Istihsan menurut bahasa dapat dirartikan sebagai berikut : a. Berbuat sesuat u yang lebi h baik b. Mencari yang l ebi h baik unt uk dii kut. c. Mengi kut i sesuat u yang lebi h baik d. Memperhitungkan sesuatu sebagai yang lebih baik Sedangkan Menurut para ulama ushul Iiqh, istihsan adalah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan kepada hukum berdasarkan dalil syara'. . Kehujjahan Istihsan menurut para ulama !ara ulama memilki pendapat yang berbeda tentang kehujjahan istihsan diantaranya: a. Golongan syaIi`iyyah menolak Istihsan, karena berhujjah dengan istihsan di a nggap menet apka n s uat u hukum t anpa dasar ya ng kuat hanya semata-mata didasarkan pada hawa naIsunya. b. Gol ongan HanaIiyah dan Malikiyah memperbol ehkan istihsan dengan pertimbangan istihsan merupakan usaha melakukan qiyas kaIi dengan mengalahkan Qiyas Jaly at au mengut amakan dalil yang ist isna`i daripada yang kully. . 1enis-jenis Istihsan itinjau dari segi pengertian istihsan menurut ulama ushul Iiqh, maka istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu: a. !indah dari qiyas jali (jelas) kepada qiyas khaIi (samar) , karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu. Contoh : Menurut Mad:hab Hanafi. sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyas khaIi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. alam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khaIi, yang disebut istihsan. b. !indah dari hukum kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh Madzhab HanaIi disebut istihsan darurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena suatu kepentingan atau karena darurat. 4nt4h . Syara' melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kulli. Tetapi syara' memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. !emberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian (istitana) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat. Menurut hukum kulli, seorang pemboros yang memiliki harta berada di bawah perwalian seseorang, karena itu ia tidak dapat melakukan transaksi hartanya tanpa izin walinya. alam hal ini dikecualian transaksi yang berupa waqaI. Orang pemboros itu dapat melakukan atas namanya sendiri, karena dengan waqaI itu hartanya terpelihara dari kehancuran dan sesuai dengan tujuan diadakannya perwalian, yaitu untuk memelihara hartanya (hukum juz-i).
adzhab Shahabi 1. Keadaan para Sahabat setelah Rasulullah wafat Setelah Rasulullah SAW waIat, tampilah para sahabat yang telah memilki ilmu yang dalam dan mengenal Iiqih untuk memberikan Iatwa kepada umat islam dan membentuk hukum. Hal ini karena merekalah yang paling lama bergaul dengan rasulullah SAW yang telah memahami Al-quran serta hukum-hukumnya. ari mereka pulalah keluar Iatwa mengenai peristiwa yang bermacam-macam. !ara muIti dari kalangan %abiin dan %abiit-%abiin telah memperhatikan periwayatan dan pentakwilan Iatwa-Iatwa mereka. i antara mereka ada yang mengodiIikasikannya bersama sunnah-sunnah Rasul, sehingga Iatwa-Iatwa mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan nash. Bahkan, seorang Mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada Iatwa mereka sebelum kembali kepada Qiyas. Kecuali kalau hanya pendapat perseorangan yang bersiIat iftihadi bukan atas nama umat Islam . Pengertian dan dalil-dalil adzhab Shahabi a. Pengertian adzhab Shahabi Madzhab sahabat yang lazimnya juga disebut Qaulus Shahabi, yaitu pendapat-pendapat para shahabat dalam masalah-masalah ijtihad baik tentang suatu kasus yang dinukil oleh para ulama berupa Iatwa maupun ketetapan hokum yang tidak dijelaskan dalam ayat al-quran atau hadis. Sebelum kita membahas lebih jauh tentang Madzhab Shahabat alangkah lebih baiknya kalau kita terlebih dahulu memahami siapakah Sahabat yang dimaksud dalam bahasan ini. Muhammad Abu Zahra dalam bukunya Ushul Fiqih menybutkan bahwa yang dimaksud Shahabat dalam konteks ini adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW. Yang langsung menerima risalahnya, dan mendengar langsung penjelasan syariat dari beliau. Sedangakan Chaerul Umam dalam bukunya menyatakan bahwa menurut para Ulama