Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HADITS

HADITS KE-21: ISTIQOMAH DAN IMAN

Dosen:
Erika Suryani Dewi, Lc., MA.
Oleh :
Rila Anggraeni
Ayulia Andriyani
Hennitriana Laoli
Melany Dewi
Syahriani Rahma
Tia Sugiyanti

Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam


SEKOLAH TINGGI ILMU DAKWAH DIROSAT ISLAMIYAH
AL-HIKMAH JAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai
pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada Ustadzah Erika Suryani Dewi yang telah
membimbing kami dalam pengerjaan makalah ini. Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-
teman yang telah berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun
dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga
kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah
selanjutnya yang lebih baik lagi.
HADITS KE-21
ISTIQOMAH DAN IMAN

ُ ‫ يَا َر‬: ُ‫ قُ ْلت‬: ‫ي هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬


َ‫س ْو َل هللاِ قُ ْل ِلي فِي اْ ِإل ْسالَ ِم قَ ْوالً ال‬ ُ َ ‫ أ َ ِبي َع ْم َرة‬: ‫ َوقِ ْي َل‬،‫َع ْن أ َ ِبي َع ْمرو‬
ِ ‫س ْفيَانُ ب ِْن َع ْب ِد هللاِ الثَّقَ ِفي َر‬
َ ‫ض‬
‫ قُ ْل آ َم ْنتُ ِباهللِ ث ُ َّم ا ْست َ ِق ْم‬: ‫ قَا َل‬. َ‫أ َ ْسأ َ ُل َع ْنهُ أ َ َحدا ً َغي َْرك‬
]‫[رواه مسلم‬
“Diriwayatkan dari Abu Amr (ada yang menyebutnya Abu Amrah) Sufyan bin Abdullah ats-
Tsaqafi ra. Ia berkata kepada Rasulullah saw.: “Wahai Rasulullah, katakan kepadaku perkataan
tentang Islam yang tidak akan kutanyakan kepada selain engkau.” Beliau bersabda: “Katakanlah:
‘Aamantu billaahi [aku beriman kepada Allah].’ Kemudian istiqamahlah.” (HR Muslim)
Sahabat yang meriwayatkan hadits ini adalah Sufyan bin ‘Abdillah bin Rabi’ah bin Al
Harits AtTsaqafi rodhiallohu ‘anhu, kunyah beliau adalah Abu ‘Amr, ada juga yang mengatakan:
Abu ‘Amrah, beliau adalah sahabat yang mulia yang menjabat gubernur wilayah Ath Thaif pada
jaman kekhalifahan ‘Umar bin Al Khaththab rodhiallohu ‘anhu, hadits ini adalah satu-satunya
hadits yang beliau riwayatkan yang terdapat dalam Al Kutubus sittah (kitab hadits yang enam)
Lihat Tahdzibut Tahdzib (4/115).
Dari Abu Amr -dan dikatakan pula- Abu ‘Amrah Sufyan bin ‘Abdillah Radhiallahu ‘Anhu,
dia berkata Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:“ Sufyan bin Abdullah adalah seorang
shahabiy (sahabat nabi), dia merupakan pegawai Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu. Dia
adalah Abu ‘Amru, ada juga yang menyebut Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdullah bin bin Abu
Rabi’ah bin AlHarits bin Malik bin Huthith bin Jasym bin Tsaqif Ats Tsaqafi Ath Thaifi Ash
Shahabi. Dia menjadi pegawai Umar ketika Umar ke Thaif. Beliau menggunakan jasanya ketika
Utsman bin Abu Al Ash dicopot dan dipindahkan ke Bahrain. Beliau banyak meriwayatkan hadits
dari nabi.” (Imam An Nawawi, Tahdzibul Asma wal Lughat. No. 215. Lihat juga Imam Ibnu Abdil
Bar, Al Isti’ab, 1/190. Imam Ibnul Atsir,Usadul Ghabah, Hal. 457. Imam Bukhari menyebutkan
bahwa beliau memiliki tiga anak:‘Amru, Ashim,dan Abdullah.(Tarikh Al Kabir , 4/86. No. 2057)
Dia adalah penduduk Thaif dan termasuk suku Bani Tsaqif. Disebutkan dalam Faidhul
Qadir : Berkata An Nawawi: “Muslim tidak pernah meriwayatkan dari Sufyan selain hadits ini.”
Berkata Al Munawi: “Saya tidak pernah melihat Sufyan ini, selain pada hadits ini pada Shahih
Muslim, dan tidak pula pada riwayat Arba’ah (empat).”(Faifhul Qadir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir
4/685).
Aku berkata Yakni Sufyan bin Abdullah berkata, meminta, dan bertanya. “Wahai
Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang Islam Yaitu wahai nabi, ajarkanlah aku tentang
agamaku, syariatnya, dan aturannya. Berkata Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari: “Ajarkan
kepadaku tentang Islam: tentang agamanya dan syariatnya.
(At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Hadits No. 21, Lihat juga Imam Ibnu ‘Alan, Dalilul Falihin, 1/350)
