Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

CONTOH CONTOH DARI ISTISHAB

Oleh :

1. Ezi Gustari (30022028)


2. Ivana Putri Hermawan (30022029)
3. Mery Afriyanti (30022031)

Disusun untuk memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Ushul Fiqh


Dosen Pengampu : Ustadz Jendrizal, S.Ag, MH

MA’HAD ALY SUMATERA THAWALIB PARABEK


JURUSAN FIQIH DAN USHUL FIQIH
T/A 1441 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami curahkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala limpahan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu
acuan,petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.Sholawat berangkaikan kata Mutiara salam kita
limpahkan kepada Rasulullah Nabi Muhammad Shollahu ‘Alaihi Wasalam.

Karena pada akhirnya kami dapat menyelesaika makalah ini dengan sebaik mungkin. Melalui
makalah ini kami kami juga mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu Riki Zulfiko,SH.,MH
yang turut membantu terselesainya makalah ini.

Dalam makalah ini kami membahas tentang Larangan Cadar dalam Prespektif Negara
Pancasila untuk itu semoga makalah yang kami buat dapat menjadi dasar dan acuan agar kita lebih
memahami apa saja yang berkaitan tentang Larangan Cadar dalam Prespektif Negara Pancasila.

Bukittingi, 25 Oktober 2020


DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Pengertian Istishab
Istishab secara lughawy (etimologi)berasal dari kata is-tash-ha-ba (‫)استصحب‬ dalam
sighat istif’al (‫ )استفعال‬yang artinya ‫( طلب الصحابة‬mencari persahabatan), ‫( اعتبار الصحابة‬menganggap
bersahabat), dan ‫( طلب الصحبة‬mencari teman). Suhbah dimaknai dengan membandingkan sesuatu
kemudian mendekatkannya. Dengan demikian, secara lughowy (etimologi), dipahami
bahwa istishab yaitu mendekatkan suatu peristiwa dengan hukum tertentu dengan peristiwa
lainnya, sehingga keduanya dinilai sama status hukumnya.

Sedangkan secara istilahy (terminologi), para ulama ushul berbeda-beda dalam memberikan
makna istishab. Meskipun dengan redaksi yang berbeda namun secara substansi mengarah pada
makna yang sama, diantaranya:

a. Al-Syawkani, Istishab adalah tetapnya (hukum) sesuatu selama belum ada dalil lain yang
merubahnya.
b. Imam Ibnu al-Subki mendefinisikan istishab sebagai menetapkan hukum atas masalah
hukum yang kedua nerdasarkan hukum yang pertama karena tidak ditemukan dalil yang
merubahnya.
c. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengartikan istishab sebagai pertahanan hukum dengan cara
menetapkan hukum berdasarkan hukum yang sudah ada,atau meniadakan hukum atas dasar
tidak adanya hukum sebelumnya.
d. Wahbah Zuhaili memaknai istishab dengan menghukumi tetap atau hilangnya sesuatu pada
masa kini atau masa mendatang berdasar pada tetap atau hilangnya sesuatu tersebut di
masa lalu karena tidak ada dalil yang merubahnya.
e. Sedangkan definisi istishab menurut Al-Ghazali yaitu tetap berpegang teguh dengan dalil
akal atau dalil syar’i, bukan karena tidak mengetahui adanya dalil, melainkan karena
mengetahui adanya dalil yang mengubahnya setelah berusaha keras mencarinya.
f. ‘Abd al-‘Aziz al-Bukhari, mendefinisikan istishab dengan menyatakan tetap adanya sesuatu
pada masa kedua karena sesuatu tersebut memang ada pada masa pertama.
g. Abdul Wahab Khallaf, mendefinisikan istishab yakni menjadikan ketentuan hukum yang
telah tetap di masa lalu tetap berlaku pada saat ini sampai muncul keterangan tentang
adanya perubahan.
h. Shihab al-Din al-Zanjani al-Shafi’i, seorang ulama ushul fiqh mazhab Syafi’i mengartikan
bahwa istishab adalah mengambil dalil-dalil hukum dikarenakan ketiadaannya dalil atas
hukum tersebut, atau mengukuhkan apa yang pernah berlaku pada masa lalu dengan dalil.
i. Umar Maulud Abd al-Hamid, memberikan makna istishab yakni penetapan hukum pada
masa kedua sebagaimana yang telah ditetapkan pada masa pertama, maksudnya adalah
menetapkan hukum yang mana hukum tersebut telah ada pada zaman sebelumnya,
sehingga tinggal penetapan dari hukum tersebut.
j. al-Asnawy menyatakan bahwa istishab adalah penetapan (keberlakuan) hukum terhadap
suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya,
karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).

