Anda di halaman 1dari 14

Sumber – sumber hokum islam mutaffaq

1. Ijma’
Ijma merupakan sumber hukum islam yang ketiga setelah hadis. Ijma’ ialah kesepakatan
hukum yang diambil dari Fatwa atau musyawarah para Ulama tentang suatu perkara
yang tidak ditemukan hukumnya didalam Al qur’an ataupun hadis . Tetapi rujukannya
pasti ada didalam Al-qur’an dan hadis. ijma’ pada masa sekarang itu diambil dari
keputusan-keputusan ulama islam seperti MUI.

Contoh Ijma’ ialah : hukum mengkonsumsi ganja atau sabu-sabu, atau sejenis minuman
yang memabukkan.

Didalam Al-qur’an Allah hanya menjelaskan tentang larangan meminum minuman


khamar. Sebagaimana firman Allah Swt:

ٌ ‫اب َواأل َ ْزالَ ُم ِر ْج‬


َ ‫س ِم ْن‬
‫ع َم ِل‬ ُ ‫ص‬َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُواْ إِنَّ َما ْالخ َْم ُر َو ْال َم ْيس ُِر َواألَن‬
َ‫اجتَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُحون‬
ْ َ‫ان ف‬
ِ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬
َّ ‫ال‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
(QS. Al-maidah :90)

Sedangkan masalah ganja ataupun sabu-sabu tidak dijelaskan didalam Al-qur’an. Jadi
kita ambil hukumnya dari hasil ijma’ para ulama yaitu haram mengkonsumsi ganja atau
sabu-sabu karena dapat memabukkan.

2. Qiyas
Qiyas merupakan sumber hukum islam yamg ke empat setelah ijma’. Qiyas ialah
menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya didalam Al-qur’an dan hadis
dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan berdasarkan nash.

Contoh Qiyas ialah : larangan memukul dan memarahi oaring tua.

Didalam Al-qur’an allah menjelaskan: ‫ه َما أُف‬


ُ َّ‫ل‬ ‫فَ َل تَقُل‬ “dan janganlah kamu
mengatakan Ah kepada kedua orang tuamu”.

Sedangkan memukul dan memarahi orang tua tidak disebutkan. Jadi diqiyaskan oleh
para ulama bahwa hukum memukul dan memarahi orang tua sama dengan hukum
mengatakan Ah yaitu sama-sama menyakiti hati orang tua dan sama-sama berdausa.

B. Sumber-sumber Hukum Islam Yang Mukhtalaf


1. ISTIHSAN
Istihsan adalah salah satu cara atau sumber dalam mengambil hukum Islam. Berbeda
dengan Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas yang kedudukannya sudah disepakati oleh
para ulama sebagai sumber hukum Islam, istihsan adalah salah satu metodologi yang
digunakan hanya oleh sebagian ulama saja, tidak semuanya.
Al-Imam Asy-Syafi’i dalam mazhabnya termasuk kalangan ulama yang tidak
menerima istihsan dalam merujuk sumber-sumber syariah Islam. Sebaliknya, Al-Imam
Abu Hanifah justru menggunakannya. samping madzhab Hanafi, termasuk sebagian
madzhab Maliki dan madzhab Hambali.

A. Pengertian Istihsan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut
ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang
lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’.
Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum
lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk
meninggalkannya.
Misal yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong
tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya
pencuri harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian
hukum ini ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri.
Ini adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya.

Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu
pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang
mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun dalil pertama
dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.

1. Khilaf Tentang Dasar Hukum Istihsan


Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam
As-Syafi’i dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya
berdasarkan keinginan hawa nafsu.
Imam Syafi’i berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan
sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak
menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah
Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan, “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan
adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang
menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan
pembuat syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu.”
Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat
Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i.
Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu
kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i,
istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih
enak.

Maka seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan


pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena
itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan, “orang yang menetapkan
hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata,
akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai
dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah
syara’ yang umum.

Contoh Istihsan
Menurut madzhab Abu Hanifah, bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian,
maka dengan menggunakan istihsan, yang termasuk diwaqafkan adalah hak pengairan,
hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Sebab kalau menurut qiyas
(jali), hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena tidak boleh mengqiyaskan
waqaf itu dengan jual beli.
Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli.
Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu.

Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu
kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak
memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang.

Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang
diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika
memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali),
maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan
pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari asalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa.

Kedua peristiwa ini ada persamaan ‘illat-nya yaitu mengutamakan manfaat barang atau
harta, tetapiqiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu
tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas
khafi, yang disebut istihsan.

