Al-Istishab
Istishab secara etimologi berasal dari kata is-tash-ha-ba yang bermakna: menemani atau
menyertai. Sedangkan istishab secara terminologi, Imam Ibnu al-Subki mendefinisikannya
sebagai:
“Menetapkan hukum atas masalah hukum yang kedua berdasarkan hukum yang pertama karena
tidak ditemukan dalil yang mengubahnya.(Rasyid, 2018)
al-Istishab secara terimologi berasal dari kata “istashhaba” dalam sighat istif’al (
)استفعالyang bermakna الصحبة استمرارkalau kata الصحبةdiartikan dengan teman atau sahabat dan
تمرارRR اسdiartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara etimologi artinya selalu
menemani atau selalu menyertai. Sedangkan pengertian al-istishhab menurut Hasby Ash-
Shiddiqy
هRRو تRRوجب ظن ثبRR نعدام الغير اعتقاد كون الشىء فى الما ضى اوالحا ضر ي. ابقاء ما كا ن على ما كا ن عليه
في الحال واالستقبا ل.
"Mengekalkan apa yang sudah ada atas keadaan yang telah ada,karena tidak ada yang mengubah
hukum atau karena sesuatu hal yang belum di yakini". (Shalihah, 2018)
Konsep istishab sebagai metode hukum mengandung tiga unsur pokok, yakni:(Isnaini,
2021)
Waktu. Istishab menghubungkan tiga waktu sebagai satu kesatuan yaitu waktu lampau, sekarang,
dan yang akan datang. Ketiganya dalam istishab dianggap sama nilainya sampai terbukti ada
perubahan karakteristik hukum yang melekatnya.
Ketetapan hukum. Ada dua ketetapan hukum, yaitu ketetapan hukum boleh (isbat) dan ketetapan
hukum yang tidak membolehkan (nafy).
Dalil. Istishab sebagai metode penetapan hukum berpusat pada pengetahuan seseorang atas dalil
hukum. Pengetahuan inilah yang menjadi kerangka dasar dalam menetapkan posisi hukum
asalnya.
Abu Zahrah membagi istishab menjadi empat macam, yaitu:(Rasyid, 2018)
Istishab yang didasarkan pada hukum asal, yaitu mubah (boleh). Penerapan
kaidah ini banyak terkait dengan masalah-masalah muamalah, seperti terkait makanan
dan minuman, selama tidak ada dalil yang melarangnya, maka hal tersebut
diperbolehkan. Sebab, pada dasarnya segala sesuatu di bumi ini diperuntukan oleh Allah
bagi kehidupan manusia.
Istishab ini berdasarkan prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari taklif
(beban), sampai adanya dalil yang mengubah status tersebut. Atas dasar ini, manusia
bebas dari kesalahan sampai ada buktinya.
3. Istishab Al-Hukmi
Didasarkan atas tetapnya hukum yang sudah ada sampai ada dalil yang
mencabutnya. Contohnya, seseorang yang sudah jelas melaksanakanakad pernikahan,
maka status pernikahan tersebut berlaku sampai terbukti adanya perceraian.
4. Istishab Al-Washfi
Istishab yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada dan diketahui
sebelumnya, sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat air yang diketahui suci
sebelumnya akan tetap suci sampai ada bukti yang menunjukkan air itu menjadi najis.
Dalam hokum pidana, konsep istishab sangat relevan dengan asas praduga tak bersalah,
di mana seorang terdakwa ketika menjalani proses peradilan dianggap tidak bersalah sampai ada
bukti hukum material bahwa orang tersebut dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Bidang Hukum Perdata
Penerapan konsep istishab dalam hukum perdata berlaku dalam bidang perikatan
ekonomi, bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari segala tanggungan berupa kewajiban
perdata.
Misalnya, jika seorang penggugat melaporkan tergugat ke pengadilan dengan gugatan untuk
melunasi hutangnya, tergugat berhak untuk menolaknya hingga penggugat mampu membuktikan
di pengadilan.
Hukum Perkawinan
Jika menuruti konsep istishab, praktik nikah siri dianggap tidak pernah. Sebab, sesuai
dengan Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa, suatu perkawinan baru
dinyatakan sah secara hukum negara jika dapat dibuktikan dengan akte nikah melalui pencatatan
perkawinan. Bukti ini sekaligus menjadi tanda lahirnya hak dan kewajiban baru bagi pasangan
suami istri.
Syar`u secara etimologi berarti mengalir. Syariat adalah bentuk isim fa`ilnya secara bahasa
adalah tempat yang didatangi orang yang ingin minum yang dilintasi manusia untuk
menghilangkan rasa haus mereka. Syariat juga diartikan sebagai jalan yang lurus atau thariqatun
mustaqimatun sebagaimana diisyarakan dalam Alquran Surat Al-Jatsiyah: 18.2. Dalam kaitannya
dengan syariat Islam, maka dapat dikatakan bahwa syariat adalah hukum yang dibawa oleh Nabi
Muhammad. yang didalamnya terdapat berbagai aturan yang diperuntukkan bagi manusia. Beni
menukil tulisan Al-Maududi bahwa syariat merupakan ketetapan Allah dan RasulNya yang berisi
ketentuanketentuan hukum dasar yang bersifat global, kekal, dan universal yang diberlakukan
bagi semua hambaNya berkaitan dengan masalah akidah, ibadah, dan muamalah. Dengan
demikian, Syar`u Man Qablana adalah hukum-hukum Allah yang dibawa oleh para Nabi/Rasul
sebelum Nabi Muhammad Saw. dan berlaku untuk umat mereka pada zaman itu.(Yazid, 2018)
Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan Syar’u Man Qablana dengan arti hukum-
hukum Allah yang disyariatkan kepada umat terdahulu melalui nabi-nabi mereka, seperti Nabi
Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Dawud dan Nabi Isa ‘alaihimussalam. Secara istilah Syar’u Man
Qablana merupakan ketentuan hukum Allah swt yang dibawa oleh para nabi mereka dan
disyariatkan kepada umatnya. Para ulama berbeda pendapat, apakah Syar’u Man Qablana
menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad atau tidak. (Sunnatullah, 2021)
1. Syar’u Man Qablana yang disebut dalam al-Qur’an atau hadits, dan dinyatakan masih berlaku
Ada Syar’u Man Qablana yang disebutkan dalam al-Qur’an atau hadits. Namun syariat
itu dinyatakan oleh al-Qur’an atau hadits masih berlaku. Misalnya:
2. Syar’u Man Qablana yang disebut dalam al-Qur’an atau hadits, dan dinyatakan sudah tidak
berlaku
Ada syariat yang berlaku untuk umat terdahulu, namun kemudian dihapus oleh syariat
Nabi Muhammad Saw. Misalnya:
Allah mengharamkan semua binatang yang berkuku, lemak sapi dan domba, kecuali yang
melekat di punggungnya, atau yang dalam isi perutnya, atau yang bercampur dengan tulang bagi
orang-orang Yahudi.
3. Syar’u Man Qablana yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an maupun hadits
Di dalam syariat para nabi sebelumnya Nabi Muhammad Saw. tentunya terdapat banyak
hukum yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an maupun hadits. Inilah yang kemudian kita kenal
sebagai Israiliyat.
4. Syar’u Man Qablana yang disebutkan dalam al-Qur’an atau hadits dan tidak ada keterangan
apakah masih berlaku atau tidak
Adakalanya dalam al-Qur’an dan hadits itu disebutkan syariat umat terdahulu. Namun
tidak diterangkan, apakah syariat itu masih berlaku untuk umat Nabi Muhammad ataukah tidak.
Misalnya:
Mahar Nabi Musa alaihis salam ketika menikah dengan putri Nabi Syu’aib adalah bekerja
padanya selama beberapa tahun.
Rasyid, M. (2018). Metode Istishab dan Aplikasinya dalam Hukum Islam | NU Online. Nu.or.Id.
https://islam.nu.or.id/syariah/metode-istishab-dan-aplikasinya-dalam-hukum-islam-pp09z
Sunnatullah. (2021). Ushul Fiqih: Penjelasan Perihal Syar’u Man Qablana | NU Online.
https://islam.nu.or.id/syariah/ushul-fiqih-penjelasan-perihal-syar-u-man-qablana-ZzRJY