Dari berbagai definisi yang telah disebutkan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa pada
prinsipnya istishab adalah suatu metode hukum yang sudah ada sebelumnya selama belum ada dalil
(bukti hukum) baru yang menyatakan sebaliknya. Dengan makna lain, istishab bukanlah
merumuskan hukum yang murni baru, akan tetapi justru mencari hukum sekarang yang didasarkan
pada hukum lama.

 Imam Abu Zahrah dalam kitab Ushul al-Fiqh membagi istishab ke dalam empat hal, yaitu:
Pertama, istishab al-bara’ah al-ashliyyah. Dari sini, para ulama merumuskan kaidah fiqih:
‫“ اَألْص ُل َبَر اَء ُة الِّذ َّم ة‬Pada dasarnya setiap orang itu terbebas dari tanggungan.” Penerapan
Istishab ini misalnya, Ahmad mengklaim bahwa Bisri memiliki utang sebesar Rp100.000,
tetapi Bisri tidak mengakuinya. Dalam hal ini, yang dimenangkan adalah pihak Bisri. Sebab,
pada dasarnya, Bisri terbebas dari tanggungan kepada Ahmad, kecuali jika Ahmad mampu
mengajukan bukti yang memperkuat pengakuannya.
 Kedua, istishab al-ibahah al-ashliyyah, yakni istishab yang didasarkan atas hukum asal, yaitu
mubah. Dari istishab ini, para ulama menetapkan kaidah: ‫اَألْص ُل ِفي اَألْش َياِء اِإل َباَح ُة َح َّتى َيُدَّل الَّد ِلْيُل َع َلى‬
‫“ الَّتْح ِرْيِم‬Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang
mengharamkannya.” Contohnya, jerapah tidak dijelaskan status halal-haramnya dalam
Alquran maupun hadits. Di sisi lain, hewan ini tidak memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh
hewan-hewan yang telah dijelaskan hukum keharamannya. Berdasarkan hal ini, ulama
menghalalkan jerapah.
 Ketiga, istishab al-hukm yaitu menetapkan hukum yang sudah ada dan berlaku pada masa
lalu sampai sekarang, hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Istishab al-hukm ini
melahirkan kaidah fiqih: ‫“ اَألْص ُل َبَقاُء َم ا َك اَن َع َلى َم ا َك اَن‬Pada dasarnya, sesuatu yang telah
memiliki kepastian hukum tertentu ditetapkan sebagaimana keadaan hukum semula.”
Penerapan Istishab al-hukm dalam hukum Islam misalnya seseorang hendak berpuasa,
kemudian ia makan sahur. Namun ia ragu, apakah sewaktu makan sahur masih tersisa waktu
sahur ataukah sudah masuk waktu puasa. Dalam kasus ini, puasa orang tersebut tetap
dianggap sah. Sebab, ia meyakini bahwa waktu itu merupakan waktu sahur.
 Keempat, istishab al-wasf, yaitu Istishab yang didasarkan pada anggapan masih tetapnya sifat
yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat hidup
yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia
telah wafat. (Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t,
halaman 297-299). Istishab keempat ini memunculkan kaedah fiqih berbunyi: ‫الَيِقْيُن اَل ُيَزاُل‬
‫ِبالَّش ِك‬ “Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.”
B. Contoh – contoh Istishab