Contoh Lain

Menurut Madzhab Hanafi, sisa minuman burung buas, seperti elang, burung gagak dan
sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan.

Padahal seharusnya kalau menurut qiyas (jali), sisa minuman binatang buas, seperti
anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang
telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang
buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat
minumnya.

Sedangkan menurut qiyas khafi, burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut
binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang
mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang
atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak
bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab di antara oleh paruhnya,
demikian pula air liurnya.

Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang
membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan
perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.

Istihsan artinya menganggap sesuatu lebih baik, mengikuti sesuatu yang lebih baik,
atau mencari yang lebih baik untuk diikuti.

Menurut istilah syara’, sebagaimana yang didefinisikan oleh Abdul Wahhab


Khallaf, istihsan ialah, “berpindahnya seorang mujtahid dari qiyas jali (jelas) kepada
qiyas khafi (samar) atau dari hukum kulli(umum) kepada hukum pengecualian
dikarenakan adanya dalil yang membenarkannya.

Dari definsi di atas, untuk membentuk istihsan dapat ditempuh melalui tiga cara.

1. Beralih dari semua yang dituntut oleh qiyas jali kepada yang dikehendaki oleh qiyas
khafi. Dalam hal ini, mujtahid tidak menggunakan qiyas jali untuk rnenetapkan hukum,
tetapi mengunakan qiyas khafi. Pengalihan ini dilakukan karena menurut perhitungan,
cara inilah yang paling tepat. Contohnya, hukum air yang dijilat burung buas (seperti
elang dan gagak). Nas syara’ tidak menyebutkan hukumnya. Bila memakai qiyas jali,
air bekas jilatan burung buas hukumnya tidak bersih, karena diqiyaskan dengan
daging binatang buas. Qiyas jali ini dilakukan karena persaman ‘illah, yaitu dagingnya
sama-sama haram untuk dimakan dan air liurnya pun dianggap tidak suci. Dengan
demikian, air jilatan burung buas dianggap tidak suci. Jika mengggunakan qiyas khafi,
hukum air bekas jilatan burung buas itu suci. Dalam hal ini, karena burung buas tidak
diqiyaskan kepada binatang buas, tapi diqiyaskan kepada burung biasa. Air yang
diminum oleh burung biasa hukumnya suci, karena burung itu minurn dengan
paruhnya sehingga air tidak bersentuhan dengan air liur melekat di lidahnya. Keadaan
seperti ini juga berlaku pada burung buas. Meskipun dagingnya haram dimakan,
namun daging burung buas hanya menyatu dalam air liurnya yang tidak bersentuhan
dengan air ketika minurn. Burung minum dengan paruhnya, sedangkan paruh itu suci.
Oleh karena itu air yang dijilatnya juga suci. Cara seperti ini disebut dengan istihsan
qiyas.
2. Beralih dari nas yang umum kepada hukum yang bersifat khusus. Artinya bahwa nas
yang bersifat umum dalam keadaan tertentu hukumnya tidak dapat diterapkan karena
adanya sebab tertentu. Oleh karena itu, dalam hal ini berlaku dalil yang khusus.
Contohnya, penerapan sanksi hukum terhadap pencuri. Menurut ketentuan umum, Al-
Qur’an menghukuminya dengan potong tangan sesuai dengan Surah al-Ma’idah [5]:
38. Ayat tersebut menjelaskan bahwa seorang pencuri tangannya harus dipotong.
Namun bila pencurian itu dilakukan pada masa peceklik atau karena kelaparan,
hukum potong tangan tersebut tidak berlaku sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
Umar bin Khattab. Cara ini disebut istihsan Hass.
3. Beralih dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan hukum pengecualian karena
adanya maslahat. Ini dapat ditempuh melalui tiga jalan.
1) Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan ‘urf (adat ke-
biasaan). Contohnya, ucapan yang berlaku pada sumpah. Misalnya kalian bersumpah
tidak akan makan daging. Di kemudian hari kalian ternyata makan ikan. Dengan
istihsan kalian tidak dinyatakan melanggar sumpah, meskipun, ikan dalam Al-Qur’an
termasuk daging. Alasannya, ‘urf (kebiasaan) yang berlaku dalam ucapan sehari-hari
tidak memasukkan ikan dalam kategori daging.

