Anda di halaman 1dari 10

ISTISHAB

Dosen Pengampu : Mohamad Toha Umar, M.A


Disusun Oleh :
1. Cahya Putri April Liana (224110103055)
2. Cita Zahra‟ Pramono (224110103056)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH


FAKULTAS DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF. K. H. SAIFUDDIN ZUHRI
PURWOKERTO
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini guna untuk memenuhi
tugas mata kuliah Ushul Fiqih. Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang senantiasa kita nantikan syafaatnya
di dunia dan akhirat.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada dosen
pengampu mata kuliah Ushul Fiqih Bapak Mohamad Toha Umar, M.A yang
telah memberikan tugas kepada kami. Dalam pembuatan makalah ini, penulis
menyadari masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun kami untuk kesempurnaan makalah ini.

Purwokerto, 3 Mei 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Istishab merupakan salah ssatu prinsip dasar dalam hukum Islam yang
memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan hukum dan
penyelesaian masalah hukum dalam mazzhab-mazhab fiqh yang berbeda.
Prinsip ini berkaitan dengan asal keberadaan ayau keadaan seseorang atau
sesuatu yang bertahan sampai ada bukti yang menyatakan sebaliknya. Dalam
konteks hukum Islam, istishab dapat digunakan untuk menentukan status
hukum suatu perbuatan atau transaksi yang masih belum jelas atau
diperselisihkan.
Dalam perkembangan sejarah istishab memiliki peran penting dalam
memastikan keadilan, kestabilan, dan kesinambungan dalam sistem hukum
Islam. Prinsip ini, membantu meghindari ketidakpastian dan keraguan yang
dapat muncul dalam situasi dimana tidak ada bukti yang jelas atau ada
perubahan dalam keadaan yang dapat memperngaruhi hukum yang berlaku.
Namun, penggunaan istishab dalam konteks hukum Islam juga
memiliki perdebatan dan kritik. Beberapa ulama dan ahli hukum Islam
mempertanyakan keabsahan prinsip istishab karena dapat menyebabkan
ketidakadilan dan ketidakpastian dalam pengambilan keputusan hukum.
Oleh karena itu, penting untuk memahami prinsip istishab secara
mendalam dan kritis untuk emnghindari kesalahan dalam penerapannya.
Dalam hal ini, penelitian dan kajian terkait istishab dapat memberikan
pemahaman yang lebih komprehensif dan membantu meningkatkan
kesadaran dan kualitas pengambilan keputusan hukum dalam masyarakat
muslim.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Istishab
2. Sejarah Istishab
3. Kehujjahan Istishab

C. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman, wawasan dan
ilmu mengenai pengertian Istishab, sejarah Istishab, dan kehujjahan Istishab.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Istishab
Secara bahasa, istishab dimaknai dengan membandingkan sesuatu
kemudian mendekatkannya. Dengan demikian, berdasarkan makna bahasa
tersebut, dipahami bahwa istishab yaitu mendekatkan suatu peristiwa dengan
hukum tertentu dengan peristiwa lainnya, sehingga keduanya dinilai sama
status hukumnya.
Beberapa ahli mengemukakan definisi tentang istishab, berikut ini :
1. Al Ghazali mendefinisikan istishab yaitu tetap berpegang teguh dengan
dalil akal atau dalil syar‟i, bukan karena tidak mengetahui adanya dalil,
melainkan karena mengetahui tidak adanya dalil yang mengubahnya
setelah berusaha keras mencari.
2. „Abd al-„Aziz al Bukhari, istishab adalah menyatakan tetap adanya
sesuatu pada masa kedua karena sesuatu tersebut memang ada pada masa
pertama.
3. Ibn al Qayyim al-Jauziyyah mengatakan bahwa istishab sebagai
menetapkan keberadaan sesuatu yang sudah ada sebelumnya dan
meniadakan keberadaan sesuatu yang memang tidak ada sebelumnya.
4. „Abd al-Wahhab Khallaf, istishab adalah menetapkan suatu hukum yang
telah ada dalilnya sejak dahulu sampai sekarang sampai dengan adanya
dalil lain yang mengubahnya.
5. al-Shawkani mendefinisikan istishab sebagai tetapnya sesuatu selama
belum ada dalil lain yang mengubahnya.
6. „Ali „Abd al-Kafi al Subki, istishab sebagai Menetapkan hukum atas
masalah hukum yang kedua berdasarkan hukum yang pertama karena
setelah dilakukan kajian yang komprehensif tidak ditemukan dalil yang
mengubahnya.
7. Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, merupakan tokoh Ushul Fiqh Hanbali yaitu:
menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan
sesuatu yang memang tidak ada sampai ada yang mengubah
kedudukannya atau menjadikan hukum yang telah di tetapkan pada masa
lampau yang sudah kekal menurut keadaannya sampai terdapat
argumentasi (dalil) yang menunjukkan perubahannya.
“Mengukuhkan/menetapkan apa yang pernah di tetapkan dan
meniadakan apa yang sebelumnya tidak ada”
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
prinsip istishab adalah memberlakukan hukum lama selama belum ada hal
lain yang mengubahnya. Sehingga, pola istishab bukan menciptakan hukum
baru, melainkan mempertahankan dan melestarikan hukum lama.
Definisi-definisi di atas, menurut Ahmad Muhammad Musarawah
mempunyai tiga rukun (sesuatu yang wajib ada), sebagai berikut:

a. Yakin, yaitu keyakinan terhadap keberadaan hukum yang telah ada;


b. Ragu, yaitu ragu terhadap berlakunya hukum tersebut pada masalah yang
ada;
c. Adanya keterkaitan antara apa yang diyakini dengan apa yang diragukan.

