Anda di halaman 1dari 28

Materi 10

SUMBER HUKUM ISLAM YANG MUKHTALAF

Sumber hukum islam yang masih diperselisihkan (mukhtalaf) di kalangan para ulama selain
adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, „uruf, madzhab As Shahâbi, Saduz Dzariah, syar‟u man
qablana.
A. Istihsân
1. Pengertian
Secara bahasa Ihtisan berasal dari kata “hasan” yang berarti adalah baik dan lawan dari
“qobaha” yang berarti buruk. Kemudian di tambah tiga huruf yaitu alif- sin dan ta‟,
bewazan istif‟al ,sehingga menjadi istahsana- yastahsinu- istihsaanan. Kata benda (mashdar)
yang berarti menganggap dan meyakini sesuatu itu baik (baik secara fisik atau nilai) lawan dari
Istiqbah, yakni menganggap sesuatu itu buruk. Jadi, dari segi bahasa istihsân bermakna
memandang baik sesuatu atau mencari yang lebih baik untuk diikuti.
a. Menurut Abu Zahroh
Ungkapan tentang dalil yang dikritik oleh mujtahid itu sendiri (karena)
ketidaksanggupannya untuk memunculkannya disebabkan tidak adanya kata/ ibarah
yang dapat membantu mengungkapankannya.
b. Menurut Al Fairuz Abadi
Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang bersifat
umum/ menyeluruh.
c. Menurut Al Jayzani
Beralihnya seseorang dari menghukumkan suatu masalah dengan yang serupa karen
adanya kesamaan-kesamaan kepada hal yang berbeda karena pertimbangan yang
lebih kuat yang mengharuskan beralih dari yang pertama.
d. Menurut Al Hilwani dan Al Hanafi
Istihsan ialah menukar perkara yang berasal dari Qias kepada Qias yang lebih kuat.
Hal ini disebut Qias khafi yang tersembunyi illat nya.
e. Menurut Imam Abu Hasan Al Karkhi
Merupakan penetapan hukum oleh mujtahid terhadap sesuatu masalah yang
menyimpang daripada ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yng
sama disebabkan alasan yang lebih kukuh.

208
f. Menurut Jumhur ulama' Usul
Istihsan adalah menukarkan sesuatu hukum kulli kepada huklum juziyy
(pengecualian)
Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum
lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara” yang mengharuskan untuk
meninggalkannya.
Misal yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong
tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya
pencuri harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian
hukum ini ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri.
Ini adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang menguatkann
2. Dasar Hukum
a. Al Qur’an

           

   


“ yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka
Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang
mempunyai akal.” (QS. Az Zumar; 18)

              
“ dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan…” (QS. Al Hajj :78)
b. Hadis
Hadits Nabi SAW,
Anas r.a berkata “Rosullah SAW bersabda, sebaik-baik agamamu adalah yang lebih mudah
ajarannya;dan sebaik-baik ibadah adalah yang dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya”.
(HR Ibnu Bar)
3. Kedudukan istihsan sebagai sumber hukum
Ada tiga sikap dan pandangan ulama dalam menggunakan istihsan sebagai sumber
hukum Islam. Ada yang menolak istihsan sebagai sumber hukum Islam sama sekali.
Mereka adalah kelompok ulama yang menafikan qiyas seperti Daud Azh Zhohiry,

209
Mu‟tazilah dan sebagian Syi‟ah. Ada yang menjadikan istihsan sebagai sumber hukum
Islam. Mereka adalah kelompok ulama Hanafiah, khususnya tokoh sentralnya Abu
Hanifah. Dan yang lain adalah kelompok yang kadang menggunakan istihsan dan
kadang menolaknya seperti Imam Syafi‟i.
Secara umum ada dua pendapat ulama dalam hal ini:
a. Ada yang menganggapnya sebagai sumber hukum.
Diantara ulama yang beranggapan sebagai sumber hukum adalah Imam Hanafi dan
Imam Malik sekalipun ia tidak terlalu membedakan antara istihsan dengan Maslahah
Mursalah, sehingga beliau menyatakan bahwa istihsan telah merambah sampai ilmu
fiqh. Adapun alasan-alasan yang dikemukannya antara lain:
1) Firman Allah QS. Az Zumar : 18,
2) Sabda Rasul SAW: “Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka baik pula disisi Allah.”
3) Ijma‟ umat dalam kontek istihsan tentang boleh masuk kepemandian umum, tanpa
pembatasan waktu dan penggunaan air serta ongkosnya.
b. Menganggap bukan sebagai sumber hukum.
Diantara ulama yang menolaknya sebagai sumber hukum adalah Imam Syafi‟i. Dalam
bukunya Ar Risalah beliau menyatakan bahwa haram bagi seseorang untuk
mengatakan sesutau atas dasar Istihsan. Beliau juga berkata ”Barang siapa yang
beristihsan sungguh ia telah membuat syariat”. Menurut beliau tidak boleh seorang hakim
atau mufti menghukumi atau berfatwa kecuali dengan dalil yang kuat (khobar lazim)
yang bersumber dari kitabullah, sunnah, ucapan ulama yang tidak diperdebatkan
(ijma‟) atau qiyas.
Tidak boleh menetapkan hukum/ fatwa dengan Istihsan. Bahkan ada dikalangan Asy
Syafi‟iyah secara ekstrim mengkafirkan dan membid‟ahkan. Adapun alasan mereka
yang menolak istihsan sebagai sumber hukum, antara lain:
1) Karena kewajiban seorang muslim adalah mengikuti hukum Allah dan RasulNya
atau qiyas yang berlandaskannya. Oleh karena itu hukum yang berasal dari Istihsan
adalah produk manusia (wadh‟i) yang hanya berdasarkan pertimbangan citra rasa
dan kesenangan belaka (Tazawwuq dan Talazzuz)
2) Allah swt memerintahkan kita untuk kembali kepada nash atau qiyas apabila kita
berselisih paham, bukan kepada hawa nafsu. Seperti Firmannya dalam QS. An
Nisa ; 59.
3) Nabi Muhammad saw tidak pernah memberikan fatwa dengan menggunakan
Istihsan. Misalnya ketika beliau ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata

210
kepada istrinya ”Kamu bagiku mirip punggung ibuku”. Beliau tidak memberikan fatwa
bersdasarkan Istihsan. Akan tetapi menunggu hingga turun ayat tentang Zihar
beserta kafaratnya. Atas dasar inilah, kita wajib menghindar penggunaan Istihsan
tanpa adanya topangan nash.
4) Nabi saw juga tidak memperkanankan sahabat memeberi fatwa atau bersikap
berdasarkan istihsan. Seperti pada kasus Usamah yang membunuh musuhnya yang
telah mengucapkan kalimat Laa Ilaa ha Illa Allah, karena kalimat itu di ucapkan di
saat terdesak dan ancaman pedang yang terhunus.
5) Istihsan tidak memiliki batasan yang jelas dan kreteri-kreteian yang bias dijadikan
standar untuk membedakan antara haq dan batil, seperti halnya qiyas. Sehingga
bisa menimbulkan bias.
4. Macam-macam istihsan
a. Istihsan dilihat dari aspek pengalihan
1) Mengalihkan qiyas zhohir mengambil qiyas khofi.
Contohnya pada kasus tanah wakaf pertanian (sawah). Dilihat dari kacamata qiyas
kewajiban mengairi tanah (sawah) tersebut tidak otomatis termasuk wakaf tanah
pertanian tersebut, apalagi memang tidak disebutkan saat mewakafkannya.
Alasannya karena qiyas zhohir, yaitu mengqiyaskan wakaf kepada jual beli
dimanan apabila terjadi transaksi atas suatu barang maka terjadi pemindahan
kepemilikan sesuai akad yang disepakatinya/ dikemukannya. Namun apabila
dilihat dari kacamata istihsan maka kewajiban mengairi tanah wakaf (sawah)
masuk dalam akad wakaf. Alasannya mengalihkan/mengabaikan hasil qiyas zhohir
mengambil hasil qiyas khofi. Karena tujuan dari wakaf tersebut adalah
memanfaatkan hasil dari pertaniantersebut. Dan sawah itu tidak akan
menghasilkan/mendatang-kan manfaat apabila tidak diairi.
2) Mengalihkan nash yang bersifat umum, mengambil hukum khusus. Contohnya
pada kasus Umar ra yang membatalkan hukum potong tangan seorang pencuri
karena kejadiannya saat terjadi musim paceklik/kelaparan. Padahal ayat potong
tangan itu cukup jelas (QS. Al Maidah: 38). Juga pada jual beli salam. Berdasarkan
dalil umum tidak boleh. Karena Nabi saw bersabda: ”Janganlah kamu menjual yang
tidak kamu miliki” (HR. Ahmad). Namun karena ada dalil khusu maka jual beli
salam dibolehkan. Sabda Nabi SAW ”Siapa yang melakukan jual beli salam, maka
harus jelas ukuran, timbangan dan watunya” (HR. Bukhori)

211
3) Mengalihkan/mengabaikan hukum kulli mengambil hukum istitsna‟
(pengkecualiaan).
Contohnya pada orang yang makan saat puasa karena lupa. Kaidah umum,
puasanya batal karena salah satu rukunnya, yaitu alimsak telah rusak. Namun
karena ada dalil khusus yang mengkecualikannya, maka puasanya tidak batal.
Yaitu sabda Nabi saw: “Siapa yang lupa padahal ia tengah puasa lalu ia makan atau
minum, hendaknya ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya itu adalah makan dan
minum yang diberikan Allah”.
b. Istihsan dilihat dari sanad atau sandaran yang digunakan dalam pengalihan/
atau pengabaian.
1) Istihsan yang sanad/sandarannya berupa quwwatul atsar/riwayat yang kuat.
Contohnya pada kasus sisa air minum unggas carnivora sepeti burung elang,
rajawali atau burung pemakan bangkai. Dilihat dari kacamata qiyas maka air itu
menjadi najis. Yaitu apabila diqiyaskan kepada hewan buas. Karena ada kesamaan
illatnya yaitu sama-sama hewan yang dagingnya haram dimakan. Namun apabila
dilihat dari kacamata istihsan, hukum air itu suci namun makruh. Karena hewan
burung minum dengan paruhnya. Dan paruhnya adalah suci karena ia sejenis
tulang yang kering. Ini berbeda dengan hewan buas yang minum dengan lidahnya
yang mengandung air liur yang bersumber dari dagingnya yang najis/ haram.
2) Istihsan yang sandarannya berupa maslahat
Contohnya pada kasus „al ajir al musytarok‟ (pekerja yang terikat pada banyak
orang) seperti tukang jahit, yang menghilangkan/ kehilangan bahan. Dilihat dari
kacamata qiyas, ia tidak wajib mengganti apabila bukan karena kelalaiannya.
Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan ia wajib menggantinya untuk
menjaga agar hak milik orang tidak disia-siakan.
3) Istihsan yang sandarannya berupa ijma
Contohnya pada kasusu akad Istishna‟ (pesanan). Menurut qiyas semestinya akad
itu batal. Sebab objek akad tidak ada ketika akad itu berlangsung. Akan tetapi
transaksi model ini telah dikenal dan sah sepanjang zaman, maka ia dipandang
sebagai ijma‟ atau ‟urf ‟aam yang dapat mengalahkan dalil qiyas. Yang demikian ini
berarti merupakan perpindahan dari suatu dalil ke dalil yang lainyang lebih kuat.
4) Istihsan yang sandarannya berupa qiyas
Contohnya pada kasus wanita yang perlu pengobatan khusus. Pada hakikatnya
seluruh tubuh wanita adalah aurat. Akan tetapi dibolehkan untuk melihat

212
sebagaian tubuhnya karena hajat. Seperti untuk kepentingan pengobatan oleh
seorang dokter. Di sini terdapat semacam pertentangan kaidah, bahwa seorang
wanita adalah aurat, memandangnya akan mendatangkan fitnah. Sementara disisi
lain akan terjadi masyaqqoh apabila tidak diobati. Dalam hal ini dipakai illat, at
taysir (memudahkan).
5) Istihsan yang sandarannya darurat.
Contohnya pada sumur yang kejatuhan najis. Apabila sumur itu dikuras sangat
tidak mungkin. Karena alat yang digunakan pasti terkontaminasi kembali dengan
najis tersebut. Namun dengan pertimbangan darurat hal itu dapat dilakukan.
6) Istihsan yang sandarannya berupa ‟urf (budaya/ kebiasaan)
Contoh orang yang bersumpah tidak makan daging (lahman). Namun kemudian
ia makan ikan. Berdasarkan qiyas ia telah melanggar sumpahnya karena Al Qur‟an
menyebut ikan dengan kata ”lahman toriyyan” . Namun berdasarkan ‟urf, ikan itu
berbeda dengan daging.
5. Contoh
Hukum Syara' melarang menjual benda yang tidak ada, atau menjalin ikatan transaksi
terhadap benda yang tidak ada, tetapi memberikan kekecualian berdasarkan istihsan
dalam beberapa masalah, seperti salam, ijarah muzara'ah di mana semua akad ini
objeknya belum ada. Dasarnya adalah kebutuhan masyarakat terhadap akad-akad
tersebut, dan disitulah letak kebaikannya.

B. Maslahah Mursalah
1. Pengertian
Maslahah mursalah menurut bahasa terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata

maslahah berasal dari kata bahasa arab menjadi atau yang

berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, sedangkan kata mursalah berasal dari kata

kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf‟ul, yaitu:

menjadi yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua

kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang
dipergunakan menetapkan suatu hukum islam, juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung
nilai baik (manfaat).