2) Meninggalkan dalil yang biasa digunakan dan beramal dengan cara lain karena
ada faktor kemaslahatan. Contohnya, tanggung jawab mitra dari tukang yang
memperbaiki barang, bila barang yang diperbaikinya itu rusak di tangannya. Ber-
dasarkan qiyas, ia tidak wajib menggantinya karena kerusakan itu terjadi ketika ia
membantu bekerja. Namun berdasarkan pendekatan istihsan, ia wajib menggantinya
demi terwujudnya kemaslahatan, yaitu memelihara dan menjamin harta orang lain.

3) Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk menghindarkan kesulitan dan


memberikan kernudahan kepada umat. Umpamanya, adanya kelebihan atau
kekurangan sedikit dalam menukar atau menimbang sesuatu dalam ukuran yang
banyak. Dalam menakar apapun, sebenarnya tidak dibenarkan adanya kekurangan
atau kelebihan. Semunya harus pas. Namun, ketika sesuatu yang ditimbang berjumlah
besar, ada kekurangan atau kelebihan sedikit tentu dimaafkan. Kebolehan ini
didasarkan pada pendekatan istihsan.

Para ulama yang mengunakan istihsan sebagai metode ijtihad ialah kebanyakan ulama
Hanafiah. Dalil mereka atas kehujahan istihsan adalah bahwa mereka hanyalah berdalil
dengan qiyas khafi yang menang atas qiyas jali, atau berhujah
dengan maslahah mursalah (kepentingan umum), atau pengecualian
hukum kulli. Menurut mereka, semua itu adalah istidlal (berdallil) yang dibenarkan

2. Maslahah Mursalah

Maslahah mursalah terdiri atas dua kata, yaitu ‫صلَ َحة‬


ْ ‫ َم‬dan‫سلَة‬
َ ‫ ُم ْر‬Secara
harfiah, maslahah artinya kebaikan, kemanfaatan, keuntungan, atau terlepas dari
kerusakan. Sedangkan kata mursalah artinya terlepas dan terbebas, yaitu terlepas dan
terbebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidaknya sesuatu dilakukan.

Menurut istilah syara’, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam al-Gazali dalam
Kitab al-Musytasfa,maslahah mursalah adalah

ْ ‫ش ْرع بِ ْالب‬
ِ َ‫ُطالَ ِن َوالَبِا ْ ِإل ْع ِتب‬
‫َض ُم َع ِتين‬
ٌّ ‫ار ن‬ ِ َّ ‫َمالَ ْم يَ ْش َه ْد لَهُ ِمنَ ال‬

Artinya: Sesuatu yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nas yang
membatalkannya dan tidak ada pula yang menetapkannya.

Jadi, maslahah mursalah adalah sesuatu yang tidak ada nas hukumnya dalam Al-
Qur’an ataupun hadis. Maslahah mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal,
dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan (maslahah) dan menghindari
keburukan (mafsadat). Sesuatu yang baik menurut akal sehat pada hakikatnya tidak
bertentangan dengan tujuan syara’ secara umum. Dengan demikian, prinsip
umum maslahah mursalah adalah menarik manfaat dan menghindari kerusakan bagi
kehidupan. Maslahah mursalah sering disebut juga istislah.

Jumhur ulama sepakat bahwa maslahah mursalah bukanlah dalil yang berdiri
sendiri. Maslahah mursalah tidak terlepas dari petunjuk syara’. Oleh karena itu, jika ada
sesuatu yang mendatangkan manfaat menurut tinjauan akal tetapi bertentangan
dengan prinsip nash, nash harus didahulukan. Ketika itu pula maslahah mursalah tidak
dapat digunakan.

Imam Malik dan pengikutnya adalah kelompok yang secara jelas


menggunakan maslahah mursalahsebagai salah satu metode ijtihadnya. Sedangkan
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i tidak memakainya sebagai metode ijtihad.

Kelompok yang menggunakan maslahah mursalah sebagai metode ijtihad tidak begitu
saja menerimanya, kecuali maslahah itu memenuhi syarat yang cukup ketat. Syarat
yang umum adalah ketika suatu kasus tidak ditemukan hukumnya dalam nash yang
sariih (jelas). Selain itu ada syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi, yaitu sebagai
berikut.

1. Maslahah itu bersifat riil (hakiki) dan umum, bukan maslahah yang bersifat
perorangan atau bersifat zan. Ia juga harus dapat diterima akal sehat dengan dugaan
kuat bahwa maslahah itu benar-benar mendatangkan manfaat secara utuh dan
menyeluruh. Maslahah ini juga harus sejalan dengan tujuan syara’ dan tidak
berbenturan dengan prinsip dalil syara’ yang telah ada, seperti nas dan ijmak.
Contohnya, yang berhak secara resmi menjatuhkan talak hanyalah hakim.
2. Maslahah mursalah digunakan dalam keadaan mendesak. Jika maslahah tidak
digunakan, umat akan berada dalam kesempitan dan kesulitan. Dengan
dernikian maslahah mursalah harus digunakan demi menghindarkan umat dari
kesulitan. Contohnya, mencetak mata uang, memungut pajak, dan membangun penjara
untuk menahan orang-orang terkena kasus pidana.

