus mencakup tiga hal yaitu : tema, masalah (yang
mencakup di dalamnya teori) dan prinsip-prinsip (yang mencakup di dalamnya cara atau metode).
(Muhammad ‫؛‬bn Ali al Jurjani, Al Ta’rifat, Beirut: Dar al Kutub al ‘Arabiy, juz 1, hal. 199, dan Abdul
Mun’im Hifniy, Al Mu’jam al Falsajiy, Kairo: Dar al Syarqiyyah, 1990, hal. 214-215).
3
Di dalam pembahasan ‫ ؛ط‬istilah “takdir” digunakan sebagai padanan kata “qadar” dalam bahasa Arab,
karena dalam bahasa Indonesia hampir tidak dibedakan antara “takdir” dan “qadar” yang dalam bahasa
Arab sebenarnya sedikit memiliki perbedaan.
4
Di dalam wacana ' pengertian mengisolasi (membatasi), mendefinisikan, dan
memproduksi objek pengetahuan (Dony Garhal Adian, Menabur Kuasa Menuai Wacana, dalam
Basis no. 01—02, Tahun ke-51, Januari—Pebruari 2002, hal. 44).

40~ Tauhid
dan menjadi bagian penting dalam perbincangan dalam Ilmu Kalam. Wacana tentang
takdir telah memunculkan definisi yang beragam5, dan juga pemahaman yang saling
bertentangan. Hal ini nampak pada pendapat para ulama mengenai takdir Tuhan yang
dipahaminya sebagai ketetapan Tuhan yang saling berlawanan, y aim bisa berubah dan
tidak bisa berubah6, bersifat azali dan tidak azali7, dan apakah manusia bebas atau
tidak bebas dalam perbuatannya.8 Takdir juga dipahami sebagai rahasia Tuhan- dibagi
'Abu Harutah: takdir adnlah "ketctapan AUah atas segaln rnakhluknya yang mcricakup baik
buruknya" (Hasan Hanafi, i'vJill a/ :Atjidah ila 01 Tsourab, Mesir: Maktabah Madpoli, J 98H,Jilid 3,
hal93). AI Asy'an; "keterapan Allah pada semua makhluk, yang mcncakup baik buruk, pahit
gedt, dan manfaat madlarar' (AI Asyany, Ai lbiinobji UshNlol Dtyol/bh, Kairo: AI ~[uniriyyah,
ct., hal. 9), "sebuah kekuatan butn yang mengukur dan menetapkan hal-hal yang tidak dapar
dikcndalikanoleh manusia, tcrutama yang berkairan dcngan kclahiran, rizki, dan man" (Fazlur
Rahman, Ttf/loPokokAlQJlroll, Bandung; Pustaka, 1983, hal, 19), "ukuran, kerenruan, kernampuan
dan kepastian" (M.. Quraish Shihab, Mt'!]illgkop Tobir flohi, jakarta: Lenrcra Hati, 1999, hal
314-320), dan meliputi SCfnU!! pcristiwa yang tesjadi di alam mya yang dati sisi kejadiannya
dalam kadar dan ukuran tertenru pada tempat rerrenru dan waktu terrenru (M. Quraish Shibab,
117uUfosnnAI Qllron: Tofsir MOlld11l°i alas Ptlbogni Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2000. hal.
59).
"Berdasarkan berubnh tidaknya, takdir dibagi menjadi dua : 1. Toqdlr T-Iolonti (defillilif atau
path). yairu takdir yang tidnk bisa berubah, 2. Taqdir Choint Hatasti (1I1J1l do/i1!llifatllu lidak pOJh).
yallu takdir yang masih bisa bcrubah. (Murtsdlo Munhohari, MOllusio dan Toqdinooo. Jakarta:
Basne Press, 1991, hal. 50·53), dan I. Mllbrof?f, dan 2. Gboir» !lllIbrr"". (AI Alusiy, RJillll1Mo'onfy
(fTt![slri olQllr'ani 0/ ~~flJ UfO01soll'i 01 nlolsiin{J. Beirut: Dar lhya' al Turats al fuabiy, tt••juz 22,
hal. 117), dan juga 1. MIIsl!JJ0r, yaitu kctctapan Allah pada manusia dan rnakhluk lainnya yang
manusia dan makhluk lain ito adak memiliki kebebasan unruk mcnolak atau merubahnya.
Sepeni warna kulit, jenis kelarnin, dan beatuk tubuh. 2. MIIkhq:uor, kcretapan Allah pada
manusia yang manusia bebas untuk memilihnya. (Ilyas Yunahar, JVtliohAqidah Lrlo"" Yogyakarta:
LPPI UMY, 1998, hal. 183).
1Para Ulama (Abu Hanifah, AI Asy'wy, A1 Baqilaniy, AI JucjnJl~y) mengakui tenrang ke
azaIi-an takdir (Hasan Hanafi, Op. Gt., hal 89), tetapi di sID lain juga mengakui adanya takdir
pada saar manusia diciptakan eli dalam kanduogan sebagaimana tcrtera dalam hadits nabi saw
(AI Afy'oriy, Op. Cil., hal. 62). Hal ici menjadikan seakan-akan rakdir Allah iru baru dan bukan
nali.
*Pcrdebat:ln para ulama rentang takdir yang rerkait dengan perbuatan manusia, relah
lOemunculkan dua kclompok besar dalam iImu kalam, yaitu Joboriyoh yang menyatakan bahwa
semua perbuaran manusia relah diciprakan oleh Allah dan Qadoriyoh yang menyatakan ahwa
Planus:ia memiliki kebebasan dalam perbuatannya, dan juga kelornpok MII'lo!{ilob dan Ary'orioh.
"Takdir dianggap sebagai rahnsia Allah yang harus direrima begiN saja: oleh manusi.'1dan,
rnanusia tidak akan mampu mengctahuinya karena ketcrbatasan ilmu manusia (Muhammad
~bdul J\zim AI Zarq4niy. MOJliJbilol 'lrla"fl 'UIO", 01Qllroll, Beirut: Dar al Fik.; 1412 H., iu? 2,
Ilal. 32, dan t\bdurrahman bin Kama! Jalaludin AJ SuyUtiy. AI Dur (II MalllsOr, Beirut: Dar al
r:tkr, 1993, juz 5, hal. 623, dan AI AJusiy, Op. 01., juz 13, hal. 22), bnhknn nabi dan msul pun
~uak mampu mengclahui rnhasia (akdit AJIah (al 'Asqal:iniy, r'Olh" (II Darfy jF Syorhi Shohih 01
NklJ,in_" AJ Mathba'ah al Salafiah \Va Makubariha, n., dalam syarah mCllgenai qadar Allah).

Tauhid ~41
menjadi bertingkat-tingkat10, dan dibedakan dengan “qadla”11. Apakah memang
demikian itu takdir Tuhan?
Berdasarkan pada uraian di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam
tulisan ini adalah: Apa sebenarnya takdir itu? Apakah takdir itu tidak bisa berubah,
bisa berubah atau justru terus berubah? Bagaimana ke-azalia-an takdir itu? Apakah
kalau takdir itu rahasia tidak bisa atau tidak boleh diungkap oleh manusia? Apakah
takdir itu bertingkat-tingkat? Bagaimana sebenarnya kaitan takdir dengan perbuatan
manusia? Apakah “takdir” dan “qadla” itu berbeda ataukah sama? P«soalan-
persoalan ini menjadi pembahasan dalam tulisan ini.

2. Makna dan Kebenaran “Takdir” Allah a. Takdir dan


Bahasa.
Berbieara mengenai “takdir” berarti berbicara mengenai pengetahuan, . yaitu “takdir”
itu sendiri. Takdir ada dan diakui kebenarannya oleh Manusia berdasarkan informasi
yang datang dari Allah (wahyu) dalam bentuk Al Quran maupun Ha،hts. Wahyu
diturunkan oleh Allah kepada

10
Berdasarkan waktu terjadinya, takdir dibagi menjadi : 1. Takdir Azalii, yang meliputi segala sesuatu
sebelum Allah menciptakan bumi dan langit, yaitu takdir Allah setelah menciptakan Qolam. 2. Takdir Umri, yang
meliputi segala yang ter£ait dengan manusia seperti umur, rizki, bahagia, susah, dan mati, yaitu takdir ketika
Allah menciptakan manusia dalam rahim. 3. Takdir Hauli atau Samawi' yang terkait dengan malam lailatul Qadar,
yaitu takdir Allah yang ditetapkan setiap tahun pada malam Lailatul Qadar. 4. Takdir Yaumi, yaitu takdir Allah
setiap hari yang terkait dengan semua peristiwa. (Syaikh Hamid ‫ اا)أ؛‬Ahmad Al Hakamiy, Kunci Akidah Islam,
Bandung: Pustaka Mantiq, 1995, hal. 193), dan berdasarkan urutan ketetapannya menjadi : 1. Ilmu, yaitu takdir
yang terkait dengan ilmu Allah Yang Maha Mengetahui apa yang terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi. 2.
Kitabah, yaitu takdir Allah terhadap segala sesuatu yang tertulis di Lauhil Mahfudz. .3. Musji’ah, yaitu takdir Allah
yang terkait dengan segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi, yang semuanya terjadi atas kehendakNya.
4. Khalq, yaitu Takdir Allah yang terkait dengan kekuasaanNya untuk mencipta segala sesuatu. (Ilyas Yunahar
Op Cit., hal. 183).
11
Pada umumnya, para ulama 'membedakan antaraqadladanqadar.Qadlasebagai ketetapan
Allah sejak zaman azali dan bersifat global atau ijmdliy, sedangkan qadar sebagai realisasi dari ketetapan Allah
sesuai kehendaknya dan bersifat rinci tafsiliy (Al Alusiy, op. Cit., juz 7, hal. 191). Qadar mengikuti qadla {Ibid, juz
13, hal. 22), qadla berada pada posisi asas atau al asas, sedangkan qadar berada dalam posisi bangunannya atau al-
bina (Hasan Hanafi, op.Cit., hal. 87),
tetapi ada pula ulama yang menganggap sama dan tidak membedakan antara qadla dan qadar (Al Qurtubiy,
Al]dmi’ li Ahkdm al Qur’an, Cairo: Dar al Sya’bi, 1372 H., juz 8, hal. 160).

42~ Tauhid
Rasulullah dalam bentuk bahasa Arab, sebagai bahasa yang dipilih oleh Allah untuk
memahamkan kepada manusia tentang makna dan kebenaran takdir Allah. Oleh
karenanya jika kita berbicara mengenai takdir, maka kita juga harus menelusuri makna
takdir dalam bahasa Arab. Namun demikian, untuk sampai kepada makna dan pesan
yang dikandung oleh bahasa bukanlah sesuatu yang mudah, dan seringkali kita
menghadapi persoalan-persoalan tertentu.
Dalam konteks semiotika, bahasa adalah tanda. Adanya “tanda” mengharuskan
adanya “sesuatu yang ditandai”. Kedua hal ini disebut sebagai “signified dan
“signifianTujuan dar ‫؛‬adanya tanda, menurut $aussure, ada!ah perwujudan ide-ide.12
Menurut Saussure, tanda atau lambang bahasa tidak langsung merujuk atau mewakili
sebuah benda, melainkan dihubungkan oleh “konsep-konsep”.13
Berangkat dari persoalan di atas, Foucault berpendapat bahwa bahasa memiliki
problem serius di dalam pemahamannya. Artinya, antara “kata” sebagai tanda dan
“sesuatu” yang ditandainya terkandung persoalan- persoalan yang bisa dipertanyakan,
yang jika semua ini direlasikan akan membentuk makna.14 Untuk ini, Foucault
menyatakan bahwa kalau di masa lampau bahasa dianggap sebagai representasi dari
sesuatu, maka di masa kini bahasa tidak lagi dianggap sebagai representasi sesuatu,
akan tetapi bahasa adalah obyek dengan daya-daya tersembunyi yang mengarah pada
apa yang bisa dikatakan, dan bahasa menyediakan kesahihan internalnya. Bahasa
memilik ‫؛‬Fungsi dan kekuatan untuk merepresentasikan pemikiran, yang mencakup
semua tatanan yang mungkin yang mengatur bahasa, individu, alam, dan manusia.' ‫؛‬
Jika demikian, berdasarkan pemahaman kebahasaan ini, takdir ridak saja

'

‫؛‬12Sally pattinasarany. Dasar-dasar Semiotika, Jakarta: ‫؛‬P3B Dekdikbud, 1996, hal. 30.
13
Ibid, hal 18
14
Michel Fouucault, op. Cit., hal. 27.
15
Karlina Leksono, op. Cit., hal. 26.

Tauhid ~43
memiliki makna dan dipahami seperti apa yang nampak dalam bahasa “takdir”, akan
tetapi juga harus dimaknai dan dipahami dengan cara mengungkap hal-hal yang
tersembunyi jauh di dalam bahasa “takdir”, dan juga realitas-realitas yang metniliki
keterkaitan erat dengan takdir, yang kesemuanya berelasi membangun pegetahuan dan
makna takdir, b. Problem memahami Takdir Allah.
Selama ini, para ulama memahami takdir sebagai ketetapan Allah yang bersifat
azali, akan tetapi disisi lain mereka juga mengakui adanya takdir pada saat manusia
diciptakan di dalam kandungan (berkaitan dengan umur, rizki, ajal, bahagia, susah bagi
manusia), yang mengandung arti hadits atau baru dan bukan azali, sebuah pemahaman
yang bertentangan dengan pemahaman yang pertama. Takdir juga dibagi menjadi dua
hal yang saling berlawanan (binary oposition), yaitu tetap (mubram, hatami, dan musayyar)
dan berubah (ghairu mubram atau mu’allaq, ghoiru hatami, dan mukhayyar). Hal ini
mengandaikan adanya sesuatu - di dunia ini - yang hendak bisa berubah di satu sisi,
tetapi di sisi lain ada sesuatu yang bisa berubah. Padahal segala sesuatu yang ada di
dunia ini saling pengaruh mempengaruhi dan akan hancur, yang ini berarti segala
sesuatu itu bisa berubah dan akan selalu berubah hingga sampai pada kehancurannya.
Di samping itu, takdir Allah juga dibagi menjadi beberapa tingkatan, seperti azali,
tsanawi atau hauli, ‘umri, yaumi, yang kalau hal ini ada, maka mestinya juga ada takdir
syahri (bulanan), usbu’i (mingguan), saati (per jam), dan daqiqi (per detik), dan juga ilmi,
kitabi atau kitabah, musyiak dan khalqi, yang kalau hal ini juga ada, maka seakan-akan
ada takdir yang ghairu ilmi, ghairu kitabi, ghairu musyiah, dan ghairu khalqi, padahal takdir
Allah itu terkait dengan segala sesuatu yang kesemuanya diketahui, ditulis,
dikehendaki dan diciptakan oleh Allah. Semua takdir Allah juga dianggap dan
dipahami sebagai rahasia Allah. Rahasia bagi Allah atau rahasia bagi makhluk Allah
yang di dalamnya termasuk manusia? Kalau

44~ Tauhid
rahasia bagi Allah, maka hal ini tidak mungkin, karena Allah memiliki sifat alim
sehingga tidak satu pun sesuatu atau peristiwa yang tidak diketahui oleh Allah, yang
hal ini juga diakui oleh para ulama. Kalau rahasia bagi manusia, dan manusia tidak bisa
dan tidak boleh menyingkap rahasia tersebut, maka hal ‫ا‬ini bertentangan dengan
kehendak Allah yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan, berftkir dan
bernalar tentang segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.'16 Pada realitasnya, pada
epos sejarah tertentu, “sesuatu” menjadi rahasia bagi manusia, tetapi pada epos sejarah
yang lain tidak lagi menjadi rahasia bagi manusia, karena manusia sudah mampu
menyingkap dan memahaminya. Sebagai contoh : ruang angkasa, matahari, bintang,
unsur-unsur kimia dan ciri-ciri genetika yang dulu rahasia bagi manusia, berkat
kemajuan sains dan teknologi yang dikembangkan manusia, sekarang sudah tidak
menjadi rahasia lagi. Semua ini merupakan bagian dari sekian banyak takdir Allah di
alam semesta.
Persoalan lain yang berkaitan dengan pemahaman takdir Allah adalah perbuatan
manusia dan perbedaan antara qadla (berstfat ijmali dan sebagai asas) dan qadar (bersifat
tafshili atau juzi dari qadla dan sebagai bina). Kalau semua perbuatan manusia sudah
diciptakan oleh Allah sebagaimana pendapat golongan Jabariah, maka hal ini berarti
bahwa perbuatan manusia (detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam dan
tahun demi tahun) sejak masih di dalam kandungan sampai ia meninggal sudah
diciptakan oleh Allah, dan hal ini juga menafikan keberadaan manusia yang berada
dalam pengaruh ruang dan waktu. Sebaliknya, kalau manusia memiliki kekuatan dan
kekuasaan untuk menciptakan perbuatannya sebagaimana pendapat golongan Qadariah,

16
Banyak sekali perintah Allah kepada manusia untuk memperhatikan, mengamati dan berfikir tentang
alam semesta. Di antaranya dengan menggunakan kata “ ‫ ” ﻛﯿﻒ‬dalam Qs. 29: 20-, Qs. 88: 17-20, dan kata
“‫ ﺗﺒﺼﺮون‬,‫ ﺗﺘﻔﻜﺮون‬,‫ ”ﺗﻌﻠﻤﻮن‬dalam Qs. 23: 80, Qs. 2: 219,266, Qs• 6: 50, dan Qs. 51: 21.

