Anda di halaman 1dari 18

Presentasi Ke-7

DALIL-DALIL YANG
TIDAK DISEPAKATI
Membahas Dalil-Dalil Hukum yang
menjadi dalil pendukung atau sebagai
alat bantu untuk memahami sumber
hukum dari al-Quran & Sunnah. Disebut
juga dengan Metode istinbat, mencakup
Istihsan, Istishhab, Mashalih Mursalah.

Oleh: Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA


Agenda

Istihsan

Istishhab

Mashalih Mursalah

‘Urf
Terminologi ISTIHSAN (‫)إستحسان‬
• Istihsan berasal dari kata ‫ إستحسن– ي ستحسن– إستحسانا‬yang berarti
“mencari kebaikan”. Istihsan juga berarti “sesuatu yang
dianggap baik”, diambil dari kata al-husnu (baik).
• Secara terminologi, Imam Abu Hasan al-Karkhi mengatakan
bahwa istihsan ialah “penetapan hukum dari seorang
mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari
ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah
yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang
menghendaki dilakukannya penyimpangan itu.”
• DASAR ISTIHSAN: QS. al-Zumar: 17-18 disebutkan:
‫َن‬3 ‫ش ْر عِ ِع َبادِي * ا َّلذِي‬ ْ ‫ ا ْل ُب‬3‫ى هَّللا ِ َل ُه ُم‬3‫ا َوَأ َنا ُبوا ِإ َل‬3‫ْن َي ْع ُبدُو َه‬3 ‫وت َأ‬
ِّ ‫ش َرى َف َب‬ َ ‫الطا ُغ‬ َّ ‫اج َت َن ُبوا‬ ْ ‫َن‬3 ‫• َوا َّلذِي‬
‫ب‬ِ ‫س َن ُه ُأو َلِئ َك ا َّلذِينَ َه َدا ُه ُم هَّللا ُ َوُأو َلِئ َك ُه ْم ُأولُو األ ْل َبا‬ َ ‫َي ْس َت ِم ُعونَ ا ْل َق ْول َ َف َي َّت ِب ُعونَ أ َْح‬
Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan
kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah
berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu
mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi Allah petunjuk, mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
• Rasul Saw juga bersabda:‫سن‬3‫و عند هللا ح‬3‫ه‬333‫سناً ف‬3‫لمسلمونح‬33‫ ا‬3‫ه‬3‫مارءا‬
Terminologi ISTIHSAN (‫)إستحسان‬
• DR. Wahbah al-Zuhaily mendefinisikan istihsan, yaitu
“memakai qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jali karena
ada petunjuk untuk itu”. Disebut juga istihsan qiyasi.
• Pengertian Qiyas jali didasarkan atas ‘illat yang ditegaskan
dalam Quran dan sunnah, seperti menqiyaskan memukul
kedua orang tua kepada larangan mengatakan “uf atau ah”.
Qiyas khafi didasarkan atas ‘illat yang ditarik dari hukum
ashal, seperti mengqiyaskan pembunuhan dengan benda
tumpul kepada pembunuhan dengan benda tajam
disebabkan persamaan ‘illat yaitu adanya kesengajaan.
Qiyas jali lebih kuat daripada qiyas khafi, tapi jika mujtahid
memandang bahwa qiyas khafi lebih besar mashlahatnya,
maka qiyas jali boleh ditinggalkan.
• Definisi istihsan yang lain: “Hukum pengecualian dari
kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk
untuk hal tersebut.” Disebut juga istihsan istitsnai.
Macam-macam Istihsan Istitsnai
• Istihsan bi al-nash, hukum pengecualian berdasarkan nash quran
dan sunnah, seperti makan-minum dalam keadaan lupa di siang
hari ramadhan, hukum asalnya batal puasa, tapi hadis nabi
menegaskan hal itu tidak membatalkan puasa.
• Istihsan berlandaskan ijma’, kebolehan jual beli barang pesanan
(salam dan istishna’) yang bertentangan dengan hukum asal jual
beli yang mengharuskan adanya barang pada saat akad.
• Istihsan berlandaskan ‘urf (adat), seperti kebolehan mewakafkan
benda bergerak seperti buku dan perkakas alat memasak,