Ini menunjukkan perhatian yang begitu serius terhadap urusan agama. Bukan hanya Sufyan
bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu , banyak pertanyaan yang diajukan para sahabat nabi kepada Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah berkenaan dengan perkara agama, baik aqidah, akhlak, fiqih,
dan lainnya.
Hafizhahullah ketika beliau mengatakan: "Para sahabat Rasulullah adalah manusia yang
paling kuat hasratnya untuk memahami agama, dan mereka yang paling terdahulu kepada setiap
kebaikan, dan pertanyaan Sufyan bin Abdullah ini jelas menunjukkan hal itu; ketika beliau
menanyakan nabi pertanyaan ini, di mana yang diingankannya adalah jawaban mencakup dan
jelas, tidak butuh penjelasan lagi dari siapa pun setelah Rasulullah. (Fathul Qawwi Al Matin, Hal.
66).
Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim Rahimahullah mengatakan : Dia berkata
(katakanlah kepadaku tentang Islam), bukan tentang dunia, kenikmatan dan perhiasannya, bukan
pula tentang kekuasaan dan kemuliaannya,bukan tentang kedudukan dan kehormatan, bukan itu,
tetapi tentang Islam, karena Islam telah menyatu dalam darah mereka, telah mengalir dalam
keringat mereka, telah menjadi adat dan tujuan mereka, dan hal ini yang menunjukkan kuatnya
keikhlasannya, bagus maksudnya, dan kuat kesadarannya, ketika dia menanyakan hal ini kepada
nabi. Maka, dengan Islamlah akhlak menjadi mulia, dan di dalamnya terdapat kebahagiaan dunia
dan akhirat. (Syaikh ‘Athiyah bin MuhammadSalim, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Syarah No.
21).
Selanjutnya, perkataan yang aku tidak akan memintanya kepada seorang pun selain
engkau? Yakni perkataan yang dalam maknanya, dan aku bisa mengamalkannya, dan aku tidak
membutuhkan penjelasan tentang itu selain penjelasan darimu. Syaikh Ismail Al Anshari
menjelaskan: Perkataan yang mencakup makna-makna agama, yang jelas, dan saya merasa cukup
dengannya dan saya beramal dengannya.( At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Hadits No. 21).
Imam Ibnu ‘Alan Rahimahullah mengatakan: (perkataan) yang mencakup makna-makna
agama yang jelas, yang dengannya tidak butuh kepada tafsir lain selainmu, dan saya bisa
mengamalkannya dan saya merasa cukup dengannya (Dalilul Falihin, 1/350).
Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim membuat penjelasan dalam bentuk pertanyaan
seperti ini: Dan siapakah setelah Rasulullah yang ditanya? Dan siapakah setelah Rasulullah yang
mampu menjawabnya? Dan siapa setelah Rasulullah yang memiliki kekuasaan menambahkan
jawaban Rasulullah? Tidak seorang pun! (Syaikh Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh Al Arbain
An Nawawiyah, Syarah No. 21).
Beliau bersabda : Dia tahu bahwa tidak ada selain Rasulullah yang lebih tahu tentang
agama Allah, maka dia meminta penjelasan, perincian, penerangan, dengan tanpa kemusykilan,
kesamaran, ketidakjelasan, dan tersembunyi, dan siapakah manusia setalah Rasulullah yang
diberikan Jawami’ kalim ? Dan Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang Arab yang
paling fasih.
Ini menunjukkan pula bahwa petunjuk dan nasihat nabi adalah cukup baginya, dan cukup
bagi kita semua, kaum muslimin. Sebab petunjuk Rasulullah itu jelas, terang, lengkap, dan
sempurna, berbeda dengan selain dirinya. Sufyan bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu dan para
sahabat lainnya memberikan kepercayaannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
sangat tinggi sehingga mereka tidak membutuhkan dari yang lain. Maka, masihkah seorang
muslim yang mengakui kenabian dan kerasulannya membutuhkan kepada tuntunan berbagai isme
(paham) kufur yang membinasakan agama dan dunianya? Padahal Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam, telah meninggalkan tuntunan yang terang benderang, yang terang malamnya sama
dengan siangnya?