Tauhid ~45
hal ini terkesan dan terbatas pada saat manusia sudah dewasa )aqil ,baligh) yang sudah
mampu dan bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk. Bagaimana halnya
dengan anak yang masih kecil atau masih dalam kandungan sekalipun, apakah ia tidak
memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menciptakan perbuatannya? Bahkan, di
dalam realitasnya, banyak anak kecil yang berbuat baik, dan banyak pula yang berbuat
jahat, yang semua ini tidak terlepas dari pengaruh lingkungan. Di sampingitu, karena
qadla dan qadar Allah terkait dengan segala sesuatu, termasuk di dalamnya perbuatan
manusia, mana perbuatan manusia yang berupa qadla dan mana pula yang berupa
qadar? Mana pula perbuatan manusia yang bersifat ijmali dan mana pula yang bersifat
tafshiy? Mana pula sesuatu di dunia ini yang bersifat qadla dan mana pula yang bersifat
qadar? Semua ini masih menjadi problem di dalam memahami takdir Allah.
Namun demikian, pendapat para ulama tentang qadla dan qadar tersebut bukan
sesuatu yang salah, tetapi merupakan kebenaran takdir pada epos sejarah saat itu.
Hanya saja, pemahaman mereka itu hanya dibangun atas dua hal yaitu Al Quran
dan Hadus sebagai ayat-ayat Allah yang tertulis, dan tidak atau kurang
menyertakan ayat-ayat Allah yang bersifat kauniyah dan penemuan-penemuan
ilmiah yang berkaitan dengannya, yang memiliki peran yang besar di dalam
membangun pemahaman tentang takdir Mlah dan maknanya.
c. Makna Takdir Allah.
Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini ciptakan oleh Allah dan
terkait dengan takdirNya. Seperti firman Allah :

~46Tauhid
Segala sesuatu di alam semesta, yang diciptakan dan ditakdirkan oleh Allah,
tidaklah berdiri sendiri-sendiri, namun semuanya ada dalam bentuk “bangunan besar’
alam semesta yang dalam istilah Marx disebut “super struktur". Bangunan besar alam
semesta ini dibangun oleh bangunan- bangunan di bawahnya yang saling berelasi
membangun bangunan besar alam semesta. Setiap bangunan yang membangun
bangunan besar alam semesta ini dibangun oleh unsur-unsur yang membangunnya,
begitu seterusnya sampai pada unsur-unsur terkecil yang begitu banyak dan tak
terhitung, yang kesemuanya berelasi dan berjalin menjadi satu membangun bangunan
besar alam semesta. Ini berarti bahwa semua yang ada di alam semesta ini saling
berpengaruh satu sama yang lainnya. Kemudian, apa takdir itu dan bagaimana
kaitannya dengan segala sesuatu di alam semesta ini?
Untuk menjawab persoalan ini, pembahasan makna takdir akan dimulai dari sisi
bahasa, yang kemudian direlasikan dengan pemahaman- pemahaman takdir yang
termuat di dalam Al Quran dan Hadits, pendapat para ulama, dan yang juga tidak kalah
penting adalah penemuan- penemuan ‫؛‬Imiah di bidang sains dan teknologi tentang
alam semesta (ayat-ayat kauniyah), yang juga memiliki peran besar di dalam
memahami takdir Allah.
Takdir berasal dari bahasa Arab ‫ ﻗﺪرا‬- ‫ ﯾﻘﺪر‬- ‫اﻗﺪر"ﻗﺪر‬،”
memiliki beberapa makna, diantaranya adalah “‫( اﻟﺤﻜﻢ‬hukum), ”

“‫( ”اﻟﻘﻀﺎ ءا‬ketetapan), “‫( ”اﻟﻄﺎ ﻗﺔ‬kekuatan, daya, potensi), “‫( ”اﻟﻤﻘﺎس‬ukuran), dan “
17

‫( ”اﻟﻘﻀﺎء اﻟﻤﻮاﻓﻖ‬ketetapan yang sesuai),18 dan “‫”اﻟﺘﺤﺪﯾﺪ‬


(batasan).19 Semua makna ini merupakan realitas-realitas yang tidak bisa diabaikan,
dan ada di dalam kata “takdir”. Realitas-realitas ini saling

17
‫ ﻧﺮ‬Abu al Baqa’, Al TibjanJtl’rab al Qur’an, Mesir: Ihya’ al Kutub al ‘Arabiyyah, tt., juz. 1, hal. 99.
18
Ibnu Manzur, Usan al Arab, Beirut: Dar al Shadir, tt., juz. 5, hal. 74-76.
19
Al Alusiy, Op. Cit., juz.l , hal. 180.

Tauhid ~47
berelasi membentuk jaringan dan merupakan unsur-unsur yang membangun makna
takdir. Jadi “takdir” adalah “hukum Allah”.20 Hukum yang ditetapkan berdasarkan
pada kekuatan, daya, potensi, ukuran, dan batasan yang ada pada sesuatu yang
ditetapkan hukumnya. Jika takdir Allah dikaitkan dengan segala sesuatu di alam
semesta ini, maka berarti bahwa setiap unsur terkecil di alam semesta ini telah
ditetapkan hukumnya oleh Allah, berdasarkan daya dan kekuatan, ukuran, dan
batasannya sendiri, yang hal ini berarti memiliki potensi, sifat dan karakteristiknya
masing-masing. Setiap unsur di alam semesta ini tidak berdiri sendiri-sendiri,
meiainkan saling mempengaruhi satu dengan lainnya, dan membentuk bangunan unsur
yang lain, yang berarti
membentuk hukum yang lain pula.
Jika diandaikan bahwa “segala sesuatu atau setiap unsur” pembentuk bangunan
besar alam semesta itu berjumlah 10 (sepuluh) dan berupa ،unsur A, B, c. D, E, F, G,
H, I, dan j, maka A memiliki hukum dan karakteristiknya sendiri yang berbeda dengan
B, demikian pula B memiliki hukum dan karakteristiknya sendiri yang berbeda dengan
c, begitu seterusnya, yang 'masing-masing dari kesepuluh unsur tersebut memiliki
hukum dan karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Jika A terpengaruh
oleh B dan sebaliknya B terpengaruh oleh A kemudian bergabung menjadi satu
bangunan baru yaitu AB, maka AB memiliki hukum dan karakteristiknya sendiri yang
berbeda dengan A maupun B.

Jikakita bicara hukum, maka eli dalam hukum itu ada keretapan. Kctetapan ada karena
ada hal-hal rang bisa dijadikan dasar bagi adanya ketetapan terscbut. Scbagai contoh adalah
"hukuman mao" bagi sescor.m& Ketetapan tersebut ada karena adanya unsur-unsur yang dijadikan
dasar bagi adanya keterapan iru, yairu : ha.kim. panitcra, tcrsangka, pcngnca~a, bukri-bukti,
saksi-saksi. aNran-aruran. dan bahkan lnSONSI. Scmua unsur rersebur, scsuai dengan daya,
ukuran, dan barasannya masing-masing, saling mcmpcngaruhi saru sama lainnya, dan saling
bercalasi mcmbcnruk sebuah keretapan yairu "hukuman mati" bagi seseol'llng. Dengan kala lain,
keterapan "hukurnan rnati" adalah ibarat bangunan yang dibangun oleh unsur-unsur y:lng tclah
disebut, yang mcnjadi dasar bagi adanya ketetapan rcrscbur, Dengan demikian, bahasa "hukuman
mao" mcngandung makna dan pemahaman yang lauh tcrsernbunyi eli dalarn bahasa iru, dan
seringknh hal im tidak disadari oleh manusia. Dcmikian pula halnya dengan bahasa "rakdir"

48~ Tauhid
AB bukanlah A atau B, akan tetapi gabungan dan keduanya, Dengan kata lain, A
memiliki takdirnya sendiri, B memiliki takdirnya sendiri, dan AB memiliki takdirnya
sendiri yang berbeda dengan A maupun B.
Contoh lain adalah unsur Hidrogen (H) memiliki hukum dan karakteristiknya
sendiri, unsur oksigen (O) juga memiliki hukum dan karakteristiknya sendiri yang
berbeda dengan Hidrogen. Jika kedua unsur tersebut saling terpengaruh dan bergabung
menjadi satu dimana jumlah unsur H ada dua sedangkan o satu, maka 2 H + O
menjadi H20 (Air). Demikian pula jika satu Carbon (C) dan dua ()ksigen (02)
bergabung menjadi satu yaitu c + 2 o, maka menjadi C02 ( Udara). H20 bukanlah H
atau O tetapi gabungan dari keduanya, dan C02 bukanlah c atau o tetapi gabungan
dari keduanya. 1 berarti masing-masing unsur tersebut memiliki takdirnya sendiri-
sendiri.
Karena tidak ada unsur di alam semesta ini yang berdiri sendiri-sendiri dan tidak
ada pula yang tetap, akan tetapi selalu berubah karena adanya saling pengaruh‫ااا‬،‫ءا‬
unsur, maka setiap perubahan itu akan membentuk hukum atau takdir yang lain.
Dengan demikian, takdir ibarat bangunan yang dibangun oleh unsur-unsur yang saling
berelasi membentuk takdir. Takdir akan selalu berubah selama setiap unsur terus saling
berpengaruh. Ini berarti bahwa di dalam takdir ada causalitas dan proses, dan bahkan
setiap proses itu sendiri adalah hukum atau takdir. Hukum atau takdir Allah begitu
banyak sebanyak unsur yang dicipta'kan oleh Allah di alam semesta ini, dan bahkan
sebanyak kelipatan unsur-unsur yang diciptakan oleh Allah. 21 Karena begitu
banyaknya hukum atau takdir Allah, maka takdir dianggap sebagai rahasia Allah yang
tidak bisa di ketahui oleh

1
Ketetapan-ketetapan Allah atas segala sesuatu yang berupa hukum atau takdir ini kemudian hukum “alam
hubungan manusia dengan manusia disebut “hukum membentuk atau sunnatullah”, yang berkaitan dengan
dan seterusnya, yang ‫؛‬٨‫ ؛‬berjalan sesuai dengan hukum atau sosial”, dan yang berkaitan dengan ekonomi
takdir semua

Tauhid ~49
manusia, dan bahkan takdir Allah itu hanya bisa diketahui oleh manusia setelah mereka
masuk surga.22
Tidak semua takdir atau hukum Allah tidak bisa diketahui oleh manusia. Akan
tetapi banyak takdir Allah yang bisa diketahui oleh manusia melalui berbagai penelitian
dan penemuan-penemuan ilmiahnya tentang alam semesta, baik dalam bidang fisika,
kimia, biologi, astronomi dan lainnya, yang ternyata setiap unsur di alam semesta ini
memiliki hukumnya masing-masing, dan kesemuanya berjalan sesui dengan hukum
atau takdir Allah. Sebagai contoh kenapa air mengalir dari tempat yang tinggi ke
tempat yang rendah? Dan kenapa setiap benda jatuh ke bumi? Ternyata, setelah melalui
penelitian ilmiah, diketahui bahwa bumi memiliki daya tarik terhadap benda-benda
y'ang kemudian disebut hukum “gravitasi”. Gravitasi bumi memiliki jarak dan batasan
tertentu, yang apabila benda-berada melampaui batas gravitasi, maka benda tidak lagi
jatuh ke bumi tetapi justru melayang-layang di angkasa.23 Hal lain adalah penemuan
unsur-unsur kimia yang begitu banyak dan masing-masing memiliki potensi, sifat dan
karakteristik yang saling berbeda, mulai dari ikatan ionnya, titik didihnya, dan unsur-
unsur pembentuknya. Semua ini merupakan bagian dari takdir Allah yang bisa
diketahui oleh manusia.
Takdir Allah, menurut pendapat sebagian ulama, telah ditetapkan sejak zaman
azali, dalam arti “qadim” (dahulu) dan “tidak memiliki permulaan” 24 sebagaimana
qadim dan tidak bermulanya Allah. Inilah yang dipahami oleh sebagain besar ulama
salaf dan Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Di dalam hadits disebutkan bahwa takdir Allah
ditetapkan pada saat Allah menciptakan qalam (pena), baru kemudian meneiptakan

22
Al ‘Asqalaniy, op. Cit.
23
Stephen Hawking, Riwayat Sang Kala, ‫ 'ذا‬Dentuman Besar Hingga Lubang Hitam, ter‫؛‬. A. Handyana
Pujaatmaka, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994, hal. 5.
Ibnu Manzur, ‫زه‬. Cit., juz 11, hal. 14, dan Muhammd ^bdul Rauf al Munawiy, Al Tauqtf ‘ala Muhimmat al
Ta'arij.\ Damaskus: Dar al l'"‫؛‬kr, ‫؛‬uz 1, hal. 53.
25
Hasan Hanafi, op. Cit., hal.89.

50~ Tauhid
langit dan bumi.26 Dalam konteks ini, azali berarti “memiliki permulaan” yaitu pada
saat Allah menciptakan qalam, dan berarti “terus berlanjut atau istimrar yaitu pada saat
Allah menciptakan bumi dan langit atau alam semesta.27 Segala sesuatu di alam
semesta ini memiliki takdir atau hukumnya sendiri-sendiri dan saling berpengaruh
membentuk hukum atau takdir yang baru. Dalam konteks ini, azali berarti “selalu
berlanjutnya wujud” pada setiap saat dan tempat. Dengan demikian, maka takdir Allah
terus berlanjut dan selalu ada pada setiap saat dan tempat, sejak mula pertama kali
Allah menciptakan hingga hari kiamat, yang dalam bahasa juga disebut “azali" 28‫ ؛؛‬Jika
demikian, maka tidak ada kontradiksi antara takdir yang azali dengan takdir Allah pada
saat menciptakan manusia di dalam kandungan, karena keduanya merupakan
keberlanjutan wujud takdir.
Takdir Allah (pada saat Allah menciptakan qalam atau pena), oleh sebagian besar
ulama, dipahami sebagai qadla dan bersifat global iijmaliy) karena belum terealisasi dan
belum memiliki pijakannya yaitu alam semesta. Qadla baru direalisasikan secara rinci
(tafshilij) ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dan disebut “takdir”. 29 Namun,
secara jelas yang dikehendaki Allah, di dalam hadits yang dh:iwayatkan oleh iman Abu
Dawud, adalah takdir dan bukan qadla, yaitu dengan kata ‫ﺗﺐ ﻣﻘﺎدﯾﺮ ﻛﻞ ﺷﻲء‬ '
Dalam konteks ini takdir Allah bisa dikatakan dan dipahami sebagai
“program besar Allah” yang begitu rinci dan detail yang berupa hukum-hukum bagi
setiap unsur. Dengan demikian, setiap

26
Hadis riwayat Imam Abu Dawud No. 3078, dan Al Zar’iy, Al l'ibyanfi Aqscim al Qur'an, Damaskus :
hal Fikr, tt., juz 1, hal. 129.

27
Ibnu Manzur, ٩٤١. Cit., dan Muhammd Abdul Rauf al Munawiy, Op Cit.
28
Azali berasal dari kata “‫ ”رﺳﻤﻲ‬yang kemudian dihilangkan nya menjadi ’ nya diganti dengan “١” menjadi “”
yang berarti “selalu”. (Ibnu Manzur, op. Cit).
29
Al Alusiy, Op. Cit., juz.7 , hal. 191 dan juz 13, hal. 21, Ibnu Manzur, op. Cit., juz 15, hal186 > Hasan
Hanafi, ٩٥. Cit., hal.87, dan Aljurjani, Muhammad ibn Ali, Op, Cit., juz 1, hal. 628.

