Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH ISTIṢḤĀB

PENDAHULUAN Latar Belakang dan Rumusan Masalah


Sumber hukum Islam -dalam kajian Ushul Fikih- ada 2 kategori, yaitu sumber
hukum yang disepakati (muttafaq ‘alayh) dan sumber hukum yang tidak disepakati
(mukhtalaf fīh). Sumber hukum yang disepakati yaitu Alqur’an dan Al-Sunnah, Ijma ’,
dan Qiya s. Sedangkan sumber hukum Islam yang tidak disepakati yaitu istih sa n,
istis h a b, istis la h , ‘urf, dan sebagainya. 1 Semua sumber hukum tersebut
diaplikasikan guna merealisasikan kemaslahatan manusia, di dunia dan akhirat. 2
Termasuk istiṣḥāb yang menjadi focus tulisan ini.
Dalam peristilaan ahli ushul, Istiṣḥāb berarti menetapkan hukum menurut
keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam
ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang
ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang
mengubah ketentuan itu.
Melalui latar belakar tersebut, beberapa hal yang hendak didiskusikan dalam
tulisan ini yaitu definisi, pembagian, macam-macam, syarat-syarat, kehujahan, dan
hubungannya dengan kasus kekinian.

PEMBAHASAN Pengertian Istiṣḥāb


Secara lughawi (etimologi) Istiṣḥāb itu berasal dari kata ‫ طلب الصح ب ة‬kata

ṣuḥbah berarti membandingkan lalu mendekaktkan. Dengan dekimian, secara

bahasa istiṣḥāb ialah mendekatkan suatu peristiwa dengan hukum tertentu dengan

peristiwa lainnya, sehingga keduanya dinilai sama status hukumnya.


Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi yang
dikemukakan oleh para ulama sebagai mana ditulis oleh Rosyid,3 di antaranya ialah:

0
‫عبارة عن‬.4Al-Ghazzālī memaknai Istiṣḥāb sebagai berikut
‫التمسك بدليل عقلي او شرعي و ليس راجعا الى عدم العلم بالدليل بل الى دلبل مع العلم بالنتفاء املغير او مع‬
‫ظن انتفاء املغير عند بذال لجهد فى البحوث الطلب‬
Artinya: tetap berpegang teguh dengan dalil akal atau dalil syar’i, bukan karena tidak
mengetahui adanya dalil, melainkan karena mengetahui tidak adanya dalil yang
mengubahnya setelah berusaha keras mencari.
Ibn al-Qayyim al-Jawziyah dan ‘Abdul-Karim Zayda n 5 memaknainya dengan
menetapkan keberadaan sesuatu yang sudah ada sebelumnya dan meniadakan keberadaan
sesuatu yang memang tidak ada sebelumnya.
Istiṣḥāb juga dapat berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di
masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang selama tidat terdapat yang
mengubahnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Istiṣḥāb adalah menetapkan
berlakunya suatu hukum yang telah ada sebelum ada dalil atau bukti yang
mengubah hukum tersebut.6

Syarat-Syarat Istiṣḥāb
Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat bahwa
hakhak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap
hakhaknya terdahulu.
Hanafiyyah dan Malikiyah membatasi Istiṣḥāb terhadap aspek yang menolak saja
dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak, tetapi
tidak untuk mentsabitkan.

Macam-Macam Istiṣḥāb
Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa Istiṣḥāb ada 5 macam yang sebagian
disepakati dan sebagian lain diperselisihkan. Kelima macam Istiṣḥāb itu adalah:7
1. Istiṣḥāb hukum Al-Ibahah Al-Asliyyah
Maksudnya menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh
selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misalnya seluruh
pepohonan di hutan adalah merupakan milik bersama umat manusia dan masing-
masing orang berhak menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada

1
bukti yang menunjukkan bahwa hutan tersebut telah menjadi milik sesorang.
Berdasarkan ketetapan perintah ini, maka hukum kebolehan memanfaatkan hutan
tersebut berubah menjadi tidak boleh. Istiṣḥāb seperti ini menurut para ahli ushul
fiqih dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.
2. Istiṣḥāb yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus.
Misalnya hukum wudhu seseorang yang telah berwudhu dianggap berlangsung
terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang
merasa ragu apakah wudhunya masih ada atau sudah batal, maka berdasarkan
Istiṣḥāb wudhuya dianggap masih ada karena keraguan tidak bisa
mengalahkan keyakinan. Hal ini sejalan dengan Sabda Rasul “Jika seseorang
merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu apakah ada sesuatu yang
keluar atau tidak, maka sekali- kali janganlah ia keluar dari masjid
(membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau mencium bau
kentut. (HR. Muslim dan Abu Hurairah). Istiṣḥāb bentuk kedua ini terdapat
perbedaan pendapat ulama ushul fiqih. Inu Qayyim al- Jauziyyah berpendapat
bahwa Istiṣḥāb seperti ini dapat dijadikan hujjah.
Ulama’ Hanafiyah berpendirian bahwa pendapat seperti ini hanya bisa dijadikan
hujjah untuk menetapkan dan menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak bisa
dijadikan hujjah untuk hukum yang belum ada.
Imam Ghazali menyatakan bahwa Istiṣḥāb hanya bisa dijadikan hujjah apabila
didukung oleh nash atau dalil, dan dalil itu merujukkan bahwa hukum itu masih

7 Muh ammad Abu Zahrah, Uṣūl Al-Fiqh (Kairo: Da r al-Fikr al-’Arabī, n.d.),
297–99; Abu Bakr Muh ammad ī bn Ah mad Ibn Abī Sahl Al-Sarakhsī, Uṣūl Al-Sarakhsī
(Mesir: Da r al-Kita b al-‘Arabi, n.d.), 224.
tetap berlaku dan tidak ada dalil yan laing yang membatalkannya.
Sedangkan Ulama Malikiyah menolak Istiṣḥāb sebagai hujjah dalam beberapa kasus,
seperti kasus orang yang ragu terhadap keutuhan wudhunya. Menurut mereka
dalam kasus seperti ini Istiṣḥāb tidak berlaku, karena apabila sesorang merasa regu
atas keutuhan wudhunya sedangkan sedangkan di dalam keadaan shalat, maka
shalatnya batal dan ia harus berwudhu kembali dan mengulangi shalatnya.
3. Istiṣḥāb terdapat dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang
menghususkannya dan Istiṣḥāb dengan nash selama tidak ada dalil

2
nasakh(yang membatalkannya). Contoh Istiṣḥāb dengan nash selama tidak ada
yang menasakhkannya.
Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam
tetap wajib bagi umat Islam berdasarkan ayat di atas, selama tidak ada nash lain
yang membatalkannya. Kasus seperti ini menurut Jumhur ulama’ ushul fiqih
termasuk Istiṣḥāb. Tetapi menurut ulama ushul fiqih lainnya, contoh di atas tidak
dinamakan Istiṣḥāb tetapi berdalil berdasarkankaidah bahasa.8
4. Istiṣḥāb hukum akal sampai adannya hukum syar’i
Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan hukum syar’i sebelum datangnya syara’.
Seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat
manusia,sampai datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum. Misalnya
seseorang menggugat orang lain bahwa ia berhutang kepadanya sejumlah uang,
maka penggugat berkewajiban untuk mengemukakan bukti atas tuduhannya,
apabila tidaksanggup, maka tergugat bebas dri tuntutan dan ia dinyatakan tidak
pernah berhutang pada penggugat. Istiṣḥāb seperti ini diperselisihkan menurut
ulama Hanafiyah, Istiṣḥāb dalambentuk ini hanya bisa menegaskan hukum yang
telah ada, dan tidak bisa menetapkan hukum yang akan datang.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syati’iyah, dan Hanabilah, Istiṣḥāb seperti ini
juga dapat menetapkan hukum syar’i, baik untuk menegaskan hukum yang telah ada
maupun hukum yang akan datang.
5. Istiṣḥāb hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’ itu

6.

Istiṣḥāb sepeti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujahannya. Misalnya para
ulama fiqih menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang
boleh bertayamum untuk mengerjakan shalat. Tetapi dalam keadaan shalat, ia
melihat ada air, apakah shalat harus dibatalkan ?9
Menurut ulama’ Malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh membatalkan
shalatnya, karena adanya ijma’ yang mengatakan bahwa shalatnya sah apabila
sebelum melihat air. Mereka mengaggap hukum ijma’ tetap berlaku sampai adanya
dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan shalatnya kemudian
berwudhu dan mengulangi shalatnya.

3
Ulama Hanabilah dan Hanafiyyah mengatakan orang yang melakukan shalat dengan
tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya unruk
berwudhu. Mereka tidak menerima ijma’ karena ijma’ menurut mereka hanya terkait
denganhukum sanya shalat bagi orang dalam keadaan tidak adanya air, bukan
keadaan tersedianya air.10

Contoh Istiṣḥāb:
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka
berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama
berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat
kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada
perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah.
Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara
A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan Istiṣḥāb.