AHAMMIYATUL HADITS (URGENSI HADITS)

Hadits ini termasuk Jawami’ul Kalim yang hanya dimiliki oleh Nabi saw. Maski singkat,
hanya dengan dua kalimat, yaitu : Iman dan Istiqomah, namun dapat menerangkan kepada orang
yang bertanya pada Beliau tentang seluruh dasar Islam. Sebagaimana diketahui bahwa Islam pada
dasarnya adalah tauhid dan ketaatan. Tauhid terwujud dengan keimanan kepada Allah, sedangkan
ketaatan terwujud dengan istiqamah, yaitu merealisasikan semua perintah dan menjauhi semua
larangan, yang meliputi pekerjaan hati dan anggota badan. Allah SWT berfirman, “Maka tetaplah
pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (Fushshilat:6).
MAKNA KATA DALAM HADITS
"Fiil Islam" maksud dalam akidah dan syariat nya. "Qoulan" ucapan yang jelas mencakup
semua nilai-nilai nilai agama dan tak perlu penafsiran lagi.
Kata "Istiqomah" , maksudnya adalah langgeng langkah dan tetaplah melaksanakan ketaatan dan
meninggalkan segala hal yang bertentangan dengan Islam.

FIQHUL HADITS

1. Pengertian istiqomah

Ucapan Nabi “Katakanlah ‘Amantu billah’ (aku beriman kepada Allah) kemudian
istiqomahlah” merujuk dari firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka
istiqomah atau meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan
mengatakan): ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu mersa sedih; dan gembirakanlah
mereka dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat: 30).
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan ‘Rabb kami ialah Allah’ kemudian mereka tetap
istiqomah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.”
(QS. Al-Ahqaf: 13).
Dalam menafsirkan kalimat tsummatsqoomu, Abu Bakar ra. Berkata: “Tidak menyekutukan
Allah sedikit pun. Kemudian tidak berpaling kepada tuhan selain Allah lalu mereka tetap teguh
bahwa Allah adalah Rabb mereka.”
Umar bin Khattab membaca surat Al-Ahqaf: 13 di atas mimbar, lalu ia berkata: “Istiqomahlah
untuk menaati-Nya, dan janganlah berbolak-balik seperti serigala.” Yang artinya adalah istiqomah
secara sempurna dalam mentauhidkan Allah.
Al-Qusyairi berkata: ”Istiqomah adalah suatu peringkat yang menjadikan sempurna berbagai
perkara. Dengan adanya istiqomah, maka akan tercipta kebaikan. Dan barang siapa yang tidak
memiliki sikap istiqomah, maka semua usaha yang dilakukan akan lenyap.” Al-Wasithi berujar:
“Istiqomah adalah etika yang menjadikan sempurnanya berbagai kebaikan.” Menurut para ulama,
istiqomah adalah menjalankan semua ketaatan baik lahir maupun batin, dan meninggalkan semua
larangan.

2. Kekurangan dalam istiqomah

Manusia sebenarnya tidak akan bisa mencapai sifat istiqomah secara sempurna. Dalam firman
Allah:
“Maka istiqomah atau tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah
ampun kepada-Nya.” (QS. Fushshilat: 6).
Karena adanya kekurangan, maka ayat ini memerintahkan agar memohon ampun. Hadits
Rasulullah SAW. :
“Istiqomahlah kalian semua dan kalian tidak akan mampu.” (HR. Imam Ahmad dan Muslim).
“Luruskanlah dan dekatilah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

3. Istiqomah hati

Pada dasarnya istiqomah adalah istiqomah hati terhadap tauhid. Bila hati istiqomah dalam
ma’rifatullah, rasa takut kepada-Nya, istiqomah dalam mengagungkan dan mencintai-Nya,
senantiasa berdoa dan mengharap pada-Nya serta tawakkal sepenuhnya kepada-Nya, niscaya
semua anggota badan akan tetap taat kepada Allah. Karena hati adalah raja bagi anggota badan,
dan anggota badan adalah prajurit dari hati. Jika rajanya benar, maka prajuritnya pun benar.
Rasulullah SAW. bersabda :
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu terdapat segumpal daging, bila ia baik maka baik pula
seluruh jasadnya, dan bila ia rusak maka rusak pula seluruh jasadnya. Ingatlah bahwa segumpal
daging itu adalah hati.”