Kehujahan Maslahah Mursalah

Sebagian besar ulama mengakui maslahah mursalah sebagai metode ijtihad. Kejadian
yang tidak ada hukumnya dalam nas, qiyas, dan ijmak hukumnya diserahkan
kepada maslahah mursalah.Pembentukan hukum berdasarkan maslahah mursalah ini
tidak akan terhenti. Ia akan terns menerus dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh
beberapa hal berikut.

1. Masalah umat itu selalu baru dan tidak ada habisnya, sedangkan hukumnya tidak ada
dalam nas (Al-Qur’an dan hadis). Jika asas maslahah tidak digunakan, akan terjadi
kekosongan hukum. Hal ini berarti bertentangan dengan tujuan pembentukan
hukum.
2. Sejarah telah membuktikan bahwa para sahabat, tabi’in, dan para mujtahid
membentuk hukum berdasarkan pertimbangan maslahah mursalah. Umparnanya, Abu
Bakar telah menghimpun lembaran berberaian yang di dalamnya lain tanpa hal
tertulis ayat-ayat Al-Qur’an dan memerangi orang yang enggan membayar zakat. Umar
menghukumi talak tiga dengan satu kali ucapan. Umar tidak memberikan
zakat Demikian hal kepada orang yang baru masuk Islam. Umar menetapkan
undang-undang pajak, pembukuan administrasi, membangun penjara, dan
menghentikan pelaksanaan hokum pidana kepada pencuri di tahun paceklik. Usman
telah menyatukan umat Islam dalam satu mushaf, menetapkan jatah harta waris
kepada istri yang ditalak karena sang suami menghindari pembagian warisan
kepadanya. Ali telah memerangi para pengkhianat dari kalangan Syiah Rafidah.

1. Istishab
Dilihat dari segi bahasa, kata istishab artinya “selalu menyertai”. Sedangkan secara
istilah, sebagaimana yang dikernukakan oleh Imam as-Syaukani dalam kitabnya lrsyad
al-Fukhbl, adalah

‫ان ْال ُم ْست َ ْقبَ ِل‬ َّ ‫ص ُل بَقَا ُءهُ فِى‬


ِ ‫الز َم‬ ِ ‫ان ْال َم‬
ْ َ‫اضى فَاال‬ ِ ‫ا َِّن َماثَبَتَ فِى الزَ َم‬

Artinya: Apa yang pemah berlaku secara tetap pada masa lalu pada prinsipnya berlaku
pada masa selanjutnya.

Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa kata kunci yang dipakai ialah masa lalu dan
masa yang akan datang. Artinya, sesuatu yang diberlakukan pada masa kini adalah
sama secara hukum dengan yang diberlakukan pada masa lalu. Contohnya, kalian
mempunyai harta ini. yang sah. Hak milik kalian tersebut akan menjadi hak kalian
selama-lamanya sampai ada keadaan yang mengubahnya, seperti untuk membeli
kebutuhan atau menghadiahkannya kepada orang lain.

Dilihat dari sifatnya, keadaan hukum sesuatu itu tidak lepas dari dua keadaan, yaitu
kosong hukum (nafi) dan tetap hukum (subuut). Ketika suatu keadaan kosong hukum
berjalan, ia akan tetap kosong selarnanya sampai ada keadaan yang mengubahnya.
Contohnya, pada masa lalu ti dak pernah ada hukum yang menyatakan bahwa puasa
pada bulan Syawal wajib hukumnya, karena memang tidak ada dalil yang
mewajibkannya Tidak adanya hukum wajib berpuasa pada bulan Syawal itu berlaku
sampai sekarang, karena dalil syara’ yang mewajibkannya memang tidak akan ada.

Ketika keadaan hukum sesuatu itu telah tetap, yaitu keadaan pernah ada hukum di
dalamnya maka hukum yang sudah tetap pada sesuatu itu berlaku sampai masa kini
dan yang akan datang sebelum ada keadaan (dalil) yang mengubahnya. Contohnya,
seseorang yang memiliki wudu pada salat Zuhur, kemudian datang waktu Asar, Wudu
pada waktu salat Zuhur dapat digunakan untuk melakukar salat Asar sebelum adanya
keadaan yang mengubahnya, seperti kentut yang keluar dari dubur.