Ushul Fiqih yang dimaksud dengan Shahabat adalah seseorang yang bertemu dengan Rasulullah SAW. an beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang panjang, serta dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah SAW. Ada pula yang mempersempit identitas Shahabat itu dengan Orang-orang yang bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Serta hidup bersamanya dalam waktu yang cukup lama. Walaupun ada beberapa versi pendapat Ulama tentang pendiIinisian Shahabat, tapi yang jelas deIinisi-deIinisi di atas telah memberikan batasan kepada kita dalam mengartikan dan memahaminya, sehingga tidak akan terjadi kerancuan pemahaman tentang hal itu. Kemudian, Madzhab Sahabat yang lazimnya juga disebut Qaulus-Shahabi maksudnya adalah pendapat-pendapat Shahabat dalam masalah-masalah Iftihad. engan kata lain Qaulus-Shahabi adalah pendapat para Shahabat tentang suatu kasus yang dinukil oleh para Ulama, baik berupa Iatwa maupun ketetapan hukum, yang tidak dijelaskan dalam ayat atau hadits. b. Dalil-dalil tentang adzhab Shahabi alam menetapkan Iatwa-Iatwa Shahabat sebagai huffah, jumhur Iuqaha mengemukakan beberapa argumentasi, baik dengan dalil aqli maupun dalil naqli. Adapun dalil-dalil naqli adalah sebagai berikut : 1)Firman Allah SWT. Yang berbunyi : 4 . ,_fPBb, _J.Bb Bb ;B@J.Bb, CBb, _VBb @=T ; Bb 8 Fb_,;, =1 Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan 2uhafirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah. (At- Taubah : 100). 2) Sabda Rasulullah SAW. Yang artinya : Saya adalah kepercayaan (orang yang dipercayai) shahabatku, sedangkan shahabatku adalah kepercayaan para umatku. Kalau kita lihat dari dalil naqli yang pertama (Iirman Allah dalam surat at-Taubah : 100), sungguh allah swt. Telah memberikan apresiasi bagi orang yang mengikuti para Shahabat. Maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kita diperintahkan untuk mengikuti petunjuk-petunjuk mereka, dan oleh karena itulah Iatwa-Iatwa mereka dapat juga dijadikan huffah. Adapun pada dalil naqli yang ke-dua (hadits Nabi), kepercayaan umat kepada shahabat berarti menjadikan Iatwa-Iatwa shahabat sebagai bahan rujukan karena kepercayaan shahabat kepada Nabi berarti kembalinya mereka kepada petunjuk Nabi Muhammad SAW. Sedangkan argumentsi yang bersiIat akal atau rasional (dalil aqli) ialah : 1) !ara Shahabat adalah orang-orang yang lebih dekat kepada Rasulullah SAW. dibanding orang lain. engan demikian, mereka lebih mengetahui tujuan- tujuan syara`, lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya Al-Qur`an, mempunyai keikhlasan dan penalaran yang tinggi, ketaatan yang mutlak kepada petunjuk-petunjuk Nabi, serta mengetahui situasi di mana nash-nash Al-Qur`an diturunkan. Oleh karena itu, Iatwa-Iatwa mereak lebih layak untuk diikuti. 2) !endapat-pendapat yang dikemukakan para Shahabat sangat mungkin sebagai bagian dari sunnah Nabi dengan alasan mereka sering menyabutkan hukum- hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW. tanpa menyebabkan bahwa hal itu datang dari Nabi, karena tidak ditanya sumbernya. engan kemungkinan tersebut, di samping pendapat mereka selalu didasarkan pada Qiyas atau penalaran maka pandangan mereka lebih berhak untuk diikuti, karena pandangan tersebut kenungkinan besar berasal dari nash (hadits) serta sesuai dengan daya nalar rasional. 3) Jika pendapat para Shahabat didasarakan pada Qiyas, sedang para Ulama yang hidup sesudah mereka juga nenetapkan hukum berdasarakan Qiyas yang berbeda dengan pendapat Shahabat, maka untuk lebih berhati-hati, yang kita ikuti adalah pendapat para Shahabat karena Rasulullah SAW. bersabda : Sebaik-baik generasi, adalah generasiku di mana aku diutus oleh Allah dalam generasi tersebut. . Kehujjahan madzhab shahabi dan pandangan para ulama !endapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh akal. Jika pendapat mereka bersumber langsung dari rasulullah SAW, dan !endapat Shahabat tidak menjadi huffah atas Shahabat lainnya. Hal ini telah disepakati. Namun yang masih diperselisihkan ialah, apakah pendapat Shahabat bisa menjadi huffah atas Tabi`n. Ulama ushul memiliki