213
Secara etimologi, ahli ushul fiqih mengatakan bahwa maslahah mursalah ialah
menetapkan suatu hukum bagi masalah yang tidak ada nashnya dan tidak ada ijma,
berdasarkan kermaslahatan murni atau masalah yang tidak dijelaskan syariat dan
dibatalkan syariat.
Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan maslahah mursalah adalah jalan kebaikan
(maslahah) yang tidak disinggung syara‟ untuk mengerjakannya atau meninggalkannya,
sedang apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindarkan mudharat.
Sedangkan menurut Mustafa Ahmad Al-Zarqa, maslahah mursalah adalah maslahah yang
masuk dalam pengertian umum yakni (menarik manfaat dan menolak mudharat).
Alasannya adalah syariat Islam datang untuk merealisasikan masalah dalam bentuk
umum. Nash-nash dan dasar-dasar syariat Islam telah menetapkan kewajiban
memelihara kemaslahatan dan memperhatikannya ketika mengatur berbagai aspek
kehidupan.
Dari pengertian beberapa pendapat diatas dapat diambil suatu pemahaman, bahwasanya
maslahah mursalah adalah memberikan hukum terhadap suatu masalah atas dasar
kemaslahatan yang secara khusus tidak tegas dinyatakan oleh nash, yang apabila
dikerjakan jelas membawa kemaslahatan yang bersifat umum dan apabila ditinggalkan
jelas akan mengakibatkan kemaslahatan yang bersifat umum pula.
2. Macam-macam Maslahah Mursalah
Berdasar dari beberapa pengertian maslahah mursalah, para ahli Ushul Fiqih
mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat dari beberapa segi
diantaranya:
a. Dari segi keberadaan Maslahah menurut Syara‟
1) Maslahah al-Mu‟tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh suyara‟ meksudnya
ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.
2) Maslahah Al-Mughah; kemaslahatan yang ditolak syara‟, karena bertentangan
dengan ketentuan syara‟,
3) Maslahah Mursalah; kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara‟ dan
tidak pula dibatalkan/ditolak syara‟melalui dalil-dalil yang rinci. Kemaslahatan
dalam bentuk ini terbagi atas dua yaitu:
a) Maslahah al-ghariban, yaitu kemaslahatan yang asing atau kemaslahatan yang
sama sekali tidak ada dukungan dari syara‟.
b) Maslahah al-mursalah, kemaslahatan yang tidak didukung oleh serkumpulan
makna nash (ayat atau hadist)

214
b. Dari segi Kandungan Maslahah
1) Maslahah al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan
orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti untuk semua kepentingan
orang , tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas ummat/kelompok.
2) Maslahah al-khasha, yakni kemaslahatan pribadi seperti kermaslahatan yang
berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan
hilang (magfud)
Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan mana yang harus
didahulukan apabila kemaslahatan umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi.
Dalam pertentangan ke dua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan
umum daripada kemaslahatan pribadi.
c. Dari segi berubah atau tidaknya Maslahah
1) Maslahah al Tsabitah, yakni kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai
akhir zaman. Misalnya kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji.
2) Maslahah al Mutagayyirah, yakni kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan
perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum.
Pentingnya pembagian ini menurut Mustafa Al Syalabi, dimaksudkan untuk memberi
batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan tidak.
3. Tingkatan Maslahah Mursalah
a. Tingkatan pertama; maslahah dharuriyah
Maslahah dharuriyah ialah segala apek yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia,
dan karena itu wajib ada sebagai syarat mutlak terwujudnya kehidupan dan
kemaslahatan manusia, baik ukhrawi maupun duniawi.
b. Tingkatan kedua; maslahah hajiyyah
Maslahah hajiyyah ialah segala yang menjadi kebutuhan primer (pokok) manusia dalam
hidupnya, agar hidupnya bahagia dan sejahtera dunia akhirat serta terhindar dari
kemelaratan. Jika kebutuhan ini tidak diperoleh maka kehidupan manusia mengalami
kesulitan meskipun kehidupan mereka tidak sampai punah.
c. Tingkatan ketiga ; Maslahah Tasniyah
Yakni, suatu kebutuhan hidup yang sifatnya komplementer (sebagai pelengkap) dan
lebih menyempurnakan kesejahteraan hidup manusia. Jika kemaslahatan ini tidak
terpenuhi maka hidup manusia kurang indah dan kurang nikmat, kendatipun tidak
sampai menimbulkan kemudharatan dan kebinasaan hidup.

215
Mengenal tingkatan-tingkatan kemaslahatan dan karakteristiknya yang bersifat kully atau
mutlak dan juz‟iy atau nisbi (relatif) adalah sangat penting terutama dalam menetapkan
hukum pada tiap-tiap perbuatan dan persoalan yang dihadapi manusia. Misalkan saja,
memelihara jiwa itu bersifat dharuriy yang hukumnya mencapai derajat wajib lidzhati,
karenanya hukum tersebut tidak berubah kecuali jika diperhadapkan pada soal lain
yang sifat dharuriy-nya lebih tinggi, misalnya demi memelihara aqidah maka jiwa dapat
saja dikorbankan. Sementara itu, memelihara bersifat hajiyah, sehingga hukumnya
hanya sampai pada derajat wajib lighayrih, dalam arti wajib karena terkait dengan
persoalan lain, yakni ia terkait dengan persoalan hidup yang sifatnya dharuriyah.
Selain itu menempatkan kehidupan bernegara sebagai cara hidup berjamaah adalah
wajib secara dharuriyah, karena hal ini pada posisi terpenting kedua sesudah
pemeliharaan aqidah, maka syariat mengharuskan seseorang mengorbankan jiwanya
demi membela bangsa dan negaranya. Dalam kaitannya dengan perlunya negara itu,
haruslah ada seorang pemimpin dan lembaga-lembaga negara lainnya. Tetapi
kedudukan lembaga-lembaga negara yang mencakup pemimipin dan waliyul amri, tidak
bersifat dharuriyah, tetapi hanya bersifat hajiyah, yang diperlukan guna memudahkan
terselenggaranya suatu jamaah (negara) dengan baik. Tanpa institusi-institusi itu, negara
tidak dapat terselenggara dengan baik. Akan tetapi, karena sifatnya hanyalah hajiyyah,
maka syariat tidak membenarkan adanya korban jiwa demi mempertahankan kedudukan
seorang pemimpin.
Dari uraian-uraian di atas dapat difahami bahwa ketiga kemaslahatan di atas adalah
dasar-dasar yang diperhatikan oleh syara‟ dalam mengukur teori maslahah mursalah, baik
macam maupun tingkatannnya. Ketiganya perlu dibedakan sehingga seorang muslim
dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan. Dimana
kemaslahatan dharuriyah harus lebih didahulukan daripada kemaslahatan hajiyyah dan
kemaslahatan hajiyyah lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyah
4. Kedudukan
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan mashalihul mursalah sebagai
sumber hukum.
a. Jumlah ulama menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan :
1) Bahwa dengan nas-nas dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa
memperhatikan kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun
kemaslahatan manusia yang tidak diperhatikan oleh syariat melalui petunjuknya.

216
2) Pembinaan hukum Islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat
berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
b. Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Namun menurut
Imam Syafi'i boleh berpegang kepada mashalihul mursalah apabila sesuai dengan
dalil dengan dalil kully atau dalil juz'iy dari syara. Pendapat kedua ini berdasarkan:
1) Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya. Jika
pembinaan hukum dibatasi hanya pada maslahat-maslahat yang ada
petunjuknya dari syari' (Allah), tentu banyak kemaslahatan yang tidak ada
status hukumnya pada masa dan tempat yang berbeda-beda.
2) Para sahabat dan tabi'in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk
mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syari'. Misalnya membuat
penjara, mencetak uang, mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al Qur'an
dan sebagainya.
5. Contoh
Para sahabat Nabi Muhammad saw. telah menggunakan maslahah mursalah dalam
menentukan suatu hukum, meskipun syara' tidak menetapkan dasar hukumnya,
Misalnya langkah sahabat Abu Bakar Shidiq mengumpulkan mushaf Al Qur'an atas
saran Umar bin Khatab. Begitu pula penyeragaman tulisan Al Qur'an oleh Utsman bin
Affan. Dalam pernikahan juga disyaratkan adanya Surat atau Akta Nikah untuk
keperluan gugatan cerai, pembagian harta pusaka dan sebagainya. Meskipun semua itu
tidak ada dasar hukum Syara'nya, namun sangat bermanfaat dan memberikan kebaikan
bagi umat.