1. Pembagian Istishab
1) Bara’ah asliyyah, yaitu bahwa pada dasarnya suatu hukum itu tidak ada sampai
ada dalil yang mengubahnya (menyebutkan ketentuannya). Dalam hal ini berlaku
kaidah ‫ص ُل ْال َع َد ُم‬
ْ َ‫(اال‬pada asalnya hukum sesuatu itu tidak ada). Contoh, bebasnya
seseorang dari dakwaan bersalah sebelum ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan
secara meyakinkan bahwa ia bersalah.

2) lstishab as-sifah, yaitu mengukuhkan berlakunya suatu sifat, dan sifat itu berlaku
pada suatu ketentuan hukum sampai sifat itu mengalami perubahan yang
mengakibatkan hukum berubah. Contohnya, sifat tanggung jawab untuk melunasi utang
bagi orang yang berutang kepada seseorang. Sesungguhnya beban untuk membayar
utang itu akan tetap ada pada diri orang yang berutang sampai ia melunasinya atau
orang yang diutangi menyatakan bebas (lunas) kepadanya.

3) Istishab al-hukm, yaitu mengukuhkan pemberlakuan suatu hukum boleh (mubah)


atau larangan (haram). Hukum boleh pada sesuatu terus berlangsung sampai ada dalil
yang mengharamkannya. Bisa jugs hukum sesuatu itu haram sampai ada sesuatu yang
membolehkannya. Maka Dalam hal ini berlaku kaidah berikut.

َ ‫اإلبَا َحةُ َحتَّى يَ ُد َّل ال َّد ِل ْي ُل‬


‫علَى تَحْ ِر ي ِْم َها‬ ِ ‫ف‬ ْ َ‫اَال‬
ِ ‫ص ُل‬

Artinya: Hukum sesuatu pada asalnya adalah boleh sehingga ada dalil yang
mengharamkannya.
Berdasarkan kaidah ini, sesuatu yang ada di islam ini boleh dimakan atau digunakan
sebelum ada dalil yang mengharamkannya. Misalnya, makanan. Allah membolehkan
kita memakan binatang yang ada di islam ini, kecuali binatang yang diharamkan oleh
Allah.

4) Istishab syara’ atau akal, yaitu keberadaan hukum pada sesuatu ditetapkan
berdasarkan akal atau syara’. Contohnya, kewajiban membayar utang akan tetap
berlaku sebelum utang itu dilunasi.

4. ‘Urf
Dilihat dari segi bahasa, kata ‘urf berarti sesuatu yang dikenal. Kata lain yang sepadan
dengannya adalah adat. Menurut istilah syara’, sebagaimana dikemukakan oleh Abu
Zahra, ‘urf adalah

‫ت َعلَ ْي ِه ْم أ ُ ُم ْو ُر ُه ْم‬ ٍ َ‫س ِم ْن ُمعَا َمال‬


ْ ‫ت َوا ْستَقَا َم‬ ُ ‫َماا ْعت َ َداهُ النَّا‬

Artinya: Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan manusia dalam pergaulannya dan
sudah mantap dan melekat dalam urusan-urusan mereka.

1. a. Macam-macam ‘Urf
Dilihat dari segi sumbernya, ‘urf dapat digolongkan menjadi dua macam.

1) ‘Urf Qauly, yaitu kebiasaan yang berlaku berupa kata-kata atau ucapan dalam
kehidupan sehari-hari. Contohnya, kata “lahm” dalam bahasa Arab artinya adalah
daging. Pengertian daging bisa mencakup semua daging, termasuk daging ikan, sapi,
kambing, dan sebagainya. Namun dalam adat kebiasaan sehari-hari, kata daging tidak
berlaku untuk ikan. Oleh karena itu, jika ada orang bersumpah, “Demi Allah, saya tidak
akan makan daging.” T api kemudian ia makan ikan maka menurut adat ia tidak
melanggar sumpah

2) ‘Urf My, yaitu kebiasaan yang berlaku berupa perbuatan. Umpamanya, kebiasaan
dalam jual beli barang-barang yang kurang bernilai. Transakasi antara penjual dan
pembeli hanya cukup dengan pembeli menerima barang dan penjual menerima uang
tanpa ada ucapan transaksi (akad). Kebiasaan mengambil rokok di antara sesama
teman tanpa adanya ucapan meminta dan memberi juga tidak bisa dianggap pencurian.

Dilihat dari ruang lingkup penggunaannya, ‘urf juga dibagi menjadi dua macam.