1. Suami menceraikan isterinya talak satu atau tiga.


Seorang suami menjatuhkan talak pada isterinya, tetapi ia ragu apakah yang
dijatuhkan itu thalak tiga atau thalak satu. Menurut mayoritas ulama talak yang jatuh adalah
talak satu, sementara menurut imam Malik, talak yang jatuh adalah talak tiga.
Perbedaan ini timbul karena adanya perbenturan antara dua prinsip: pertama, tetap
berlakunya sifat (keadaan) semula sebagai suami istri (yang boleh berhubungan badan)
sebelum talak, sampai ada hal-hal yang mengubahnya. Dalam hal ini telah terjadi hal yang
mengubah keadaan itu yaitu talak dengan sifat yang meragukan. Oleh karena itu sifat boleh
bergaulnya suami-isteri belum hilang. Kedua, bahwa talak itu berlaku secara meyakinkan.
Namun dalam hal ini terjadi keraguan tentang apakah boleh rujuk atau tidak. Padahal rujuk
itu tidak dapat ditetapkan dengan hal yang meragukan.
Dalam pandangan penulis, pendapat mayoritas ulama yang menyatakan jatuh talak
satu merupakan pendapat yang kuat dan lebih maslahat bagi suami dan isteri. Sebab,
kemaslahatan mempertahankan pernikahan lebih diutamakan dari pada melepaskan tali
pernikahan.

2. Hukum tayammum seseorang yang mendapatkan air ketika sedang shalat.

Ulama sepakat bahwa jika seseorang menemukan air sebelum melaksanakan shalat
maka tayammum-nya batal, sebagaimana mereka sepakat bahwa jika ia menemukan air
setelah selesai melaksanakan shalat maka shalatnya dianggap sah. Tetapi mereka berbeda
pendapat jika orang tersebut menemukan air ketika sedang shalat, apakah tayammumnya
batal dan ia wajib menggunakan air lalu memulai shalat lagi ataukah tayammumnya tidak
batal, sehingga ia meneruskan shalatnya?
Imam Syafi’i dan imam Malik berpandangan, tayammum-nya tidak batal sehingga ia
bisa meneruskan shalatnya. Mereka beralasan bahwa tayammum dan shalatnya dihukumi
sah, sehingga hukum sah itu berlaku sampai shalatnya selesai.
Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat, tayammum dan shalatnya batal sehingga
ia harus bersuci dengan air lalu memulai shalat kembali.
Penulis berpandangan, pendapat Imam Syafi’i dan imam Malik yang berpandangan
bahwa tayammum-nya tidak batal adalah pendapat yang lebih kuat. Sebab, pendapat ini
mengandung kemudahan, dan kemudahan merupakan prinsip penting dalam agama Islam.

3. Asas praduga tak bersalah dalam hukum pidana

Dalam hukum pidana khususnya yang berlaku di Indonesia, berlaku asas praduga tak
bersalah.[34] Seseorang yang sedang menjalani proses persidangan tidak boleh dihukumi
bersalah sampai ada bukti formil dan materiil serta dijatuhkan putusan oleh pengadilan
bahwa ia telah melakukan tindak pidana. Asas ini, dalam hukum pidana Islam dikenal
dengan asas legalitas.[35]
Asas praduga tak bersalah juga relevan dengan konsep Istishab al-bara’ah al-asliyyah (
‫)استصحاب البراءة االصلية‬, yaitu istishab yang menetapkan hukum dengan berpegang pada
prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang itu bebas dari tuntutan beban sehingga
ditemukan dalil yang menyatakan sebaliknya.
4. Kasus wanprestasi dalam hukum perdata