C. Istishâb
1. Pengertian
Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.
Istishab adalah menetapkan hukum yang ada pada waktu yang lalu dan menetapkan pula
berlakunya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dengan kata lain, istishab adalah
menjadikan hukum satu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga
peristiwa berikutnya, kecuali ada sumber hukum yang mengubah ketentuan hukum itu.
Menurut Al Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan
(keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa
hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan
terjadinya perubahan (hukum tersebut)”.

217
Menurut Al Qarafy (w. 486H) mendefinisikan istishhab sebagai “keyakinan bahwa
keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada
(eksis) sekarang atau di masa datang.”
Menurut istilah ahli usul fikih, istishab adalah membiarkan berlangsungnya suatu hukum
yang sudah ditetapkan pada masa lampau dan masih diperlukan ketentuannya sampai
sekarang, kecuali jika ada dalil lain yang mengubahnya.
Dari definisi diatas menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya adalah penetapan
hukum suatu perkara baik itu berupa hukum ataupun benda di masa kini ataupun
mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya. Seperti
ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini, entah itu
melalui proses jual-beli atau pewarisan, maka selama kita tidak menemukan ada dalil
atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan
menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau
nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa
sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.
2. Macam-macam Istishab
a. Istishab Aql
Istishab aql adalah suatu keyakinan umum dalam rangka mendalami agama sehingga
ulama membedakan ajaran agama menjadi dua bagian, yaitu ibadah (tidak
sepenuhnya sama dengan fiqih ibadah) dan muamalah (tidak sepenuhnya sama
dengan fiqih muamalah).
b. Istishab Syara
Istishab Syara adalah suatu perbuatan yang tegak karena perintah Allah dan Rasulullah
serta tidak ada dalil yang mengubah perintah tersebut. Contohnya adalah wudu dan
jumlah rakaat salat.
3. Kedudukan Istishab sebagai Sumber Hukum
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil
atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil
dari Al Qur‟an, Sunnah, ijma‟ atau qiyas. Al Syaukany misalnya mengutip pandangan
seorang ulama yang mengatakan:
“Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu
masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur‟an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma‟,
kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan
hukumnya dengan „menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang‟ (istishhab al-hal).

218
Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu
tetap berlaku…”
Dalam menyikapi apakah istishhab dapat dijadikan sebagai dalil dalam proses penetapan
hukum, para ulama Ushul Fiqih terbagi dalam 3 pendapat:
a. Istishhab adalah dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun penafian sebuah
hukum.
Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabilah,
mayoritas ulama Syafi‟iyah dan sebagian Hanafiyah.
1) Firman Allah:
“Katakanlah (wahai Muhammad): „Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan
kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan kecuali jika adalah bangkai, atau
darah yang mengalir, atau daging babi…” (QS. Al An‟am:145)
Ayat ini menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubah
hingga datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini ditunjukkan
dengan Firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad): „Aku tidak menemukan…” .
Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada ketentuan baru, maka
ketentuan lama-lah yang berlaku.
2) Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian (dalam shalatnya) lalu
mengatakan: „Engkau telah berhadats! Engkau telah berhadats!‟ Maka (jika demikian),
janganlah ia meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan suara atau mencium bau.”
(HR. Ahmad)
Dalam hadits ini, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk tetap
memberlakukan kondisi awal kita pada saat mulai mengerjakan shalat (yaitu
dalam keadaan suci) bila syetan membisikkan keraguan padanya bahwa
wudhu‟nya telah batal. Bahkan Rasulullah melarangnya untuk meninggalkan
shalatnya hingga menemukan bukti bahwa wudhu‟nya telah batal; yaitu
mendengar suara atau mencium bau. Dan inilah hakikat istishhab itu.
3) Ijma‟.
Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah fiqih yang
telah ditetapkan melalui ijma‟ atas dasar istishhab. Diantaranya adalah bahwa para
ulama telah berijma‟ bahwa jika seseorang ragu apakah ia sudah bersuci, maka ia
tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi seperti ini ia harus merujuk
pada hukum asal bahwa ia belum bersuci. Ini berbeda jika ragu apakah wudhu‟nya

219
sudah batal atau belum, maka dalam kasus ini ia harus berpegang pada keadaan
sebelumnya bahwa ia telah bersuci dan kesucian itu belum batal
4) Dalil „aqli.
Diantara dalil „aqli atau logika yang digunakan oleh pendukung pendapat ini
adalah:
a) Bahwa penetapan sebuah hukum pada masa sebelumnya dan tidak adanya
faktor yang menghapus hukum tersebut membuat dugaan keberlakuan hukum
tersebut sangat kuat (al-zhann al-rajih). Dan dalam syariat Islam, sebuah dugaan
kuat (al-zhann al-rajih) adalah hujjah, maka dengan demikian istishhab adalah
hujjah pula.
b) Disamping itu, ketika hukum tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya atas
keyakinan, maka penghapusan hukum itu pun harus didasarkan atas keyakinan,
berdasarkan kaidah al-yaqin la yazulu/yuzalu bi al-syakk.
b. Istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak.
Tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak.baik dalam menetapkan hukum
ataupun menafikannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.
Di antara dalil dan pegangan mereka adalah
1) Menggunakan istishhab berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan dalil.
Dan setiap pengamalan yang tidak dilandasi dalil adalah batil. Maka itu berarti
bahwa istishhab adalah sesuatu yang batil.
2) Istishhab akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil, dan apapun yang
menyebabkan hal itu maka ia adalah batil. Ini adalah karena jika seseorang boleh
menetapkan suatu hukum atas dasar istishhab, maka yang lain pun bisa saja
menetapkan hukum yang bertentangan dengan itu atas dasar istishhab pula.
c. Istishhab adalah hujjah pada saat membantah.
Hujjah pada saat membantah orang yang memandang terjadinya perubahan hukum
yang lalu (bara‟ah al dzimmah) dan tidak dapat sebagai hujjah untuk menetapkan suatu
hukum baru. Pendapat ini dipegangi oleh mayoritas ulama Hanafiyah belakangan dan
sebagian Malikiyah.
Dalam hal ini yang menjadi alasan mereka membedakan kedua hal ini adalah karena
dalil syar‟i hanya menetapkan hukum itu di masa sebelumnya, dan itu tidak bisa
dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan hukum baru di masa selanjutnya.

220
4. Contoh
Seseorang yang ragu-ragu apakah dirinya sudah mengambil air wudlu atau belum. Dalam
hal ini, ia harus berpegang pada keyakinan dirinya belum mengambil air wudu, sebab itu
yang asal (tidak berwudlu), dan orang yang salat tanpa wudlu tidak sah. Akan tetapi, jika
ia yakin bahwa dirinya telah berwudlu dan tidak batal, maka ia harus berpegang kepada
keyakinannya, yaitu belum batal dari wudlu. Keraguan harus dihilangkan oleh keyakinan,
bila yakin sudah berwudu dan belum batal, maka tidak perlu mengambil air wudu
kembali. Akan tetapi, jika yakin wudunya telah batal atau belum berwudlu, maka
segeralah berwudlu.