4. Istiqomah lisan
Ucapan merupakan penerjemah bagi hati. Hadits Nabi Muhammad SAW. :
“Saya bertanya kepada Rasulullah: “Ya Rasulullah, apa yang paling saya takuti? Mendengar
pertanyaan itu Rasulullah lalu memegang mulutnya.” (HR. Tirmidzi).
Dalam musnadnya, Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Anas ra., dari Nabi saw.:
“Tidak akan lurus (benar) keimanan seorang hamba kecuali setelah hatinya lurus, dan tidak akan
lurus hati seorang hamba kecuali setelah lisannya lurus.”
Tirmidzi juga meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri:
“Jika anak Adam memasuki harinya, pagi-pagi, maka semua anggota badan mengingatkan lisan,
seraya berkata: Bertakwalah kamu kepada Allahmenyangkut kami, karena kami sangat tergantung
denganmu, jika kamu istiqomah (lurus) maka kami pun istiqomah, jika kamu bengkok, maka kami
pun bengkok.”

5. Manfaat istiqamah
Istiqamah adalah keteguhan dan kemenangan, kejantanan dan keberuntungan di medan
pertempuran antara ketaatan dan hawa nafsu. Karena itu malaikat layak turun kepada orang-orang
yang istiqamah, mengusir segala ketakutan dan keresahan mereka, memberi kabar gembira dengan
surga dan menegaskan bahwa mereka [malaikat] senantiasa mendampingi mereka baik di dunia
maupun di akhirat.
Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Rabb kami adalah
Allah.’ Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada
mereka [dengan mengatakan], ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih
dan bergembiralah kamu dengan [memperoleh] surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”
(Fushshilat: 30).
6. Urgensi Istiqamah
Satu hal yang mengindikasikan bahwa istiqamah sangat urgen ialah Rasulullah saw.
diperintahkan oleh Allah untuk tetap istiqamah: “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar,
sebagaimana diperintahkan kepadamu.” (Huud: 112)
Ibnu ‘Abbas berkata: “Tidak ada satu ayatpun di dalam al-Qur’an yang diturunkan kepada
Rasulullah yang lebih berat baginya dari ayat ini.”
Ketika itu para shahabat bertanya kepada Rasulullah saw.: “Mengapa engkau cepat beruban ya
Rasulallah?” Beliau menjawab: “Itu karena ayat-ayat pada surat Huud.” Hasan ra. berkata: “Ketika
turun ayat ini, Rasulullah saw. sangat serius dan tidak pernah terlihat tertawa.”
Al-Qusyairi menyebutkan bahwa salah seorang shahabat bermimpi bertemu Rasulullah
saw. ia berkata kepada beliau: “Ya Rasulallah, engkau bersabda, bahwa ubanmu itu disebabkan
oleh surat Huud. Bagian manakah?” Beliau menjawab: “Firman Allah: ‘Maka istiqamahlah,
sebagaimana diperintahkan kepadamu.’”

7. Hadits ini memerintahkan untuk istiqamah dalam masalah tauhid dan ikhlas beribadah
hanya kepada Allah swt.
Hadits ini memberikan bimbingan agar seseorang beriman kepada Allah dengan sepenuh
iman, dan menjalankan konsekuensi iman tersebut dengan menjalankan ketaatan kepadaNya dan
menjauhi laranganNya, serta berkomitmen untuk istiqomah hingga akhir hayatnya.
Seseorang seharusnya berusaha untuk kokoh berkomitmen terhadap keimanannya. Tidak
mudah tergoyahkan dengan berbagai gangguan dan penghalang dalam mengarungi kehidupan
dunia. Ia terus bertekad untuk istiqomah dalam keimanan hingga maut menjemputnya.