Tauhid ~ 51
unsur terkecil di alam semesta ini memiliki hukum atau takdirnya masing- masing.
Dari pemahaman hadits di atas, maka dapat diketahui dga hal, yaitu pertama, takdir
Allah itu begitu rinci dan detail (tafsiliy) bukan global (ijmaliy), dan melekat pada setiap
unsur terkecil di alam semesta, kedua, takdir yang di dalam hadits tersebut dipahami
oleh para ulama sebagai qadla, sebenarnya adalah takdir, dan keduanya tidak berbeda
karena memiliki arti yang sama yaitu “ ‫( ” اﻟﺤﻜﻢا‬hukum),30 dan ketiga, takdir Allah selalu
ada pada setiap saat dan setiap tempat, terus berlanjut dan berjalan sejak awal
penciptaan sampai hari kiamat ‫ ﻟﻢ ﯾﺰل‬dan selalu). Kemudian, bagaimana kaitan takdir
Allah dengan manusia?
Manusia adalah bagian dari bangunan besar alam semesta yang dibangun atas
sekian banyak unsur terkecil yang saling berelasi membentuk organ-organ, dan
orgamorgan itu berelasi membentuk tubuh manusia.31 Dalam konteks ini, takdir
manusia dibangun oleh sekian banyak hu.kum atau takdir, yaitu unsur-unsur yang
mempengaruhi dan membangun tubuhnya.
Jika demikian, takdir Allah mengenai umur manusia, rizqi, mati, bahagia dan
susahnya yang sudah ditetapkan atau ditakdirkan oleh Allah,32 mestinya tidak
dipahami sebagai sesuatu yang sudah pasti dan ada begim saja, akan tetapi harus
dipahami sebagai “sesuatu yang adanya

30
Qadla bermakna “‫اﻟﺤﻜﻢ‬
‫م‬ ” (hukum), dan takdir juga memiliki makna “‫” اﻟﺤﻜﻢ‬
(hukum). (Ibnu Manzur, op. Cit., juz 5, hal. 74-76 dan juz 15, hal 186).
”Manusia berasal dari bahasa Arab “al Insan”. Nama “al Insan” ditetapkan oleh Allah terhadap
manusia, karena ia memiliki si£at lupa . (Ibnu Manzur op. Cit., juz 6, hal. 11, dan Al Alusiy, Op. Cit., juz 1,
hal. 143). Penetapan nama ini paling tidak didasarkan atau dibangun atas dasar ‫؛؛‬a^akter atau sifat yang ada
pada manusia yaitu “lupa”“. Akan tetapi manusia memiliki banyak karakter atau sifat yang hal ini dibangun
atas berbagai hal yang mempengaruhinya, sehingga membentuk hukum atau takdirnya. Tubuh manusia
adalah bangunan yang memiliki struktur yang terdiri dari ،organ-organ seperti pendengaran, penglihatan,
akal, hati, dan organ- organ lain yang begitu banyak dan saling berelasi secara erat. Setiap organ dibangun
atas sekian banyak unsur yang juga saling berelasi membangun tubuh manusia.
3
^Pemahaman tentang takdir ini didasarkan pada hadits nabi yang diriwayatkan oleh imarn Bukhari
No. 6900, Muslim N'o. 4781, Turmudzi No. 2063, Abu Dawud 4085. 0‫ﻤﺢ‬,‫ ﻟ‬dan ٨١Asy’ariy, op. Cit. Hal. 62.

52~ Tauhid
dibangun oleh berbagai macam takdir yang saling berelasi dan mempengaruhi
manusia”, membentuk umur manusia, rizqi, mati, bahagia dan susahnya. Takdir Allah
tentang umur dan mati misalnya, tidak berarti bahwa setiap manusia telah ditetapkan
umurnya 10 tahun, 20 tahun atau 50 tahun dan seterusnya, sehingga pada saat manusia
sampai pada umur yang ditetapkan maka manusia harus mati. Akan tetapi manusia
berada dalam ruang dan waktu, dan berjalan sesuai hukum dan takdir Allah di alam
semesta ini yang mana banyak hal yang bisa mempengaruhi matinya manusia.
Manusia memang tidak mengetahui berapa umurnya dan kapan akan mati, tetapi
manusia bisa mengusahakan agar umurnya menjadi panjang dan tidak eepat mati,
dengan cara mengikuti, menyesuaikan, dan menyikapi berbagai hukum atau takdir
Allah yang ada di alam semesta. Makanan yang sehat dan bergizi akan mempengaruhi
kesehatan manusia, dan selanjutnya kesehatan mempengaruhi umur manusia. Manusia
yang sehat jasmani dan rohani akan cenderung panjang umur dan tidak cepat mati,
sebaliknya manusia yang tidak sehat cenderung akan pendek umur dan cepat mati. Ini
adalah hukum atau takdir Allah, dan hanya sebagian contoh dari hukum atau takdirNya
yang mempengaruhi umur dan matinya manusia. Masih banyak hal yang
mempengaruhi umur dan mati manusia, seperti sakit, kecelakaan, tertembak, dibunuh,
atau sudah tua sehingga organ-organ tubuhnya tidak bisa berfungsi secara baik
sehingga menyebabkan mati.
Yang menjadi persoalan adalah bahwa “mati atau ajal” dianggap sebagai takdir
Allah, sedangkan peristiwa sebelum manusia mati dianggap sebagai bukan takdir. Mati
adalah takdir Allah, keadaan sakit sebelum tnanusia mati juga takdir Allah, dan
keadaan sehat sebelum manusia sakit juga takdir Allah. Setiap detik keadaan manusia
sebelum mati adalah peristiwa, dan setiap peristiwa yang terjadi pada manusia adalah
takdir, yang dibangun oleh sekian banyak hukum atau takdir yang lain. Jadi, takdir
“mati” nya manusia dibangun oleh berbagai macam faktor dan

Tauhid ~53
unsur - dalam kadar, ukuran, bentuk, dan keadaan yang bermacam-macam -yang
mempengaruhi manusia, jika faktor-faktor dan unsur-unsur yang mempengaruhi
manusia itu baik, makan ia akan cenderung panjang umur, tetapi jika sebaliknya, maka
ia akan pendek umurnya dan cepat mati. Demikian halnya dengan takdir rezeki,
bahagia, susahnya manusia juga dibangun oleh berbagai faktor dan unsur yang
semuanya berjalan mengikuti dan sesuai hukum atau takdir 'Allah.
Do a, silaturrahmi, shadaqah, dan berbuat baik juga merupakan bagian dan sekian
banyak unsur yang membangun takdir tentang umur, mati, rezeki bahagia dan susah
manusia. oleh karenanya do’a, silaturrahmi, shadaqah, dan berbuat baik dikatakan
sebagat hal-hal yang bisa merubah takdir.33 Setiap perbuatan baik, akan berpengaruh
terhadap kesehatan manusia. Do’a adalah bagian dari zikir, dan zikir menjadikan hati
manusia tenang34|Jika hati tenang,secara psikis dia juga sehat. Dengan silaturrahmi,
manusia bisa memecahkan berbaga. persoalan hidup dan beban yang •ada di dalam
pikirannya, sehingga kalau manusia adak banyak piktam atau stress, ia tidak akan
mudah sakit. Disampingitu, dengan silaturrahmi bisa terjalin relasi-relasi, yang dalam
konteks bisnis, akan banyak mendatangkan rezeki.shadaqah menjadikan manusia tidak
mudah khawatir, tidak mudah susah, dan akan cenderung merasa aman dan
lingkungannya» Semua hal di ini merupakan hukum-hukum yang b sa mempengaruhi
dan merubah takdir manusia tentang mau, umur, riziu, bahagia, dan susahnya.
Bagaimana takdir tentang petbua.au manusia
Manusia dibangun oleh organ-organ yang begitu banyak mulai dari hati, akal,
pendengaran, penglihatan, jantung, paru-paru dan lain-lainnya,
Fikr, 1401 H, juz 4, hal. 381.

3
،Qs. 2: 262, 274, ^77.

54~ Tauhid
yang kesemuanya saling berelasi dan mempengaruhi takdir manusia. Disamping
itu, manusia dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungannya' mulai dari lingkungan
keluarga, pendidikan, pergaulan, sosial, ekonomi, bahkan geografi dan
lingkungan lainnya, yang kesemuanya memiliki hukum-hukum sesuai dengan
takdir dan sunnah Allah, dan sangat mempengaruhi perilaku dan takdirnya.
Kemampuan akal dan ketajaman hati sangat dipengaruhi oleh lingkungan-
lingkungan tersebut. Ketajaman hati dan akal ini akan membentuk perilaku
seseorang.
Saling pengaruh antar unsur yang membangun manusia, baik yang ada di
dalam tubuh manusia maupun yang ada di luar tubuh‫ ا‬manusia, menimbulkan
gerak, gerak-gerak inilah yang menimbulkan perbuatan manusia. Perilaku atau
perbuatan manusia merupakan eermtnan dari apa yang ada di dalam hatinya, dan
hati merupakan kendali utama bagi perbuatan manusia. Jika hati manusta baik,
maka seluruh keadaan menjadi baik, tetapi sebaliknya jika hati manusia tidak
baik, maka seluruh keadaan manusia menjadi tidak baik pula.37’ Hati manusia
mengetahui baik dan buruk,38 dan jika kebaikan mendominasi hati manusia maka
ia akan berbuat baik, dan jika keburukan mendominasi hatinya maka dia akan
berbuat jahat. Dengan demikian, perbuatan manusia bukan diciptakan oleh Tuhan
— dalam arti baik dan buruk, detik demi detik — seperti pandangan golongan
jabariah, dan bukan diciptakan oleh manusia sendiri - dengan segala kemampuan
hati dan akalnya — seperti pendapat golongan Qadirah dan Mu’tazilah, tetapi
diciptakan dan dibentuk oleh saling pengaruh antar unsur yang membangun
manusia, dan oleh lingkungan- lingkungan yang mempengaruhi dan membangun
kepribadiannya, yang kesemuanya dalam kerangka hukum-hukum atau takdir
Allah.

37
Al Alusiy, ‫©م‬Cit., juz 22, hal. 100, HR. Bukhori No. 50, dan Muslim No. 2996. 58 38Qs.
91:8.

Tauhid ~55
Kesimpulan
Dalam konsep Foucault, pengetahuan merupakan jejaring (unity of) tanda-tanda
(bahasa) bermakna yang diurai dan diinterpretasi (dalam bentuk wacana), yang
melibatkan berbagai disiplin, institusi, dan profesional, yang kesemuanya saling
berelasi membangun pengetahuan. Bahasa adalah tanda-tanda bermakna dengan daya-
daya tersembunyi yang menyediakan kesahihan internalnya bagi kebenaran
pengetahuan. Dalam konsep ini, kata “takdir” memiliki makna-makna tersembunyi “‫ا‬
‫(”اﻟﺤﻜﻢ‬hukum), “‫( ”اﻟﻘﻀﺎء‬ketetapan), “‫( ”اﻟﻄﺄﻗﺔ‬kekuatan, daya, potensi), ”‫اﻟﻤﻘﯿﺎس‬
(ukuran), dan ““‫( ”اﻟﻘﻀﺎء اﻟﻤﻮاﻓﻘﺎ‬ketetapan yang sesuai), dan “‫( ”اﻟﺘﺤﺪﯾﺪ‬batasan). semua
makna ini merupakan realitas-realitas yang tidak bisa diabaikan, dan ada di dalam kata
“takdir”. Realitas-realitas ini saling berelasi membentuk jaringan dan merupakan
unsur-unsur yang membangun makna takdir.
Dengan demikian, dapat dipahamt bahwa “takdtr” adalah “hukum Allah”. Hukum
yang ditetapkan dan dibangun berdasarkan “kekuatan, daya, potensi”, “ukuran”, dan
“batasan” tertentu yang aela pada sesuatu. Setiap unsur terkecil di alam semesta
memiliki hukum atau takdirnya ' yang sudah ditetapkan oleh Allah secara rinci dan
detail, yang berarti juga memiliki hukum, potensi, sifat dan karakteristiknya ’
Setiap unsur tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling
berpengaruh dan berelasi satu dengan yang lainnya membentuk bangunan lain, yang
berarti membangun hukum atau takdir yang lain pula. Saling pengaruh antar unsur
membentuk “peristiwa”, dan setiap peristiwa juga merupakan takdtr, karena dibangun
oleh hukum-hukum atau takdir-takdir yang lain.
Takdir Allah memiliki arti yang sama dengan qadla yaitu “hukum” yang bersifat
rinci. Ini berarti bahwa takdir Allah bersifat rinci dan detail (tafsiliy) bukan global
(ijmaliy), juga tidak bertingkat-tingkat seperti azali tsanawi atau hauli, ‘umri,yaumi, dan ilmi,
kitabi atau kitabah, musytah dan

56~ Tauhid
khalqi, akan tetapi terus berlangsung dan berlanjut setiap saat di setiap tempat atau azali
). Semua takdir Allah diketahui, ditulis, dikehendaki, dan dicipta oleh Allah dala‫؛‬n
bentuk “Program Besar Allah”. Dengan demikian, tidak ada kontardisks ،antara qadla
dan qadar, dan antara takdir Allah yang azali dan takdir Allah mengenai umur, ajal,
rezeki, susah dan bahagianya manusia. Semua hal di alam semesta ini berjalan sesuai
dengan hukum-hukum Allah.
Takdir manusia, baik umur, ajal, rezeki, susah, bahagia, dan perbuatannya, sangat
dipengaruhi, ditentukan, dan dibangun oleh begitu banyak hukum atau takdir sesuatu
yang ada di alam semesta, yang mempengaruhi dan membentuk takdir manusia. Setiap
keadaan manuisa adalah takdir yang dibentuk oleh takdir-takdir yang lain. Demikianlah
takdir.

3. Akal dan Wahyu


Persoalan akal dan wahyu telah lama menjadi wacana dan perdebatan di kalangan
intelektual muslim sejak abad ke-3 khjriah, bahkan sampai sekarang persoalan ini
masth banyak diperbincangkan.
Al-Qur’an tidak terpisah dari realitas, tidak melangkahi, atau melampaui hukum-
hukum realitas, justru fenomena tersebut merupakan bagian dari konsep-konsep budaya
dan muncul dari konvensi dan konsepsi budaya itu.39

Artinya : Mereka mempunyai hati, tetapi tidak untuk memahami (ayat-


ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah),
39
Nasr Chamid Abu Zaid, Tekstalitas al-Quran, 33‫؛آا‬،‫ا‬. .

Tauhid ~57
dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-
ayat Allah.

Arinya maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati
yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu
mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi
yang buta, ialah had yang di dalam dada.

Artinya : Dan demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah


mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.

Artinya: Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu ’(dari
jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian
yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau
Tuhanmu mengehendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah
mereka dan apa yang mereka ada-adakan

58~ Tauhid
Artinya : Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut ‘Isa yang setia:
“Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku”. Mereka menjawab: “Kami telah
beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang
yang patuh (kepada seruanmu)”.

Artinya : Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut


nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu
adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-
kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya
kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.

Artinya : Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang- sarang di


bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”.

Artinya : yaitu ketika kami mengilhamkan kepada ibumu ssesuatu yang diilhamkan

Tauhid 59~
Artinya: Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata- kata dengan
dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus
seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia
kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.

60~ Tauhid
BAB V
AQIDAH POKOK DAN CABANG SERTA
FUNGSI TAUHIDBAGI KEHIDUPAN MANUSIA

A .Kompetensi Dasar
Mahasiswa mampu memahami aqidah pokok dan cabang serta fungsi tahuid
bagi kehidupan manusia.