berdasarkan adat setempat. Padahal wakaf biasanya hanya pada
harta yang bersifat kekal dan tidak bergerak seperti tanah.
• Istihsan berlandaskan mashlalah mursalah, seperti
mengharuskan ganti rugi atas penyewa rumah jika perabotnya
rusak ditangannya, kecuali disebabkan bencana alam. Tujuannya
agar penyewa berhati-hati dan lebih bertanggung jawab. Padahal
menurut ketentuan umum penyewa tidak dikenakan ganti rugi jika
ada yang rusak, kecuali disebabkan kelalaiannya.
Ikhtilaf Mengenai Istihsan
• Mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa istihsan dapat
dijadikan landasan dalam menetapkan hukum, dengan menggunakan
dalil-dalil yang menjadi dasar istihsan.
• Imam Syafi’i menolak istihsan sebagai landasan hukum. Menurut
beliau, menetapkan hukum berlandaskan istihsan sama dengan
membuat-buat syariat baru dengan hawa nafsu. QS. Al-Maidah: 49.
َ ‫ض َما َأ ْن َز َل هَّللا ُ ِإلَي‬
‫ْك‬ ِ ْ‫وك َعنْ َبع‬ َ ‫• َوَأ ِن احْ ُك ْم َب ْي َن ُه ْم ِب َما َأ ْن َز َل هَّللا ُ َوال َت َّت ِبعْ َأهْ َوا َء ُه ْم َواحْ َذرْ ُه ْم َأنْ َي ْف ِت ُن‬
َ ُ‫اسق‬
‫ون‬ ِ ‫اس َل َف‬
ِ ‫وب ِه ْم َوِإنَّ َك ِثيرً ا ِم َن ال َّن‬ِ ‫ض ُذ ُن‬ ِ ‫َفِإنْ َت َولَّ ْوا َفاعْ لَ ْم َأ َّن َما ي ُِري ُد هَّللا ُ َأنْ ي‬
ِ ْ‫ُصي َب ُه ْم ِب َبع‬
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-
hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling
(dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan
sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah
orang-orang yang fasik.
Ayat ini memerintahkan manusia untuk mengikuti petunjuk Allah Swt dan
RasulNya, dan larangan mengikuti kesimpulan hawa nafsu. Hukum yang
dibentuk melalui istihsan adalah kesimpulan hawa nafsu, jadi tidak sah
dijadikan landasan hukum.
ISTISHHAB
• Kata istishhab secara etimologi berarti “meminta ikut serta
secara terus-menerus”. Secara terminologi, istishhab ialah
“menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya
semula, selama belum terbukti ada sesuatu yang
mengubahnya.
• Contoh istishhab: Seseorang yang diketahui masih hidup
pada masa tertentu, tetap dianggap hidup pada masa
sesudahnya selama belum terbukti bahwa ia telah wafat.
Begitupula seseorang yang telah berwudhu’, jika ia ragu,
dianggap tetap wudhu’nya selama belum terjadi hal yang
membuktikan batal wudhu’nya.
Macam-macam ISTISHHAB
• Istishhab al-ibahah al-ashliyah, didasarkan atas hukum asal dari
sesuatu yaitu mubah. Jenis ini banyak berperan dalam menetapkan
hukum dibidang muamalah, bahwa hukum dasar dari sesuatu yang
bermanfaat boleh dilakukan selama tidak ada dalil yg melarangnya.
• Istishhab al-baraah al-ashliyah, yaitu istishhab yang didasarkan atas
prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban
taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu, dan bebas dari
utang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah statusnya.
Misal: seseorang yang menuntut haknya dirampas orang lain, ia
harus mampu membuktikannya, karena pihak tertuduh pada
dasarnya bebas dari segala tuntutan, kecuali ada bukti yang jelas.
• Istishhab al-hukm, didasarkan atas tetapnya status hukum yang
sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya. Misal: pemilik
asal rumah & tanah tetap dianggap sah selama tidak ada peristiwa
jual beli / hibah yg mengubah status hukum kepemilikan.
• Istishhab al-washf, istishhab yang didasarkan atas anggapan masih
tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang
mengubahnya. Misal: air yang diketahui bersih, tetap dianggap bersih
selama tidak ada bukti yang mengubah statusnya itu.
Ikhtilaf Ulama Mengenai Istishhab
• Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa tiga macam istishhab (point
pertama hingga ketiga) adalah sah dijadikan landasan hukum.
• Mereka berbeda pendapat pada jenis istishhab al-washf:
1. Kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa istishhab al-
washf dapat dijadikan landasan hukum secara penuh, baik dalam
menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya
yang sudah ada. Misalnya, seseorang yang hilang tidak ketahuan
rimbanya, tetap dianggap hidup sampai ada bukti bahwa ia telah
wafat. Jadi harta dan istrinya masih dianggap kepunyaannya, dan jika
ahli warisnya wafat, dia turut mewarisi harta peninggalan dan kadar
pembagiannya langsung dinyatakan sebagai hak miliknya.
2. Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa istishhab al-
washf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah
ada, bukan untuk menimbulkan hak yang baru. Dalam contoh orang
hilang tsb meskipun harta dan istrinya masih dianggap sebagai
kepunyaannya, tapi jika ada hali waris yang wafat maka khusus kadar
bagiannya disimpan dan belum dapat dinyatakan sebagai haknya
sampai terbukti ia hidup.
MASHLAHAH MURSALAH
• Kata mashlahah menurut bahasa berarti “manfaat”. Kata mursalah
berarti “lepas”. Secara istilah, menurut Abdul Wahab Khalaf,
mashlahah mursalah berarti “sesuatu yang dianggap mashlahat
namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan
tidak ada pula dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang
menolaknya”, sehingga disebut mashlahat yang lepas.
• MACAM-MACAM MASHLAHAH:
1. Al-mashlalah al-mu’tabarah, yaitu mashlahah yang secara tegas
diakui syariat dan telah ditetapkan ketentuan2 hukum untuk
merealisasikannya. Misal: Diwajibkan hukum qishash untuk menjaga
kelestarian jiwa, ancaman hukuman zina bertujuan untuk memelihara
kehormatan dan keturunan, dsb.
2. Al-mashlahah al-mulghah, yaitu sesuatu yang dianggap mashlahah
oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya
bertentang dengan ketentuan syariat. Misal: ada asumsi
menyamakan pembagian warisan anak laki-laki dan wanita adalah
mashlahah, padahal itu bertentang dengan QS. Al-Nisa`: 11.
3. Al-Mashlahah al-mursalah. Banyak terdapat dalam masalah-masalah
muamalah. Misal: Peraturan dan rambu lalu lintas.
Ikhtilaf Ulama pada Mashlahah
• Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa mashlahah mursalah
tidak sah menjadi landasan hukum dalam BIDANG IBADAH,
karena bidang ibadah harus diamalkan sebagaimana adanya
diwariskan oleh Rasul Saw, makanya bidang ibadah tidak
berkembang.
• Mereka berbeda pendapat dalam bidang muamalah.
1. Kalangan Zahiriyah, sebagian Syafi’iyah dan hanafiyah tidak
mengakui mashlahah mursalah sebagai landasan pembentukan
hukum, karena menganggap syariat Islam tidak lengkap dengan
asumsi ada mashlalah yang belum tertampung dalam hukum-
hukumnya.
2. Kalangan hanafiyah dan Malikiyah serta sebagian Syafi’iyah
berpendapat bahwa mashlahah mursalah secara sah dapat
dijadikan landasan penetapan hukum. Alasannya, kebutuhan
manusia selalu berkembang, yang tidak mungkin semuanya
dirinci Quran dan sunnah, selama tidak bertentangan dengan
Quran dan sunnah maka mashlahah mursalah dapat diterima.
Syarat Mashlahah Mursalah
• Sesuatu yang dianggap mashlahat itu haruslah berupa
mashlahat hakiki, yaitu yang benar-benar akan
mendatangkan kemanfaatn atau menolak kemudharatan,
bukan berupa dugaan belaka dengan hanya
mempertimbangkan kemanfaatan tanpa melihat efek
negatifnya. Misal: anggapan bahwa hak menjatuhkan
thalaq dibolehkan pada wanita, itu adalah mashlahat palsu,
karena bertentangan dengan ketentuan syariat.
• Sesuatu yang dianggap mashlahat itu hendaklah berupa
kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi.
• Sesuatu yang dianggap mashlahah itu tidak bertentangan
dengan ketentuan yang ada ketegasannya dalam Quran
dan sunnah, atau bertentangan dengan ijma’.
Al-’Urf al-’am yaitu adat
Macam-macam kebiasaan mayoritas dari
berbagai negeri di satu masa.
‘Urf (Adat) Seperti ucapan engkau telah
haram aku gauli sebagai ucapan
talak kepada istri.
Al-’Urf al-Khash yaitu adat yang
‫العرف‬ berlaku pada masyarakat atau
negeri tertentu. Seperti kebiasaan
masyarakat Irak menggunakan
kata al-dabbah hanya kepada
kuda.
‫العرف العام‬ ‫العرف الخاص‬ Adat yang benar (shahih) yaitu
suatu hal baik yg menjadi
kebiasaan suatu masyarakat,
seperti anggapan bahwa apa yg
diberikan pihak laki-laki kepada
calon istri ketika khitbah dianggap
‫العرف‬ hadiah, bukan mahar.
Adat yang salah (fasid) yaitu
sesuatu yang menjadi adat yang
sampai menghalalkan yang
‫العرف الصحيح‬ ‫العرف الفاسد‬ diharamkan Allah atau
sebaliknya. Seperti tari perut di
Mesir saat pesta perkawinan.
Keabsahan ‘Urf Sebagai Dalil
ِ ‫ض َع ِنا ْل َج‬
QS. Al-A’raf: 199.‫اهلِ َين‬ َ ِ ْ‫ُخ ِذ ا ْل َع ْف َو َوْأ مُرْ ِب ا ْل ُع ر‬
ْ ‫فوَأعْ ِر‬
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.
Ayat tsb dipahami oleh para ulama sebagai perintah untuk
mengerjakan sesuatu yang dianggap baik sehingga telah
menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Para ulama sepakat menolak ‘urf fasid untuk dijadikan
landasan hukum.
Mazhab yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagai
landasan hukum adalah kalangan Hanafiah dan Malikiyah,
selanjutnya baru kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah.
Imam Malik mendasarkan sebagian besar hukumnya kepada
perbuatan penduduk Madinah (ketika itu). Imam Syafi’i
ketika hijrah ke Mesir mengubah sebagian pendapatnya
tentang hukum yg telah dikeluarkannya ketika di Baghdad
karena perbedaan ‘urf, sehingga dalam mazhab syafi’i dikenal
istilah qaul qadim dan qaul jadid.
Syarat-syarat ‘Urf
‘Urf baru bisa dijadikan landasan hukum jika:
‘Urf itu termasuk ‘urf yang shahih, tidak bertentangan
dengan Quran dan sunnah.
‘Urf itu harus bersifat umum, minimal telah menjadi
kebiasaan mayoritas penduduk setempat.
‘Urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa
yang akan dilandaskan kepada ‘urf tsb. Misalnya,
seseorang mewakafkan hasil kebunnya kepada ulama,
yang dimaksud ulama ketika itu hanyalah orang yang
punya pengetahuan agama tanpa ada persyaratan punya