8. Hadits ini merupakan bukti keinginan yang kuat dari para shahabat untuk mempelajari
agamanya dan menjaga keimanannya.
Besarnya semangat para Sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam
menanyakan hal-hal yang bermanfaat bagi mereka, dan tujuan mereka dalam menanyakan hal-hal
tersebut adalah benar-benar untuk mengilmui (mengetahui) dan mengamalkannya, bukan hanya
semata-mata untuk pengetahuan, karena ilmu yang tidak dibarengi amal adalah seperti pohon yang
tidak memiliki buah. Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang hamba-hamba-Nya yang bertakwa:
“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambahkan petunjuk kepada mereka dan
menganugerahkan kepada mereka ketakwaannya” (QS Muhammad:17).
Imam Al Khatib Al Baghdadi berkata: Seorang penuntut ilmu hendaknya menjadikan
urusan-urusan kehidupannya berbeda dengan kebiasaan orang-orang awam, dengan selalu
berusaha mengamalkan hadits-hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam (dalam setiap
urusannya) semaksimal mungkin dan menerapkan sunnah-sunnah. Beliau shalallahu ‘alaihi wa
sallam dalam dirinya, karena sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (QS. Al
Ahzaab: 21).
Kemudian Al Khatib Al Baghdadi menyebutkan kisahnya Abu ‘Ishmah ‘Ashim bin
‘Isham, dia berkata Suatu malam aku menginap di rumah Imam Ahmad bin Hambal, beliau
membawakan air (untuk aku gunakan ketika berwudhu) dan beliau meletakkan air itu (di dekatku),
maka besok paginya dia melihat air itu (dan mendapatinya tetap) seperti semula (tidak aku pakai
untuk berwudhu), maka beliau pun berkata: Subhanallah, seorang penuntut ilmu tidak punya wirid
(zikir/bacaan Al Quran yang terus dilakukan oleh seseorang) pada malam hari? Al Jami’
Liakhlaqirraawi wa Adabissaami’ (1/215), lihat Ad Durarus Saniyyah (hal. 85).

Sebab-sebab untuk tetap teguh dan istiqomah dalam keimanan, di antaranya:


1. Memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar
Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman
dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat,dan Allah menyesatkan
orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki” (QS. Ibrahim: 27).
Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam ayat ini adalah dua kalimat syahadat yang dipahami dan
diamalkan dengan benar, sebagaimana yang ditafsirkan sendiri oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya (jilid
4, hal. 1735):
Dari Baro’ bin ‘Azib rodhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “seorang muslim ketika dia ditanya (diuji) di dalam kuburnya (oleh malaikat
Munkar dan Nakir) maka dia akan bersaksi bahwa ‘tidak ada sesembahan yang benar kecuali
Allah’ dan ‘Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah’. Itulah makna
Firman-Nya: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh
dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”.

2. Membaca Al Quran dengan menghayati dan merenungkannya


Al Quran adalah sumber peneguh iman yang paling utama bagi orang-orang yang beriman,
sebagaimana firman Alloh: “Katakanlah: ‘Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari
Robb-mu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang beriman, dan menjadi
petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (QS. An Nahl:
102).
Allah ‘azza wa jalla telah menjelaskan dalam Al Quran bahwa tujuan diturunkannya Al
Quran secara berangsur angsur adalah untuk menguatkan dan meneguhkan hati Rosululloh
shalallahu ‘alaihi wa sallam , Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Berkatalah orang-orang yang kafir:
mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?; demikianlah supaya Kami
perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)” (QS. Al
Furqon: 32).

3. Berkumpul dan bergaul bersama orang-orang yang bisa membantu meneguhkan iman.
Allah menyatakan dalam Al Quran bahwa salah satu di antara sebab utama yang membantu
menguatkan iman para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah keberadaan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah mereka. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
“Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan
kepada kalian, dan Rosul-Nya pun berada di tengah-tengah kalian? Dan barang siapa yang
berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan
yang lurus” (QS. Ali ‘Imran: 101).
Dalam ayat lain Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur)” (QS. At Taubah: 119).
Dalam sebuah hadist yang hasan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya di antara manusia ada orang-orang yang keberadaan mereka sebagai pembuka
(pintu) kebaikan dan penutup (pintu) kejelekan” (Hadits hasan riwayat Ibnu Majah dalam kitab
“Sunan” (jilid 1, hal. 86) dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman” (jilid 1, hal. 455) dan Imam-imam
lainnya, dan dihasankan oleh Syekh Al Albani.

4. Berdoa kepada Allah


Dalam Al Quran Allah ‘azza wa jalla memuji orang-orang yang beriman yang selalu berdoa
kepada-Nya untuk meminta keteguhan iman ketika menghadapi ujian. Allah ‘azza wa jalla
berfirman : “Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar
dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa
mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai
orang-orang sabar. Tidak ada do’a mereka selain ucapan: ‘Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa
kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan teguhkanlah
pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir’. Karena itu Allah memberikan
kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang
yang berbuat kebaikan” (Ali ‘Imran: 146-148).
Dalam ayat lain Allah ‘azza wa jalla berfirman:
“Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran atas diri kami, dan teguhkanlah pendirian kami dan
tolonglah kami terhadap orang-orang kafir” (QS. Al Baqoroh: 250).

