Anda di halaman 1dari 23

HADITS ARBAIN KE-

13
 HADITS TENTANG CINTA DAN KESEMPURNAAN IMAN MERUPAKAN KAJIAN ISLAM ILMIAH YANG DISAMPAIKAN OLEH USTADZ
ANAS BURHANUDDIN, M.A. DALAM PEMBAHASAN AL-ARBA’IN AN-NAWAWIYAH (‫ ) اـألربـعـون لاــنووية‬ATAU KITAB HADITS ARBAIN NAWAWI
 KARYA IMAM NAWAWI RAHIMAHULLAHU TA’ALA. KAJIAN INI DISAMPAIKAN PADA 1 RAJAB 1441 H / 25 FEBRUARI 2020 M.
• hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Salam, beliau bersabda:
‫• الَ ي ُْؤ ِم ُن أَ َح ُد ُك ْم َحتَّى ي ُِحبَّ أِل َ ِخ ْي ِه َما ي ُِحبُّ لِنَ ْف ِسه‬
• “Tidaklah beriman seorang di antara kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa
yang dia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
• Ini adalah hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim. Dan hadits ini ditafsirkan oleh riwayat
Ahmad yang bunyinya:
‫اس َما ي ُِحبُّ لِنَ ْف ِس ِه ِم َن ْال َخي ِْر‬
ِ َّ‫• الَ يَ ْبلُ ُغ َع ْب ٌد َح ِق ْيقَةَ ْا ِإل ْي َما ِن َحتَّى ي ُِحبَّ لِلن‬
• “Tidaklah seorang hamba mencapai hakikat iman (iman yang sesungguhnya) sampai dia
mencintai untuk manusia apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri berupa kebaikan.”
(HR. Ahmad)
• Jadi, yang dimaksud iman yang dinafikan dalam hadits riwayat (redasi) Al-Bukhari dan
Muslim adalah kesempurnaan iman. Sehingga hadits ini bisa kita tafsirkan dengan
mengatakan, “Tidaklah sempurna iman seseorang diantara kalian sampai dia mencintai
untuk saudaranya apa yang dicintai untuk dirinya sendiri.”
• Jadi yang dinafikan adalah kesempurnaan iman, bukan pokok iman
• Sebagaimana disebutkan dengan tegas oleh Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad
Hafidzahullahu Ta’ala dalam Fathul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba’in. Jadi yang
dinafikan adalah kesempurnaan iman yang wajib. Artinya kalau kita belum sampai derajat
ini, kalau kita masih belum mencintai untuk saudara kita apa yang kita cintai untuk diri
kita sendiri, maka berarti ada yang kurang dengan iman kita
• Bahkan sebagian ulama mengatakan berarti kita masih berdosa. Maka wajib bagi setiap
muslim untuk mencintai bagi saudaranya apa yang dicintai untuk dirinya sendiri.
• Secara umum, hadits ini menjelaskan bahwa di antara kesempurnaan iman adalah ketika orang beriman
mencintai saudara (seiman) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Artinya, orang beriman itu cinta,
peduli dan perhatian kepada saudaranya.
• Ulama besar Ibnu Daqiq Al-‘Id dalam buku syarah Arba’in (2003: 64) menyebutkan, salah satu pelajaran
penting dari hadits ini: “Mukmin yang satu dengan yang lain seperti satu jiwa atau tubuh. Maka masing-
masing harus mencintai yang lain sebagaiman ia mencintai diri sendiri karena satu sama lain tidak
terpisah.”
• Sementara itu, Syekh Utsaimin mencatat pelajaran lain yang tak kalah menarik. Bahwa hadits ini sebagai
peringatan agar menjauhkan diri dari hasad (dengki). Karena orang dengki tidak akan suka kepada
saudaranya sebagaimana yang dicintainya.