1) ‘Urf Umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di mana saja hampir di
seluruh penjuru dunia tanpa memandang negara, bangsa, dan agama. Contohnya,
menganggukkan kepala pertanda setuju dan menggelengkan kepala pertanda menolak.
Jika ada orang melakukan kebalikan dari itu, orang itu dianggap aneh dan ganjil.
Contoh lain, mengibarkan bendera setengah tiang menandakan duka cita untuk
kematian orang yang dianggap terhormat.
2) ‘Urf Khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang di tempat
tertentu atau pada waktu tertentu dan tidak berlaku di sembarang waktu dan tempat.
Umpamanya adat menarik garis keturunan melalui garis ibu atau perempuan
(matriliniel) di Minangkabau atau melalui bapak (patrilineal) di kalangan suku Batak.
Bagi masyara’at umum, penggunaan kata budak dianggap menghina, karena kata itu
berarti hamba sahaya. Tapi bagi masyara’at tertentu, kata budak biasa digunakan untuk
memanggil anak-anak.

Dilihat dari baik dan buruknya, ‘urf digolongkan lagi menjadi dua macam.

1) ‘Urf Saffih, yaitu kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang, diterima oleh
orang banyak, tidak bertentangan dengan norma agama, sopan santun, dan budaya
yang luhur. Umpamanya, memberi hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat pada
waktu-waktu tertentu, mengadakan acara halal bi halal (silaturahmi) pada hari Raya,
memberi hadiah sebagai penghargaan atas prestasi, dan sebagainya.

2) ‘Urf Fasid, yaitu adat atau kebiasaan yang berlaku di suatu tempat meskipun
merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara,
dan sopan santun. Contohnya, berjudi untuk merayakan peristiwa perkawinan atau
meminum minuman keras pada hari ulang tahun.

Kedudukan `Urf dalam Penetapan Hukum


Para ulama menggunakan ‘urf untuk menetapkan hukum dengan syarat sebagai
berikut.

1) Adat atau ‘urf itu mengandung maslahat dan dapat diterima akal sehat.
Contohnya, ada suatu kebiasaan istri yang ditinggal mati oleh suaminya tidak kawin lagi
untuk seterusnya, meskipun ia masih muda. Mungkin ini dinilai baik oleh suatu adat
daerah tertentu namum ini tidak bisa diterima oleh akal sehat.

2) Adat itu tidak bertentangan dengan dalil syara’. Contohnya, mengadakan acara
syukuran tujuh bulan dari kehamilan seorang ibu tidaklah bertentangan dengan dalil
syara’.

3) Para ulama membagi taqlid menjadi beberapa jenis.

a) Taqlid yang terpuji (al-mahmudah), yaitu taqlid yang dilakukan orang awam dalam
masalah fikih kepada mujtahid. Hal ini dapat maklumi, sebab tidak sernua orang bisa
berijtihad.
b) Taqlid tercela (al-mazmumah). Taqlid ini hukumnya haram. Taqlid terbagi menjadi
tiga.

c) Taqlid kepada pendapat para orang tua dan pemimpin tar membahas sama sekali
pendapat tersebut. Taqlid seperti biasanya terjadi dalam persoalan akidah.

d) Taqlid yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain padai–7 sebenarnya ia
mampu untuk berijtihad sendiri.

a) Taqlid kepada suatu pendapat yang diketahui pendapat itu be– tentangan dengan
dalil yang sudah qati. Contohnya, mengk– pendapat dukun yang jelas bertentangan
dengan hukum Allah,

Adat yang berlaku di kalangan umat berarti telah diterima secara baik oleh umat. Adat
diterima karena mengandung kemaslahatan. Tidak memakai adat berarti tidak
menerima kemaslahatan. Sedangkan semua ulama telah sepakat mengenai keharusan
untuk mengambil sesuatu yang bernilai maslahat, meskipun itu tidak ada nasnya.

1. 5. Menutup Jalan Kemungkaran (Saddu ai-Zariah )


َ terdiri atas dua kata, yaitu kata ُ‫الذَّ ِر ْي َعة‬yang
Dilihat dari segi bahasa, kata ‫سدُّال ِ ِّذ ِر ْي َع ِة‬
ُ َّ
artinya menutup dan kata ‫الذ ِر ْيعَة‬yang berarti jalan. Jadi, saddu al-dzari’ah, artinya
menutup jalan. Akal akan berkata kalau jalan itu ditutup, semua arch yang menuju ke
jalan itu tidak boleh dilalui.

