Anda di halaman 1dari 8

Istihsan

1. Pengertian dan Hakikat Istihsan


Istihsan menurut bahasa dapat dirartikan sebagai berikut :
a. Berbuat sesuat u yang lebi h baik
b. Mencari yang l ebi h baik unt uk dii kut.
c. Mengi kut i sesuat u yang lebi h baik
d. Memperhitungkan sesuatu sebagai yang lebih baik
Sedangkan Menurut para ulama ushul Iiqh, istihsan adalah meninggalkan
hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan
kepada hukum berdasarkan dalil syara'.
. Kehujjahan Istihsan menurut para ulama
!ara ulama memilki pendapat yang berbeda tentang kehujjahan istihsan
diantaranya:
a. Golongan syaIi`iyyah menolak Istihsan, karena berhujjah dengan istihsan
di a nggap menet apka n s uat u hukum t anpa dasar ya ng kuat hanya
semata-mata didasarkan pada hawa naIsunya.
b. Gol ongan HanaIiyah dan Malikiyah memperbol ehkan istihsan dengan
pertimbangan istihsan merupakan usaha melakukan qiyas kaIi dengan
mengalahkan Qiyas Jaly at au mengut amakan dalil yang ist isna`i
daripada yang kully.
. 1enis-jenis Istihsan
itinjau dari segi pengertian istihsan menurut ulama ushul Iiqh, maka
istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu:
a. !indah dari qiyas jali (jelas) kepada qiyas khaIi (samar) , karena ada dalil yang
mengharuskan pemindahan itu.
Contoh :
Menurut Mad:hab Hanafi. sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang
burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan
dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing
dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah
bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang
buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke
tempat minumnya. Menurut qiyas khaIi bahwa burung buas itu berbeda
mulutnya dengan mulut binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging
yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri
atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis.
Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang
haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. alam
hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya
dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari
qiyas jali kepada qiyas khaIi, yang disebut istihsan.
b. !indah dari hukum kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang
mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh Madzhab HanaIi disebut istihsan
darurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena suatu kepentingan atau
karena darurat.
4nt4h .
Syara' melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian
tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan.
Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut
hukum kulli. Tetapi syara' memberikan rukhshah (keringanan) kepada
pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian,
sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara
pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan
lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. !emberian rukhshah kepada salam itu
merupakan pengecualian (istitana) dari hukum kulli dengan menggunakan
hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan
dalam masyarakat.
Menurut hukum kulli, seorang pemboros yang memiliki harta berada di bawah
perwalian seseorang, karena itu ia tidak dapat melakukan transaksi hartanya
tanpa izin walinya. alam hal ini dikecualian transaksi yang berupa waqaI.
Orang pemboros itu dapat melakukan atas namanya sendiri, karena dengan
waqaI itu hartanya terpelihara dari kehancuran dan sesuai dengan tujuan
diadakannya perwalian, yaitu untuk memelihara hartanya (hukum juz-i).