5. Membaca kisah-kisah para Nabi dan Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam serta orang-orang shalih
yang terdahulu untuk mengambil suri teladan.
Dalam Al Quran banyak diceritakan kisah-kisah para Nabi, rasul, dan orang-orang yang
beriman yang terdahulu, yang Allah jadikan untuk meneguhkan hati Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam dengan mengambil teladan dari kisah-kisah tsb ketika menghadapi permusuhan orang-
orang kafir. Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan
kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah
datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”
(Surat 11. Hud – Ayat 120).

Cara untuk Bisa Istiqomah:

1. Berdoa kepada Allah


Seperti doa dalam al-Qur’an:
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau menyimpangkan hati kami setelah Engkau beri
petunjuk. Anugerahkan kepada kami rahmat dari sisiMu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi
Anugerah” (Q.S Ali Imran : 8)
2. Menjaga hati dan lisan
3. Selalu mengkaji Aqidah yang shahih dan prinsip-prinsip utama dalam Islam dan Iman.
Karena sepanjang kehidupan kita akan sering ditemui syubhat-syubhat dan
penyimpangan dalam hal aqidah atau dalam hal muamalah. Kuatkan pondasi ilmu kita, agar
tidak mudah goyah dan terpengaruh dengan berbagai penyimpangan yang ada.
Sebaliknya, jauhilah bacaan-bacaan atau ceramah-ceramah yang menyimpang dari
aqidah yang benar dan ajaran Rasulullah shollallahu alaihi wasallam.
4. Selalu berkumpul bersama orang-orang yang beraqidah dan bermanhaj lurus, orang-orang
shalih dan bersabar di atas manhaj yang lurus.
“Wajib atas kalian untuk bersatu dalam al-Jamaah, hati-hatilah dari perpecahan. Karena
syaithan bersama 1 orang (yang menyendiri), dan terhadap 2 orang syaithan lebih jauh” (H.R
at-Tirmidzi, an-Nasaai, dishahihkan oleh al-Hakim dan al-Albany)
Jika seseorang menyendiri, akan mudah dipengaruhi oleh syaithan. Berbeda dengan jika ia
sering berkumpul bersama komunitas yang sarat dengan ilmu, iman, amal sholih, dakwah,
amar ma’ruf nahi munkar di atas Tauhid dan Sunnah Rasul shollallahu alaihi wasallam dengan
pemahaman para Sahabat Nabi dan Ulama’ Ahlussunnah yang mengikuti mereka dengan baik.
Tinggalkanlah komunitas orang-orang yang lalai dari mengingat Allah, atau komunitas yang
banyak melakukan kesyirikan, kebid’ahan, atau kemaksiatan.
5. Banyak beramal sholih di atas Sunnah Nabi shollallahu alaihi wasallam.
Memperbanyak amal sholih yang ikhlas karena Allah dan sesuai dengan bimbingan
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam adalah tameng dari fitnah yang membahayakan agama
seseorang. “Bersegeralah beramal (sebelum datang) fitnah, bagaikan potongan malam yang
gelap. Pagi harinya seorang masih mukmin, sorenya menjadi kafir. Atau, sorenya masih
mukmin paginya kafir. Ia menjual agamanya (ditukar) dengan kepentingan dunia” (H.R
Muslim)
6. Bersabar karena Allah dalam menjalani kehidupan dunia.
KESIMPULAN

1. Besarnya semangat para Sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam menanyakan
hal-hal yang bermanfaat bagi mereka, dan tujuan mereka dalam menanyakan hal-hal tersebut
adalah benar-benar untuk mengilmui (mengetahui) dan mengamalkannya.
2. Iman kepada Allah ‘azza wa jalla mencakup semua hal yang wajib diyakini dalam landasan
dan pokok-pokok keimanan dari apa-apa yang Allah ‘azza wa jalla beritakan tentang diri-Nya,
malaikat-Nya, kitab-kitabNya, para rasul-Nya, hari akhir dan takdir yang baik maupun yang
buruk,yang disertai dengan amalan-amalan dalam hati, ketaatan dan ketundukan yang
sepenuhnya lahir dan batin kepada Allah ‘azza wa jalla.
3. Keharusan untuk tetap istiqomah dalam keimanan sampai di akhir hayat, dan makna istiqomah
adalah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) dengan tidak berpaling darinya ke kiri
maupun ke kanan, dan ini semua mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan (kepada Allah
‘azza wa jalla) lahir dan batin, dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya.

Anda mungkin juga menyukai