Menurut istilah syara’, sebagaimana dikemukakan oleh Imam asy-Syaukani, saddu al-
zarl”ah adalah “Sesuatu yang secara lahiriah hukumnya boleh, namun hal itu akan
menuju kepada hal-hal yang dilarang”. Dari definisi tersebut, diperoleh gambaran
secara jelas bahwa saddu al-dzari’ah merupakan usaha mujtahid untuk menetapkan
larangan terhadap satu kasus hukum yang pada dasarnya mubah (boleh). Dengan
demikian, metode ini bersifat preventif atau usaha pencegahan. Artinya, segala sesuatu
yang mubah tetapi akan menuju pada perbuatan yang haram, hukumnya menjadi
haram. Bukankah selain mewujudkan maslahat, tujuan hukum Islam adalah mencegah
mafsadat?

Di antara kasus hukum yang ditetapkan berdasarkan metode ini adalah kasus
pemberian hadiah kepada hakim. Seorang hakim haram menerima hadiah dari pihak
yang berperkara sebelum perkara itu diputuskan. Sebab pengharaman ini adalah
kekhawatiran akan adanya ketidakadilan hakim dalam memutuskan perkara yang
sedang ditanganinya. Padahal, pada dasarnya menerima pemberian dari orang lain
hukumnya boleh. Tapi kasus di atas mesti memakai pendekatan saddu al-
zari>’ah, sehingga hukumnya menjadi haram.

Para ahli ushul fikih membagi saddu al-dzari’ah menjadi empat kategori.
1. Z\ari’ah yang sudah pasti akan membawa kerusakan (mafsadat). Contohnya menggali
sumur di jalan umum yang gelap.
2. Dzari’ah yang jarang membawa mafsadat, seperti membuat pisau. Meskipun ada
kemungkinan digunakan untuk membunuh, tapi hal ini termasuk jarang. Oleh karena
itu, membuat pisau tidak dilarang alias boleh.
3. Dzari’ah yang berdasarkan dugaan yang kuat akan membawa kepada mafsadat,
seperti menjual anggur kepada orang atau perusahaan Yang memproduksi minuman
keras. Menjual pisau kepada orang yang diduga kuat akan menggunakannya untuk
membunuh. Dugaan yang pasti ini membawa konsekuensi keharaman.
4. Dzari’ahyang sering kali membawa mafsadat, namun kekhawatiran itu tidak sampai
kepada dugaan yang kuat. Ia hanya didasari oleh dugaan biasa. Contohnya, transaksi
jual bell secara kredit. Transaksi seperti ini diduga akan membawa mafsadat terutama
bagi para pembeli (pengutang). Mengenai dzari’ah ini, para ahli ushul fikih berbeda
pendapat. Ada yang berpendapat bahwa perbuatan itu dilarang dan ada pula yang
berpendapat sebaliknya, yaitu diperbolehkan.

Terlepas dari permasalahan dzari’ahyang dilarang dan dibolehkan, prinsip, adalah


bahwa dzari’ahdigunakan untuk mernelihara tujuan syariat hukum, yaitu menarik
kernaslahatan dan menolak kerusakan. Memelihara maslahat dalam berbagai
peringkatnya termasuk tujuan disyariatkannya Islam. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa metode sadduzdzari’ahberhubungan erat dengan tujuan ditetapkannya hukum
Islam. Metode ini dikembangkan oleh Imam al-Syatibi dari kalangan Malikiyah.