Adapun pendapat Muhammad Taqi al-Hakim yang menyatakan


bahwa istiṣḥab mempunyai tujuh rukun yaitu:

a. Yakin terhadap realitas hukum;


b. Adanya keraguan sebagai bandingan atas sifat yakin;
c. Adanya kesatuan keterikatan antara realitas yang diyakini dengan realitas
yang diragukan;
d. Keraguan dan keyakinan tersebut memang benar ada (faktual);
e. Adanya kesatuan masalah antara yang diyakini dengan yang diragukan,
baik dari sisi tema, obyek, maupun tingkatan permasalahan;
f. Adanya pertaitan waktu antara hal yang diyakini dengan yang diragukan;
g. Keyakinan tersebut lebih dahulu ada sebelum keraguan.

Syarat-syarat istishab yang harus ada agar dapat digunakan sebagai


dalil, yaitu:

1. Pengguna istishab telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk


mencari bukti yang mengubah hukum yang semula ada;
2. Setelah mengerahkan seluruh kemampuannya, pengguna istishab tidak
menemukan bukti yang mengubah hukum yang telah ada;
3. Hukum lama yang dijadikan sebagai pijakan istishab benar adanya, baik
dari dalil shar„i ataupun dari dalil akal. Artinya, bukan hanya sekedar
dugaan;
4. Hukum lama yang dijadikan sebagai pijakan istishab bersifat mutlaq
(umum); Artinya, dalil lama tersebut tidak menunjukkan keberlakuan
dirinya secara terus-menerus, tidak pula menujukkan
ketidakberlakuannya sampai batas waktu tertentu. Jika demikian halnya
maka itu tidak disebut menggunakan istishab melainkan mengunakan
dalil tersebut;
5. Tidak terjadi kontradiktif antara istishab dengan naskh yang ada. Bila
terjadi kontradiktif diantara keduanya, maka yang didahulukan adalah
apa yang tertera pada naskh karena naskh memiliki kekuatan hukum
yang lebih tinggi dibandingkan dengan istishab.
Macam-macam Istishab :

1. Istiṣḥab al-Ibaḥah al-Ashliyyah


Istishab yang didasarkan pada hukum asal suatu yaitu mubah. Hal
ini didasarkan pada Surah Al-Baqarah Ayat 29 “Dialah yang menjadikan
segala yang ada di muka bumi ini untuk kalian”. Al-Ṭabari memaknai
ayat tersebut bahwa segala sesuatu yang ada di bumi ini diciptakan oleh
Allah SWT. Untuk manusia digunakan demi kebaikan dan kemaslahatan
mereka. Pernyataan segala yang ada di bumi diperuntukkan bagi
kebaikan manusia dimaknai „Abd al-Wahhab Khallaf bahwa segala yang
ada dibumi boleh untuk dimanfaatkan.
Kata al-Ashya‟ dimaknai lebih kepada urusan muamalah.
Sehingga dalam hal yang bersifat muamalah segala hal boleh dilakukan
sampai ada dalil yang menghendaki ketidakbolehannya. Dapat dipahami
pula bahwa dalam bidang muamalah, hukum Islam lebih bersifat
fleksibel dan lentur. Ijtihad terbuka lebar dalam ranah ini. Berbeda
dengan ranah ibadah yang pada asalnya adalah haram dilakukan sampai
ada petunjuk untuk melakukannya. Dalam bidang ibadah tidak ada
inovasi, melainkan tunduk dan patuh.
2. Istiṣḥab al-Bara`ah al-Ashliyyah
Istiṣḥab al-bara‟ah al-aṣliyyah atau diistilahkan Ibn al-Qayyim
dengan bara‟ah al-„adam al-aṣliyah adalah seperti terbebasnya manusia
dari tuntutan syarak. Sampai ada petunjuk yang menghendaki
dilakukannya perintah tersebut. Hal ini sebagaimana anak kecil yang
tidak terkenan pembebanan apapun sampai ia baligh. Baligh merupakan
dalil terjadinya pembebanan sehingga manusia baligh disebut dengan
mukallaf.
Istiṣḥab jenis kedua ini pada prinsipnya menghendaki bahwa
setiap orang pada dasarnya terbebas dari segala jenis beban dan
tanggungan.
3. Istiṣḥab ma dalla al-Shar‟a aw al-‟Aqli „ala Wujudihi
Istiṣḥab jenis ketiga ini seperti tetapnya status perkawinan
seseorang sampai ada petunjuk bahwa perkawinannya telah selesai.
4. Istiṣḥab al-ḥukm
Menerapkan hukum pada masa lalu untuk masa sekarang,
sebelum ada petunjuk untuk tidak menggunakannya lagi. Status
kepemilikan atas harta benda tetap pada pemilik semula sampai ada bukti
bahwa harta benda tersebut telahberpindah tangan.
5. Istiṣḥab al-Waṣf
Penetapan hukum atas tetapnya sifat yang ada sebelumnya.
Misalnya air suci tetap dihukumi sebagai air suci sepanjang tidak ada
bukti bahwa ia telah berubah menjadi najis Begitupula tetap dianggap
hidup seseorang yang hilang sampai ada bukti bahwa orang hilang
tersebut telah meninggal.