D. Uruf
1. Pengertian
Urf menurut bahasa berarrti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang
yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.
„Uruf adalah apa-apa yang saling diketahui oleh manusia dan mereka mempraktekannya,
baik perkataan atau perbuatan atau meninggalkan. Sedangkan menurut para ahli ushul
fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka
maenjadikan tradisi
2. Macam-macam Uruf
Pembagian „uruf ada dua diantaranya:
a. „Uruf shahihah yaitu suatu kebiasan yang bisa dijadikan landasan hukum.
1) „Uruf shohih „am
Adalah suatu kebiasaan yang telah disepakati oleh setiap manusia dimanapun dan
kapanpun mereka berada. Dan „urf „am ini termasuk kategori ijma‟ bahkan
mempunyai status yang lebih universal dari pada ijma‟. Seperti sesuatu yang
diberikan oleh laki-laki kepada wanita pinangannya berupa perhiasan dan pakain
adalah hadiah yanh tidak termasuk sebagian dari maskawinnya.
2) „Uruf shohih khos
Adalah suatu kebiasaan yang hanya diakui oleh satu negara, satu propensi ataupun
sekelompok masyarakat, seperti halnya dalam masalah perniagaan atau bercocok
taman dan lain sebagainya. Dan „uruf yang seperti ini ketika dijadikan landasan dari
sebuah hukum, maka status keputusnya tidaklah valid.dan hanya berlaku di
tempat dan pada masa keputusan hukum tersebut di tetapkan. Karena „uruf khos
ini bersifat dinamis yang selalu berubah seiring perubahan zaman .

221
b. „Uruf fasidah yaitu suatu kebiasan yang tidak bisa dijadikan landasan hukum, karena
bertentangan dengan nash-nash qot‟i
3. Kedudukan sebagai sumber hukum
„Uruf juga bisa dijadikan landasan hukum dalam masalah fiqhiyyah apabila sudah tidak
memenukan hukum dalam Al Qur‟an. Dengan berlandaskan sebuah hadist yang artinya
: Suatu kebiasaan yang dinilai baik oleh orang-orang islam, juga dinilai baik disisi Allah.
Bahkan imam jalaluddin As-Sayuti dalam kitab asybah wa an nadloir mengatakan bahwa
ketetapan berdasarkan „uruf termasuk dalam kategori ketetapan berdasaekan dalil syar‟i.
dan juga dalam masalah ini, ada satu kaidah yang masyhur dikalangan ulama‟ yang
artinya : Apa yang terkenal sebagai „uruf sama dengan yang ditetapkan sebagai syarat,
dan sesuatu yang tetap karena „uruf sama dengan yang tetap karena nash.
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar
pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan
penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat
dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara‟
Imam Safi‟i terkenal dengan Qoul Qadim dan Qoul Jadidnya, karena melihat pratek yang
belaku pada masyarakat Bagdad dan Mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid
tidak dapat diterima, hal itu jelas karean bertentangan dengan syara nas maupun
ketentuan umam nas
4. Syarat-syarat Uruf
a. Urf ini berlaku umum artinya dapat diberlakukan untuk mayoritas persoalan yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas
masyarakat.
b. „Urf telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya. Artinya
„urf itu lebih dulu ara sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
c. „Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu
transaksi
Jika terjadi pertentangan „urf dengan dalil syara‟ di tengah-tengah masyarakat, maka
pertentangan tersebut adalah:
a. Pertentangan „urf dengan nash yang bersifat khusus atau rinci, maka „urf tidak dapat
diterima, seperti kebiasaan orang jahiliyah menyamakan kedudukan anak yang
diadopsi dengan anak kandung dalam masalah warisan harus ditinggalkan.

222
b. Pertentangan „urf dengan nash yang bersifat khusus, maka „urf harus dibedakan antara
„urf al-lafzi dengan „urf al-amali, jika „urf itu „urf al-lafzi, maka dapat diterima, dengan
alasan tidak ada indikator bahwa nash umum tidak dapat dikhususkan oleh „urf.
Seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Untuk „urf al-amali terjadi perbedaan pendapat
ulama hanafiyyah jika „urf al-amali bersifat umum, maka „urf tersebut dapat
mengkhususkan hukum nash yang umum.
c. „Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan „urf
tersebut, maka ulama sepakat mengatakan bahwa „urf seperti ini, baik lafzi maupun
amali tidak dapat dijadikan hujjah dalam menerapkan hukum syara‟. Seperti kerelaan
anak perawan ketika dinikahkan dengan diamnya, maka sesuai dengan
perkembangan zaman tidak dapat diterima lagi, karena pada saat sekarang anak
perawan sudah berani mengatakan iya atau tidak terhadap setiap perkataan orang
tuanya.
5. Contoh Uruf
'Urf perbuatan, misalnya dalam melakukan transaksi jual beli, jarang ada orang yang
melakukan ijab kabul ketika mereka saling menyerahkan barang (bagi pedagang) dan
uang (bagi pembeli), dengan mengucapkan “Saya terima barangnya dan ini uangnya.“ Hal
itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat pada umumnya, sehingga jual beli dianggap sah
meskipun tidak melalui ijab kabul. Sedangkan „Urf ucapan, misalnya kebiasaan orang
Arab mengucapkan kata walad, bisa berarti anak laki-laki bisa juga anak perempuan.
Contoh 'Urf yang ditinggalkan ialah kebiasaan bangsa Arab mengartikan kata Samak
dengan daging ikan, padahal ada kata "Lahmun" yang mempunyai arti daging, tanpa
membedakan daging ikan atau daging binatang sembelihan.

E. Saddudz Dzarî’ah
1. Pengertian
Saddudz dzarî‟ah terdiri atas dua perkara yaitu saddu dan dzarî‟ah. Saddu berarti penghalang,
hambatan atau sumbatan, sedang dzarî‟ah berarti jalan. Maksudnya, menghambat atau
menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.
Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî‟ah ini ialah untuk memudahkan
tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau
terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan
ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan
diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini syari‟at menetapkan perintah-perintah

223
dan larangan-larangan. Dalam memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu, ada
yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan
secara langsung, perlu ada hal yang harus dikerjakan sebelumnya.
Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu. Seseorang baru
dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia
tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa belajar shalat itu tidak
wajib. Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak,
sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini ditetapkanlah hukum wajib belajar
shalat, sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri.
Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang secara langsung
dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti
minum khamar, berzina dan sebagainya. Yang dilarang secara tidak langsung seperti
membuka warung yang menjual minum khamar, berkhalwat antara laki-laki dan
perempuan yang tidak ada hubungan mahram. Menjual khamar pada hakikatnnya tidak
dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju pada minum khamar, maka
perbuatan itu dilarang. Demikian pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka
jalan kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama
dengan perbuatan yang sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju
kearah perbuatan-perbuatan maksiat.
2. Dasar Hukum
a. Al Qur’an

              

           
“ dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah
Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan
merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan.” (QS. Al An‟am ; 108)
Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin
mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke arah
tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampaui batas.