Konsep istishab juga dapat kita jumpai penerapannya dalam hukum perdata, misalnya di
bidang perikatan ekonomi. Pada prinsipnya, seseorang adalah bebas dari segala bentuk
tanggungan kewajiban perdata. Jika seseorang (Penggugat) mengajukan gugatan ke
pengadilan dengan mendalilkan seseorang (Tergugat) telah melakukan wanprestasi, maka
Tergugat berhak untuk menolaknya sehingga Penggugat dapat membuktikan dalil
gugatannya di pengadilan.
Hal ini sejalan dengan teori pembuktian Umar bin Khattab yang dapat kita temui dalam
Risalah Umar, yaitu risalah yang dikirimkannya kepada Abu Musa Al-Asy‟ari r.a., di
dalamnya tercantum pedoman bagaimana seharusnya peradilan dilaksanakan dan
bagaimana sikap seorang hakim dalam melaksanakan tugasnya. .Teori pembuktian Umar
adalah sebagai berikut:[36]
‫البينة على من ادعى واليمين على من أنكر‬
“Beban pembuktian bagi orang yang menggugat, dan sumpah dibebankan
kepada yang digugat”
Penulis berpendapat bahwa berdasarkan konsep istishab, seorang Tergugat berada pada
posisi yang kuat dan benar selama Penggugat tidak bisa membuktikan dalil gugatannya. Hal
ini disebabkan karena pada prinsipnya hukum asalnya bahwa setiap orang tidak mempunyai
tanggungan hutang.

5. Bidang Hukum Perkawinan

Seorang laki-laki dan perempuan secara perdata tidak terdapat hubungan hak dan
kewajiban sebaggai sepasang suami istri sebelum keduannya dapat membuktikan bahwa
keduanya telah mengadakan akad nikah yang dibuktikan dengan bukti hukum seperti Akta
Nikah. Dengan demikian, hukum asal hubungan antara keduannya adalah bebas dan tidak
terikat. Aturan ini relevan dengan konsep “Istishâb al-Barâ’ah al-Ashliyyah”.
Dalam pandangan penulis, jika konsep istishab ini dihubungkan dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa suatu perkawinan dinilai sah menurut hukum
negara apabila dilakukan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing, dan dilakukan
pencatatan yang dibuktikan dengan adanya Akta Nikah, maka praktik pernikahan sirri secara
hukum negara dianggap tidak pernah ada.
Tuntutan akan adanya kepastian hukum dan menghindari dampak-dampak negative
yang ditimbulkan dari perkawinan yang tidak tercatat, merupakan beberapa alasan dari
pentingnya pencatatan perkawinan. Hal ini sesuai dengan prinsip ‫درء المفاسد مقدم على جلب‬
‫( المصالح‬menghindari kemafsadatan didahulukan daripada menarik kemaslahatan.

6. Hukum pidana

Dalam hukum pidana, konsep istishab sangat relevan dengan asas praduga tak bersalah, di mana
seorang terdakwa ketika menjalani proses peradilan dianggap tidak bersalah sampai ada bukti
hukum material bahwa orang tersebut dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
7. Hukum perdata

Penerapan konsep istishab dalam hukum perdata berlaku dalam bidang perikatan ekonomi,
bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari segala tanggungan berupa kewajiban perdata.
Misalnya, jika seorang penggugat melaporkan tergugat ke pengadilan dengan gugatan untuk
melunasi hutangnya, tergugat berhak untuk menolaknya hingga penggugat mampu membuktikan di
pengadilan.

8. Hukum Perkawinan

Jika menuruti konsep istishab, praktik nikah siri dianggap tidak pernah. Sebab, sesuai dengan
Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa, suatu perkawinan baru dinyatakan sah secara
hukum negara jika dapat dibuktikan dengan akte nikah melalui pencatatan perkawinan. Bukti ini
sekaligus menjadi tanda lahirnya hak dan kewajiban baru bagi pasangan suami istri.

9. Keraguan dalam berbuka puasa

Seseorang yang sedang puasa kemudian berbuka menjelang Maghrib tanpa adanya pengamatan dan
penelitian, kemudian timbul keraguan bahwa ada kemungkinan matahari belum terbenam dan
sudah masul waktu magrib atau belum, maka ibadah puasanya dihukumi batal, sebab menurut yang
asal adalah berlakunya hukum sebelum maghrib. Orang yang sedang berpuasa harus menninggalkan
hal-hal yang membatalkan puasa baik itu minum atau makan dan hal-hal lain yang membatalkan dan
inilah hukum yang awal, dalam istishab selama belum ada dalil/bukti untuk melaksanakan makan
dan minum ‘berbuka’ maka harus dikembalikan pada hukum asalnya yaitu berpuasa dan ketika
berbuka maka hukumnya batal puasanya.