6. Mazhab Sahabat
Setelah Nabi wafat, tampillah sahabat untuk memberikan fatwa kepada umat
Islam. Sahabat adalah orang-orang yang bergaul dengan Rasul dan mengerti secara
mendalarn isi Al-Qur’an. Mereka menghasilkan fatwa-fatwa untuk pelbagai macam
peristiwa. Fatwa-fatwa para sahabat itu telah mendapat perhatian dari para tabi’in. Oleh
karena itu, kedudukan fatwa sahabat dalam hukum Islam sangat tinggi. Menurut
beberapa ulama, fatwa sahabat termasuk di antara sumber pembentukan hukum yang
hampir bisa disamakan dengan nas. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus
memperhatikan fatwa sahabat sebelum menggunakan qiyas. Kumpulan fatwa sahabat
inilah yang disebut mazhab sahabat. Contohnya, para sahabat telah sepakat bahwa
bagian waris untuk nenek adalah seperenam. Kesepakatan ini harus kita ikuti dan
sampai sekarang kesepakatan itu tidak diperselisihkan. Yang menjadi perselisihan ialah
ucapan sahabat yang belum ada kata sepakat dari sahabat lainnya. Menurut Imam Abu
Hanifah, ia tidak dapat dijadikan hujah. Begitu juga pendapat Imam Syafi’i. Ia
memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan. Sebab,
pendapat mereka itu sifatnya ijtihad perorangan dari orang-orang yang
tidak ma’’su>m (terbebas dari dosa dan kesalahan). Hal ini dilakukan sebagaimana
sahabat boleh menentang pendapat sahabat yang lain. Mujtahid yang datang sesudah
generasi sahabat juga bisa menentang pendapat sahabat.
7. Syar’u man qablana
Syar’u man qablana atau syariat umat sebelum kita adalah syariat Allah yang
diturunkan kepada umat sebelum Nabi Muhammad. Baik syariat para rasul sebelum
Nabi Muhammad maupun syariat Nabi Muhammad sendiri disebut dengan
syariat samawiyah, yaitu syariat yang diturunkan oleh Allah untuk manusia
perhatikan !!!
Terjemahan: Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-
Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa
yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu tegakkanlah agama
(keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belch di dalamnya. Sangat
berat bagi orangorang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada
mereka. Allah memilih orang Dia kehendaki kepada agama tauhid dan memberi
petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya). (Q.S. asy-Syura-
[42]: 13)

Kedudukan Syariat Umat sebelum Kita

Syariat umat sebelum kita menjadi syariat kita juga. Ini terjadi jika Al-Qur’an dan sunah
menegaskan bahwa syariat tersebut diwajibkan baik untuk mereka (orang yang
sebelum kita) maupun untuk kita. Contohnya, puasa dan kisas. Namun, seandainya Al-
Qur’an dan sunah Nabi menegaskan bahwasyariat orang sebelum kita itu telah di-
naskh (dihapus), tidak ada lagi kewajiban bagi kita untuk mengikutinya, karena ia
bukanlah syariat kita. Umpamanya, syariat Nabi Musa bahwa orang yang berdosa tidak
dapat menebus dosanya, kecuali ia harus membunuh dirinya sendiri. Pakaian yang
terkena najis tidak bisa disucikan, kecuali dengan memotong bagian yang terkena najis.
Syariat ini tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad. Contoh lain, Allah menghararnkan
bagi orang Yahudi setiap binatang yang berkuku, seperti sapi dan domba. Syariat ini
tidak berlaku bagi umat Muhammad. Sapi dan domba termasuk binatang yang
dagingnya halal kita makan.

Menurut Abu Zahra, setidaknya ada tiga ketentuan yang harus diperhatikan dalam
melihat syariat orang sebelum kita.

1. Syariat orang sebelum kita itu harus diceritakan dengan bersandarkan kepada
sumber-sumber yang menjadi pedoman ajaran Islam.
2. Apabila syariat umat sebelum kita telah dinasakh, ia tidak boleh lagi diamalkan.
Artinya, syariat itu memang khusus untuk mereka.
3. Disyariatkannya hukum itu berlaku untuk mereka (umat sebelum kita) dan juga untuk
kita jika didasari oleh nas Islam, bukan cerita orang-orang terdahulu. Misalnya,
kewajiban berpuasa. Kewajiban puasa yang merupakan syariat umat sebelum kita
tersebut ditegaskan kembali dalam Al-Qur’an.
8. Dalalatul Iqtiran
1. Pengertian Dalalatul Iqtiran
Dalalatul Iqtiran Secara bahasa berarti dalil yang bersama-sama (berbarengan), secara
istilah adalah dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu sama hukumnya dengan
sesuatu yang disebut bersama-sama. Imam Malik menyamakan hukum karena
bergandengan dengan yang lain, contoh tidak mewajibkan zakat pada kuda karena
ada ayat “dan kuda dan bighal dan keledai”

Contoh Dalatul Iqtiran : Firman Allah Surat Al Baqarah ayat 196 “Sempurnakanlah haji
dan umrah karena Allah”

1. Kedudukan Dalalatul Iqtiran sebagai sumber hukum.


Para ulama berbeda pendapat mengenai dalalatul iqtiran sebagai sumberhukum.

1. Sejumlah ulama berpendapat bahwa dalalatul iqtiran tidak dapat dijadikan hujjah
dengan alasan “Sesungguhnya bersama-sama dalam suatu himpunan tidak mesti
bersamaan dalam hukum”
2. Sebagian ulama yang lain dari golongan Hanafiyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyah
mengatakan bahwa Dalalatul Iqtiran dapat dijadikan hujjah dengan alasan :
Sesungguhnya µathaf itu menghendaki musyarakat

Anda mungkin juga menyukai