adzhab Shahabi
1. Keadaan para Sahabat setelah Rasulullah wafat
Setelah Rasulullah SAW waIat, tampilah para sahabat yang telah memilki
ilmu yang dalam dan mengenal Iiqih untuk memberikan Iatwa kepada umat islam
dan membentuk hukum. Hal ini karena merekalah yang paling lama bergaul dengan
rasulullah SAW yang telah memahami Al-quran serta hukum-hukumnya. ari
mereka pulalah keluar Iatwa mengenai peristiwa yang bermacam-macam.
!ara muIti dari kalangan %abiin dan %abiit-%abiin telah memperhatikan
periwayatan dan pentakwilan Iatwa-Iatwa mereka. i antara mereka ada yang
mengodiIikasikannya bersama sunnah-sunnah Rasul, sehingga Iatwa-Iatwa mereka
dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan nash.
Bahkan, seorang Mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada Iatwa
mereka sebelum kembali kepada Qiyas. Kecuali kalau hanya pendapat
perseorangan yang bersiIat iftihadi bukan atas nama umat Islam
. Pengertian dan dalil-dalil adzhab Shahabi
a. Pengertian adzhab Shahabi
Madzhab sahabat yang lazimnya juga disebut Qaulus Shahabi, yaitu
pendapat-pendapat para shahabat dalam masalah-masalah ijtihad baik tentang
suatu kasus yang dinukil oleh para ulama berupa Iatwa maupun ketetapan
hokum yang tidak dijelaskan dalam ayat al-quran atau hadis.
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang Madzhab Shahabat
alangkah lebih baiknya kalau kita terlebih dahulu memahami siapakah Sahabat
yang dimaksud dalam bahasan ini. Muhammad Abu Zahra dalam bukunya Ushul
Fiqih menybutkan bahwa yang dimaksud Shahabat dalam konteks ini adalah
orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW. Yang langsung menerima
risalahnya, dan mendengar langsung penjelasan syariat dari beliau.
Sedangakan Chaerul Umam dalam bukunya menyatakan bahwa
menurut para Ulama Ushul Fiqih yang dimaksud dengan Shahabat adalah
seseorang yang bertemu dengan Rasulullah SAW. an beriman kepadanya serta
mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang panjang, serta dijadikan
rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan
Rasulullah SAW. Ada pula yang mempersempit identitas Shahabat itu dengan
Orang-orang yang bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Serta
hidup bersamanya dalam waktu yang cukup lama.
Walaupun ada beberapa versi pendapat Ulama tentang pendiIinisian
Shahabat, tapi yang jelas deIinisi-deIinisi di atas telah memberikan batasan kepada
kita dalam mengartikan dan memahaminya, sehingga tidak akan terjadi kerancuan
pemahaman tentang hal itu. Kemudian, Madzhab Sahabat yang lazimnya juga
disebut Qaulus-Shahabi maksudnya adalah pendapat-pendapat Shahabat dalam
masalah-masalah Iftihad. engan kata lain Qaulus-Shahabi adalah pendapat para
Shahabat tentang suatu kasus yang dinukil oleh para Ulama, baik berupa Iatwa
maupun ketetapan hukum, yang tidak dijelaskan dalam ayat atau hadits.
b. Dalil-dalil tentang adzhab Shahabi
alam menetapkan Iatwa-Iatwa Shahabat sebagai huffah, jumhur Iuqaha
mengemukakan beberapa argumentasi, baik dengan dalil aqli maupun dalil naqli.
Adapun dalil-dalil naqli adalah sebagai berikut :
1)Firman Allah SWT. Yang berbunyi :
4 . ,_fPBb, _J.Bb
Bb
;B@J.Bb, CBb,
_VBb @=T
; Bb 8
Fb_,;, =1
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari
golongan 2uhafirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah. (At-
Taubah : 100).
2) Sabda Rasulullah SAW. Yang artinya :
Saya adalah kepercayaan (orang yang dipercayai) shahabatku, sedangkan
shahabatku adalah kepercayaan para umatku.
Kalau kita lihat dari dalil naqli yang pertama (Iirman Allah dalam surat
at-Taubah : 100), sungguh allah swt. Telah memberikan apresiasi bagi orang
yang mengikuti para Shahabat. Maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
kita diperintahkan untuk mengikuti petunjuk-petunjuk mereka, dan oleh karena
itulah Iatwa-Iatwa mereka dapat juga dijadikan huffah.
Adapun pada dalil naqli yang ke-dua (hadits Nabi), kepercayaan umat
kepada shahabat berarti menjadikan Iatwa-Iatwa shahabat sebagai bahan
rujukan karena kepercayaan shahabat kepada Nabi berarti kembalinya mereka
kepada petunjuk Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan argumentsi yang bersiIat akal atau rasional (dalil aqli) ialah :
1) !ara Shahabat adalah orang-orang yang lebih dekat kepada Rasulullah SAW.
dibanding orang lain. engan demikian, mereka lebih mengetahui tujuan-
tujuan syara`, lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu
turunnya Al-Qur`an, mempunyai keikhlasan dan penalaran yang tinggi,
ketaatan yang mutlak kepada petunjuk-petunjuk Nabi, serta mengetahui situasi
di mana nash-nash Al-Qur`an diturunkan. Oleh karena itu, Iatwa-Iatwa mereak
lebih layak untuk diikuti.
2) !endapat-pendapat yang dikemukakan para Shahabat sangat mungkin sebagai
bagian dari sunnah Nabi dengan alasan mereka sering menyabutkan hukum-
hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW. tanpa menyebabkan bahwa hal
itu datang dari Nabi, karena tidak ditanya sumbernya. engan kemungkinan
tersebut, di samping pendapat mereka selalu didasarkan pada Qiyas atau
penalaran maka pandangan mereka lebih berhak untuk diikuti, karena