• Dan mencintai di sini adalah amalan hati
• ketika kita mendapatkan kebaikan (baik dalam urusan dunia maupun dalam urusan
akhirat) maka kita harus mencintai hal itu juga untuk saudara kita
• Kita mengharapkan agar orang lain juga bisa merasakan kebaikan itu. Kita berharap
orang lain juga bisa merasakan kenikmatan-kenikmatan yang kita dapatkan
• Bukan berarti kita harus memberikan apa yang kita miliki kepada mereka
• Ketika kita -misalnya- memiliki ilmu agama yang bermanfaat, maka kita berharap
saudara kita yang lain juga bisa merasakan ilmu itu.
• Ketika kita mendapatkan sebuah nikmat duniawi, maka kita juga senang kalau seandainya
saudara kita mendapatkan nikmat itu juga. Ini yang menjadi kewajiban kita.
• Tidak berarti kalau kita punya mobil, berarti kita harus memberikannya kepada saudara
kita.
• Atau kalau kita punya uang yang banyak kita harus membaginya dengan saudara kita. Itu
baik, tapi itu bukan suatu kewajiban dan itu bukan yang dimaksudkan oleh hadits ini.
• Yang penting adalah mengolah hati kita karena ini adalah amalan hati, kita mencintai
untuk saudara kita apa yang kita cintai untuk diri kita sendiri
• Dan kita juga membenci untuk saudara kita apa yang kita benci untuk diri kita sendiri
• Kita senang kalau dihormati, kita senang kalau dihargai, maka kita juga harus menghargai
orang lain dan menghormati mereka
• Kita tidak suka untuk didzalimi, tidak suka untuk direndahkan, maka kita tidak boleh pula
untuk mendzalimi dan merendahkan orang lain. Ini adalah makna dari hadits ini.
• Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menafsirkan hadits yang agung ini dengan
beberapa hadits yang lain. Diantaranya adalah hadits riwayat Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash
Radhiyallahu ‘Anhuma bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
‫اس الَّ ِذي ي ُِحبُّ أَ ْن ي ُْؤتَى‬ ِ ْ‫ َو ْليَأ‬، ‫ فَ ْلتَأْتِ ِه َمنِيَّتُهُ َوهُ َو ي ُْؤ ِم ُن بِاهَّلل ِ َو ْاليَ ْو ِم اآْل ِخ ِر‬، َ‫ َويُ ْد َخ َل ْال َجنَّة‬، ‫ار‬
ِ َّ‫ت إِلَى الن‬ ِ َّ‫• فَ َم ْن أَ َحبَّ أَ ْن يُ َزحْ َز َح َع ِن الن‬
‫إِلَ ْي ِه‬
• “Barangsiapa yang ingin dihindarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka
hendaklah ajal menjemput dia dalam keadaan dia beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan
hendaklah dia mendatangi manusia dengan cara yang dia suka kalau manusia mendatangi dia
dengan cara itu.” (HR. Muslim)
• Jadi kalau kita ingin dihindarkan dari api neraka dan dimasukkan kedalam surga (ini
adalah kemenangan yang sesungguhnya, ini adalah keberuntungan yang sejati),
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
‫ار َوأُ ْد ِخ َل ْال َجنَّةَ فَقَ ْد فَا َز‬
ِ َّ‫• فَ َمن ُزحْ ِز َح َع ِن الن‬
• “Maka barangsiapa yang dihindarkan dari neraka dan dimasukkan kedalam surga, maka
dia sungguh telah menang.” (QS. Ali-Imran[3]: 185)
• Ini adalah kemenangan yang sesungguhnya. Bagaimana caranya? Caranya hendaklah kita
mempertahankan iman kita sampai kita berjumpa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tetap
beriman kepada Allah dan hari akhir kita pertahankan sampai akhir hayat kita. Harus 
istiqamah diatas agama ini.
• Kemudian hendaklah kita mendatangi manusia dengan cara yang kita suka kalau orang-
orang mendatangi kita dengan cara itu. Artinya kita memperlakukan mereka dengan cara
yang baik, sebagaimana kita suka kalau orang-orang memperlakukan kita dengan cara yang
baik pula. Kita pergauli manusia cara dan akhlak yang baik. Kita perlakukan mereka dengan
cara yang kita sukai kalau seandainya orang-orang itu memperlakukan kita dengan cara itu.