B. Sejarah Istishab
Ada dua metode pendekatan yang diperlukan untuk mengetahui sejarah
istishab, yaitu; pendekatan De Facto dan pendekatan De Jure. Pendekatan De
Facto digunakan untuk mengetahui akar-akar historis istishab yang tidak
tertulis, sedangkan pendekatan De Jure digunakan untuk melacak para ulama
yang pertama kali menggunakan istilah istishab sebagai salah satu metode
dalam menentukan sebuah hukum.
Dilihat dalam pendekatan De Facto, sebenarnya istishab telah ada pada
masa Nabi Muhammad SAW, bahkan beliau sendiri yang mempraktekkan
dalam kehidupannya. Hal ini terlihat pada sebagian ibadah yang diterapkan
seperti; kewajiban berpuasa di bulan Ramadan yang tetap berlangsung dari
sejak zaman umat sebelum Nabi Muhammad SAW sampai dengan zaman
umat beliau.
Ada pun secara pendekatan De Jure, tidak banyak referensi yang
mencatat sejarah istishab. Namun, tentunya sejarah istishab tidak terlepas
dari sejarah atau periode terbentuknya madhab fiqih yang dimulai sejak abad
ke-2 H, yaitu; periode akhir dari pemerintahan Daulah Amawiyyah.
Pemikiran hukum islam pada saat itu mulai berkembang, dari praktek
administrasi dan populer yang dibentuk oleh ajaran etika dan keagamaan
dalam Al Qur‟an dan As-Sunnah.

C. Kehujjahan Istishab
Pada masalah penetapan hukum istishab merupakan akhir dalil syar‟i
yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum
sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Maka para ahli Ushul Fiqih berkata:
“Sesungguhnya istishab merupakan akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah
penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya,
sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya.”
Pendapat dari para ahli Ushul Fiqih tentang kehujjahan istishab ketika
tidak ada dalil syara‟ yang menjelaskan, antara lain:
1. Menurut Mayoritas Mutakallimin (Ahli Kalam), Istishab tidak dapat
dijadikan dalil karena, hukum yang ditetapkan pada masa lampau
menghendaki adanya dalil. Demikian, untuk menetapkan hukum yang
sama pada masa sekarang dan masa yang akan datang harus berdasarkan
dalil.
2. Menurut Mayoritas Ulama, khususnya Muta‟akhirin istishab bisa Hujjah
untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap
hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa
menetapkan hukum yang akan datang.
3. Ulama Malikiyyah, Syafi‟iyyah, Hanabilah, Zahiriyyah dan Syi‟ah
berpendapat bahwa istishab bisa dijadikan Hujjah secara mutlaq untuk
menetapkan hukum yang telah ada selama belum ada dalil yang
mengubahnya. Alasan mereka adalah bahwa sesuatu yang telah
ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya
baik secara qath’i maupun Zhanni, maka hukum yang telah ditetapkan itu
berlaku terus, karena diduga keras belum ada perubahannya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Istishab adalah prinsip yang meberlakukan hukum lama selama belum
ada yang mengubahnya. Istishab bukan menciptakan hukum baru, tetapi
mempertahankan dan melestarikan hukum lama. Istishab telah ada pada
masa Nabi Muhammad SAW dan berkembang seiring dengan pembentukan
madhab fiqih pada abad ke-2 H. Istishab dianggap sebagai akhir tempat
beredarnya fatwa dan menjadi hujjah dalam menetapkan hukum yang telah
ada sebelumnya. Selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Pendapat
tentang kehujjahan istishab, tetapi mayoritas ulama menerima
keberlakuannya.
DAFTAR PUSTAKA

Y Sudiben, E Putra - Istishab: Journal of Islamic Law, 2020 -


jurnalppsiainkerinci.org

U Muhaimin-YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum, 2018-


http://journal.iainkudus.ac.id

Abdul Wahab Kallaf.1989.Kaidah-kaidah Hukum Islam:Ilmu Ushul


Fiqih, terjm. Noer Iskandar al-Barsany dkk. Jakarta:CV Rajawali

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul al-Fiqh, Terj. Saefullah Mas‟hum, dkk,


Ushul Fiqih. Jakarta:Pustaka Firdaus.

Anda mungkin juga menyukai