‫من شك افعل شيئا ام ال فاالصل انه لم يفعل‬

Barangsiapa ragu-ragu apakah dia telah melakukan sesuatu atau belum, maka yang lebih kuat adalah
dia belum melakukan sesuatu.

‫االصل العدم‬

Hukum yang lebih kuat dari sesuatu itu asalnya tidak ada.

10. Seseorang memakan makanan orang lain

Seseorang makan makanan orang lain, ia mengatakan pemiliknya sudah mengizinkan, padahal
belum, dalam hal ini dibenarkan pemilik makanan, sebab makan makanan orang lain tidak boleh.
‫إستصحاب حكم ثابت باإلجماع في محل الخالف بين علماء‬

Istishab terhadap perkara hukum yang telah tetap yang dihasilkan dari ijma’ yang dalam
perkembangannya berpotensi memicu timbulnya perselisihan.

11. Bertayamum Ketika tidak ada air


Dimusim kemarau sekarang ini, para ulama bersepakat menetapkan bahwa tatkala tidak ada air
seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan sholat. Apabila dalam keadaan sholat dia melihat
ada air, apakah sholatnya harus dibatalkan untuk berwudlu atau diteruskan? Maka ada dua
pendapat dalam hal ini, Pertama, orang tersebut tidak boleh membatalkan sholatnya, karena adanya
ijma’ yang menyatakan bahwa sholat itu sah apabila dikerjakan sebelum melihat air. Hukum ijma’
tetap berlaku sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa sholat harus dibatalkan dan kemudian
berwudlu dan mengulang shalatnya. Kedua, orang yang melakukan shalat dengan tayamum dan
ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya, mereka tidak menerima ijma’ tentang
sahnya shalat yang bertayamum sebelum melihat air, karena ijma’ menurut mereka hanya terkait
dengan hukum sahnya shalat dalam keadaan tidak ada air, bukan dalam keadaan tersedia air.
Contoh yang lain, misalnya ada Seorang pembeli pulsa elektrik mengkomplain kepada pihak counter,
bahwa pulsa yang ia beli belum masuk, dan pihak counter menyatakan bahwa pulsa telah terkirim.
Maka istinbath hukum yang diambil adalah pulsa belum masuk/terkirim. Kecuali pihak counter bisa
menunjukkan bukti pengiriman elektrik bahwa pulsa telah terkirim kepada nomor si pembeli dengan
benar, baik nominal, hari/tanggal dan waktunya.
‫إستصحاب عدم األصلي المعلوم بالعقل في األحكام الشريعة‬

Istimbat hukum akal sampai datangnya hukum syari’. Maksudnya adalah umat manusia tidak
dikenakan hukum-hukum syar’i sebelum datangnya syara’ dan manusia terbebas dari beban hukum
dan akibatnya sampai datangnya hukum syara’ yang menentukan hukum.

12.
Seorang dept-collector menagih pelunasan kartu kredit senilai Rp 250.000.000,- (dua ratus lima
puluh juta rupiah) atas transaksi pada Hari Jum’at, 30 Oktober 2015 di Metro Lampung Indonesia
pukul 09.30 WIB kepada Bapak Agus sebagai pengguna kartu kredit premium (dimana pihak
penyedia jasa kartu kredit menyiapkan sejumlah dana besar untuk penggunanya yang kemudian
ditagihkan kepada pengguna sesuai dengan nominal transaksi yang ada), namun pengguna kartu
(Bapak Agus) membantah bahwa ia menggunakan kartu tersebut hingga ia menolak membayar
nominal yang dimaksud.
Pengguna (Bapak Agus) bisa membuktikan bahwa ia pada hari, tanggal dan jam tersebut berada di
Bandar Lampung dalam rangka kuliah di Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung, yang dia akui
hanyalah belanja dengan kartu tersebut di mall yang dilesensikan oleh penyedia jasa kartu kredit
dalam berbelanja sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Setelah memulai penelusuran yang cermat, ternyata ditemukan transaksi yang tidak sesuai dengan
pengguna kartu. Dan dinyatakan oleh pihak yang berwenang, bahwa kartu tersebut telah
dicrack oleh hacker untuk belanja mobil Toyota Innova Diesel sebesar Rp 245.000.000,- (dua ratus
empat puluh lima juta rupiah).
Maka istinbathu-al-hukm yang diambil adalah pengguna (Bapak Agus) tidak wajib membayar kepada
penyedia jasa kartu kredit kecuali apa yang diakui dan dinyatakan benar oleh pihak berwenang
sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Hal ini didasarkan pada kaidah ushul fikih yang
menyatakan (‫ )األصل براءة الذّم ة‬asal hukum bagi sesuatu adalah terlepas dari tanggung jawab.
‫إستصحاب حكم إباحة األشياء لألشياء‬

