Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

ISTIHAB DAN MADZHAB SHOHABAT


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: H. M. Kholil Nawawi, Drs., M. Ag.

Disusun oleh kelompok 4:

Asmidah 221105011499
Nova Ramadhany 221105011503
Siti Nurazira Wati 221105011451
Zahra Aulia Hamid 221105011417

KELAS 1E
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
TAHUN AJARAN 2022/2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 3
A. Latar Belakang Masalah 3
B. Rumusan Masalah 3

BAB II PEMBAHASAN 4
A. Pengertian Istishab 4
B. Macam-macam Istishab 5
C. Perbedaan Pendapat Istishab sebagai Sumber Hukum 6
D. Madzhab Shohabat 8
BAB III PENUTUP 10
DAFTAR PUSTAKA 11

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menetapkan hukum untuk suatu masalah harus berlandaskan dalil atau alasan yang mendukung.
Dalam penetapan hukum Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan pedoman yang digunakan oleh
para ulama. Namun pada hakikatnya, kedua sumber hukum tersebut terkadang dipandang tidak
cukup untuk menentukan hukum pada setiap masalah, karena adanya beraneka ragam masalah baru
selalu bermunculan seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan yaitu dengan mengkaji ulang istishab sebagai dalil hukum, yaitu menetapkan
sesuatu berdasarkan status asal. Adakalanya asal segala sesuatu adalah mubah, bebas dari tuntutan,
hukum asal masih relevan, dan adakalanya sifat asal adalah tetap. Istishab dapat diterapkan pada
banyak kasus, baik bidang hukum keluarga, hukum pidana, hukum perdata, maupun hukum
ekonomi
Seperti jika terdapat hukum asal suatu perkara meupakan mubah misalnya makanan, maka
hukum asalnya yaitu mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Jika hukum asal
pada suatu kasus adalah haram misalnya pergaulan bebas, maka hukum asalnya yaitu haram sampai
ada dalil yang memperbolehkannya, contohnya seperti dengan melalui ikatan perkawinan. Dalam
hukum Islam sendiri terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang disepakati dan hukum yang
tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa hukum yang kita sepakati tersebut yaitu al-Qur’an
dan al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Secara umum ada 7 hukum Islam yang tidak disepakati dan salah
satu diantaranya akan menjadi pokok pembahasan, yaitu istishab.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep tentang istishab?
2. Bagaimana konsep tentang madzhab shohabat?

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Istishab

Istishab berasal dari kata istishaba dalam istif’al yang berarti istimrar al-shahabah (sahabat)
yang artinya dalam lughawi yaitu selalu menyertai atau menemani. 1 Istishab dapat diartikan juga
dengan membawa dan melepaskan sesuatu, seperti:

‫إستصحبت الكتاب في السف‬

“Aku membuat buku itu ikut serta bersamaku dalam perjalananku.”2

Selain itu, definisi istishab yang dikemukakan oleh para ulama ushul fiqh berbeda-beda, namun
dapat disimpulkan bahwa:

a) Segala hukum yang ada pada masa saat ini terjadi karena adanya hukum di masa lalu,
b) Segala hukum yang ada di masa lalu tetap berlaku pada masa saat ini kecuali jika ada yang
mengubahnya,
c) Segala hukum yang ada pada masa saat ini pasti telah ditetapkan pada masa lalu.3

Para ulama berbeda pendapat tentang nilai kehujjahan istishab. Mayoritas ulama dari madzhab
Maliki, Syafi’i, dan Hanbal menyatakan bahwa istishab merupakan hujjah secara penuh, baik dalam
mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i), maupun menetapkan sesuatu yang belum ada
(itsbat). Sedangkan ulama Muta’akhirin dari madzhab Hanafi, di antaranya Imam Abu Zaid dan
Shadrul Islam Abul Yusr, berpendapat bahwa istishab merupakan hujjah dalam mempertahankan
sesuatu yang sudah ada (daf’i), dan bukan menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat).
Sementara, mayoritas ulama madzhab Hanafi, dan sebagian ulama madzhab Syafi’i Abul
Husein al-Bahri, serta sekelompok ulama ilmu kalam berpendapat bahwa istishab bukan merupakan
hujjah sama sekali. Perbedaan pandangan ulama tentang penggunaan istishab dalam ijtihad ternyata
menyebabkan perbedaan pandangan mereka dalam hukum Islam, seperti dalam masalah hukum

1
Imron Rosyadi, Muhammad Muinudinnillah Basri, Usul Fikih Hukum Ekonomi Syariah, Muhammadiyah University
Press, 2020 hal 99.
2
Amrullah Hayatudin, Ushul Fiqh: Jalan Tengah Memahami Hukum Islam, Amzah (Bumi Aksara), 2021 hal 90.
3
Iwan Hermawan, Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam, Hidayatul Quran, 2019 hal 97.

4
waris orang hilang. Ulama berbeda pendapat tentang orang hilang yang tidak jelas status hidup atau
matinya, apakah dia dihukumi mati sehingga hartanya dibagi ke ahli warisnya, dan dia tidak berhak
atas warisan dari keluarganya yang meninggal, ataukah dia dihukumi hidup sehingga hartanya tidak
dibagi dan dia berhak atas bagian warisan dari keluarganya yang meninggal?
Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat, orang tersebut dihukumi hidup sehingga hartanya
tidak boleh diwarisi, dan dia berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal.
Mereka beralasan bahwa pada dasarnya (hukum asalnya) orang tersebut hidup, karenanya sifat
hidup ini masih berlaku sampai ada dalil yang menegaskan kematiannya. Sedangkan, Abu Hanifah
dan para pengikutnya berpendapat bahwa hartanya tidak boleh diwarisi, dan dia tidak berhak
mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal. Mereka beralasan bahwa istishab hanya
berlaku untuk memmpertahankan hak yang sudah ada, bukan menetapkan hak yang baru. Di sisi
lain, Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa orang tersebut dianggap hidup selama empat
tahun dari waktu hilangnya. Jika melebihi empat tahun maka dianggap mati, karenanya hartanya
diwarisi dan dia tidak berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal.

B. Macam-macam Istishab

Para ulama ushul fiqh mengutarakan bahwa istishab terdapat 4 macam, yaitu:

a) Istishab al-Ibaḥah al-Ashliyyah


Sesuatu yang bermanfaat bagi manusia hukumnya boleh, selama belum ada dalil yang
menunjukkan bahwa hukumnya haram.4 Contoh: pohon yang ada di hutan merupakan milik
bersama dan setiap orang berhak untuk menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, kecuali
jika terdapat bukti bahwa hutan itu merupakan milik seseorang. Sesuai firman Allah:

ْ ‫ت ۗ َوه َُو بِ ُك ِّل ش‬


‫َي ٍء َعلِ ْي ٌم‬ ٍ ‫سمٰ ٰو‬
َ ‫س ْب َع‬ َ َ‫س َم ۤا ِء ف‬
َ َّ‫س ٰ ّوى ُهن‬ ْ ‫ض َج ِم ْي ًعا ثُ َّم ا‬
َّ ‫ست ٰ َٓوى اِلَى ال‬ ِ ‫ق لَ ُك ْم َّما فِى ااْل َ ْر‬ ْ ‫ُه َو الَّ ِذ‬
َ َ‫ي َخل‬

“Dialah yang menjadikan segala yang ada di muka bumi ini untuk kalian.” (Q.S. al-Baqarah: 29).5

b) Istishab al-Bara`ah al-Ashliyyah


Tetap berada pada hukum asal yang belum ada perubahannya. Setiap manusia tidak memiliki
beban, hal ini tetap berlaku sampai dengan adanya dalil yang menyatakan perubahannnya. 6 Contoh:
wudhu seseorang hukumnya sah jika tidak ada hal yang membatalkannya.7

4
Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, Kencana, 2018 hal 101.
5
Akhmad Haries, Maisyarah Rahmi, Ushul Fikih: Kajian Komprehensif Teori, Sumber Hukum Dan Metode Istinbath
Hukum, Bening Media Publishing, 2021 hal 124.
6
Moh. Mufid, , Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, Kencana, 2018 hal 102.
7
Akhmad Haries, Maisyarah Rahmi, Ushul Fikih: Kajian Komprehensif Teori, Sumber Hukum Dan Metode Istinbath
Hukum, Bening Media Publishing, 2021 hal 125.