B. Indikator Hasil Belajar


1. Mendefinisikan aqidah pokok dan cabang.
2. Menyebutkan perbedaan antara aqidah pokok dan cabang.
3. Menyebutkan cakupan aqidah pokok dan cabang
4. Menunjukkan fungsi tauhid bagi kehidupan manusia

C. Peta Konsep

Tauhid ~ 61
D. Pembahasan Materi
Gerakan Muwahhidun
Pada akhir abad ke-18, di tanah Arab terdapat gerakan purifikasi (pemurnian)
bidang aqidah. Gerakan ini dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Karenanya,
para sejarawan menyebut gerakan ini dengan sebutan Gerakan Wahabi, dinisbahkan
kepada nama pemimpinnya. Abdul Wahhab sendiri menyebut gerakannya dengan
muwahhidun, karena tujuannya adalah mengembalikan umat Islam kepada tauhid yang
murni.
Gerakan pemurnian tauhid dilakukan oleh Abdul Wahhab dan pengikutnya,
akarena menurutnya tauhid umat islam waktu itu tidak murni dan telah terkotori oleh
berbagai limah aqidah, seperti tahayul, bid’ah, khurafat, washilah dan sebagainya.
Inilah yang menjadikan umat Islam waktu itu mengalami kemunduran. Sebab, tauhid
yang telah kotor tidak akan mampu menjadi spirit bagi kemajuan. Ibarat cermin yang
kotor dan lusuh, ia tidak akan mampu menampilkan bayangan yang jernih, sehingga
bayangan yang dipantulkan menjadi kabur. Padahal, dalam pandangan Abdul Wahhab,
tauhid adalah landasan paling esensial bagi umat Islam. Jika landasannya tidak kokoh
dan telah tercemar, maka ibarat bangunan pondasinya tidak kuat sehingga bagian
bangunan di atasnya akan goyah, bahkan lama-lama akan roboh.
Demikian pentingnya kemurnian aqidah, Muhammad bin Abdul Wahhab dan
pengikumya berusaha untuk membasmi segala sesuatu }•ang dianggapnya dapat
mengotori aqidah. Pohon-pohon besar, batu besar, kuburan para wali yang sering
didatangi dan dipuja oleh umat Islam waktu itu ditebang dan dibongkar. Bahkan,
kuburan nabi dan para sahabat pun akan dtratakan dengan tanah. Beruntung,
pemerintah Arab Saudi waktu itu mencegalmya.
Bagaimana tanggapan anda terhadap kisah di atas ? Setujukah anda bahwa aqidah
adalah hal yang paling penting dalam struktur keimanan seseorang ? Kemudian,
tahukah anda berbagai persoalan yang berkaitan

62~ Tauhid
dengan aqidah ? Untuk dapat menjawab berbagai persoalan tersebut, simaklah uraian
berikut dengan cermat dan teliti
1. Pengertian aqidah pokok dan cabang
Aqidah umat Islam pada masa Nabi SAW dan dua kahalifah sesudahnya, yaitu Abu
Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khathab masih utuh dan dapat dipersatukan.
Persoalan-persoalan yang muncul berkaitan dengan persoalan aqidah dapat
diselesaikan tanpa menimbulkan perpecahan. Keutuhan aqidah yang mencakup enam
rukun iman mengkristal secara kuat dalam keimanan umat Islam waktu ‫؛‬tu. Inilah yang
dalam ilmu tauhid diistilahkan dengan aqidah pokok.
Akan tetapi, pasca pemerintahan Umar umat Islam mengalami berbagai kemelut.
Puncaknya adalah kedka Khlaifah Usman bin Affan dibunuh oleh para pemberontak
yang sebagian besar berasal dari Mesir karena tidak puas dengan kebijakan politik
Usman. Kejadian ini ternyata tidak berhenti ketika Ali bin Abi Thalib tampil sebagai
khlaifah keempat '' Usman. Bahkan, pada masa Ali ini berbagai perbedaan dan
pertikaian sering terjadi, terutama berhadapan dengan kelompok Muawiyah.
Berawal dari perbedaan dan pertikaian tersebut, lahirlah berbagai kelompok yang
masing-masing mengklaim bahwa merekalah yang paling benar. Klaim kebenaran ini
tidak hanya berkaitan dengan masalah politik, tetapi juga menyangkut persoalan
aqidah, misalnya tentang Tuhan, pelaku dosa besar, mukmin, kafir dan seterusnya.
Keutuhan dan kesatuan aqidah sebagaimana terpelihara sampai masa Umar, tidak lagi
dapat dipertahankan. Sebaliknya, banyak penafsiran dan pemahaman yang muncul dari
masing-masing kelompok terhadap aspek-aspek yang terdapat dalam rukun iman.
Pemahaman dan penafsiran inilah yang disebut dengan aqidah cabang.

Taubid ~63
Dengan demikian, dapat ditarik beberapa perbedaan antara aqidah pokok dan
cabang, antara lain:
a. Aqidah pokok terlahir karena adanya kemapanan, kesatuan dan keutuban
keyakinan umat Islam, karena dap persoalan yang muncul selalu dapat
diselesaikan dan diterima secara bulat. Sedangkan aqidah cabang muncul sebagai
akibat adanya perpecahan dan perbedaan di kalangan umat Islam yang tidak
dapat disatukan.
b. Aqidah pokok terwujud karena tidak terdapat unsur-unsur kepentingan
kelompok di dalamnya, sedangkan aqidah cabang berkembang sejalan dengan
berbagai kepentingan kelompok yang berbeda, terutama klaim-klaim kebenaran
guna mempertahankan kelompok masing-masing.
c. Aqidah pokok secara murni didasarkan kepada Al-Quran dan tuntunan Nabi,
sedangkan aqidah cabang umumnya didasarkan
- kepada penafsiran dan pemahaman masing-masing sehingga muncul perbedaan.
d. Dalam aqidah pokok umumnya tidak menimbulkan perbedaan pendapat,
sedangkan dalam aqidah cabang identik dengan perdebatan dan perbedaan
pendapat.

2. Cakupan Aqidah Pokok


Seperti dikemukakan di atas, aqidah pokok umat Islam mencakup enam rukun
iman, yaitu: a. Iman kepada Allah
Iman atau percaya kepada Allah adalah rukun iman yang pertama. Iman kepada
Allah berarti juga mengimani segala sifat-sifatnya yang dapat diklasifikasikan
menjadi empat yaitu:
1) Sifat Nafsiyah, yaitu sifat yang berhubungan dengan zat Allah SWT. Adapaun yang
tergolong sifat ini adalah wujud.

64 Tauhid
2) Sifat Salbiyah, yaitu sifat Allah yang menolak sifat-sifat yang tidak sesuai atau tidak
layak bag‫ ؛‬Allah, yaitu:
a) Qidam menolak huduts
b) Baqa’ menolak fana
e) Mukhalafatulilhawaditsi menolak mumatsalatulil-hawaditsi
d) Qiyamuhubinafsihi menolak ihtiyajuhu ila ghairihi
e) Wahdaniyah menolak atta’addudu.
‫)و‬ SifatMa’ani,yaitu sifat-sifat wajib bagi Allah yang dapat digambarkan oleh akal
pikiran manusia, serta dapat meyakinkan orang lain sebab kebenarannya dapat
dibuktikan oleh pancaindera. Yang termasuk sifat ini adalah : qudrat, iradat, ilmu,
hayat, sama’, busbar, kalam.
4) Sifat Ma’nawiyah, ialah sifat-sifat Allah yang merupakan penjabaran dari sifat ma’ani,
yaitu: kaunuhu qadiran, kaunuhu muridan, kaunuhu ‘aliman, kaunuhu hayyan, kaunuhu
sami’an, kaunuhu bashiran, kaunuhu mutakalliman.
Di samping mempercayai sifat-sifat, iman kepada Allah juga percaya sepenuhnya
terhadap nama-nama-Nya, yang Allah atau rasul-Nya telah menyebutkan, seperti al-
awvval, alk-akhir, az-zahir al-bathin, al-qadir, al- hayy, al-qayyum, as-sami’dan al-bashir.
Demikian juga, menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
1) Tidak mengubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki lafaz.
2) Tidak menghilangkan pengertian lafaz
3) Tidak mengingkarinya
4) Tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran atau hati,
apalagi dengan indera
5) Tidak menyerupakan (apalagi menyamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat
makhluk-Nya. Hal ini disebabkan bahwa tiada sesuatupun yang dapat menyerupai-
Nya.

Tauhid ~65
b. Iman kepada malaikat
Aqidah pokok kedua adalah beriman atau percaya kepada malaikat- malaikat
Allah‫ا‬. Malaikat diciptakan oleh Allah dari nur(cahaya). Mengenai bentuk fisik dan rupa
tidak ada yang mengetahui kecuali Allah. Malaikat tidak memiliki hawa nafsu,
sehingga terbebas dari dosa. Jumlah malaikat Allah banyak sekali, tetapi yang wajib
diketahui oleh manusia berjumlah 10 dengan tugasnya masing-masing:
1) Jibril. Tugasnya adalah menyampaikan wahyu Allah kepada para rasul dan nabi.
Di samping itu, Jibril juga menjabat sebagai kepala/ pimpinan para malaikat.
2) Mikail, tugasnya mengatur kesejahteraan umat manusia, misalnya mengatur hujan,
angin, dan rezeki kepada seluruh makhluk.
3) Izrail, ia bertugas mencabut ruh/nyawa semua jenis makhluk hidup baik manusia,
jin, setan, iblis, dan malaikat sendiri apabila telah tiba saatnya.
4) Munkar, bertugas menanyai manusia di dalam kubur.
‫ )ة‬Nakir, bertugas menanyai manusia ‫ ه‬dalam kubur.
6) Raqib, bertugas mencatat semua amal kebaikan manusia.
7) Atid, bertugas mencatat semua keburukan manusia.
8) Israfil, bertugas meniup sangkakala pada hari kiamat dan hari kebangkitan.
9) Ridwan, bertugas menjaga surga.
10) Malik, tugasnya menjaga neraka.
c. Iman Kepada Kitab-Kitab Allah
Rukun iman yang ketiga adalah percaya kepada kitab-kitab Allah. Artinya,
meyakini bahwa Allah telah menurunkan kitab-kitab kepada para nabi. Tujuan Allah
menurunkan kitab-kitab adalah agar menjadi pedoman hidup umat manusia menuju
jalan hidup yang benar sesuai dengan kehendak Allah sehingga mencapai kebahagiaan
hidup dunia dan akhirat.

66~ Tauhid
Di antara kitab-kitab yang telah diturunkan ،Allah kepada para Nabi, ada empat
yang wajib diketahui, yaitu:
1) Taurat diturunkan kepada Nabi Musa a.s.
2) Zabur diturunkan kepada Nabi Daud a.s.
3) Injil diturunkan kepada Nabi Isa a.s.
4) Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
Mengingat kitab-kitab tersebut berasal dari sumber yang satu, yaitu Allah SWT,
maka kandungan isinya tidak ada yang bertentangan dan mengajarkan hal yang sama.
Andaikata, terdapat beberapa unsur ajaran dalam kitab-kitab suei Allah yang
berlawanan, maka dapat dipasttkan bahwa hal itu terjadi karena di dalam kitab tersebut
telah diselewengkan oleh manusia. Artinya, kitab tersebut ddak murni lagi. Sebagai
contoh, saat ini ddak terdapat kitab Taurat yang asli, Taurat yang berkembang sekarang
adalah hasil karangan atau tulisan orang-orang Yahudi pada wakm dan masa yang
berbeda. Kejadian ini dapat juga terjadi pada kitab suci yang lain, selain Al-Qur’an.
Sebab kemurnian dan keotentikan Al- Qur’an dijamin oleh Allah.
Khusus mengenai Al-Qur’an, di dalamnya terdapat banyak keistimewaan jika
dibandingkan dengan kitab suci lainnya. Di antara keistimewaannya ialah:
1) Al-Qur’an sebagai penyempurna kitab-kitab sebelumnya.
2) Isi Al-Qur’an mencakup seluruh persoalan hidup manusia.
3) Al-Qur’an tidak tertandingi kehebatannya, baik dari segi isi maupun redaksinya.
4) Al-Qur’an terpelihara kemurniannya sepanjang masa.
‫ )ة‬Al-Qur’an merupakan petunjuk dan rahmat bagi seluruh isi alam.
6) Al-Qur’an paling banyak dibaca orang.
7) Membaca Al-Qur’an bernilai ibadah.
Karena keistimewan-keistimewaan di atas, .Al-Qur’an merupakan mukjizat yang
agung, ilmiah clan rasional. Ajarannya jelas, lengkap dan

Tauhid ~67
berlaku sepanjang zaman. Al-Qur’an adalah Kalam Allah, bukan kumpulan perkataan
kata mutiara atau puisi yang disusun oleh manusia.
Selain mneurunkan kitab, di dalam Al-Qur’an juga disebutkan bahwa Allah
menurunkan shuhuf sebanyak seratus shuhuf. Shuhuf-shuhuf ini diberikan kepada tiga
orang nabi, dengan rincian sebagai berikut:
1) Enampuluh shuhuf diberikan kepada Nabi Syits a.s.
2) Tiga puluh diberikan kepada Nabi Ibrahim a.s.
3) Sepuluh diberikan kepada Nabi Musa a.s. (selain diberikan kitab Taurat, Nabi
Musa a.s. juga menerima shuhuf).
d. Iman kepada Rasul-Rasul Allah
Iman kepada rasul-rasul Allah artinya mempercayai bahwa Allah SWT telah
mengutus para rasul-Nya untuk menyampaikan ajaran agama dan membimbing umat
manusia pada jalan yang lurus.
Terdapat perbedaan antara nabi dan rasul. Yang dinamakan nabi ialah: seorang
laki-laki yang merdeka yang mendapatkan wahyu dari Allah -dengan hukum syara’
untuk diamalkan sendiri.
S(' angkan rasul adalah: seorang laki-laki merdeka, yang mendapatkan wahyu
Allah dengan hukum syara’ untuk diamalkan sendiri serta disampaikan kepada orang
lain.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang nabi mendapatkan wahyu
dari Allah untuk diamalkan sendiri. Kepadanya tidak diwajibkan menyampaikan atau
mengajarkan wahyu yang diterimanya tersebut kepada orang lain. Sedangkan rasul,
selain untuk diamalkan sendiri wahyu yang diterimanya dari Allah wajib disampaikan
kepada orang lain. Baik nabi maupun rasul adalah seorang laki-laki, bagaimana
ditegaskan Allah dalam A1-Qur’an surat Al-Anbiya’ : 7

7 ‫وﻣﺎ آرﺳﻠﻨﺎﻗﺒﻠﻚ اﻻرﺟﺎﻻ ﻧﻮﺣﻲ اﻟﯿﮭﻢ اﻻﻧﺒﯿﺎء‬

68~ Tauhid
Artinya: Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad) melainkan
beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepadanya.
Mengenai jumlah nabi dan rasul tidak ada yang mengetahui seeara pasti, kecuali
Allah SWT. Akan tetapi, yang wajib diketahui dan diimani dari keseluruhan nabi dan
rasul sebanyak 25 orang yaitu:
1) Nabi Adam a.s 16) Nabi Zulkiflt a.s
2) Nabi Idris a.s 17) Nabi Daud a.s
3) Nabi Nuh a.s 18) Nabi Sulaiman a.s
4) Nabi Hud a.s 19) Nabi Ilyas a.s
5) Nabi Saleh a.s 20) Nabi Ilyasa a.s
6) Nabi Ibrahim a.s 21) Nabi Yunus a.s
7) Nabi Luth a.s 22) Nabi Zakaria a.s
١» Nabi Ismail a.s 23) Nabi Yah}'a a.s

‫)و‬ Nabi Ishaq a.s 24) Nabi Isa a.s


10) Nabi Ya’qub a.s 25) Nabi Muhammad SAW
11) Nabi Yusuf a.s
12) Nabi Ayyub a.s
13) Nabi Syu’aib a.s
14) Nabi Musa a.s
15) Nabi Harus a.s
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan keberadaan nabi dan rasul antara lain
suratYunus : 47, Al-Baqarah : 136, Al-An’am : 84, Al-Anbiya’: 85, Ali Imran : 33, Al-
A’raf : 65, AL-Ahzab : 61 dan masih banyak lagi.
Dari 25 orang rasul yang harus diketahui dan diimani tersebut terdapat beberapa
rasul yang disebut ulul azmi, artinya rasul-rasul yang mempunyai keteguhan hati sangat
mengegumkan, ketabahan luar biasa, dan kesabarannya tidak ada batasnya. Meskipun
mereka harus berhadapan dengan berbagai celaan, hinaan, bahkan siksaan, mereka
tetap tegar dan selalu bertawakkal dalam menyampaikan ajaran Allah kepada umat
manusia.

Tauhid "69
Nama-nama rasul Allah yang termasuk ulul azmi tertuang dalam Al- Qur’an surat
Al-Ahzab : 7

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi- nabi dan dari
kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan kami telah
mengambil dari mereka perjanjian yang teguh. Berdasarkan ayat di atas, yang
termasuk rasul ulul azmi adalah:
1) Nabi Muhammad SAW
2) Nabi Ibrahim a.s
3) Nabi Musa a.s
4) Nabi Isa a.s ،
5) Nabi Nuh a.s.
Rasul-rasul Allah mempunya ‫؛‬sifat-s‫؛‬fat wajib, yang disebut sifat wajib bagi rasul
yaitu:
1) Shiddiq, artinya jujur/benar segala ucapannya. Mustahil bagi mereka berbohong
atau berdusta, setiap pengakuannya berrarti kebenaran. Demikian juga
pengakuannya sebagai utusan Allah dan apa yang disampaikannya.
2) Amanah, artinya terpecaya. Rasul mustahil berbuat khianat. Mereka benar-benar
terpercaya (amanah). Para rasul terpelihara dari perbuatan dosa atau maksiat lahir
dan bathtn (ma’sum).
3) Tabligh, artinya menyampaikan segala sesuatu yang datang dari Allah. Mustahil
para rasul tidak menyampaikan atau menyembunyikan (,kitman) segala sesuatu yang
diterima dari Allah. Karena sifat tabligh tersebut, ajaran yang dibawanya
mendapatkan pengikut dan dapat berkembang secara luas dan cepat.