ijazah, maka kata ulama dalam pernyataan wakaf itu harus
diartikan dengan pengertian yg sudah dikenal umum,
bukan istilah ulama yg populer kemudian setelah ikrar
wakaf terjadi, harus punya ijazah.
Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan
dengan kehendak ‘urf tsb, sebab jika kedua belah pihak
yang berakad telah sepakat untuk tidak terikat dengan
kebiasaan yang berlaku umum, maka yang dipegang
adalah ketegasan itu, bukan ‘urf.
Kaidah yang berlaku bagi ‘Urf
Hukum yang pada mulanya dibentuk oleh
mujtahid berdasarkan ‘urf, akan berubah jika ‘urf
itu berubah. ‫ألمكنة‬33‫ألزمانوا‬33‫تغير ا‬33‫ ب‬3‫ألحكام‬33‫غير ا‬33‫ت‬
Contoh yang disandarkan kepada ‘urf, QS. Al-
Baqarah: 233
ْ ‫َو َعلَى ا ْل َم ْولُو ِد لَ ُه ِر ْزقُ ُهنَّ َوك‬
ِ‫ِس َو ُت ُهنَّ ِبا ْل َم ْع ُروف‬
Ayat tsb tidak menjelaskan berapa kadar
nafkah yang harus diberikan seorang ayah
kepada para ibu dari anak-anak. Untuk
memastikannya, perlu merujuk kepada adat
yang berlaku dalam satu masyarakat dimana
ia berada.
SYAR’U MAN QABLANA
Yaitu syari’at atau ajaran nabi-bani sebelum Islam
yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at
nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa. Apakah syariat-
syariat yang diturunkan kepada mereka itu berlaku
pula bagi umat Nabi Muhammad Saw.
Para ulama ushul Fiqh sepakat bahwa syariat para
Nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Quran dan
Sunnah Rasul Saw, tidak berlaku lagi bagi umat Islam.
Karena kedatangan syariat Islam telah mengakhiri
berlakunya syariat terdahulu.
Para ulama juga sepakat bahwa syariat sebelum Islam
yang dicantumkan dalam al-Quran adalah berlaku bagi
umat jika ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku
bagi umat Nabi Muhammad Saw. Contoh: Syariat
puasa, QS. Al-Baqarah: 183
‫ِب َع َلى ا َّلذِينَ مِنْ َق ْبلِ ُك ْم‬ َ ‫َيا َأ ُّي َها ا َّلذِينَ آ َم ُنوا ُكت‬
ِّ ‫ِب َع َل ْي ُك ُم‬
َ ‫الص َيا ُم َك َما ُكت‬
َ‫َل َع َّل ُك ْم َت َّتقُون‬
SYAR’U MAN QABLANA
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat
nabi terdahulu yang tercantum dalam al-Quran, tetapi tidak
ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi
umat Islam dan tidak ada pula penjelasan yang
membatalkannya.
Misal: hukuman qishahs dalam syariat Nabi Musa dalam QS.
Al-Maidah: 45
ُ ‫األذ َن ِب‬
‫األذ ِن‬ ُ ‫ف َو‬ ِ ‫ف ِباأل ْن‬ َ ‫ْن َواأل ْن‬ ِ ‫س َو ْال َعي َْن ِب ْال َعي‬ ِ ‫س ِبال َّن ْف‬ َ ‫َو َك َت ْب َنا َع َلي ِْه ْم ِفي َها َأنَّ ال َّن ْف‬
‫ارةٌ َل ُه َو َمنْ َل ْم َيحْ ُك ْم ِب َما‬ َ ‫ص َّد َق ِب ِه َفه َُو َك َّف‬
َ ‫اص َف َمنْ َت‬ ٌ ‫ص‬ َ ‫َوالسِّنَّ ِبالسِّنِّ َو ْال ُجرُو َح ِق‬
‫ُون‬
َ ‫الظالِم‬ َّ ‫ك ُه ُم‬ َ ‫َأ ْن َز َل هَّللا ُ َفُأو َلِئ‬
Dari sekian banyak bentuk qishash dalam ayat tsb, yang ada
ketegasan berlakunya bagi umat Islam hanyalah qishash
karena pembunuhan. QS. Al-Baqarah: 178
‫صاصُ ِفي ْال َق ْت َلى ْالحُرُّ ِب ْالحُرِّ َو ْال َع ْب ُد ِب ْال َع ْب ِد‬ َ ‫ب َع َل ْي ُك ُم ْال ِق‬ َ ‫ين آ َم ُنوا ُك ِت‬َ ‫َيا َأ ُّي َها الَّ ِذ‬
ٍ ‫ُوف َوَأ َدا ٌء ِإ َل ْي ِه بِِإحْ َس‬
‫ان‬ ِ ‫َواأل ْن َثى ِباأل ْن َثى َف َمنْ ُع ِف َي َل ُه ِمنْ َأ ِخي ِه َشيْ ٌء َفا ِّت َبا ٌع ِب ْال َمعْ ر‬
‫ك َف َل ُه َع َذابٌ َألِي ٌم‬َ ِ‫َذلِ َك َت ْخ ِفيفٌ ِمنْ َر ِّب ُك ْم َو َرحْ َم ٌة َف َم ِن اعْ َت َدى َبعْ دَ َذل‬

Anda mungkin juga menyukai