5
c) Istishab an-Nasbsbi Istishab Maqlub (Pembalikan)
Penentuan status hukum pada masa lalu yang bentuk sebelumnya merupakan penetapan untuk
masa kedua karena pada masa pertama tidak sesuai dengan dalil yang spesifik.8 Contoh: adanya
seseorang yang dihadapkan pertanyaan, apakah Muhammad kemarin berada di tempat ini? Karena
kemarin ia benar-benar melihat Muhammad di sini. Maka ia menjawab, benar ia berada di sini
kemarin.9

d) Istishab al-Washfi al-Tsatibi


Berdasarkan anggapan masih tetapnya sifat yang dipercayai ada pada masa lalu, hingga saat ini
sampai ada bukti dalil yang menyatakan perubahanya.10 Contoh : jika orang bertayamum , dalam
pertengahan shalat ia melihat air. Maka, menurut ijma’ shalatnya tidak batal, karena keabsahan
shalat itu ditentukan sebelum melihat air. Kebiasaan ini akan terus berlanjut hingga ditemukannya
dalil yang menunjukkan bahwa penetapan tersebut batal.11

C. Perbedaan Pendapat Istishab sebagai Sumber Hukum

Terdapat 3 perbedaan pendapat para ulama ushul fiqh mengenai istishab sebagai sumber
hukum:

a) Istishab merupakan dalil atau hujjah sebagai penetapan hukum. Seperti yang terdapat dalam:
1) Q.S. al-An’am ayat 145

‫سفُ ْو ًحا اَ ْو لَ ْح َم ِخ ْن ِز ْي ٍر فَاِنَّ ٗه‬ ِ َ‫قُ ْل ٓاَّل اَ ِج ُد فِ ْي َمٓا اُ ْو ِح َي اِلَ َّي ُم َح َّر ًما ع َٰلى ط‬
ْ ‫اع ٍم يَّ ْط َع ُم ٗ ٓه آِاَّل اَنْ يَّ ُك ْونَ َم ْيتَةً اَ ْو َد ًما َّم‬
‫اغ َّواَل عَا ٍد فَاِنَّ َربَّكَ َغفُ ْو ٌر َّر ِح ْي ٌم‬ ‫هّٰللا‬
ٍ َ‫اضطُ َّر َغ ْي َر ب‬ْ ‫سقًا اُ ِه َّل لِ َغ ْي ِر ِ بِ ٖ ۚه فَ َم ِن‬ ْ ِ‫س اَ ْو ف‬ٌ ‫ِر ْج‬

“Katakanlah, tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati
(bangkai), darah yang mengalir, daging babi–karena semua itu kotor atau hewan yang
disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan
dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha
Penyayang.”

8
Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, Kencana, 2018 hal 102.
9
Efendi Sugianto, Istishab Sebagai Dalil Syar,I dan Perbedaan Ulama Tentang kedudukannya, Studia Vol. 5, No. 1
(2020) hal 6.
10
Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, Kencana, 2018 hal 102.
11
Efendi Sugianto, Istishab Sebagai Dalil Syar,I dan Perbedaan Ulama Tentang kedudukannya, Studia Vol. 5, No. 1
(2020) hal 6-7.

6
Pada ayat tersebut menunjukkan bahwa segala sesuatu hukumnya boleh sebelum ada dalil yang
mengharamkannya.12

2) Sabda Rasullullah SAW:


“Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian (dalam shalatnya) lalu
mengatakan: Engkau telah berhadats! Engkau telah berhadats! Maka (jika demikian), janganlah
ia meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan suara atau mencium bau.” (HR. Ahmad).

Pada hadist di atas Rasulullah memerintahkan kepada umatnya untuk selalu mengerjakan shalat
dalam keadaan suci sebelum mendapatkan bukti bahwa wudhu kita batal seperti, mendengar suara
dan mencium bau yang merupakan hakikat istishab.

1) Ijma’
Jika seseorang ragu dirinya sudah bersuci maka shalat yang dilakukan tidak sah kecuali jika ia
ragu jika wudhunya batal atau tidak maka hukumnya kembali pada keadaan bahwa ia telah bersuci
dan belum membatalkan wudhunya.

2) Dalil ‘aqli
Menggunakan logika.
b) Istishab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam segi hukum. Para ulama hanafiyah
menambahkan dalil sebagai penguat pendapat mereka,di antaranya yaitu:
1) Penggunaan istishab diartikan dengan melakukan sesuatu tanpa dalil yang menyertainya
artinya istishab merupakan sesuatu yang batil karena sesuatu yang tidak disertai dalil
hukumnya batil.13
2) Istishab dapat menyebabkan pertentangan antar dalil karena jika seseorang dapat
menetapkan hukum atas istishab, maka orang lain juga dapat menetapkan hukum atas
istishab juga dan hal ini merupakan batil.
c) Istishab merupakan hujjah yang tidak dapat untuk menetapkan hukum baru.

Dalam ketiga pendapat para ulama tersebut terlihat jelas bila pendapat pertama lebih kuat.14

D. Madzhab Shohabat

Sepeninggal Rasulullah SAW maka pemberi fatwa dan pembentuk hukum-hukurn Islam adalah
para sahabat yang benar-benar paham dengan fiqih dan ilmu agama, serta lama tinggal dengan
Rasulullah SAW. paham al-Qur'an dan hukum-hukumnya. Mereka telah mengeluarkan sejumlah

12
Umar Muhaimin, Metode Istidladan Istishab (Formulasi Metodelogi Ijtihad), Vol 8, No 2 hal 341.
13
Ibid, 342.
14
Ibid, hal 343.

7
fatwa dalam berbagai kasus yang berlainan. Sebagian perawi dari kalangan tabi’in maupun tabi’in
tabi’in secara teliti memperhatikan periwayatan dan pembukuannya, sehingga di antara mereka ada
yang membukukannya bersama dengan pembukuan sunnah-sunnah Rasulullah SAW. 
Yang menjadi pertanyaan apakah fatwa ini termasuk sumber pembentukan hukum yang sama
dengan nash, di mana seorang mujtahid harus mengacu kepadanya sebelum kembali kepada qiyas?
Ataukah fatwa tersebut merupakan pendapat perorangan yang bersifat ijtihadiyah, sehingga tidak
bisa dipakai sebagai hujjah bagi kaum muslimin?
Kesimpulan pada topik ini ialah tidak ada perbedaan pendapat mengenai ucapan para sahabat
dalam hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal untuk digunakan sebagai hujjah bagi kaum
muslimin. Hal ini lantaran perkataan tersebut diucapkan berdasarkan pendengaran mereka dari
Rasulullah SAW. seperti perkataan Aisyah RA:

ْ َ‫ث ْال َح ْم ُل فِى ب‬


‫ط ِن اُ ِّم ِه اَ ْكثَ َر ِم ْن َسنَتَ ْي ِن قَ ْد َر َمايَت ََح َّو ُل ِظ َّل ْال ِم ْغزَ ِل‬ ُ ‫اَل يَ ْم ُك‬.

"Kandungan itu tidak tinggal di perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang
dapat mencegah bayangan alat tenun.”
Contoh di atas tidak dapat dipakai sebagai tempat ijtihad dan mengemukakan pendapat. Sebab,
jika contoh tersebut sahih, maka sumbernya pasti dari Rasulullah SAW dan termasuk As-Sunnah
walaupun secara zhahirnya merupakan perkataan sahabat..Di samping itu, juga tidak ada perbedaan
pendapat mengenai perkataan sahabat yang tidak diketahui ada sahabat lain yang rnenentang atau
menolak, maka demikian adalah hujjah bagi kaum muslimin. Karena kesepakatan mereka terhadap
hukum suatu kasus, berdasarkan dekatnya masa hidup mereka dengan Rasulullah SAW. dan
pengetahuan mereka terhadap rahasia pembentukan hukum, serta adanya perbedaan mereka di
sejumlah kasus lain, merupakan dalil yang menunjukkan sandaran mereka kepada dalil yang pasti.
Sebagai contoh, kesepakatan para sahabat mengenai bagian warisan seperenam kepada nenek.
Maka hukum tersebut wajib diikuti, dan dalam hal ini tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di
antara kaum muslimin. Perselisihan pendapat hanya terjadi dalam perkataan sahabat yang keluar
dari pendapat dan ijtihadnya, sedangkan belum ada kesepakatan di antara para sahabat itu sendiri.
Abu Hanifah dan ulama yang sependapat dengannya mengatakan: 
‫ ثُ َّم اَل اَ ْخ ُر ُج‬،‫ت‬
ُ ‫ع قَوْ َل َم ْن ِشْئ‬ ُ ‫ب هللاِ َواَل ُسنَّ ِة َرسُوْ لِ ِه اَخ َْذ‬
ُ ‫ت بِقَوْ ِل اَصْ َحا بِ ِه َم ْن ِشْئ‬
ُ ‫ت َواَ َد‬ ِ ‫اِ َذا لَ ْم اَ ِج ْد فِي ِكتَا‬
‫م اِلَى َغي ِْر ِه‬‰ْ ‫ع َْن قَوْ لِ ِه‬.

"Apabila saya tidak menemukan (hukum) dalam kitab Allah maupun sunnah Rasul-Nya, maka saya
mengambil pendapat sahabat Rasul Allah yang saya kehendaki dan meninggalkan pendapat orang-

8
orang yang saya kehendaki pula, kemudian saya tidak keluar dari pendapat mereka kepada
selainnya.”
Imam Abu Hanifah tidak melihat adanya pendapat seseorang dari mereka sebagai hujjah. Maka
ia berhak mengambil pendapat orang yang ia kehendaki di antara mereka, tetapi ia meninggalkan
pendapat yang bertentangan secara keseluruhan. Ia juga melarang penggunaan qiyas dalam suatu
kasus, selama ada fatwa dari sahabat mengenainya, bahkan ia akan mengambil salah satu di antara
pendapat mereka.
Barangkali orientasi pendapatnya ialah bahwa perbedaan pendapat dua sahabat mengenai
hukum suatu kasus rnerupakan ijma' dari mereka yang berarti tidak ada pendapat yang ketiga.
Selanjutnya perbedaan pendapat mereka sampai pada tiga pendapat merupakan ijma’ dari mereka,
bahwasanya tidak ada pendapat yang keempat. Oleh karena itu, keluar dari ijma' mereka.
Penjelasan dari perkataan Imam Syafi’i, bahwasanya ia tidaklah memandang pendapat
seseorang tertentu dari mereka sebagai hujjah, dan ia membolehkan untuk menentang pendapat
mereka secara keseluruhan, serta memperbolehkan berijtihad dalam istimbath pendapat yang lain.
Hal ini karena pendapat mereka juga merupakan ijtihad secara individu yang dilakukan oleh
perorangan yang tidak terpelihara dari dosa. Sebagaimana seorang sahabat boleh bertentangan
pendapat dengan sahabat lain, maka boleh pula para mujtahid sesudahnya menolak pendapat dari
para sahabat. Oleh karena inilah, Imam Syafi'i berkata:

،‫ َو َذالِكَ ْال ِكتَابُ َوال ُّسنَّةُ اَوْ َما قَالَهُ اَ ْه ُل ْال ِع ْل ِم اَل يَ ْختَلِفُوْ نَ فِ ْي ِه‬.‫ء اِاَّل ِم ْن ِجهَ ِة َخبَ ٍر اَل ِز ٍم‬‰ُ ‫اَل يَجُوْ ُز ْال ُح ْك ُم اَ ِوااْل ِ ْفتَا‬
‫ْض هَ َذا‬ ِ ‫اس َعلَى بَع‬ ‰ٌ َ‫اَوْ قِي‬

"Tidak boleh menetapkan hukum atau memberikan fatwa kecuali dari segi berita yang pasti, yang
datang dari kitab al-Qur'an dan as-Sunnah, atau apa yang dikatakan oleh para ahli ilmu, di mana
mereka tidak berbeda pendapat padanya, atau dengan mengadakan qiyas.”

9
BAB III
PENUTUP

Istishab berasal dari kata istishaba dalam istif’al yang berarti istimrar alshahabah (sahabat) yang
artinya dalam lughawi yaitu selalu menyertai atau menemani. Para ulama ushul fiqh mengutarakan
bahwa istishab terdapat 4 macam, yaitu : Istishab al-Ibaḥah al-Ashliyyah, Istishab al-Bara`ah al-
Ashliyyah, Istishab an-nasbsbi Istishab Maqlub (pembalikan), dan Istishab al-Washfi al-Satibi.
Terdapat 3 perbedaan pendapat para ulama ushul fiqh mengenai istishab sebagai sumber hukum:

1. Istishab merupakan dalil / hujjah sebagai penetapan hukum.


2. Istishab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam segi hukum.
3. Istishab merupakan hujjah yang tidak dapat untuk menetapkan hukum baru.

Relevansi istishab sebagai sumber hukum islam terdapat dalam beberapa ayat al-Qur'an dan
hadist. Istishab merupakan satu pertimbangan dalam menetapkan suatu hukum salah satunya dalam
bidang muamalah (hukum ekonomi syariah). Imam Abu Hanifah tidak melihat adanya pendapat
seseorang dari mereka sebagai hujjah. Maka ia berhak mengambil pendapat orang yang ia
kehendaki di antara mereka, tetapi ia meninggalkan pendapat yang bertentangan secara
keseluruhan. Ia juga melarang penggunaan qiyas dalam suatu kasus, selama ada fatwa dari sahabat
mengenainya, bahkan ia akan mengambil salah satu di antara pendapat mereka.

10
DAFTAR PUSTAKA

Haries, A., & Rahmi, M. (2021). Ushul fikih: komprehensif teori, sumber ukum dan metode
istinbath hukum. Bening Media Publishing.

Hayatudin, A. (2021). Ushul fiqh: jalan tengah memahami hukum islam. Bumi Aksara.

Gunawan Belinda. (2020). Analisis yuridis pendidikan jarak jauh dalam perspektif hak asasi
manusia dalam uandang-undang dasar nri 1945 pada masa pandemi covid-19 di Indonesia.
Jurnal HAM, Vol. 11, No. 3, hlm. 13.

Sugianto, E. (2020). Istishab sebagai dalil syar’i dan perbedaan ulama tentang kedudukannya.
Studia. Vol. 5, No. 1.

Habibi., Lutfillah, M., & Toni A, R, C. (2017). Membangun integrasi takaful dan wakaf model
dalam upaya meningkatkan kemanfaatan pemegang polis.

Rosyadi, I. (2020). Muhammad muinudinillah basri, ushul fikih hukum ekonomi syariah,
muhammadiyah university press.

Hermawan, I. Ushul fiqh kajian hukum islam, hidayatul qur’an. (2019).

Rosyid, M. (2016). Istishab sebagai pemecah masalah kekinian. Jurnal Hukum dan Pemikiran, Vol.
18, No. 1.

Mufid, M. (2021). Ushul fiqh ekonomi dan keuagagn kontemporer. Kencana. Panji Adam Agus
Putra, Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial, dan Sains, Vol. 10, No. 1.

11

Anda mungkin juga menyukai