Penetapan berlakunya hukum yang menyatakan bolehnya asal segala sesuatu.

13.

Segala bentuk makanan, minuman atau sesuatu yang dimaksudkan untuk dikonsumsi pada dasarnya
adalah boleh. Sulitnya pekerja diluar negeri untuk menemukan minuman dan makanan yang
berlabel halal pada negara tempat mereka bekerja menjadikan bolehnya mereka untuk
mengkonsumsi apapun jenis makanan-minuman yang secara nyata tidak mengandung sesuatu yang
diharamkan. Hal ini juga didukung kaidah ushul ( ‫ )المشّقة تجلب التيسير‬kesulitan atas sesuatu menjadikan
mudahnya menentukan status hukum sesuatu.

‫إستصحاب المقلوب‬

Istishab terhadap kondisi kekinian dalam menentukan status hukum pada masa lampau yang
disebabkan pada bentuk istishab sebelumnya merupakan penetapan sesuatu pada masa kedua
berdasar pada penetapan masa pertama yang disebabkan tidak adanya dalil secara spesifik yang
menerangkannya.

14.
Bapak Lutfi tertuduh sebagai cracker yang membobol scuritas penyedia layanan kartu kredit dan
engcrack (membobol skuritas) kartu kredit milik (Bapak Agus) sebesar Rp 250.000.000,- (dua ratus
lima puluh juta rupiah) atas transaksi pada Hari Jum’at, 30 oktober 2015 di Metro Lampung
Indonesia pukul 09.30 WIB, hal ini dibuktikan bahwa email Hacker yang ditemukan pada scuritas
adalah milik Bapak Lutfi, begitu juga kode pengacak pin yang digunakan untuk mengcrack kartu
kredit juga ditemukan pada spam di email tersebut. Maka pihak berwajib menyita laptop tersebut
sebagai barang bukti dan menjadikan Bapak Lutfi sebagai tersangka.
Dalam penyidikan Bapak Lutfi mengaku baru menguasai teknologi informasi, email-pun dibuatkan
oleh isterinya, ia mengaku meminjamkan laptop tersebut kepada Bapak Juanda dari Selasa, 27
Oktober 2015 s/d Sabtu, 31 Oktober 2015, hal ini diperkuat kesaksian Rian Erwin (teman sekamar
Bapak Lutfi) dan Agus Rimanto (teman sekamar Bapak Juanda), kesaksian isteri Bapak Lutfi yang
menyatakan suaminya (Bapak Lutfi) pulang ke Pringsewu pada Selasa, 27 Oktober 2015 dengan tidak
membawa laptop yang dimaksud, dan kesaksian isteri Bapak Juanda yang menyatakan bahwa
suaminya (Bapak Juanda) membawa laptop sesuai dengan ciri-ciri milik Bapak Lutfi. Dan Bapak Agus
menyatakan bahwa password email disimpan dalam laptop tersebut.

Sedangkan Bapak Juanda tidak bisa menunjukkan alibi, bahwa ia tidak menggunakan laptop
tersebut, dan terbukti dari penyidikan bahwa ia seorang yang menguasai teknologi informasi, hal ini
terbukti bahwa ia adalah pengelola laboratorium komputer sekolahnya.

Maka istinbathu-al-hukm yang dicapai adalah Bapak Juanda dinyatakan sebagai tersangka pembobol
skuritas kartu kredit milik Bapak Agus.
DAFTAR ISI

Anda mungkin juga menyukai