70~ Tauhid
4) Fathanah, artinya cerdas. Para rasul cerdas dan pandai, mustahil mereka bodoh.
Wajib bagi rasul cerdas dan pandai dalam segala hal. Sebab, jika rasul bodoh,
maka akan mudah dikalahkan oleh para penentangnya dan ajaran yang
disampaikan akan diremehkan, bahkan ditolak.
Selain mempunyai sifat wajib, para rasul juga memiliki sifat jaiz; (boleh atau
wewenang) yaitu berprilaku sebagaimana umumnya manusia, misalnya makan, minum,
merasakan dahaga, lapar, sakit dan sebagainy'a. Dalam hal pekerjaan, ada yang
menjadi pedagang, tukang kayu, raja dan sebagainya. Sifat jaizi ni tidak menurunkan
derajat kerasulannya. Rasul boleh berasal dari keluarga bangsawan atau lainnya, tetapi
yang jelas mustahil seorang rasul berasal dari keluarga pencuri, garong, pendusta,
bandit dan sejenisnya. Selain itu, rasul mustahil dihinggapi sejenis penyakit yang dapat
menodai atau menurunkan derajat kerasulannya, misalnya gila, tuli, bisu, ayan dan
sebagainya,
e. Iman kepada ‫^؛‬ari Kiamat
Sekalipun kapan datangnya hari kiamat tidak diketahui, tetapi menurut para ulama
ada tanda-tanda yang menunjukkan akan datangnya hari tersebut : tanda-tanda kiamat
kecil (sughra) dan tanda-tanda kiamat besar (kubra).
Tanda-tanda kiamat sughra (kecil)
1) Ilmu agama dianggap tidak penting, bahkan kian lama orang makin
merendahkannya.
2) Ahli agama banyak yang meninggal dan tidak ada penggantinya, sehingga
tampillah orangorang yang tidak ahli mengurusi urusan agama. Muncullah fatwa-
fatwa tentang agama yang tidak benar sehingga sesat dan menyesatkan.
3) Kebodohan mewabah dimana-mana.
4) Perzinaan merajalela.

Tauhid ~71
5) Minuman keras dijual bebas dan para peminum tidak memiliki rasa malu.
6) Banyak terjadi kekaburan identitas antara laki-laki dan perempuan.
7) Fitnah ada dimana-mana dengan berbagai bentuk dan caranya.
8) Menjamurnya pembunuhan tanpa alasan yang hak.
9) Manusia bergeliman dengan harta benda dan bangga dengan kekayaannya.
Tanda-tanda kiamat kubra (besar)
1 (Matahari terbit dari arah Barat
2) Munculnya binatang aneh yang mampu bercakap-cakap yaitu memberitahukan
kepada orang-orang yang tidak beriman kepada ayat- ayat Allah. Tentang hal ini
Allah berfirman dalam surat An-Naml: 82.

Artinya: Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka. Kami keluarkan sejenis
binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa
sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.
Rasulullah SAW bersabda:
Yang artinya: Sesungguhnya tanda-tanda pertama datangnya hari kiamat ialah
terbitnya matahari dari arah barat dan datangnya binatang di tengah-tengah
khalayak pada waktu dhuha. Jika salah satu muncul lebih dahulu, maka yang
satunya akan segera menyusul. (HR.Muslim dan Abu Daud).

72~ Tauhid
3) Turunnya Imam Mahdi. Nabi SAW bersabda :
Yang artinya: Sesungguhnya Imam mahdi akan keluar pada akhir zaman, namanya
Muhammad bin Abdillah atau Ahmad bin Abdillah. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
4) Munculnya Al Masih ad Dajjal penggembala yang banyak dustanya). Dajjal ini akan
berusaha mengajak umat manusia berpaling dari agama yang benar. Dalam haji
wada’ (haji perpisahan), Nabi SAW bersabda tentang Dajjal ini:
Yang artinya: Tiada seorang nabi pun yang diutus oleh Allah, kecuali nabi itu
menakut-nakuti umatnya perihal Dajjal. Dajjal akan muncul di tengah-tengah
kalian secara nyata. Dan nyata pula bagimu bahwa Tuhanmu benar-l^enai- tidak
bermata sebelah. Sesungguhnya Dajjal itu bermata satu karena mata kanannya
tidak berfungsi dengan baik, jadi hanya bisa melihat dengan mata kirinya.
(HR.Bukharai dan Muslim).
5) Turunnya Nabi Isa a.s untuk membunuh Dajjal dan menghancurkan tiang-tiang
salib, membunuh babi dan menghapuskan segala bentuk penindasan kepada
manusia.
6) Keluarnya bangsa Ya’juj dan Ma’juj (bangsa ini hidup pada zaman Raja Zulkarnain).
Mereka bangsa yang gemar berbuat kerusakan dan keributan sehingga
pemerintahan waktu itu mengalami kekacauan. Akhirnya Raja Zulkarnain dengan
dukungan rakyatnya membuat dinding dari besi bulat dengan ukuran besar sebagai
penjara mereka. Menjelang hari kiamat kelak, pagar tembok itu akan hancur rata
dengan tanah dengan izin Allah. Tentang hal ini tertuang dalam Al- Qur’an surat
A1-Kahfi : 83-101.
7) Robohnya Ka’bah akibat perbuatan seorang laki-laki dari Habsyi (Ethiopia),
sebagaimana sabda Nabi SAW:
Yang artinya: Akan merusak ka’bah orang yang memiliki dua roti sawiq, yaitu
laki-laki dari Habsyi (Ethiopia). (HR.Muslim).

Tauhid ~73
8) Hilangnya mushaf Alqur’an dari muka bumi. Tidak tersisa $am huruf pun ayat-
ayat Al-Qur’an, kecuali kertas putih. Pada situasi seperti ini tidak seorang yang
mampu mengingat satu ayat pun bunyi firman Allah dalam Al-Qur’an.
9) Seluruh manusia di muka bumi menjadi kafir, sehingga tidak ada lagi orang yang
melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Inilah tanda- tanda paling akhir dari Itiamat
kubra. Kemudian, atas perintah Allah Malaikat Israfil akan meniup sangkakala
sebagai tanda tibanya hari kiamat.
f. Iman kepada Qada dan Qadar
Qada adalah kepastian, sedangkan qadar ialah ketentuan. Keduanya ditetapkan oleh
Allah untuk seluruh makhluk-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan beriman kepada
qada dan qadar ialah setiap manusia wajib mempercayai bahwa atas dirinya ada
kepastian dan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah sezak zaman azali, jadi
semua yang akan terjadi, sedang atau sudah terjadi di dunia ini semuanya telah
diketahui oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Hadid : 22

Artinya : Tiada suatu bencana pun yang menimpa manusia di bumi (dan tidak pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (di LauhulMahfudz) sebelum
Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.
Mengenai qada dan qadar ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Berbagai pandangan dan perbedaan pendapat tersebut akan diuraikan pada bab berikut.

74~ Tauhid
3. Cakupan Aqidah Cabang
Seperti dikemukakan terdahulu, aqidah cabang adalah persoalan- persoalan
aqidah yang diperselisihkan (ikhtilaf). Adanya perselisihan ini, disebabkan oleh
berbagai hal antara lain persoalan politik, kepentingan kelompok, serangan dari
pihak luar Islam dan berkembangnya pemikiran filsafat yang mempengaruhi pola
pikir umat Islam. Adapun cakupan aqidah cabang adalah:
a. Tuhan
Dalam kenyataannya, meskipun konsep ketuhanan telah jelas berdasarkan nash,
adanya serangan dari pihak luar mengenai eksistensi Tuhan, berkembangnya pemikiran
filsafat di kalangan umat Islam dan sebagainya menjadikan kaum muslimin terdorong
untuk membicarakan masalah Tuhan secara lebih luas sesuai dengan pengetahuannya.
Berkaitan dengan tnasalah ketuhanan, muncul persoalan-persoalan yang diokhtilafkan,
di antaranya adalah mengenaizat, sifat dan afal(perbuatan) Tuhan.
Dalam masalah Tuhan muncul pendapat yang menggambarkan Tuhan dengan sifat-
sifat bentuk jasmani fisik. Golongan yang menggambarkan Tuhan dengan jisim disebut
golongan mujassimah (orang- orang yang menjisimkan) Tuhan. Sedangkan dalam
masalah sifat-sifat Tuhan juga muncul persoalan yang diikhtilafkan, yakni apakah
Tuhan itu mempunyai sifat-sifat atau tidak. Dalam hal ini, secara garis besar terdapat
dua pendapat:
Pertama, adalah golongan yang berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat-
sifat. Dia adalah esa, bersih dari hal-hal yang menodai keesaan-Nya. Mereka
mengesakan Tuhan dengan mengosongkan Tuhan dari berbagai sifat-sifat. Golongan
ini disebut mu’atilah yang diwakili oleh aliran Mu’tazilah.

Tauhid ~75
Kedua, adalah golongan yang mengambil posisi berlawanan yakni bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat yang sempurna. Sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan tidak ada
yang menyamai-Nya. Mensifati Tuhan dengan sifat-sifat kesempurnaan tidak akan
mengurangi keesaan-Nya. Pendapat golongan kedua ini dikeluarkan oleh aliran
Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diwakili oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Sementara itu, dalam masalah af’al (perbuatan) Tuhan muncul persoalan-
persoalan cabang yang diperselisihkan, seperti apakah Tuhan mempunyai kewajiban
berbuat atau tidak. Dalam hal ini, golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan
mempunyai kewajiban terhadap manusia, yakni kewajiban berbuat baik dan terbaik
bagi manusia (as shalah al ashlah). Sebaliknya, golongan Ahlussunnah wal Jama’ah
tidak dapat menerima pendapat golongan Mu’tazilah. Menurut pendapat golongan
Ahlussunnah, Tuhan tidak mempunyai kewajiban kepada makhluk-Nya. Tuhan
bebas untuk berbuat, karena jika Tuhan memiliki kewajiban berbuat, maka berarti
kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak mutlak.
b. Malaikat
Perbedaan pendapat di sekitar persoalan malaikat adalah, apakah iblis termasuk
kelompok malaikat (diciptakan dari nur ?). Berangkat dari pemahaman terhadap
QS.Al-Baqarah ayat 34 dan QS. Shaad ayat 75 dan 76, ada yang berpendapat bahwa
iblis termasuk golongan malaikat. Sedangkan yang lain berpendapat bahwa iblis
bukan golongan malaikat, sebab iblis tidak diciptakan dari cahaya (nur) melainkan
dari api.
c. Wahyu/Kitab-Kitab
Permasalahan yang diikhtilafkan dalam masalah kitab atau wahyu di kalangan
umat Islam adalah apakah Al-Qur’an atau wahyu itu qadim (kekal) ataukah hadis
(baru). Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang berbeda. Pertama, yaitu
pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an dalah qadim, bukan makhluk
(diciptakan). Pendapat ini diwakili oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah. Kedua,
pendapat yang mengatakan Al-Qur’an

76~ Tauhid
adalah hadis, Karena Al-Qur’an itu diciptakan (makhluk). Pendapat ini diwakili oleh
Mu’tazilah.
d. Nabi atau Rasul
Para ulama telah sepakat dalam masalah adanya hari kiamat dan hal-hal yang
terjadi di dalamnya. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang apa yang
dibangkitkan. Dalam hal ini secara garis besar terdapat dua golongan. Golongan
pertama mengatakan bahwa yang dibangkitkan_ meliputi jasmani dan rohnya.
Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa yang dibangkitkan hanya rohnya
saja, sebab badan (jasmani) telah mengalami kerusakan dan hancur.
e. Takdir atau Sunnatullah
Dalam persoalan mengimani takdir, umat Islam umumnya Sepakat perlunya
meyakini atau mempercayai adanya ketentuan-ketentuan Allah yang berlaku bagi
semua makhluk yangada di alam semesta. Namun mereka berbeda pendapat
dalam memahami dan mempraktekkanriya Ada di antara mereka yang memahami
bahwa danya takdir Allah berarti manusia tidak memiliki kemampuan untuk
memilih, segala gerak dan perbuatan manusia pada hakekatnya telah ditentukan
Allah. Manusia sama halnya dengan wayang yang digerakkan oleh dalang, karena
itu manusia tidak memiliki peran sama sekali dalam menentukan perbuatannya.
Pendapat ini dikemukakan oleh kelompok Jdbariyah yang dipelopori oleh jaham
bin Shafwan.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa manusia mampu mewujudkan
tindakan dan perbuatannya sendiri. Tuhan tidak ikut campur tangan dalam
perbuatan manusia tersebut, dan mereka menolak pendapat yang mengatakan
bahwa semua yang terjadi karena telah ditakdirkan‫ إ‬oleh Allah. Pendapat ini
dikemukakan oleh aliran Qadariyah yang dipelopori oleh Ma’bad Aljuhani dan
Ghailan ad-Dimasqi.

Tauhid -77
4. Fungsi Tauhid Bagi Kehidupan Manusia
Kedudukan tauhid dalam ajaran Islam adalah paling sentral dan esensial. Tauhid
berarti komitmen manusia kepada Allah sebagai fokus dari seluruh rasa hormat, rasa
syukur dan sebagai satu-satunya sumber nilai. Apa yang dikehendaki oleh Allah akan
menjadi nilai bagi manusia yang bertauhid, dan ia tidak mau menerima otoritas dan
petunjuk, kecuali otoritas dan petunjuk Allah. Komitmennya kepada Tuhan adalah
utuh, total, positif dan kukuh, mencakup cinta dan pengabdian, ketaatan dan
kepasrahan kepada Tuhan, serta berkemauan keras untuk menjalankan kehendak-Nya.
Dalam ajaran Islam, tauhid tersimpul dalam kalimat laa ilaaha illallah Tiada Tuhan
selain Allah). Kalimat menarikan otoritas dan petunjuk yang datang selain dari Allah.
Jadi, sesungguhnya kalimat tersebut mengandung nilai pembebasan bagi manusia.
Manusia yang bertauhid mengemban tugas untuk membebaskan manusia dari
menyembah sesama manusia kepada menyembah Allah. Dengan tauhid, manusia tidak
saja akan bebas dan merdeka, melainkan juga akan sadar bahwa kedudukannya sama
dengan manusia lain manapun. Tidak ada manusia yang superior atau inferior terhadap
manusia lainnya. Semuanya berkedudukan sama di hadapan Allah, yang membedakan
adalah tingkat ketaqwaannya (QS.Al-Hujurat : 13).
Suatu hal yang tidak boleh dilupakan ialah bahwa komitmen manusia- tauhid tidak
saja terbatas pada hubungan vertikalnya dengan Tuhan, melainkan juga mencakup
hubungan horizontal dengan sesama manusia dan seluruh makhluk, dan hubungan-
hubungan ini harus sesuai dengan kehendak Allah. Kehendak Allah ini memberikan
visi kepada manusia- tauhid untuk membentuk suatu masyarakat yang mengejar nilai-
nilai utama dan mengusahakan tegaknya keadilan sosial. Pada gilirannya, visi ini
memberikan inspirasi pada manusia tauhid untuk mengubah dunia di sekelilingnya
agar sesuai dengan kehendak Allah, dan inilah misi manusia-

78~ Tauhid
tauhid atau manusia muslim. Misi untuk mengubah dunia, menegakkan kebenaran dan
keadilan, merealisasikan pelbagai nilai utama, dan memberantas kerusakan di muka ini
merupakan bagian tidak terpisahkan dari komitmen manusia yang bertauhid kepada
Allah. Dengan misi ini pula akan terwujud suatu bentuk kehidupan sosial yang adil dan
etis.
Dalam konteks pengembangan umat, tauhid berfungsi antara lain
mentransformasikan sedap individu yang meyakininya menjadi manusia yang lebih
kurang ideal dalam arti memiliki sifat-sifat mulia yang membebaskan ' dirinya dari
setiap belenggu sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dengan demikian, akan muncul
manusia-tauhid yang memiliki ciri-ciri positif, yaitu:
1) Memiliki komitmen utuh pada Tuhannya. Ia akan berusaha secara maksimal untuk
menjalankan pesan dan perintah Allah sesuai dengan kadar kemampuannya.
2) Menolak pedoman hidup yang datang bukan dari Allah. Dalam kontek masyarakat
manusia, penolakannya berarti emansipasi dan pengembangan kebebasan
esensialnya dari seluruh belenggu buatan manusia, supaya komitmennya pada
Allah menjadi utuh dan kukuh.
3) Bersikap progresif dengan selalu melakukan penilaian terhadap kualitas
kehidupannya, adat-istiadatnya, tradisi dan faham hidupnya. Bila dalam
penilaiannya ternyata terdapat unsur-unsur syirik dalam arti luas, maka ia selalu
bersedia untuk berubah dan mengubah hal- hal itu agar sesuai dengan pesan-pesan
ilahi. Manusia tauhid adalah progresif karena ia tidak pernah menolak setiap
perubahan yang positif.
4) Tujuan hidupnya amat jelas. Ibadatnya, kerja kerasnya, hidup dan matinya
hanyalah unutk Allah semat-mata. Ia tidak akan terjerat ke dalam nilai-nilai palsu
atau hal-hal yang tanpa nilai sehingga tidak pernah mengejar kekayaan, kekuasaan
dan kesenangan hidup sebagai

Tauhid ~79
tujuan. Sebaliknya, hal-hal tersebut hanyalah sebagai sarana mencapai keridlaan Allah
5) Memiliki visi yang jelas tentangkehidupan yang harus dibangunnya bersama-sama
manusia lain; suatu kehidupan yang harmonis antara manusia dengan Tuhannya,
dengan lingkungan hidupnya, dengan sesama manusia dan dengan dirinya sendiri,
Pada gilirannya, visi tersebut mendorongnya untuk mengubah dunia dan
masyarakat sekelillingnya sehingga semangat untuk berkrya bagi kemaslahatan
umat adalah tujuan hidupnya.
Dari uraian di atas, nampak dengan jelas bahwa tauhid memberikan dampak positif
bagi kehidupan manusia. Bila setiap individu memiliki komitmen tauhid yang kukuh
dan utuh, maka akan menjadi suatu kekuatan yang besar untuk membangun dunia yang
lebih adil, etis dan dinamis.