Dasar Hukum Istiṣḥāb


Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya
Istiṣḥāb itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada

9Alauddin Koto, Ilmu Fiqhi dan Ushul Fiqih. Cet. 1; (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2004)
hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang
pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan.
Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan
hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari
contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C, maka akan terjadi
perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara
yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang halal dengan yang haram.11

Kehujjahan Istiṣḥāb
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan isthishab ketika tidak
ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi:

4
Ulama Hanafiyah: menetapkan bahwa Istiṣḥāb itu dapat menjadi hujjah untuk
menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda
(kebalikan) dengan penetapan hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu
hukum yang baru. Dengan kata lain isthishab itu adalah menjadi hujjah untuk
menetapkan berlakunya hukum yang telah ada dan menolak akibat-akibat hukum
yang timbul dari ketetapan yang berlawanan dengan ketetapan yang sudah ada,
bukan sebagai hujjah untuk menetapkan perkara yang belum tetap hukumnya.
Ulama mutakallimin (ahli kalam): bahwa Istiṣḥāb tidak bisa dijadikan dalil, karena
hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adil. Demikian juga
untuk menetapkan hukum yang sama pada 12masa sekarang dan yang akan datang,
harus pula berdasarkan dalil. Alasan mereka, mendasarkan hukum pada Istiṣḥāb
merupakan penetapan hukum tanpa dalil, karena sekalipun suatu hukum telah
ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil. Namun, untuk memberlakukan
hukum itu untuk masa yang akan datang diperlakukan dalil lain. Istiṣḥāb, menurut
mereka bukan dalil. Karenanya menetapkan hukum yang ada d i masa lampau
berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum
tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan syara’.

Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah: bahwa Istiṣḥāb bisa
menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama
belum ada yang adil mengubahnya.Alasan mereka adalah, sesuatu yang telah
ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada adil yang mengubahnya, baik secara
qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif), maka semestinya hukum yang telah
ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga keras belum ada perubahannya.
Menurut mereka, suatu dugaan keras (zhan) bisa dijadikan landasan hukum. Apabila
tidak demikian, maka bisa membawa akibat kepada tidak berlakunya seluruh
hukum-hukum yang disyari’atkan Allah SWT. dan Rasulullah SAW. Akibat hukum
perbedaan kehujjahan Istiṣḥāb: Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah,
Zhahiriyah, dan Syi’ah, orang hilang berhak Menerima pembagian warisan
pembagian warisan dari ahli warisnya yang wafat dan bagiannya ini disimpan
sampai keadaannya bisa diketahui, apakah masih hidup, sehingga harta waris itu

5
diserahkan kepadanya, atau sudah wafat, sehingga harta warisnya diberikan kepada
ahli waris lain. Menurut ulama Hanafiyah, orang yang hilang tidak bisa menerima
warisan, wasiat, hibah dan wakaf, karena mereka belum dipastikan hidup.
Sebaliknya, harta mereka belum bisa dibagi kepada ahli warisnya, sampai keadaan
orang lain itu benar-benar terbukti telah wafat, karena penyebab adanya waris
mewarisi adalah wafatnya seseorang. Alasan mereka dalam hal ini adalah karena
istishhab bagi mereka hanya berlaku untuk mempertahankan hak (harta orang
hilang itu tidak bisa dibagi), bukan untuk menerima hak atau menetapkan hak
baginya (menerima waris, wasiat, hibah dan wakaf).

Relevansi Istiṣḥāb dengan Kasus Kekinian


Prinsip Istiṣḥāb yakni melanggengkan hukum lama untuk dipraktikkan pada
sekarang atau masa depan, dapat diterapkan pada banyak kasus. Ia dapat dijadikan
sebagai solusi rangka menjawab masalah-masalah kekinian.13 Dalam bidang pidana,

PENUTUP Kesimpulan
Istiṣḥāb merupakan landasan hukum yang masih diperselisihkan akan tetapi kita
sebagai umat Islam sepatutnya kita mempelajari dan mengatahui setiap
hukumhukum yang ada.
Istiṣḥāb merupakan suatu hukum yang menganggap tetapnya status sesuatu seperti
keadaanya semula selama belum terbukti sesuatu yang mengubahnya.
Dalam melihat hukum Istiṣḥāb, kita jangan melihat jangan melihat dari satu sudut
pandang saja, akan tetapi mempejari secara cermat mengenai seluk beluk Istiṣḥāb
itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai