Syarat-syarat Tarjih
▪Dua dalil tersebut harus ta`arudh (kontradiksi) dan tidak ada kemungkinan untuk mengamalkan
keduanya dengan cara apapun. Oleh karena itu tidak mungkin terjadi tarjih dalam dua dalil yang
qath`i (pasti) karena kedua dalil ini tidak mungkin bertentangan (kontradiksi).
▪Kedua dalil yang bertentangan itu sama pantas untuk petunjuk kepada yang dimaksud.
▪Kedua dalil yang dimaksud ada petunjuk yang mewajibkan beramal salah satu keduanya dan
meninggalkan yang lainnya.
Berdasarkan persyaratan tarjih di atas, dapat dipahami bahwa, tidak terjadi tarjih terhadap al-Qur`an
( qath`i al-thubut ) dengan hadits Ahad ( zhanni al-thubut ) dikarenakan kedua dalil ini tidak
sederajat (setingkat). Lain halnya jika terjadi perbedaan dari segi dalalahnya.1
Seperti kedua dalil-dalil itu sama-sama qath`i al-thubut (al-Qur`an dan Hadith mutawatir), akan
tetapi kandungan isinya ( dalalah ) yang satu qath`i al-dalalah dan yang lain zhanni al-dalalah .
Demikian pula (tidak terjadi tarjih), jika yang satu dalil dari hadits Mutawatir dan yang lain hadits
Ahad, karena dalam hal semacam ini hadits Mutawatir yang harus didahulukan dalam
pengamalannya.
Macam-macam Tarjih
1. Tarjih bi i'tibar al-isnad.
Yaitu tarjih dengan melihat jalur periwayatan sebuah matan. Imam asy-Syaukani
menyebutkan paling tidak ada 42 macam cara yang dapat dilakukan untuk mentarjih melalui
jalur sanad, Asy-Syaukani menyatakan: “Ketahuilah bahwa cara-cara mentarjih itu banyak.
Kesimpulannya, apapun cara tarjih yang ditempuh, yang penting dapat lebih banyak
memberikan pemahaman secara zhann2
Al-Amidi ahli ushul fikih madzhab Syafi’i mengemukakan 51 cara pentarjihan dari segi
matan, diantaranya adalah:
Keempat; Dalil yang khusus lebih didahulukan daripada dalil yang umum. Karena dalil yang
khusus lebih kuat dalam memberikan hukum, dengan catatan apabila dalil yang umum dan
dalil yang khusus tersebut adalah mutlak. Namun apabila dalil yang umum dan dalil yang
khusus saling berhadapan, jika ada yang dapat mentarjih}kan salah satu keduanya dengan
dalil lain, maka dapat mengamalkan dalil yang khusus. Tetapi jika tidak ada dalil lain yang
dapat digunakan untuk mentarjih3
3
Ahmad Atabik, “Riwayah: Jurnal Studi Hadis”, 140
4
Ahmad Atabik, “Riwayah: Jurnal Studi Hadis”, 141-146
3. Mentarjihkan nash yang menyebutkan adanya hukum dengan
diikuti sebuah alasan dan mengakhirkan nash yang menyebutkan adanya hukum
tetapi tidak diikuti dengan sebuah alasan. Karena lebih memudahkan untuk tunduk
terhadapnya dan mudah diterimanya. Seperti halnya juga menarjihkan hukum
yang menyebutkan adanya sebab terjadinya nash dan mengakhirkan hukum yang
tanpa menyebutkan sebab terjadinya nash. Sebab yang demikian itu menunjukkan
bertambahnya perhatian perawi dengan hadis yang diriwayatkannya
4. Mendahulukan hukum dari dua dalil yang lebih dekat kepada kehatihatian
dan bebasnya tanggungan. Karena hal itu lebih dekat dalam mewujudkan
kebaikan dan menolak kemudharatan.
5. Mentarjihkan dalil yang bersamaan dengan penjelasan perawi
melalui perbuatan atau perkataannya dan mengakhirkan dalil yang tidak demikian.
Karena perawi sebuah khabar lebih mengerti dan lebih mengetahui dengan apa
yang diriwayatkannya.5
5
Ahmad Atabik, “Riwayah: Jurnal Studi Hadis”, 146-147