E. ،Tugas-Tugas
1. 'Agar sukses dalam kehidupannya manusia menempuh berbagai cara dan usaha. Ada
yang bekerja dengan keras dibarengi dengan do’a, ada yang bekerja saja, ada juga
yang hanya berdo’a. Lain lagi dengan Pak Badrun. Ia lebih percaya bahwa agar
menjadi orang yang berhasil, ia mendatangi tempat-tempat tertentu yang diyakini
keramat, suci dan mengandung kekuatan ghaib. Di tempat-tempat tersebut Pak
Badrun mengutarakan semua keinginannya, kemudian kepada roh- roh suci dan
kekuatan ghaib yang diyakininya, ia meminta agar keinginannya disampaikan
kepada Allah. Alasannya, roh suci dan kekuatan ghaib itu lebih mungkin
berkomunikasi dengan Allah, daripada dirinya yang masih banya dosa.
a. Bagaimana pendapatmu mengenai prilaku Pak Badrun ?
b. Dapatkah Pak Badrun dikatakan sebagai orang yang bertauhid secara murni ?

80~ Tauhid
c. Menurutmu, bagaimana usaha yang harus dilakukan manusia agar berhasil
dalam kehidupannya ?
d. Apakah yang anda kctahu ‫؛‬tentang wasilah ? Apakah cara Pak Badrun
termasuk wasilah ? Mengapa ?
Diskusikan persoalan-persoalan di atas dengan kelompok belajarmu. Catat hasilnya
dan konfirmasikan dengan dosen !
2. Sekalipun sukses pada bidang materi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dewasa ini orang-orang Barat belum menikmati kebahagiaan hakiki.
Sebabnya ialah karena mereka mengalami kegersangan spiritual lantaran tidak
adanya pergantungan spiritual yang kokoh. Demikian pernyataan Wimal
Disayanake, Ketua Islamic Center, Honolulu, AS dalam majalah Islamic World,
tahun 1996. Oleh karena itu, saat ini orang-orang Barat sedang sibuk “mencari
Tuhan” sebagai landasan kehidupan spiritualnya.
a. Menurut anda, mengapa manusia memerlukan landasan spiritual yang kokoh?
b. Apa hubungan spirhualitas dengan pencapaian kebahagiaan hidup secara
hakiki ?
c. Berikan satu contoh cara memaknai aqidah agar menjadi sumber kekuatan
pembebasan bagi kehidupan manusia ‫ا‬
Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, anda bisa
menanyakannya kepada tokoh agama atau orang-orang yang ada anggap dapat
memberikan penjelasan. Catat hasilnya dan padukan dengan hasil yang diperoleh
oleh teman-teman anda !

F. Evaluasi
Jawablah pertanyaan berikut dengan benar !
1. Jelaskan pengertian aqidah pokok dan cabang ‫إ‬
2. Apa yang menyebabkan munculnya aqidah cabang dalam Islam ? Jelaskan !

Tauhid ~81
3. Kemukakan perbedaan antara aqidah pokok dan cabang !
4. Kekukakan dan uraian cakupan aqidah pokok dan cabang !
5. Jelaskan fungsi tauhid bagi kehidupan manusia !
6. Tunjukkan beberapa kasus yang menunjukkan adanya pengaruh positif antara
tauhid dengan kehidupan manusia !
7. Menurut anda, bagaimana cara memelihara agar aqidah kita tepat murni ?

Buku-Buku Rujukan dan Bahan Pengayaan


1. Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1978).
2. Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terjemah Firdaus AN, Jakarta: Bulan
Bintang, 1996).
3. Hassan Hanafi, Min al ‘Aqidah ilaa al Tsaurah, (Mesir : Maktabah Madpoli,
1988).
4. A. Hanafi, Theologi Islam, (Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1980).
5. Muhammad Ahmad, Tauhidllmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998).
6. Zainuddin, Ilmu Tauhid Ltngkap, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992).
7. Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2003).

82~ Tauhid
BAB VI
ALIRAN-ALIRAN TEOLOGI ISLAM PERIODE KLASIK DAN
MODERN
A. Kompetensi Dasar
Mahasiswa mampu memahami berbagai aliran teolog ‫؛‬dalam Islam periode klasik
dan modern.

B. Indikator Hasil Belajar


1. Menjelaskan sebab-sebab munculnya berbagai aliran teologi dalam Islam.
2. Menyebutkan beberapa aliran teologi Islam periode klasik.
3. Mengungkapkan konsep-konsep teologi dari aliran-aliran teologi Islam
periode klasik.
4. Menyebutkan tokoh-tokoh aliran teologi periode modern.
5. Mengungkapkan kembali pemikiran para tokoh teologi periode modern.
6. Membandingkan konsep-konsep dalam aliran teologi Islam.
7. Memberikan apresiasi terhadap aliran-aliran teologi Islam.

C. Materi Pokok

1. Pengantar
Kemunculan pesoalan teologis dalam Islam berawal dari masalah politik, yakni
menyangkut peristiwa pembunuhan khaliah ketiga, Utsman bin Affan. Peristiwa ini
memicu penolakan Muawiyah terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, khalifah
keempat pengganti Utsman. Ketegangan antara Ali dan Muawiyah semakin menguat
hingga terjadi Perang Shijfin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase). Dalam
tahkim tersebut, pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari, sedangkan pihak
Muawiyah diwakili oleh Amr bin ،Ash.

Tauhid ~83
Sikap dan keputusan Ali menerima tahkim ini, menimbulkan tanggapan beragam
dari pengikutnya. Sebagian di antara mereka menentang dan menyatakan diri keluar
dari kelompok Ali. Dalam sejarah Islam, kelompok ini disebut dengan Khawarij.
Meskipun demikian, sebagian besar pengikut Ali tetap setia dan mendukung serta
membelanya. Kelompok ini disebut dengan Syi’ah.
Di samping kedua kelompok ekstrim tersebut, terdapat kelompok- kelompok lain
yang cenderung moderat dalam menanggapi peristiwa tahkim, antara lain Murji’ah. Bagi
kelompok Murji’ah, jalan paling aman adalah menangguhkan dan menyerahkan semua
persoalan yang berhubungan dengan dosa manusia kepada Allah SWT.
Demikianlah, asal muasal munculnya aliran-aliran teologi dalam kehidupan umat
Islam. Dari tiga kelompok yang muncul sehubungan dengan peristiwa tahkim di atas,
akhirnya mendorong lahirnya aliran- aliran yang beragam pada masa klasik, misalnya
Mu’tazilah, Jabariyah, Qadariyah dan Asy’ariyah. Bahkan, hingga periode modern
sekarang ini, dinamika pemikiran umat Islam dalam bidang teologi terus berkembang,
meskipun pemikiran-pemikiran yang muncul tidak mengatas-namakan kelompok atau
aliran, tetapi lebih merupakan pemikiran pribadi. Betatapun, hal itu merupakan
fenomena manarik yang perlu mendapat perhatian. Oleh karena itu, pada bagian
berikut akan diuraikan beberapa aliran teologi dalam Islam, baik periode klasik
maupun periode modern.

2. Aliran-Aliran Teologi Islam Masa Klasik a. Khawarij


Khawarij dalam terminologi ilmu kalan adalah suatu sekte/aliran/ kelompok
pengikut Ali bin Abi Tahlib yang keluar meninggalkan barisan
karena tidak setuju dengan keputusan Ali yang menerima arbitrase dengan pihak
Mu’awiyah. Pada awalnya, kelompok ini sangat setiap kepada Ali.
Di antara doktrin-doktrin pokok Khawarij adalah sebagai berikut:

84~ Tauhid
1. Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam.
2. Khalifah ddak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang
muslim berhak menjadi khalifah apabila telah memenuhi persyaratan.
3. Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan
menjalankan syariat Islam. Ia harus dijatuhkan, bahkan dibunuh jika melakukan
kezaliman.
4. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar dan Usman) adalah sah, tetapi setelah
tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya, Usman dianggap telah menyeleweng.
5. Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah terjadi tahkim ia dianggap telah
menyeleweng.
6. Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap
menyeleweng dan telah menjadi kafir
7. Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga telah kafir.
8. Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh.
Mereka juga berpendapat bahwa seorang muslim juga dianggap kafir jika ia tidak
mau membunuh muslim lain yang telah kafir.
9. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak
mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-harb (negara musuh),
sedang golongan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al Islam (negara Islam).
10. Seseorang harus menghindari dar ‫؛‬pimpinan yang menyeleweng.
11. Meyakini adanya al wa’du wal iva’idu (orang yang baik harus masuk surga,
sedangkan yang jahat harus masuk neraka).
12. Wajib amar ma’ruf nahi munkar.
13. Menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang samar-samar pengertiannya (mutasyabihat).

Tauhid ~85
14. Al-Qur’an adalah makhluk (diciptakan).
15. Manusia bebas memutuskan perbuatannya, bukan dari Tuhan.
Bila dianalisis doktrin-doktrin Khawarij di atas dapat dikelompok dalam tiga jenis
yaitu politik, teologi dan sosial. Point a sampai j termasuk doktrin politik, sebab
membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan masalah kenegaraan, khususnya
tentang kepala negara (khilafah). Sedangkan doktrin selebihnya dapat dikategorikan
sebagai doktirn teologis dan sosial, sebab secara jelas berhubungan dengan persoalan
keimanan dan tanggung jawab sosial seorang muslim,
b. Murji’ah
Murii’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan,
penangguhan, dan pengharapan. Oleh karena itu, golongan Murjiah diartikan orang
yang menunda atau menangguhkan penjelasan kedudukan orang yang bersengketa,
yakni Ali dan Mu’awiyah serta pasukannya masing-masing hingga hari kiamat kelak.
. Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, Montgomery Watt (1990: 181) merincinya
sebagai berikut:
1. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Mu’awiyah hingga Allah
memutuskannya di akhirat kelak.
2. Penangguhan Ali unmk menduduki rangkit keempat dalam peringkat
khulafaurrasyidin.
3. Pemberian harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh
ampunan dan rahmat dari Allah.
Masih berkaitan dengan doktrin Murji’ah, Harun Nasution (1986 : 22-23)
menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu:
1. Menunda hukuman atas Ali, Mu’awiyah, Amru bin ‘Ash dan Abu Musa Al-
Asy’ari yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat
kelak.
2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.

86~ Tauhid
3. Meletakkan pentingnya iman daripada amal
4. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk
memperoleh ampunan dari Allah.
Dari doktrin-doktrin tersebut terlihat bahwa golongan Murji’ah tidak ingin
menghakimi status seseorang, baik yang terlibat dalam tahkim maupun yang telah
melakukan dosa besar. Bagi mereka, semua itu diserahkan kepada Allah. Di samping
itu, bagi Murji’ah orang yang telah diakukan dosa besar tidak secara otomatis menjadi
kafir atau keluar dari Islam, tetapi masih terbuka peluang untuk mendapatkan ampunan
dari Allah dengan cara melakukan taubat,
c. Jabariyah
Kata.jabariyab berasal dari katajabara yang berarti memaksa. Di salam kamus
AlMunjid tulisan Louis Ma’luf (1998 : 78), dijlaskan bahwa nama jabariyah berasal dari
kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.
Dari pengertian kata tersebut, dalam aliran teologi faham Jabariyah didefinisikan
sebagai aliran yang berpendapat bahwa semua perbuatan manusia di dunia telah
ditentukan oleh Allah.
Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariyah ada yang mengatakan bahwa
kelahirannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu Yahudi dan Kristen.
Namun, tanpa pengaruh asing itu, faham Jabariyah akan muncul juga dikalangan
ummat Islam, sebab di dalam A1-Qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat
mendorong lahirnya faham ini, misalnya QS. Al-An’am : 111 (Artinya : Mereka
sebenarnya tidak percaya sekiranya Allah tidak menghendaki), QS. Ash-$haffat: 96
(Artinya: Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat), QS. Al-Anfal: 17
(Artinya: Bukanah engkau yang melempar ketika melempar (musuh), tetapi Allah yang
melempar mereka), dan QS. Al-Insan: 30 (Artinya: Kamu tidak menghendaki, kecuali
Allah menghendakinya).

Tauhid ~87
Aliran Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu ekstrim dan
moderat. Di antara doktrin Jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa
segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari
kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya Di antara
pemukajabariyah ekstrim dan pendapatnya adalah sebagai berikut :

1) Jahm bin Shafwan

Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah:


a) Manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya tidak
mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan.
b) Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
c) Iman adalah ma’rifat untuk membenarkan dalam hati.
d) Kalam Tuhan dalah makhluk. .Allah Mahasuci dari segala sifat dan
keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat.
Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.
1) Ja’ad bin Dirham
D ،ktrin dan pendapat Ja’ad secara umum sama dengan pendapat Jaham,
yaitu:
a. Al-Qur’an adalah makhluk. Oleh karena itu dia baru, sesuatu yang baru
tidak dapat disifatkan kepada Allah.
b. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti
berbicara, mendengar, melihat dan sebagainya.
c. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala
Berbeda dengan jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan nahwa
Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun
perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang
diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatannya. Inilah }'ang disc'but dengan istilah al- kasb. Menurut Harun
Nasution, faham kasb memandang bahwa manusia tidaklah dipaksa oleh
Tuhan, tidak seperti wayang yang dikendalikan

88~ Tauhid
oleh Tuhan dan tidak pula menjadi pencipta perbuatannya, tetapi manusia memperoleh
perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan. Dengan demikian, jnanusia memiliki peran di dalam
perbuatannya.
Di antara tokoh-tokoh jabariyah moderat adalah :
1) Husain bin Muhammad An-Najjar Pendapat An-Najjar adalah:
a) Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran
dalam mewujudkan perbuatan- perbuatan itu.
b) Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat kelak. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan
dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat
Tuhan.
2) Dhihar bin Amir
Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak
hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam
perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatan. Secara
tegas Dhihar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara
bersamaan. Artinya, perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh
manusia itu sendiri. Manusia mempunyai peran di dalam perbuatn-perbuatan yang
dilakukannya.
Mengenai melihat Tuhan, Dhihar berpendapat bahwa melihat Tuhan berarti melihat
dengan indera keenam, tidak langsung dengan mata,
d. Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan atau
kekuatan. Adapun menurut terminologi ilmu kalam, Qadariyah adalah suatu aliran yang
percaya bahwa segala perbuatan manusia tidak ditentukan oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat
bahwa tiap- tiap orang adalah penentu dan pencipta perbuatannya sendiri. Ia dapat berbuat
sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.