• Dalam hadits riwayat Muslim yang lain, dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘Anhu beliau meriwayatkan.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan kepada saya:
‫لك َما أُ ِحبُّ لِنَفسي‬
َ ُّ‫ َوإنِّي أُ ِحب‬،‫ضعيفًا‬
ِ ‫إنِّي أَ َراك‬،ّ‫يا أبا َذر‬ •
• “Wahai Abu Dzar, sungguh aku melihatmu adalah orang yang lemah. Maka aku mencintai untuk dirimu
apa yang aku cintai untuk diriku sendiri.” (HR. Muslim)
• Nasehat yang beliau sampaikan kepada Abu Dzar, beliau jelaskan demikian. Kemudian beliau
menyambung:
‫ال تَأ َ َّم َر َّن َعلَى ْاثنَيْن‬ •
• “Wahai Abu Dzar, jangan sekali-kali engkau menjadi pemimpin untuk dua orang.”
• Setiap orang mempunyai kelebihan dan kelemahannya. Ada sebagian orang yang titik lemahnya adalah
ketika menjadi pemimpin, ketika memegang jabatan. Sebagian orang kelemahannya bukan di tahta, tapi
ketika berhadapan dengan harta. Sebagian orang lagi titik lemahnya ketika berhadapan dengan wanita
 (lawan jenis).
• Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengenal karakter sahabat-sahabat beliau.
• Dalam hadits ini Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang mempraktekkan hadits yang
beliau sampaikan. Beliau mengatakan, “Wahai Abu Dzar, sungguh aku melihatmu sebagai orang yang
lemah dan aku mencintai untuk dirimu apa yang aku cintai untuk diriku sendiri, maka jangan engkau
menjadi pemimpin untuk dua orang (apalagi lebih)” Dua orang saja beliau khawatir akan tidak amanah.
• Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melanjutkan:
‫• َوال تُ َولَّيَ َّن َما َل يتِ ٍيم‬
• “Jangan juga engkau mengurus harta anak yatim.”
• Di sini Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat bahwasannya Abu Dzar
bukan orang yang cakep untuk mengurus dua hal ini.
• Maka beliau melarang Abu Dzar untuk berurusan dengan dua hal ini. Tentunya ditengah
lautan kelebihan yang dimiliki oleh Abu Dzar Radhiyallahu ‘Anhu.
• Jadi hadits ini juga menunjukkan bahwasannya kalau kita mendapati saudara kita ada
kekuranga/kelemahan, maka hendaknya kita berusaha meluruskan/memperbaiki,
membuat dia lebih baik lagi, termasuk dengan mengingkari kesalahan dia jika dia
salah. Karena kita tentunya juga ingin kalau saudara kita selamat di akhirat, ingin hisab
dia di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berat. Sebagaimana kita juga ingin
seperti itu. Kita ingin selamat di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita ingin selamat
di akhirat. Maka kalau kita mendapatkan saudara kita melakukan suatu kesalahan atau
berada pada kondisi yang tidak baik, maka kita berusaha untuk menyelamatkan diri,
menegur dia, menasehati dia. Ini termasuk juga poin pembahasan hadits ini.
• . Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
ْ َ‫ اَل ي‬،‫• ْال ُم ْسلِ ُم أَ ُخو ْال ُم ْسلِ ِم‬
ُ‫ َواَل يَحْ قِ ُره‬،ُ‫ َواَل يَ ْك ِذبُه‬،ُ‫ َواَل يَ ْخ ُذلُه‬،ُ‫ظلِ ُمه‬
• “Seorang muslim adalah saudara untuk muslim yang lain. Janganlah dia mendzaliminya,
janganlah dia merendahkannya, janganlah dia menghinakannya.” (HR. Muslim)
• Ini semua dilarang. Dan ini selaras dengan hadits yang menjadi pembahasan kita hari ini.
• Dari Abu Umamah Radhiyallahu ‘Anhu: Bahwasanya ada seorang pemuda yang datang
kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian beliau mengatakan kepada
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
ِّ ِ‫ ا ْئ َذ ْن لِي ب‬، ِ ‫• يَا َرسُو َل هَّللا‬
‫الزنَا‬
• “Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk berzina.”