224
       
“…dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan…” (QS. An Nur ; 31)
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya
tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-Iaki lain untuk
mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk
menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.
b. Hadis
“Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) keadaan-Nya.
Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus ke
dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada
perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan
kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu.
Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada
perbuatan maksiat itu.
3. Kedudukan Saddudz Dzarî’ah
a. Menurut Imam Malik bahwa saddudz dzari'ah dapat dijadikan sumber hukum, sebab
sekalipun mubah akan tetapi dapat mendorong dan membuka perbuatan-perbuatan
yang dilarang oleh agama.
Al-Qurtubi, seorang ulama Madzhab Maliki menyatakan : "Sesunggunya apa-apa yang
dapat mendorong terjerumus kepada perkara yang dilarang (maksiat) adakalanya secara pasti
menjerumuskan dan tidak pasti menjerumuskan”.
Yang pasti menjerumuskan kepada maksiat bukanlah termasuk suddudz dzari'ah
tetapi harus dijauhi, sebab perbuatan maksiat wajib ditinggalkan. Yang tidak pasti
menjerumuskan kepada maksiat, itulah yang termasuk suddudz dzari'ah.
Guna menjauhkan diri dari terjerumus kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang
oleh agama, maka kita wajib menjauhkan diri dari perkara-perkara yang lahirnya
mubah, tetapi lambat laun dapat membawa dan mendorong kita kepada perbuatan
maksiat.
b. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, bahwa Saddudz Dzari'ah tidak dapat
dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap
diperlakukan sebagai yang mubah. Dalam sebuah hadits Nabi saw. dikatakan :

225
"Tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan".
"Bagi siapa yang berputar-putar di sekitar larangan (Allah) lama kelamaan dia akan melanggar
larangan tersebut".
4. Contoh
Sudah merupakan adat dan kebiasaan bagi sebagian masyarakat kita, jika mereka
mengadakan walimah anaknya, atau walimah khitan putranya selalu mengadakan
pertunjukan, seperti pertunjukan wayang golek, layar tancap, orkes dangdut, dan
sebagainya.
Sebenarnya, mengadakan pertunjukan hiburan tidak apa-apa (boleh), hanya saja
peristiwa tersebut sering dijadikan ajang keributan antarpemuda, mabuk-mabukan,
tawuran antarkampung, porno aksi dengan busana artis yang seronok dandanannya, dan
hal-hal lainnya. Oleh sebab itu, agar hal-hal negatif tersebut tidak terjadi, maka
hendaknya jalan yang menuju ke arah itu, yakni pertunjukan hiburan hendaknya
ditiadakan, dan menggantinya dengan kegiatan yang positif, seperti pengajian atau
siraman rohani lainnya. Tindakan yang demikian itu, disebut Syaduz zarai'.

F. Syar’u Man Qablana.


1. Pengertian
Definisi syar‟u man qablana adalah hukum-hukum yang telah disyari‟atkan Tuhan kepada
umat-umat sebelum kita yang diturunkan melalui para Nabi dan para Rasul untuk
disampaikan kepada seluruh masyarakat pada waktu itu.
Syar‟u man Qablana merupakan syari‟at para nabi terdahulu sebelum adanya syari‟at Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Telah diketahui bahwa syar‟u man qablana adalah
salah satu dari sekian banyak metode istinbat (penggalian) hukum Islam, walaupun
tampak adanya warna-warna yang mengindikasikan syar‟u man qablana hanya sebagai
penguat teks-teks keagamaan dan bukan dijadikan sebagai petunjuk untuk menggali
hukum, namun seringkali ia tetap dijadikan sebagai metode. Berkaitan dengan hal
tersebut, para ahli usul al-fiqh menggunakan syar‟u man qablana untuk membedakan antara
syari‟at atau hukum sebelum Nabi Muhammad menjadi seorang rasul dan hukum di
saat ia diutus sebagai rasul. Namun demikian, tampaknya para ahli usul al-fiqh memiliki
perspektif yang berbeda dalam memandang syar‟u man qablana. Perbedaan tersebut
tampak ketika mereka membahas keterikatan Nabi Muhammad setelah menjadi Nabi
dan pengikutnya terhadap syari‟at-syari‟at sebelumnya.

226
Terlepas dari perbedaan ini, yang jelas ada suatu kesepakatan para ahli usul al-fiqh bahwa
tidak semua syari‟at sebelum Islam di-naskh (diganti) oleh Islam, bahkan di antara
syari‟at-syari‟at tersebut ada yang masih diakui dan mengikat umat Islam secara
keseluruhan. Sejak adanya kesepakatan tersebut, maka syar‟u man qablana dapat dianggap
sebagai sebuah solusi terhadap kebimbangan dan kemelut syari‟at yang dihadapi dan
selanjutnya bernaung dalam sebuah metodologi yang disebut usul al-fiqh (metodologi
hukum Islam). Namun demikian, posisi syar‟u man qablana tampaknya tidak sejelas ketika
ia diperkenalkan untuk pertama kalinya, dan bahkan apabila dibandingkan dengan
metodologi usul al-fiqh lainnya (seperti qiyas, istihsan, istislah, istishab), ia sudah tidak lagi
populer bahkan cenderung ditinggalkan, posisinya kini hanyalah sebagai sebuah
pajangan atau simbol yang merupakan warisan dari perjalanan intelektual para ahli usul
al-fiqh.
2. Kedudukan syar’u man qablana sebagai Sumber Hukum
Sejak syar‟u man qablana diangkat ke permukaan untuk selanjutnya dijadikan sebagai
metode, maka sebagai sebuah pembatas (takhsis) sekaligus nasikh terhadap syari‟at-
syari‟at terdahulu kontribusi syar‟u man qablana bukan merupakan sebuah kontribusi
yang dapat dipandang sebelah mata. Justru dengan adanya metode istinbat seperti ini,
umat Islam memperoleh kepastian hukum dengan cara mengindentifikasi syari‟at-
syari‟at yang dibatalkan dan syari‟at-syari‟at yang masih berlaku.
Identifikasi hukum tersebut bisa dibaca dalam ayat-ayat Al Qur‟an yang secara tekstual
menyebut syari‟at umat terdahulu, kemudian hal ini dipahami kembali oleh para ahli usul
al-fiqh sebagai bukti peran dan kiprah syar‟u man qablana dalam percaturan hukum Islam
kala itu. Misalnya Q.S. al-An‟am ayat 146 yang artinya sebagai berikut :
“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku. Sedangkan dari
sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang
melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang.
Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka, dan sesungguhnya Kami
adalah Maha Benar”.
Pesan normatif di atas menceritakan apa yang diharamkan kepada umat Yahudi, namun
hal tersebut tidak berlaku bagi umat Islam karena ada ayat lain dalam Alqur‟an yang
membatalkan ketentuan tersebut. Ayat yang dimaksud adalah Q.S. Al An‟am ayat 145
yang terjemahnya sebagai berikut :
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah

227
yang mengalir atau daging babi (karena sesungguhnya semua itu kotor) atau binatang yang disembelih
atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Contoh lain bahwa pada zaman Nabi Musa cara menebus dosa (bertobat) atas
kesalahan yang telah dilakukan adalah dengan bunuh diri. Setelah Islam datang, syari‟at
tersebut kemudian tidak berlaku lagi (mansukh) dengan turunnya Q.S. Huud : 3,
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya”.
Berdasarkan pesan dalam ayat di atas, umat Muhammad yang ingin menebus dosa
cukup berhenti melakukan perbuatan yang dipandang memiliki konsekuensi dosa dan
menyesali perbuatan yang telah dilakukan dengan dibuktikan secara nyata adanya tekad
yang terealisasi secara empiris bahwa perbuatan dosa tersebut tidak diulangi lagi. Begitu
juga dengan kotoran yang dipandang najis apabila mengenai salah satu pakaian. Dalam
syari‟at terdahulu pakaian tersebut harus dipotong sesuai dengan bagian pakaian yang
kena najis. Namun setelah Islam lahir, kewajiban seperti ini tidak ditetapkan kepada
Nabi Muhammad dan umatnya. Kenyataan ini dapat dilihat pada Q.S. Al Mudatsir: 4 “
Dan pakaianmu bersihkanlah”.
Berdasarkan ayat-ayat Al Qur‟an di atas, para ahli usul al-fiqh dapat menentukan dengan
mudah bahwa syar‟u man qablana semacam itu sudah tidak berlaku lagi karena telah
dibatalkan atau diganti (mansukh) oleh ayat Alqur‟an sendiri yang nota bene merupakan
syari‟at Nabi Muhammad.
Selain itu, terdapat pula kontribusi Syar‟u man Qablana dalam bentuk lain yang tampak
berlawanan dengan bentuk di atas. Pada bentuk itu, syari‟at Islam membatalkan syari‟at
terdahulu, namun pada bentuk kedua ini justru Nabi Muhammad dan umatnya
mewarisi dan melanjutkan apa yang telah ditetapkan oleh umat terdahulu. Di antara
warisan hukum itu dapat dilihat pada Q.S. Al Baqarah : 183 , “Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu
agar kamu bertakwa”.
Warisan lain yang ditetapkan untuk umat Nabi Muhammad adalah perintah berkurban
yang sebelumnya pernah diwajibkan kepada Nabi Ibrahim. Ketentuan itu tetap
diberlakukan untuk Muhammad dan umatnya berdasarkan pernyataan Nabi
Muhammad sendiri melalui sabdanya: “Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah
bapakmu, yaitu Ibrahim”.

228
Kedua persoalan hukum di atas tampak mudah diselesaikan dengan metode syar‟u man
qablana, bahkan tampaknya tanpa adanya metode tersebut dimungkinkan hukum-
hukum di atas dapat diidentifikasi karena adanya penjelasan kongkrit yang secara
eksplisit sudah dijelaskankan Tuhan melalui ayat-ayat Al Qur‟an. Kendati demikian,
pernyataan ini bukan berarti bahwa syar‟u man qablana telah kehilangan peran dalam
metodologi usul al-fiqh, tetapi justru pentingnya syar‟u man qablana adalah untuk
menentukan dan menyelesaikan kemulut persolan yang dihadapi oleh para ahli usul al-
fiqh, terutama yang berkaitan dengan adanya dalil normatif yang diterima Nabi
Muhammad seraya menceritakan sebuah peraturan tentang kewajiban umat terdahulu,
namun tidak ditemukan ketentuan yang menghendaki peraturan tersebut tetap
diberlakukan atau dibatalkan, baik dari dalil itu sendiri atau pada dalil lain. Misalnya Q.S.
Al maidah :32, “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang
siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan
karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia
telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-
rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.”
Begitu juga pada Q.S. Al Maidah : 45 “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya
(Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga
dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan
(hak kisas)-nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang zalim.”
Pada kedua ayat di atas terlihat dengan jelas bahwa Tuhan menceritakan adanya
kewajiban kepada Bani Israil hukum yang tercatat dalam Taurat. Namun tidak
menjelaskan apakah ketentuan itu berlaku juga terhadap umat Islam atau tidak. Tidak
adanya kejelasan pada ayat itu menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan para ahli
usul al-fiqh, apakah hal tersebut diberlakukan juga untuk umat Islam atau tidak
mengingat ketentuan itu terdapat di dalam Alqur‟an yang nota bene merupakan kitab suci
umat Islam.
Berkaitan dengan masalah tersebut, Bazdawi mengatakan bahwa syari‟at terdahulu yang
tidak ditemukan ketegasan pengamalannya bagi umat Islam adalah tidak berlaku bagi
umat Islam sampai ditemukannya dalil yang mewajibkannya. Namun yang populer dari

229
pendapat Bazdawi adalah tentang anggapannya yang menyatakan bahwa ketentuan itu
merupakan syari‟at karena ia dituliskan kembali dalam Al Qur‟an, sehingga ia telah
menjadi syari‟at Muhammad. Hal ini ditanggapi berbeda oleh Hazm yang mengatakan
bahwa bentuk syari‟at seperti itu hanya merupakan nass atau teks semata yang tidak
perlu diamalkan.
Sedangkan Syairazi mengatakan bahwa perbedaan tersebut tampak semakin
berkembang dengan adanya 3 kelompok yang berkiprah memberikan pendapat yakni: 1)
bukan sebagai syari‟at umat Islam, 2) sebagai syari‟at Islam, kecuali adanya dalil yang
membatalkannya, 3) semua syari‟at terdahulu, baik syari‟at Ibrahim, syari‟at Musa
(kecuali yang telah di-naskh oleh syari‟at Isa), dan syari‟at Isa sendiri adalah syari‟at
Islam.
Terhadap perbedaan pendapat ini, Asnawi, menjelaskan bahwa dalam persoalan
tersebut telah ada kesepakatan mayoritas ahli usul al-fiqh, termasuk di dalam dalamnya
Fakhruddin ar-Razi, Saifuddin al-Amidi, Baidawi, dan sebagian ulama Syafi‟iyyah yang
menyatakan bahwa syari‟at umat terdahulu yang tidak ada kepastian untuk umat
Muhammad, tidak dipandang sebagai syari‟at Islam. Hal yang senada juga terdapat
dalam Khallaf, yang mengatakan bahwa syari‟at Islam me-naskh syari‟at terdahulu,
kecuali adanya penegasan bahwa syari‟at tersebut berlaku juga bagi umat Islam.
Pendapat yang serupa juga dapat ditemukan dalam Zuhaili, dengan menambahkan
bahwa sebagian ahli usul al-fiqh mazhab Maliki dan mayoritas ulama ilmu kalam
menyatakan penolakannya terhadap syari‟at tersebut.
Selain itu, Abdul Wahab Khallaf, juga menceritakan bahwa mayoritas ahli usul al-fiqh
mazhab Hanafi, sebagian ahli usul al-fiqh mazhab Maliki dan Syafi‟i, berpendapat bahwa
syari‟at yang demikian itu diakui dan termasuk dalam syari‟at Islam serta kewajiban umat
Islam untuk mengikuti dan mengimplementasikan syari‟at tersebut selama tidak adanya
dalil normatif yang secara jelas me-nasakh-nya. Karena, demikian diceritakan Khallaf,
syari‟at yang diperdebatkan tersebut adalah hukum-hukum Tuhan yang telah
disyari‟atkan melalui para rasul-Nya dan Muhammad juga termasuk dalam perintah
tersebut. Selain itu, salah satu alasan Alqur‟an itu diwahyukan adalah untuk
membenarkan adanya kitab-kitab yang diturunkan pada umat sebelumnya, seperti
Taurat dan Injil. Oleh karena itu apabila tidak ada ketentuan Alqur‟an yang me-nasakh
syari‟at terdahulu, berarti ia diakui di dalam syari‟at Islam.
Apabila mengkaji kembali pemikiran para ahli usul al-fiqh di atas, maka sebagai pemeluk
Islam yang hidup di zaman sekarang, tentunya memiliki pilihan di antara dua pilihan