pandangan tersebut kenungkinan besar berasal dari nash (hadits) serta sesuai
dengan daya nalar rasional.
3) Jika pendapat para Shahabat didasarakan pada Qiyas, sedang para Ulama yang
hidup sesudah mereka juga nenetapkan hukum berdasarakan Qiyas yang
berbeda dengan pendapat Shahabat, maka untuk lebih berhati-hati, yang kita
ikuti adalah pendapat para Shahabat karena Rasulullah SAW. bersabda :
Sebaik-baik generasi, adalah generasiku di mana aku diutus oleh Allah dalam
generasi tersebut.
. Kehujjahan madzhab shahabi dan pandangan para ulama
!endapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat islam, terutama
dalam hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh akal. Jika pendapat mereka bersumber
langsung dari rasulullah SAW, dan !endapat Shahabat tidak menjadi huffah atas
Shahabat lainnya. Hal ini telah disepakati. Namun yang masih diperselisihkan ialah,
apakah pendapat Shahabat bisa menjadi huffah atas Tabi`n. Ulama ushul memiliki
tiga pendapat, di antaranya adalah :
a. Satu pendapat mengatakan bahwa Madzhab Shahabat dapat menjadi huffah.
!endapat ini berasal dari Imam Maliki, Abu Baker Ar-Razi, Abu Said shahabat
Imam Abu HaniIah, begitu juga Imam SyaIi dalam Mad:hab Qadi2nya,
termasuk juga Imam Ahmad Bin Hanbal dalam salah satu riwayat.
Ibnul Qayyim termasuk Ulama yang sependapat dengan hal ini, bahwa pendapat
shahabat dapat dijadikan huffah. Sebagaimana dikutip oleh Syeikh Muhammad
Abu Zahra dalam bukunya Ushul Fiqh beliau (Ibnul Qayyim) berpendapat
bahwa pendapat para Shahabat lebih mendekati pada Al-Quran dan as-sunnah
dibanding pendapat para Ulama yang hidup sesudah mereka, dengan
mengatakan: Bila seorang shahabat mengemukakan suatu pendapat, atau
menetapkan suatu hukum, atau memberikan suatu Iatwa, tentu ia telah
mempunyai pengetahuan, baik yang hanya diketahui oleh para Shahabat,
maupun pengetahuan yang juga kita miliki. Adapun pengetahuan yang khusus
diketahui Shahabat, mungkin didengar langsung dariRasulullah SAW. Atau
didengar dari Rasulullah melaui Shahabat yang lain.
Alasan pendapat ini ialah Iirman Allah :
J1H ,@ L0
60 Bq1
@0V BBB
,_qV, AP1Bb
_1V, BB N ..
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruI, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. (Ali Imran : 110)
b. Satu pendapat mengatakan bahwa Madzhab Shahabat secara mutlak tidak dapat
menjadi huffahdasar hukum. !endapat ini berasal dari jumhur Asyariyah dan
Mu`tazilah, Imam SyaIi`i dalam madzhabnya yang fadid juga Abul Hasan Al-
Kharha dari golongan HanaIiyah.
alam hal ini Imam SyaIi`i mengatakan sebagaimana dikutip oleh Abdul
Wahhab KhallaI dalam kitabnya, yaitu : Tidak menetapkan hukum atau
memberikan Iatwa kecuali dengan dasar yang pasti, yaitu Al-Qur`an dan al-
hadits, atau sebagimana yang dikatakan para ilmuan yang dalam suatu hal
tidak berbeda pendapat (if2a), atau dengan mengkiaskan kepada sebagian
dasar ini.
Kemudian pernyataan ini dikoreksi oleh Syeikh Muhammad Abu Zahrah
bahwa ulama yang mengatakan imam SyaIi`i dalam qaul fadidnya tidak mau
mengikuti pendapat Shahabat adalah tidak benar. Mereka yang berpendapat
seperti ini menggunakan dasar Iirman Allah :
Fb@JBB [L00
@J.Bb
..Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-
orang yang mempunyai wawasan. (Al-Hasyr : 2)
Mereka juga beralasan bahwa para shahabat kadang-kadang memilki ijtihad
yang tidak sama dengan ijtihad shahabat yang lain.
c. Ulama HanaIiyah, Imam Malik, Qaul Qadi2 Imam SyaIi`i dan pendapat
terkuat dari Imam Ahmad Bin Hanbal, menyatakan bahwa pendapat Shahabat
itu menjadi huffah dan apabila pendapat shahabat bertentangan dengan qiyas
maka pendapat Shahabat didahulukan.
alam hal ini, Abu HaniIah berkata : Jika kami tidak menjumpai dasar-
dasar hukum dari Al-Quran dan hadits, maka kami mempergunakan Iatwa-
Iatwa Shahabat. !endapat para Shahabat tersebut, ada yang kami ambil, ada
pula yang kami tinggalkan. Akan tetapi kami tidak akan beralih dari pendapat
mereka kepada pendapat selain mereka.
Walupun demikian, Syeikh Muhammad Abu Zahrah mengatakan bahwa
jumhur ulama khususnya dari ke-empat madzhab mengambil dan mengikuti
Madzhab Shahabat dan tidak menghindarinya.
1) Fatwa yang didengar Shahabat dari Nabi
2) Fatwa yang didasarkan dari orang yang mendengar dari Nabi
3) Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Al-Quran yang agak
kabur pemahaman ayatnya bagi kita
4) Fatwa yang disepakati oleh tokoh Shahabat sampai kepada kita melalui salah
seorang Shahbat
) Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun
tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksub-
maksudnya. Kelima hal inilah huffah yang wajib diikuti
6) Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan
ternyata pemahamannya salah. Maka hal ini tidak jadi huffah.

AFTAR !USTAKA
SyaIei, Rahmat. 2010. Il2u Ushul Fiqih. Bandung : !ustaka Setia
http:akromislamiccenter.blogspot.com201012pengertian-istihsan-dan-
macamnya.html (diakses pada tanggal 29 oktober 2011)
http:www.scribd.comdoc46249368!engertian-Istihsan (diakses pada tanggal 29
oktober 2011
http:www.scribd.comdoc3376267Madzhab-Sahabat
http:anakgaram.blogspot.com200902madzhab-sahabi.html

Anda mungkin juga menyukai