Tauhid ~89
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama
suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam
mewujudkan perbuatannya, Dalam hal ini, harun Nasution (1986 : 31) menegaskan bahwa
kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan
untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dar ‫؛‬pengertian bahwa manusia terpaksa
tunduk pada qadar Tuhan.
Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang sering dijadikan sebagai landasan
kebebasan manusia dalam menentukan perbuatannya antara
lain QS. Al-Kahfl: 29 (Artinya: Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barangsiapa yang mau
beriman, berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir. Ayat lain adalah
QS. Ali Imran: 165 (Artinya : Adakah patut, ketika kamu ditimpa musibah (pada Perang
Uhud), padahal telah mendapat kemenangan dua kali (pada Perang Badar), lalu kamu berkata:
Dari manakah bahaya ini? Katakanlah, sebabnya dari kesalahan kamu sendiri). Demikian juga
QS. Ar-Ra’du: 11 (Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum, kecuali jika
merekamengubah keadaan diri mereka sendiri), dan QS. An-Nisa’: 111 (Artinya: Dan barang
siapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya
sendiri).
Mengenai tokoh faham jabariyah beberapa sumber mengatakan bahwa faham ini pertama
kali dimunculkan oleh Ma’bad aljauhani dan Ghailan ad-Dimasqy. Ma’bad adalah orang yang
opernah berguru pada Hasan Al Basri. Adapun Ghailan adalah seorang orator dari Damascus
dan ayahnya menjadi pejabat penting semasa Usman bin Affan.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia
berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik
atas kehendak dan kekuasaan sendiri. Demikian juga menjauhi perbuatan buruk, manusialah
yang menentukan. Salah seorang pemuka Qadariyah yang lain, An-

90~ Tauhid
Nazzam, mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya. Selagi hidup manusia
mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perikatannya.
Dari penjelasan di atas, dapat difahami bahwa doktrin Qadariyah terletak pada kehendak
dan kebebasan manusia dalam berbuat. Oleh karena itu, manusia berhak mendapatkan pahala
atas kebaikan yang dilakukanya dan juga memperoleh hukuman atas kejahatan yang
diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seseorang mendapatkan balasan surga atau neraka kelak
di akhirat, maka semua menjadi pilihannya sendiri, bukan ditentukan oleh Tuhan sebelumnya.
Sedangkan mengenai takdir, Qadariyah memahaminya tidak dalam pengertian bahwa
semua perbauatan manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Takdir dalam pandangan
Qadariyah adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta isinya sejal
azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an disebut dengan sunnatullah. Adapun
perbuatan mana yang akan dikerjakan ditentukan secara bebas oleh manusia sendiri. Dengan
pemahaman seperti ini, golongan Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat
untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada Tuhan,
e. Mu’tazilah
Secara harfiah, kata Mu’tazilah berasal dari i’tizala yang berarti berpisah atau memisahkan
diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Pemberian nama Mu’tazilah dihubungan
pada peristiwa yang terjadi ketika tokoh uatama aliran ini yakni Wasil bin Atha’ mengikuti
pelajaran yang disampaikan oleh gurunya, Hasan Al-Bashri. Ketika itu, ada seorang yang
bertanya tentang kedudukan orang yang telah melakukan dosa besar kepada Hasan Al-Bashri.
Saat Hasan Al Bashri masih berpikir, Wasil berdiri dan mengemukakan pendapatnya dengan
mengatakan: Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan
pula kafir, tetapi beraa pada posisi di antara keduanya. Kemudian Wasil menjauhkan diri dari Hasan
Al-Bashri dan

Tauhid ~ 91
pergi ke tempat lain di lingkungan masjid. Di sana Wasil mengulangi pendapatnya di hadapan
para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini Hasan Al-Bashri berkata, Wasil menjauhkan
diri duri kita (i'tazala atina). Kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa inilali yang
disebut kaum Mu’tazilah.
Golongan Mu’tazilah dikenal sebagai kelompok rasionalis, sebab mereka memberikan
peran dan fungsi yang sangat besar kepada akal dalam kehidupan manusia. Mu’tazilah juga
dikenal dengan beberapa nama, antara lain ahlal-'adl, yang berarti golongan yang
mempertahankan keesaaan dan' keadilan Tuhan dan ahl al tawhid wa al 'adli yang berarti
golongan yang mempertahankan keesaan dan keadilan Tuhan. Orang-orang di luar Mu’tazilah
sering menyebutnya dengan istilah kelompok free will atau free act, yakni kelompok yang
memandang bahwa manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat. Selain itu, ada yang
menamainya dengan Al-Mu’attilah, karena Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat-sifat, dalam arti sifat mempunyai wujud di luar zat Tuhan.
Inti ajaran atau doktrin-doktrin Mu’tazilah terangkum dalam Al-Ushul al Khamzah (l.ima
Ajaran Dasar), yaitu:
I) At-Tawhid
Tauhid dalam pandangan Mu’tazilah berarti meng-Esa-kan Allah dari segala sifat dan
af’alnya yang menjadi pegangan bagi akidah Islam. Tauhid dalam hal ini melingkupi hal-hal
sebagai berikut.
a) Tuhan tidak memiliki sifat-sifat. Adapun Tuhan mendengar, berbicara, melihat dan
sebagainya bukanlah sifat, melainkan sesuatu yang melekat dalam zat-Nya. Jika sifat-sifat
itu terpisah dari Tuhan, maka berarti dia bersifat qadim, dan dengan demikian ada dua
yang qadim (,ta’addud al qudama’), yakni Tuhan dan sifat-sifat Tuhan. Hal ini justru
akan menodai kepercayaan tauhid, yang meyakini bahwa hanya Allah yang qadim.

92~ Tauhid
b) Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata di akhirat, sebab Tuhan bukan jisim (benda).
c) Tuhan itu esa, bukan benda, bukan pula unsur-unsur tertentu. Tuhan ddak menempati tempat
atau ruang.
2) Al-‘Adlu (Keadilan)
Dalam pandangan Mu’tazilah, keadilan Tuhan berarti bahwa orang yang berbuat baik akan
diberikan kebaikan, dan sebaliknya jika manusia berbuat jahat maka akan diberikan siksaan.
Lebih jauh tentang keadilan, mereka berpendapat:
a) Tuhan menguasai kebaikan serta tidak menghendaki keburukan.
b) Manusia bebeas berbuat dan kebebasan ini karena qudrat (kekuasaan) yang dijadikan
Tuhan pada diri manusia.
‫)ء‬ Makhluk diciptakan Tuhan atas dasar hikmah kebijaksanaan.
d) Tuhan tidak melarang sesuatu kecuali terhadap yang dilarang dan tidak menyuruh kecuali
yang disuruh-Nya.
e) Kaum Mu’tazilah tidak mengakui bahwa manusia itu memiliki qudrat dan iradat, tetapi
qudrat dan iradat tersebut hanya merupakan pinjaman belaka.
f) Manusia dapat dilarang atau dicegah untuk melakukan qudrat dan iradat.
3) Al-Wadu wal wa’id (janji dan ancaman)
Prinsip janji dan ancaman yang dipegang oleh Mu’tazilah adalah untuk membuktikan
keadilan Tuhan sehingga manusia dapat merasakan balasan Tuhan atas segala perbuatannya.
Di sinilah peranan janji dan ancaman bagi manusia agar berhati-hati dalam menjalani
kehidupannya.
Konsep janji dan ancaman diuraikan dalam beberapa butir, yaitu:
a) Orang mukmin yang berdosa besar kemudian meninggal sebelum taubat ia tidak akan
mendapatkan ampunan Tuhan.
b) Di akhirat tidak akan ada syafaat sebab syafaat berlawanan dengan Al-Wai’du wal wa’id
(janji dan ancaman).

Tauhid- 93
c) Tuhan akan membalas kebaikan manusia yang telah berbuat baik dan akan menjatuhkan
siksa terhadap manusia yang melakukan kejahatan.
4) Al-Manzilah bainal Manzilataini (tempat di antara dua tempat)
“Tempat di antara dua tempat” dalam pandangan Mu’tazilah berarti suatu tempat antara
surga dan neraka. Tempat ini diperuntukkan bagi umat Islam yang melakukan dosa besar,
tetapi tidak sampai musyrik. Doktrin ini, oleh sebagian kaum teolog dipandang membingunkan
dan tidak jelas. Sebab, tidak terdapat penjelasan yang kongkrit: dan riil tentang dasar yang
digunakan oleh Mu'tazilah dan keadaan tempat tersebut.
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar (menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran)
Amar ma’ruf nahi munkar ini menjadi kewajiban asasi bagi penganut Mu’tazilah. Hanya
saja, beberapa pendapat mengatakan Bahwa ukuran ma’ruf dan munkar itu adalah versi
Mu’tazilah, sehingga orang-orang yang berbeda prinsip dengan mereka dianggap sesat dan
perlu diluruskan. Oleh karena itu, tereatat dalam sejarah bahwa kaum Mu’tazilah pernah
membunuh ulama-ulama Islam, di antaranya ulama Islam terkenal Syeikh Buwaithi seorang
ulama penerus Imam Syafi’I, dalam suatu peristiwa dan perdebatan apakah Qur'an qadim atau
makhluk.
Hingga sekarang, secara fisik-organisatoris Mu’tazilah telah tidak ada. Tetapi, semangat
dan model berftkir rasional yang dikembangkannya masih berpengaruh dan sering menjadi
model pemikiran para pemikir Islam kontemporer. Lebih dari itu, pemikiran rasional model
Mu’tazilah dipandang cukup sesuai dengan tuntutan zaman.
f. Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam periode klasik yang namanya
dinisbatkan kepada nama pendirinya, yaitu Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari. Dalam belajar
agama, Al-Asy’ari mula-mula berguru

94~ Tauhid
kepada Abu Ali AL Jubba’I, seorang pemuka Mu’tazilah. Karenanya, Al-Asy’ari pada
mulanya adalah pengikut Mu’tazilah dan sangat memahami aliran tersebut. Akan tetapi, pada
usia 40 tahun ia menyatakan diri keluar dari Mu’tazilah, karena ia mengalami berbagai
keraguan dan ddak puas terhadap doktrin-doktrin Mu’tazilah. Setelah merenung kurang lebih
15 hari, ia naik ke mimbar dan berpidato : “Saudara-saudara, setelah saya meneliti dalil-dalil
yang dikemukakan oleh masing-masing pendapat, ternyata dalil-dalil itu menurut hemat saya
sama kuatnya. Saya memohon hidayah dari Allah SWT, sekarang saya meninggalkan
keyakinan lama saya dan menganut keyakinan baru. Keyakinan lama saya lepaskan
sebagaimana saya melepaskan baju yang saya kenakan ini”.
Sejak itu, Al-Asy’ari gigih menyebarkan paham barunya sehingga terbentuk mazhab
dalam teologi Islam yang dikenal dengan nama Ahlussunannan wal Jama’ah. Pengikut Al-
Asy’ari sendiri sering disebut Asy’ariyah. Adapun pokok-pokok ajaran Asy’ariyah yang
terpenting antara lain adalah:
1) Sifat Tuhan
Menurut ajaran Asy’ariyah, Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebutkan dalam
Al-Qur’an, seperti Allah mengetahui dengan ‘Imu, berkuasa dengan qudrat, hidup dengan hajah,
dan sebagainya. Sifat-sifat tersebut adalah azali. Sifat-sifat tu bukanlah zat Tuhan, bukan pula
lain dari zat-Nya.
2) Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia menurut Asy’ariyah adalah diciptakan Tuhan, bukan diciptakan oleh
manusia itu sendiri. Untuk mewujudkan suatu perbuatan, manusia membumhkan dua daya,
yaitu daya Tuhan dan daya manusia. Hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan
kekuasaan Tuhan yang mudak dijelaskan melalui teori kasb, yakni berbarengnya kekuasaan
Tuhan dengan perbuatan manusia. Kasb mengandung arti

Tauhid ~95
keaktifan. Karena itu, manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukannya.
3) Pelaku Dosa Besar
Menurut Asy’ariyah, seorang muslim yang melakukan perbuatan dosa besar
dan meninggal dunia sebelum taubat tetapu dihukumi mukmin, ddak kafir, tidak
pula berada di antara mukmin dan kafir, dan diakhirat ada beberapa kemungkinan:
a) Ia mendapat ampunan dari Allah dengan rahmat-Nya sehingga pelaku dosa
besar tersebut dimasukkan ke dalam surga.
b) Ia mendapat syafaat dari nabi Muhammad SAW.
c) Allah memberikan hukuman kepadanya dengan dimasukkan ke dalam siksa
neraka sesuai dengan dosa besar yang dilakukannya, kemudian Dia
memasukkannya ke surga.
4) Keadilan Tuhan
Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun. Tuhan
tidak wajib memasukkan orang, baik ke surga ataupun ke neraka. Semua itu
merupakan kehendak mutlak Tuhan, sebab Tuhanlah yang berkuasa dan segala-
galanya adalah miliki Allah. Jika Tuhan memasukkan seluruh manusia ke dalam
surga, bukan berarti Tuhan tidak adil. Sebaliknya, jika Tuhan memasukkan seluruh
manusia ke dalam neraka, bukan berarti Tuhan zalim. Tuhan adalah penguasa
mutlak dan tidak ada yang lebih berkuasa. Dia boleh dan dapat melakukan apa saja
yang dikehendaki-Nya.
Demikian pokok-pokok pikiran Asy’ari. Untuk mengetahui dan mendalami
pokok-pokok pikirannya dapat diperoleh dari buku-buku tulisannya, seperti
Maqalatul Islamiyyin wa ikhtilaful Mushallin, Al Ibanah, Al-Luma’ dan sebagainya.
3. Aliran-Aliran Teologi Islam Masa Modern
Pada permulaan abad ke-I9, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dicapai dunia Barat mulai memasuki dunia Islam.

96 Tauhid
Kenyataan ini mendorong intelektual muslim untuk memikirkan cara mengatasi persoalan
tersebut. Inilah yang mendorong lahirnya gelombang modernisasi di dunia Islam, termasuk
bidang pemikiran keagamaan.
Pembaharuan pemikiran keagamaan terutama dalam bidang teologi dirasa perlu dalam
rangka mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Tanpa ada pembaharuan
pemikiran keagamaan terutama dalam bidang teologi yang sejalan dengan tuntutan zaman,
Islam sebagai agama akan ditinggalkan oleh pemeluknya. Para teolog modern merasa
ditantang untuk merumuskan pemikiran keagamaan sesuai dengan tuntutan zaman. Di antara
para teolog modern tersebut dan pemikirannya akan diungkap pada uraian berikut,
a. Syekh Muhammad Abduh
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia merupakan
pembaharu pemikiran Islam yang pengaruhnya masih cukup kuat hingga sekarang. Pemikiran
teologis Muhammad Abduh meliputi hal-hal sebagai berikut:
1) Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Menurut Abduh, antara akal dan wahyu tidak bertentangan. Keduanya harus difungsikan
secara optimal sesuai dengan kedudukannya. Abduh memberikan kekuatan yang cukup tinggi
kepada akal, yakni dengan akal saja manusia dapat mengetahui hal-hal berikut:
a) Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
b) Keberadaan hidup di akhirat.
c) Kewajiban mengenal Tuhan.
d) Kewajiban manusia melakukan perbuatan baik dan meninggalkan yang jahat.

e) Hukum-hukum mengenai kewajiban tersebut.