230
sebagai salah satu langkah ittiba‟ atau memiliki pemikiran lain yang juga tidak terlepas
dari dua macam pemikiran di atas. Namun apabila dihadapkan pada pilihan
sebagaimana yang disebutkan di atas dan diharuskan untuk memilih, penulis lebih
cenderung mengikuti pemikiran para ahli usul al-fiqh yang pertama, yakni tidak
menerima syari‟at-syari‟at terdahulu, khususnya yang berkaitan dengan tidak adanya
penegasan untuk diikuti. Bahkan di sini penulis juga lebih cenderung melihat syari‟at
Islam terdahulu yang disebutkan dalam Alqur‟an (sebagaimana yang dicontohkan pada
Q.S. Al Maidah : 32 dan 45 di atas) hanyalah sekedar menceritakan kondisi hukum pada
zaman itu. Hal ini juga sekaligus menjelaskan bahwa hokum itu diberlakukan sesuai
dengan karakteristik, adat, sosial dan budaya masyarakat yang hidup pada waktu itu.
Oleh karena itulah, penulis lebih cenderung penggunaan metode syar‟u man qablana
hanya dimaksudkan untuk dapat mengidentifikasi hukum-hukum yang sesuai dengan
karakteristik masyarakat yang berkembang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagai
individu yang memiliki hak hidup.
Dengan demikian ada dua bagian penting dalam masalah syar‟u man qablana, yakni :
a. Apa yang disyari'atkan kepada mereka juga ditetapkan kepada kita umat Nabi
Muhammad, baik penetapannya itu melalui perintah melaksanakan, seperti puasa,
maupun melalui kisah, seperti qishash.
b. Apa yang disyari'atkan kepada mereka tidak disyari'atkan kepada kita. Misalnya yang
disyari'atkan kepada Nabi Musa, seperti "Dosa orang jahat itu tidak akan terhapus selain
membunuh dirinya sendiri" dan "pakaian yang terkena najis itu tidak suci kecuali harus
dipotdng bagian yang terkena najis tersebut". Terhadap syari'at jenis kedua ini pada ulama
sepakat untuk ditinggalkan, karena syari'at islam telah menghapusnya.

G. Mazdhab Shahaby
1. Pengertian Mazdhab Shahaby
Mazhab Sahabi ialah suatu pendapat yang dikemukakan oleh seseorang sahabat tentang
sesuatu hukum Syara', sesudah wafatnya Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah saw. masih
hidup, semua masalah atau peristiwa yang pemecahan hukumnya tidak terdapat dalam
nas Al Qur'an, selalu diserahkan secara langsung kepada beliau. Namun, sesudah beliau
wafat, tugas tersebut dilakukan oleh sejumlah sahabat yang mempunyai keahlian di
bidang hukum Islam, lama menyertai Rasulullah saw. dan memahami isi kandungan Al
Qur'an dengan baik. Artinya, tugas tersebut dilaksanakan oleh para sahabat yang
mempunyai keahlian berijtihad.

231
2. Kedudukan Hukum Mazdhab Shahaby
a. Mazhab sahabat yang berdasarkan kepada sabda dan perbuatan serta ketetapan Rasul
wajib ditaati, sebab hakekatnya ia merupakan sunnah Rasul.
b. Mazhab sahabat yang berdasarkan hasil ijtihad tetapi telah mereka sepakati
(Ijma Sahaby) dapat dijadikan hujah dan wajib ditaati, sebab mereka di samping dekat
dengan rasul, mereka mengetahui rahasia-rahasia tasyri' dan mengetahui
perbedaan pendapat mengenai peristiwa yang sring terjadi. Contoh mazhab sahabat
yang telah mereka sepakati, antara lain ialah mengenai bagian harta waris bagi nenek,
yaitu seperenam.
c. Mazhab sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadikan hujah dan tidak wajib
diikuti. Abu Hanifah dan Imam Syafi'i menyatakan : "Tidak melihat seorang pun ada
yang menjadikan perkataan sahabat untuk dijadikan hujjah", sebab perkataan sahabat
tersebut didasarkan kepada ra'yu dan di antara sahabat sendiri juga berbeda pendapat,
dan mereka tidak luput dari kesalahan.
3. Contoh Madzhab Sahaby
Pendapat Aisyah yang mengatakan bahwa usia janin dalam kandungan itu tidak akan
lebih dari dua tahun. Beliau mengatakan sebagai berikut:
"Di dalam perut ibu, kandungan itu tidak berdiam melebihi dua tahun, berdasarkan
ukuran yang biasa mengubah bayang-bayang alat tahun".

232
SOAL PILIHAN GANDA
1. Berikut ini yang merupakan para ulama‟ yang berpegang pada istihsan adalah……...
a. fuqaha aliran hanafiah d. aliran Hambali
b. aliran Syafi‟i e. aliran ahlus sunnah wal jama‟ah
c. aliran Maliki
2. Berikut ini yang merupakan syarat berhujjah maslahah mursalah, kecuali………..
a. maslahah haruslah kebaikan yang hakiki
b. kemaslahatan hendaklah yang bersifat umum
c. tidak bertentangan dengan Nas/Ijma‟
d. membawa manfaat menolak kemudahan
e. berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadits
3. Kata Maslahah dalam Maslahah Mursalah berasal dari kata……….
a. Masalah c. Salih e. Sulih
b. Al-Salah d. Salah
4. Sumber hukum yang berasal dari Maslahah Mursalah hanya digunakan oleh……….
a. Imam Syafi‟i c. Imam Malik e. Imam Hanafiyah
b. Imam Hanafi d. Imam Hambali
5. Berikut ini yang merupakan macam-macam „Urf adalah……….
a. „Urf sahih c. „Urf fasih e. „Urf kebiasaan
b. „Urf saleh d. „Urf amalan
6. Suatu keadaan, ucapan, perbuatan atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan menjadi
tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya merupakan pengertian dari …..…….
a. Istihsan c. „Urf e. Syara‟
b. Istishab d. Maslahah Mursalah
7. Menetapkan hukum yang ada pada waktu yang lalu dan menetapkan pula berlakunya
sampai ada dalil yang mengubahnya nerupakan pengertian dari ………
a. „Urf c. Istihsan e. Madzhab
b. Istishab d. Maslahah Mursalah
8. Berikut ini yang merupakan macam-macam Istishab adalah………….
a. Istishab syara‟ c. Istishab sufi e. Istishab hukumiyah
b. Istishab syar‟i d. Istishab Malikiyah
9. Suatu kebaikan yang tidak disinggung-singgung syara‟ untuk mengerjakannya atau
meninggalkannya adalah pengertian dari..……..
a. „Urf c. Maslahah Mursalah e. Syara‟

233
b. Istihsan d. Istishab
10.Dibawah ini merupakan alasan dalil syara‟ Maslahah Mursalah ditetapkan sebagai suatu
hukuman, yaitu……….
a. kemaslahatan adalah kebaikan
b. kemaslahatan manusia itu penting
c. kemaslahatan menjadi hukum taetap
d. kemaslahatan manusia itu selalu berkembang
e. kemaslahatan itu harus dijadikan syara‟

234
SOAL ISIAN

1. Jelaskan pengertian Istihsan!


2. Sebutkan contoh „Urf yang terjadi di masyarakat?
3. Sebutkan macam-macam Istishab dan jelaskan maksudnya!
4. Sebutkan kehujjahan Maslahah Mursalah!
5. Jelaskan pengertian Istishab!

235

Anda mungkin juga menyukai