• Maka para sahabat marah, mengingkari dia dengan keras. Tapi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam melarang mereka untuk menyikapi sahabat ini dengan keras. Tapi beliau mengajak
pemuda untuk diskusi. Dia katakan, “Apakah engkau rela ibumu dizinai oleh orang lain?” Maka dia
mengatakan, “Tidak wahai Rasulullah.” Dan orang-orang juga tidak rela kalau ibu mereka dizinai.
Terus kemudian bertanya lagi, “Apakah engkau rela hal ini terjadi pada anak perempuanmua?”
Lagi-lagi sahabat ini mengatakan “Tidak Rasulullah, aku tidak rela kalau putriku dizinai.” Dan tidak
ada seorangpun yang rela kalau putrinya dizinai. “Apakah engkau rela jika ini terjadi pada
saudarimu? Apakah engkau rela jika hal ini terjadi pada bibimu?” Dan semuanya dijawab oleh
pemuda ini dengan mengatakan, “Tidak wahai Rasulullah, aku tidak rela kalau itu terjadi pada
saudariku, bibiku.” Dan orang-orang juga tidak rela kalau itu terjadi pada keluarga mereka.
• Di sini Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajak pemuda ini untuk
menyempurnakan imannya. Beliau  mengajak pemuda ini untuk mengamalkan sebuah
tanda iman yang sempurna. Yaitu mencintai untuk saudara kita sesama muslim apa yang
kita cintai untuk diri kita sendiri. Dan membenci untuk saudara kita sesama muslim apa
yang benci untuk diri kita sendiri.
• Kalau kita tidak rela zina itu terjadi pada ibu kita, putri kita, saudari kita, bibi kita,
maka bagaimana kita rela hal tersebut terjadi pada ibunya orang lain, putrinya orang lain,
saudari orang lain, bibinya orang lain.
• Kemudian Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memegang pemuda ini dan
mendoakannya agar diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diberikan taufik
dalam kehidupannya.
• Kalau sampai kita tidak mempraktekkan hal ini, maka konsekuensinya adalah kita masih
berdosa, kita masih belum memiliki kesempurnaan iman yang wajib, masih ada yang
banyak kita perbaiki dalam kehidupan kita
• Dan juga celaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Muthaffifin:
﴾١﴿ َ‫َو ْي ٌل لِّ ْل ُمطَفِّفِين‬ •
• Wail adalah lembah di jahanam. Menurut penafsiran yang lain dia adalah “celaka”. Untuk siapa? Untuk orang-orang
yang mengurangi. Apa maksudnya mengurangi? Ditafsirkan dalam ayat yang selanjutnya:
َ ُ‫اس يَ ْست َْوف‬
﴾٢﴿ ‫ون‬ َ ‫الَّ ِذ‬
ِ َّ‫ين إِ َذا ا ْكتَالُوا َعلَى الن‬ •
• “Mereka adalah orang-orang yang kalau orang lain menakar untuk mereka, mereka ingin diberikan haknya secara
sempurna.” (QS. Al-Mutaffifin[83]: 2)
َ ‫َوإِ َذا َكالُوهُ ْم أَو َّو َزنُوهُ ْم ي ُْخ ِسر‬
﴾٣﴿ ‫ُون‬ •
• “Tapi kalau giliran mereka yang menakar atau mereka yang menimbang, maka mereka mengurangi.” (QS. Al-
Mutaffifin[83]: 3)
• Jadi kalau berbicara tentang hak, mereka kuat menuntut, harus penuh, harus lengkap,
tidak boleh dikurangi. Tapi ketika berbicara tentang kewajiban mereka seenaknya sendiri,
timbangan mereka kurangi, takaran tidak mereka penuhi, hati-hati kalau sampai kita
seperti itu. Berarti kita belum mewujudkan sifat mukmin yang tadi itu. Mencintai untuk
saudara kita apa yang kita cintai untuk diri kita sendiri dan membenci untuk mereka apa
yang kita benci untuk diri kita sendiri.

Anda mungkin juga menyukai