Dengan pandangan ini, Abduh memandang bahwa wahyu berfungsi sebagai alat
konfirmasi atas pengetahuan yang diperoleh manusia melalui

Tauhid ~97
akal. Wahyulah yang menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan hidup di akhirat,
cara beribadah kepada Tuhan dan sebagainya.
2) Kebebasan Manusia dan Fataiisme
Bagi Abduh, manusia mempunyai daya pikir dan kebebasan memilih namun kebebasan
tersebut tidak absolut. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan baik dan buruk
atas perbuatannya. Oleh karena itu, Abduh tidak setuju pandangan yang mengatakan bahwa
perbuatan manusia ditentukan oleh Tuhan (sebagaimana Jabariyah/ Fatalisme).
3) SifatSifat Tuhan
Dalam kitabnya Risalah Tauhid, Abduh menyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai
masalah apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan atau yang lain ? ia menjelaskan bahwa hal itu
berada di luar kemampuan manusia. Sungguhpun demikian, Harun Nasution dalam bukunya
Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’ta^ilah (1987 : 71) mengatakan bahwa Abduh
cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak secara tegas
mengatakannya.
5) Kehendak Mutlak Tuhan
Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan
tidak berkuasa mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlak-Nya dengan memberi
kebebasan dan kesanggupan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Kehendak mdak Tuhan pun dibatasi oleh sunnatullah yang telah ditetapkannya. Di dalamnya
mengandung arti bahwa Tuhan dengan kehendak-Nya sendiri telah membatasi kemauan-Nya
dengan sunnatullah yang d‫؛‬eiptakannya unmk mengatur alam ini.
6) Antropomorfisme
Abduh yang memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidakmungkin esensi dan
sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuk atau

98~ Tauhid
roh makhluk di alam ini (antropomorfisme'). Kata-kata wajah, tangan, duduk, dan
sebagainya yang dihubungkan dengan Tuhan mesti dipahami sesuai dengan
pengertian yang diberikan orang Arab kepadanya. Dengan demikian, menurut
Abduh, kata al-‘arsy dalam Al-Qur’an berarti kerajaan atau kekuasaan; kata al-
kursyi berarti pengetahuan dan sebagainya.
7) Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan apakah Tuhan yang bersifat rohani itu
dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya di hari kiamat kelak ? Ia hanya
menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada
satu pun dari makhluk yang menyerupai Tuhan) sepakat mengatakan bahwa Tuhan
tidak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan
melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang tertentu di akhirat.
8) Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwaada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sefaham
dengan Mu;tazilah yang meyakini bahwa wajib bagi Tuhan unmk berbuat apa
yang terbaik bagi manusia.
Demikianlah pemikiran teolog ‫؛‬Muhammad Abduh yang muncul pada periode
modern. Dari butir-butir pemikirannya jelas terlihat bahwa Abduh adalah pemikir
rasionalis, dalam pengertian memberikan peran yang besar pada akal. Dalam hal
pemikiran. Abduh banyak sejalan dengan Mu’tazilah sehingga ada yang
menyangka bahwa Abduh adalah penganut Mu’tazilah. Satu doktrin Mu’tazilah
yang tidak diterima oleh Abduh adalah tentang al mandilah hainal man^ilataini
(tempat di antara dua tempat), karena menurut Abduh doktrin tersebut sulit
diterima akal
b. Muhammad Iqbal
Dalam dunia pemikiran Islam Islam modern, Iqbal dikenal sebagai filosof,
penyair dan pembaharu. Pemikirannya tentang keharusan

Tauhid ~99
berijtihad dan dinamisme Islam hingga kini masih relevan dan berpengaruh dalam wacana
pemikiran Islam. Pemikiran Iqbal pada bidang teologi dibangun di atas dasar kesadaran bahwa
manusia mempunyai potensi untuk maju dan Jslam pun mengajarkan kemajuan.
Beberapa butir pemikiran Iqbal antara lain:
1) Jati Diri Manusia
Menurut Iqbal, manusia hidup memiliki ego yang diterjemahkan dengan kepribadian,
manusia hidup untuk mengetahui keperibadiannya serta menguatkan dan mengembangkan
bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni melemahkan pribadinya, seperti yang dilakukan oleh
para sufi yang menundukkan jiwa sehingga fana dengan Allah. Pada hakikatnya menafikan
diri bukanlah ajaran islam karena hakikat hidup adalah bergerak, dan gerak adalah perubahan.
Dengan pandangan ini, Iqbal menegaskan bahwa manusia harus selalu dinamis, tidak statis.
Sebab, hanya dengan prilaku dinamis kehiduapn akan berkembang dan lebih maju.
2) Dosa
Dalam menjelaskan masalah dosa, Iqbal sering mengembangkan cerita tentang kejatuhan
Adam (karena memakan buah terlarang sebaga kisah yang berisi pelajaran tentang
“kebangkitan manusia dari kondisi primitif yang dikuasai hawa nafsu naluriah kepada
pemilikan kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi
kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang. Pandangan ini menunjukkan bahwa
dalam pemikiran Iqbal, seseorang bisa saja melakukan dosa, tetapi setelah itu ia harus mampu
bangkit untuk menemukan kesadaran diri. Kesadaran diri inilah yang menuntun manusia
untuk bebas dari perbuatan dosa-dosa serupa atau yang lainnya.
3) Surga dan Neraka
Menurut Iqbal, surga dan neraka adalah keadaan, bukan tempat. Gambaran-gambaran
tentang keduanya di dalam Al-Qur’an adalah

100" Tauhid
visualisasi dari sifat-sifat surga dan neraka, demi kepentingan kemudahan dalam memahami.
Neraka, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an bukanlah kawah tempat penyiksaan abadi
yang disediakan oleh Tuhan. Ia adalah pengalaman korektif yang tiapat memperkuat kesadaran
diri agar lebih sensitif dan waspada terhadap berbagai bentuk penyelewengan. Surga juga
bukan merupakan tempat berlibur. Kehidupan itu hanya satu dan berkesinambungan, c. Ismail
Raji al-Faruqi
AI-Faruqi adalah pemikir Islam kontemporer yang memiliki perhatian besar pada masalah
islamisasi ilmu pengetahuan. Ia juga berjasa dalam memperkenalkan studi Islam di berbagai
universitas Amerika Serikat. Mengenai hal ini, Sayyed Hossein Nasr menyebutnya “sebagai
sarjana muslim pertama yang mendedikasikan sepanjang hayatnya pada studi- studi Islam di
AS”.
Pemikiran teologi Al-Faruqi dibangun di atas dasar konsep tauhid. Tauhid inilah yang
memberikan pengaruh pada prilakua dan pemikiran seorang muslim. Secara rinci, Al-Faruqi
mengemukakan kedudukan tauhid sebagai berikut:
1) Tauhid sebagai inti pengalaman agama.
2) Tauhid sebagai pandangan dunia.
3) Tauhid sebagai intisari Islam
4) Tauhid sebagai prinsip sejarah.
5) Tauhid sebagai prinsip pengetahuan.
6) Tauhid sebagai prinsip metafisika.
7) Tauhid sebagai prinsip etika.
8) Tauhid sebagai prinsip tata sosial.
9) Tauhid sebagai prinsip ummah
10) Tauhid sebagai prinsip keluarga.
11) Tauhid sebagai prinsip tata politik.
12) Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi, dan

tauhid~101
13) Tauhid sebagai prinsip estetika.
Menyimak butir-butir pemikiran teologi Al-Faruqi di atas, jelas terlihat bahwa
tauhid dalam pemikirannya menduduki posisi sentral. Tauhid ini menjiwai seluruh
prilaku seorang muslim dalam setiap aspek kehidupan. Dengan demikian, apapun
bidang yang menjadi garapan seorang muslim mesti dijalankan atas prinsip-prinsip
tauhid, dalam arti disesuaikan dengan ajaran Tuhan dan didedikasikan untuk
mengabdi kepada-Nya.
d. Hasan Hanafi
Satu lagi pemikir Islam kontemporer adalah Hasan Hanafi yang lahir tanggal
13 Pebruari 1935 di Kairo (Mesir). Di antara pemikiran teologisnya antara lain
adalah:
1) Kritik terhadap teologi tradisional
Bagi Hanafi, teologi tradisional (rumusan teologi yang muncul pada masa
permulaan Islam sebagai warisan masa klasik) bukanlah tidak boleh dikritik. Ia
adalah ilmu kemanusiaan yang terbuka untuk dilakukan verifikasi dan falsifikasi.
Secara praktis, Hanafi menunjukkan bahwa teologi tradisional tidak dapat menjadi
sebuah “pandangan yang benar- benar hidup” dan memberi motivasi tindakan
dalam kehidupan nyata umat manusia. Secara praktis, teologi tradisional gagal
menjadi semacam ideologi yang sungguh-sungguh fungsional bagi masyarakat
muslim.
Kegagalan para teolog tradisional disebabkan oleh sikap para penyusun teologi
yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan
manusia. Akibatnya, muncul keterpecahan antara keimanan teoritik dengan amal
praktisnya di kalangan umat. Ia menyatakan baik secara individual dan sosial umat
dilanda perpecahan akibat pandangan teologi yang sempit. Secara individual,
pemikiran manusia terptus dengan kesadaran, perkataan maupun perbuatannya.
Secara sosial, teologi telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan
ia sarat dengan konflik sosial dan politik.
2) Rekonstruksi teologi

102— Tauhid
Melihat sisi-sisi kelemahan teologi tradisional, Hasan Hanafi mengajukan saran perlunya
dilakukan rekonstruksi teologi. Tujuannya adalah agar teologi tidak sekedar dogma-dogma
keagamaan kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang sosial, yang
menjadikan keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktual sebagai landasan etik dan
motivasi manusia.
A.H.Ridwan dalam bukunya Reformasi Intelektual Islam, (1998 : 50- 51) mencatat beberapa
langkah yang ditawarkan oleh Hasan Hanafi dalam rekonstruksi teologi, yaitu:
a) Merumuskan sebuah ideologi yang jelas di tengah pertarungan global antara berbagai
ideologi.
b) Merumuskan teologi baru yang tidak hanya pada wilayah teoritisnya, melainkan juga
pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan teologi sebagai gerakan dalam
sejarah.
c) Teologi baru yang bersifat praktis ini dibangun berdasarkan realisasi tauhid dalam dunia
Islam.hanafi menghendaki adanya “teologi dunia” yaitu teologi baru yang dapat
mempersatukan umat Islam di bawah saru pemerintahan.
Berdasarkan pemikiran yang dikemukakan oleh Hasan Hanafi di atas, dapat ditegaskan
bahwa ia termasuk pemikir Islam Progrsif-kontekstual
Artinya, pemikirannya berusaha mendorong agar umat Islam memaknai doktrin teologi secara
dinamis sehingga lebih fungsional sesuai dengan kebutuhan hidup umat Islam. Dengan
rekonstruksi teologi, hanafi berusaha meyakinkan umat Islam bahwa hanya dengan cara itu
teologi dapat memberikan sumbangan kongkret bagi sejarah kemanusiaan,
e. Harun Nasution
Harun Nasution adalah pemikir muslim kontemporer Indonesia yang patut mendapatkan
perhatian, khususnya berkiatan dengan kajian tentang

Tauhid-103
teologi Islam. Ia menjadi tokoh sentral dalam memperkenalkan teologi rasional di Indonesia,
khususnya di lingkungan IAIN. Harun Nasution juga yang mengembangkan program
pascasarjana di lingkungan IAIN. Beberapa butir pemikirannya dapat disebutkan sebagai
berikut:
1) Peranan akal
Berkaitan dengan peran akal, Harun Nasution menulis dalam bukunya berjudul Teologi
lslam (1986 : 56): “Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah manusia
mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain di sekitarnya. Bertambah
tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain.
Bertambah lemah akal manusia, bertambah rendah pulalah kesanggupannya menghadapi
kekuatan-kekuatan lain tersebut”.
Selanjutnya, ia mengatakan bahwa akal mempunyai kedudukn tinggi dan banyak dipakai,
bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga alam perkembangan ajaran-
ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemakaian akal juga menjadi salah sam perintah penting yang
tertuang dalam Al-Qur’an.
2) Pembaharuan teologi
Pemikiran Harun Nasution dalam bidang pembaharuan teologi dibangun di atas asumsi
bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga di berbagal tempat)
adalah disebabkan “adanya sesuatu yang salah” dalam teologi mereka. Oleh karena im, ia
berpendapat bahwa jika hendak merubah nasib, umat Islam hendaklah mengubah teologi
mereka dari teologi yang bercorak fatalis, irrasional serta penyerahan nasib secara total,
menuju teologi yang berwatak rasional, mandiri dilandasi kebebasan berbuat. Dengan
pemikiran ini, oleh sebagian pengamat Harun Nasution sering dianggap sebagai orang yang
Ingin menghidupkan kembali Mu’tazilah di Indonesia.

104~ Tauhid
3) Hubungan antara akal dan wahyu
Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan antara akal dan wahyu. Ia
menjelaskan bahwa hubungan keduanya sering menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya
tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang
beriman tidak harus menerima bahwa wahyu telah mengamdung segala-galanya. Wahyu
bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan secara lengkap dan rinci.
Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat, ilmu kalam apalagi ilmu fiqh, akal tidak
pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Akal dipakai untuk
memahami teks wahyu dan titiak unmk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi
terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi.
Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu,
tetapi penafsiran tertentu dari teks dan wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu Itu juga.
Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan
pendapat akal ulama lain.
Bila ditelusuri lebih mendalam, pemikiran Harun Nasution banyak memiliki persamaan
dengan aliran Mu’tazilah di zaman klasik dan juga pemikir-pemikir lain periode modern
seperti Muhammad Abduh. Dalam konteks Indonesia, pemikirannya pernah banyak
mendapatkan tantangan mengingat umumnya umat Islam Indonesta menganut aliran teologi
yang kurang memberikan peran tinggi kepada akal dan cenderung fatalis. Akan tetapi, setelah
pemikiran tersebut disosialisasikan secara terus menerus melalui IAIN, lambat-laun dapat
diterima dan hingga kini banyak intelektual muda Indonesia yang mewarisi pemikiran Harun
Nasution.

Tauhid ~105
Perjanjian damai antara pihak Ali dan
Muawiyah saat terjadi Perang Shifftn. Disebut
E. Glosarium juga dengan istilah tahkim. Peristiwa inilah
Arbitrase yang menjadi titik awal lahirnya aliran-aliran
teologi dalam Islam.

: Faham yang mengatakan bahwa semua


perbuatan manusia telah ditentukan oleh
Tuhan. Dalam hal ini manusia tidak memiliki
Fatalisme kebebasan untuk menentukan ^rbuatannya.
Disebut juga dengan isitilah pre-deteminisme.
Dalam sejarah teologi Islam faham ini
dikemabngkan oleh kelompok Jabariyah.
Free-will dan free act : Faham yang menyatakan bahwa manusia
memiliki kebebasan berkehendak dan berbuat.
Dalam hal ini manusia bebas untuk
menentukan perbuatan yang akan
dilakukannya. Faham ini dikembangkan
oleh kelompok Qadariyah.
Al-Kasb

: Secara harifiah bermakna perolehan.


Maksudnya, perbuatan manusia telah
ditentukan oleh Tuhan, dan perwujudan
perbuatan tersebut disertai oleh daya yang
diberikan Tuhan kepada manusia, sehingga
perbuatan tersebut terlaksanadan menjadi
perolehan manusia. Faham ini dikemukakan
oleh Asy’ariyah.

Atropomorfisme : Ayat-ayat Al-Qur’an yang


menunjukkan
seolah-olah Allah memiliki anggota tubuh

106~Tauhid
sebagaimana manusia, misalnya tangan Allah,
wajah Allah, kursi Allah, tahta Allah dan
sebagainya.

F. Tugas-Tugas
1. Masih ada aliran-aliran teologi Islam yang cukup berpengaruh yang belum
terungkap pada bagian uraian materi di atas, yakni Syi’ah dan Maturidiyah.
Oleh karena itu, lakukanlah kegiatan-kegiatan berikut untuk
mengetahuinya:
a. Carilah buku-buku yang di dalamnya terdapat uraian tentang kedua
aliran tersebut.
b. Bacalah secara lengkap dan teliti, lalu buatlah ringkasannya meliputi
sejarah kemunculannya, tokoh-tokohnya serta doktrin- doktrin
teologinya.
c. Setelah ringkasan selesai anda buat, coba tukarkan ringkasan yang
anda buat dengan ringkasan yang dihasilkan oleh teman anda.
d. Berikan masukan kepada ringkasan yang dibuat oleh teman anda, dan
mintalah teman anda memberikan masukan pada ringkasan yang anda
buat.
e. Jika ada hal-hal yang belum jelas tanyakanlah kepada dosen agar
diberikan klarifikasi.
2. Anda telah melihat dinamika yang terjadi dalam aliran-aliran teologi Islam
batk periode klasik maupun periode modern. Sebagai langkah pendalaman
dan memberikan apresiasi terhadap realitas sejarah tersebut, buadah satu
komentar pada secarik kertas. Komentar berisi tentang hal-hal berikut:
a. Sikap anda terhadap perbedaan-perbedaan yang ada dalam setiap
aliran.
b. Nilai yang dapat diambil dari beragamnya aliran-aliran teologi dalam
Islam.

Tauhid ~107
c. Saran anda terhadap umat Islam dalam menghadapi banyaknya
ahran teologi.
G. Evaluasi
Jawablah pertanyaan-pertanyaan herikut dengan benar !
1. Kemukakan beberapa sebab yang melatar belakangi lahirnya
aliran-aliran teologi dalam Islam !
2. Sebutkan dua aliran teologi yang muncul pada periode klasik
dan periode modern beserta konsep teologisnya pada aspek
perbuatan manusia !
3. Bandingkan konsep perbuatan manusia antara Jabariyah dan
Qadariyah ! Jelaskan pula implikasi dari masing-masing
konsep tersebut bagi kehidupan manusia !
4. Hasan hanafi perlunya fungsionalisasi doktrin teologi dalam
kehidupan konkrit. Sebutkan dan jelaskan langkah-langkah
'yang ditawarkannya !
5. Pemikiran Harun Nasution tentang peran akal serta hubungan
akal dengan wahyu memiliki keminpan dengan Muhamma
Abduh. Tunjukkan persamaan dan perbedaan keduanya !
H. Daftar Pustaka
lHarun Nasudon, Teologi lslam, Jakarta : Universitas Indonesia,
1978).
,-------------- Pembaharuandalam Islam, Sejarah Pemikiran
dan Gerakan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996).
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terjemah Firdaus AN,
(Jakarta : Bulan Bintang, 1996).
Hassan Hanafi, Min al !Aqidah ilaa al Tsaurah, (Mesir : Maktabah
Madpoli, 1988).
A. Hanafi, Theologi Islam, (Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1980).
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka
Setia, 1998).

108' Tauhid
Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992). Abdul
Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia, 2003).
Muhammad Iqbal, membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, terjemah
Ali Audah dkk, (Jakarta : Tintamas, 1982).

MIUK PERPUSTAKAAN
UIN SUNAN KAUJAGA

Tauhid ~ 109

Anda mungkin juga menyukai