tiga pendapat, di antaranya adalah : a. Satu pendapat mengatakan bahwa Madzhab Shahabat dapat menjadi huffah. !endapat ini berasal dari Imam Maliki, Abu Baker Ar-Razi, Abu Said shahabat Imam Abu HaniIah, begitu juga Imam SyaIi dalam Mad:hab Qadi2nya, termasuk juga Imam Ahmad Bin Hanbal dalam salah satu riwayat. Ibnul Qayyim termasuk Ulama yang sependapat dengan hal ini, bahwa pendapat shahabat dapat dijadikan huffah. Sebagaimana dikutip oleh Syeikh Muhammad Abu Zahra dalam bukunya Ushul Fiqh beliau (Ibnul Qayyim) berpendapat bahwa pendapat para Shahabat lebih mendekati pada Al-Quran dan as-sunnah dibanding pendapat para Ulama yang hidup sesudah mereka, dengan mengatakan: Bila seorang shahabat mengemukakan suatu pendapat, atau menetapkan suatu hukum, atau memberikan suatu Iatwa, tentu ia telah mempunyai pengetahuan, baik yang hanya diketahui oleh para Shahabat, maupun pengetahuan yang juga kita miliki. Adapun pengetahuan yang khusus diketahui Shahabat, mungkin didengar langsung dariRasulullah SAW. Atau didengar dari Rasulullah melaui Shahabat yang lain. Alasan pendapat ini ialah Iirman Allah : J1H ,@ L0 60 Bq1 @0V BBB ,_qV, AP1Bb _1V, BB N .. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruI, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (Ali Imran : 110) b. Satu pendapat mengatakan bahwa Madzhab Shahabat secara mutlak tidak dapat menjadi huffahdasar hukum. !endapat ini berasal dari jumhur Asyariyah dan Mu`tazilah, Imam SyaIi`i dalam madzhabnya yang fadid juga Abul Hasan Al- Kharha dari golongan HanaIiyah. alam hal ini Imam SyaIi`i mengatakan sebagaimana dikutip oleh Abdul Wahhab KhallaI dalam kitabnya, yaitu : Tidak menetapkan hukum atau memberikan Iatwa kecuali dengan dasar yang pasti, yaitu Al-Qur`an dan al- hadits, atau sebagimana yang dikatakan para ilmuan yang dalam suatu hal tidak berbeda pendapat (if2a), atau dengan mengkiaskan kepada sebagian dasar ini. Kemudian pernyataan ini dikoreksi oleh Syeikh Muhammad Abu Zahrah bahwa ulama yang mengatakan imam SyaIi`i dalam qaul fadidnya tidak mau mengikuti pendapat Shahabat adalah tidak benar. Mereka yang berpendapat seperti ini menggunakan dasar Iirman Allah : Fb@JBB [L00 @J.Bb ..Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang- orang yang mempunyai wawasan. (Al-Hasyr : 2) Mereka juga beralasan bahwa para shahabat kadang-kadang memilki ijtihad yang tidak sama dengan ijtihad shahabat yang lain. c. Ulama HanaIiyah, Imam Malik, Qaul Qadi2 Imam SyaIi`i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad Bin Hanbal, menyatakan bahwa pendapat Shahabat itu menjadi huffah dan apabila pendapat shahabat bertentangan dengan qiyas maka pendapat Shahabat didahulukan. alam hal ini, Abu HaniIah berkata : Jika kami tidak menjumpai dasar- dasar hukum dari Al-Quran dan hadits, maka kami mempergunakan Iatwa- Iatwa Shahabat. !endapat para Shahabat tersebut, ada yang kami ambil, ada pula yang kami tinggalkan. Akan tetapi kami tidak akan beralih dari pendapat mereka kepada pendapat selain mereka. Walupun demikian, Syeikh Muhammad Abu Zahrah mengatakan bahwa jumhur ulama khususnya dari ke-empat madzhab mengambil dan mengikuti Madzhab Shahabat dan tidak menghindarinya. 1) Fatwa yang didengar Shahabat dari Nabi 2) Fatwa yang didasarkan dari orang yang mendengar dari Nabi 3) Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Al-Quran yang agak kabur pemahaman ayatnya bagi kita 4) Fatwa yang disepakati oleh tokoh Shahabat sampai kepada kita melalui salah seorang Shahbat ) Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksub- maksudnya. Kelima hal inilah huffah yang wajib diikuti 6) Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan ternyata pemahamannya salah. Maka hal ini tidak jadi huffah.
AFTAR !USTAKA SyaIei, Rahmat. 2010. Il2u Ushul Fiqih. Bandung : !ustaka Setia http:akromislamiccenter.blogspot.com201012pengertian-istihsan-dan- macamnya.html (diakses pada tanggal 29 oktober 2011) http:www.scribd.comdoc46249368!engertian-Istihsan (diakses pada tanggal 29 oktober 2011 http:www.scribd.comdoc3376267Madzhab-Sahabat http:anakgaram.blogspot.com200902madzhab-sahabi.html