Anda di halaman 1dari 18

ISTISHAB DALAM EKONOMI KEUANGAN KONTEMPORER

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Melengkapi Tugas Kelompok

Disusun Oleh Kelompok X:

Rana Nasution (2041000033)


M.Khairulipanda Nasution (2041000029)

Mata Kuliah : Ushul Fiqh Fiil Muamalah


Dosen Pengampu : Dr. Zainuddin, S.Ag, SE, MA

JURUSAN EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS POTENSI UTAMA
2021

i
KATA PENGANTAR
  Segala puji bagi Allah Swt. karena berkat rahmat dan hidayah-Nya saya
bisa menyelesaikan tugas makalah ini yang judul “ISTISHAB DALAM
EKONOMI KEUANGAN KONTEMPORER” Shalawat dan salam penulis
hantarkan keharibaan junjungan alam Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah
membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Penulis ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak terutama kepada Bapak
Dr. Zainuddin, S.Ag, SE, MA selaku Dosen yang telah membimbing penulis
dalam menyelesaikan makalah ini dan teman-teman yang sudah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
titik kesempurnaan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran
untuk kesempurnaan makalah ini
Akhir kata penulis memanjatkan doa semoga Allah SWT selalu
melimpahkan rahmat-Nya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Medan, 1 Mei 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang.................................................................................................1

B. Rumusan Masalah............................................................................................1

C. Tujuan Pembahasan.........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2

A. Pengertian Istishab...........................................................................................2

B. Dasar Istishab...................................................................................................3

C. Sejarah Istishab................................................................................................3

D. Kehujjahan Istishab.........................................................................................5

E. Pandangan Ulama Terhadap Istishab...............................................................7

F. Ekonomi Berdasarkan Tuntutan Islam............................................................9

G. Praktik Ekonomi Islam..................................................................................10

BAB III PENUTUP..............................................................................................13

A. Kesimpulan....................................................................................................13

DAFTAR PUSAKA..............................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqh adalah salah satu bidang ilmu keislaman yang penting,
untuk lebih memahami syariat islam dari sumber aslinya, Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Dengan belajar Ushul Fiqh kita dapat mengetahui kaidah-kaidah, prinsip-
prinsip umum syariat islam, cara memahami suatu dalil dan penerapanya dalam
kehidupan sehari-hari.
Maka dari itu kita harus memahami terlebih dahulu sumber dan dalil-dalil
hukum islam, serta metode yang kita gunakan dalam mengkaji Ushul Fiqh. Hal-
hal tersebut wajib kita ketahui sebagai langkah awal dalam memahami Ushul
Fiqh, sehingga kita dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari tidak
hanya sekedar teori dan wacana.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Istishab ?
2. Bagaiamana Dasar Istishab ?
3. Bagaiamana Sejarah Istishab ?
4. Bagaiamana Kehujjahan Istishab ?
5. Bagaiamana Pandangan Ulama Terhadap Istishab ?
6. Bagaiamana Ekonomi Berdasarkan Tuntutan Islam ?
7. Bagaiamana Praktik Ekonomi Islam ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk Mengetahui Istishab
2. Untuk Mengetahui Dasar Istishab
3. Untuk Mengetahui Sejarah Istishab
4. Untuk Mengetahui Kehujjahan Istishab
5. Untuk Mengetahui Pandangan Ulama Terhadap Istishab
6. Untuk Mengetahui Ekonomi Berdasarkan Tuntutan Islam
7. Untuk Mengetahui Praktik Ekonomi Islam

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istishab
Istishab menurut bahasa Arab ialah: pengakuan adanya perhubungan.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh, ia adalah: Menetapkan hukum atas
sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan
atas perubahan keadaan tersebut. Atau ia adalah menetapkan hukum yang telah
tetap pada masa lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang
menunjukkan atas perubahannya.
Apabila seseorang mujtahid ditanyai tentang hukum sebuah perjanjian atau
suatu pengelolaan, dan ia tidak menemukan nash dalam al qur’an atau sunnah, dan
tidak pula menemukan dalil syar’i yang membicarakan hukumnya, maka ia
memutuskan dengan kebolehan perjanjian atau pengelolaan tersebut berdasarkan
atas kaidah :1
“sesungguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah dibolehkan”
Dan hal ini merupakan keadaan dimana Allah menciptakan sesuatu yang ada di
bumi, seluruhnya. Oleh karena itu, sepanjang tidak ada dalil yang menunjukkan
perubahannya, maka sesuatu itu tetap pada kebolehan yang asli.
Apabila seorang mujtahid ditanyai mengenai hukum suatu binatang, benda
padat, tumbuh-tumbuhan, atau makanan apapun, atau minuman apa saja, atau
suatu amal perbuatan dan ia tidak menemukan dalil syar’i atas hukumnya, maka ia
menetapkan hukum dengan kebolehannya. Karena sesungguhnya kebolehan
adalah asalnya , padahal tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap
perubahannya.
Sesungguhnya asal mula segala sesuatu itu boleh, karena Allah SWT.
Telah berfirman dalam kitabnya yang mulia yang Artinya :
“Dia lah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu...” (Al-Baqarah : 29)
Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah:

1 Abdul Wahhab Kallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh, terj. Noer
Iskandar al-Barsany dan Moch. Tolchah Mansoer, (Jakarta: raja grafindo Persada, 2000) Hal. 67

2
Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku
pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubsahnya.
Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa
yang lalu.
Contoh Istishab:
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka
berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama
berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat
kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada
perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah.
Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan
antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.2
B. Dasar Istishab
Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
sebenarnya istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum, tetapi ia pada
hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang
pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan.
Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan
hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain. Karena itulah ulama
Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishab itu tidak lain hanyalah
untuk mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum
yang baru. Istishab bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan
hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah menyatakan bahwa telah pernah
ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian halnya
istishab dapat dijadikan dasar hujjah.
C. Sejarah Istishab
Ada duametode pendekatan yang perlukan untuk mengetahui sejarah
istishab, yaitupendekatan de Facto dan pendekatan de Jure. Pendekatan de Facto
digunakan untuk mengetahuiakar-akar historis digunakannya Istishab yang tidak
tertulis, sedangkanpendekatan de Jure digunakan untuk melacak para ulama yang

2 Ibid hal. 68

3
pertama kalimenggunakan istilah Istishab sebagai salah satu metode dalam
menentukan sebuahhukum.
Dilihat dari pendekatan de Facto, sebenarnya Istishab telah ada pada masa
Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan beliau sendiri
mempraktekkannyadalam kehidupannya. Hal itu terlihat pada sebagian ibadah
yang diterapkanseperti kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan yang tetap
berlangsung darisejak zaman umat sebelum Nabi Muhammad sampai dengan
zaman umat beliau. Begitu pula dengan kiblat umat beliau dalam melaksanakan
ibadah salat padaawalnya menghadap ke arah Masjid al-Aqsa yang sebelumnya
merupakan kiblat umatyang ada sebelumnya.3
Ada pun secara de Jure, tidak banyak referensi yang mencatat sejarah
istishab,bahkan penulis belum menemukan referensi yang secara terang-
teranganmenjelaskan tentang sejarah Istishab dari pendekatan ini, namun
tentunyasejarah Istishab tidak terlepas dari sejarah atau periode terbentuknya
madhhabfiqih yang dimulai sejak abad kedua hijriyah, yakni periode akhir
daripemerintahan daulah Amawiyyah. Pemikiran hukum Islam pada saat itu
mulaiberkembang, dari praktik administratif dan popular yang di bentuk oleh
ajaran etika dankeagamaan dalam al-Qur’an dan Hadith.
Jasser Audamenjelaskan tentang teori Istishab sebagai sumber hukum
Islam terdapat dalamberbagai madhhab hukum Islam, yaitu Madhhab Hanafiyyah,
Shi‘ahZaydiyyah, Shafi‘iyyah, HaNabilah, Ibadiyyah dan Zahiriyya, akan tetapi
beliau tidak menyebutkan sejarah bermulanyaIstishab dimulai dari mana, dan
siapa tokoh yang mengorbitkan teori tersebut.
Secara definitif, para ulama pendiri madhhab fiqih sendiri sepertial-
Awza‘iy (w.744 M) yang mendirikan madhhab fiqih Awzaiy di Siria, AbuHanifah
(w. 767 M) yang mendirikan madhhab fiqih Hanafiy di Iraq, Malikibn Anas (w.
795 M) yang mendirikan madhhab fiqih Malikiy di Madinah,Muhammad ibn Idris
al-Shafi‘iy (w. 820 M) yang mendirikan madhhab fiqihShafi‘iy di Iraq dan
kemudian di Mesir, Ahmad ibn Hanbal (w. 855 M) yangmendirikan madhhab
fiqih di Iraq dan Dawud ibn Khalaf (883 M) yangmendirikan madhhab fiqih

3Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011) hal. 88

4
Zahiriy, mereka tidak menyebutkan istilahIstishab dalam menyelesaikan
problematikan yang mereka hadapi.
Menurut Sherman A. Jackson, sumber hukum keempat yang digunakan
oleh Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammadal-Ghazaliy –yang
kemudian lebih populer dengan panggilan al-Ghazaliy- bukanlahQiyas akan tetapi
al-beliau menggunakan ‘Aql atau disebut dengan Istishab.Dalam karyanya dalam
bidang Usul al-Fiqh yang sangat terkenal yakni kitaal-Mustasfa banyak
sekalimembahas tentang Istishab sebagai salah satu sumber hukum Islam,
sehingga besarkemungkinan bahwa al-Ghazaliy adalah ulama pertama kali
memunculkan teoriIstishab, dan beliau adalah seorang ulama besar yang ber-
madhhab Shafi‘iy.
Pada masa-masa berikutnya paraulama mulai membicarakan teori
Istishabini, diantara mereka ada yang setuju dengan teori ini dan ada pula yang
tidaksetuju. Bahkan pada masa-masa berikutnya tampil beberapa karya ilmiyyah
yangsecara khusus membahas tentang Istishab dan menampilakan eksistensinya
sebagai metode dalam menetukan hukum, diataranyaadalah kitab Al-Istishab
WaAtharuh Fi al-Furu‘ al-Fiqhiyyah karya Al-Khudr ‘Aliy Idris al-Istishab, kitab
Hujjiyyatuh WaAtharuh Fi al-Ahkam al-Fiqhiyyah, karya ‘Awni Ahmad
Muhammad Musarawah danlain-lain.
D. Kehujjahan Istishab
Dalam masalah penetapan hukum Istishab merupakan akhir dalil Syar’i
yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu
yang dihadapkan kepadanya.Maka para ahlili Ushul Fiqih berkata:
“Sesungguhnya Istishab merupakan akhhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah
penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya,
sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya.”
Berdasarkan istishab ini, beberapa prinsip syara' dibangun antara lain:4

 ‫االصل بقاء ماكان على ماكان حتى يثبت ما يفيره‬


”pada asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan ketentuan yang
telah ada sehingga ada dalil yang merubahnya.”

4Abdur Rahman I. Doi, Syari’ah kodifikasi Hukum Islam, terj. Basri Iga Asghari dan
Wadi Masturi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993) hal 102

5
 ‫االصل في االشياء اال باحة‬
“pada asalnya hukum segala sesuatu itu boleh.”          

 ‫االصل في االنسان البراءة‬


“manusia pada asalnya adalah bebas dari beban.”

 ‫بالشك واليزول االبيقين مثله ما ثبت باليقين اليزول‬


“apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena
keraguan. Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.”
Maka orang yang yakin bahwa ia masih mempunyai wudhu’ dan ragu-ragu
jika dirinya telah batal, maka ia dihukum masih mempunyai wudhu’, dan
shalatnya sah. Hal demikian berbeda dengan pendapat ulama dari golongan
Malikiyah yang berpedapat wajib berwudhu’ lagi. Sebab, menurut mereka
tanggung jawab (beban)nya adalah menjalankan shalat dengan penuh keyakinan.
Karena tanggung jawab tersebut tidak lepas kecuali dengan mengerjakan shalat
dengan benar dan penuh keyakinan. Dan hal itu harus dilakukan dengan wudhu’
agar tidak diragukan kebatalannya.
Ahli ushul fiqh berbeda pendapat tentang ke-Hujjah-
an Istishab  ketika tidak ada dalil Syara’yang
menjelaskannya,antara lain :5
1.      Menurut mayoritas Mutakallimin (ahli kalam) Istishab  tidak
dapat di jadikan dalil,karena hukum yang ditetapkan pada masa
lampau menghendaki adanya dalil.Demikian pula untuk menetapkan
hukum yang sama pada masa sekarang dan masa yang akan
datang,harus berdasarka dalil.
2.      Menurut mayoritas Ulama’ Hanafiyah, khususnya
Muta’akhirin Istishab  bisa dijadikan Hujjah untuk
menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap
hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang,tetapi
tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada.
3.     Ulama’ Malikiyyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zahiriyyah dan
Syi’ah berpendapat bahwa Istishab  bisa

5 Ibid hal. 103

6
dijadikan Hujjah secara mutlaq untuk menetapkan hukum yang
telah ada selama belum ada dalil yang mengubahnya.Alasan
mereka adalah bahwa sesuatu yang telah ditetapkan pada masa
lalu,selama tidak ada dalil yang mengubahnya baik
secara qath’I maupun Zhanni,maka hukum yang telah
ditetapkan itu berlaku terus,karena diduga keras belum ada
perubahanya.
E. Pandangan Ulama Terhadap Istishab
1. Ibnu Abi Laila ( 74-148 H)
Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila Al-Anshari seorang Hakim
dan Faqih di Kufah pada masa Umayyah sampai Abasiyah beliau adalah orang
yang berfatwa dengan ra’yu sebelum Abu Hanifah
Ibnu Qudamah meriwayatkan bahwasanya Abu Laila berkata tidak ada
zakat untuk madu dengan alasan tidak ada dalil yang kuat yang menjelaskan
wajibnya zakat madu. Dari sana kita mengetahuai metode pendekatan yang
dilakukan oleh Abu Laila adalah dengan cara ishtishhab yaitu al-Bara`ah al-
Ashliyah ( pada asalnya tidak ada hukum ) dalam menetapkan menentukan suatu
hukum maka selama tidak ada dalil shahih yang menerangkan wajibnya zakat
maka pada madu itu tetep tidak ada wajib zakat.
2. Abu Hanifah ( 81-150 H )
Imam al-Kurkhi dan al-Sarkhosy mengatakan bahwa Abu Hanifah dan
pengikutnya ( hanafiyah ) menjadikan sebuah qo’idah sebagai rujukan yaitu ” ma
Tsabata bi al-Yaqin la Yazulu bi asy-Syak “
Suatu yang ditetepkan dengan yakin tidak bisa hilang dengan suatu yang
dirugukan.
Seperti yang diriwayatkan dari al-Kurdi : dikisahkan salah seorang datang
kepada Abu Hanifah kemudian dia bertanya kepada Abu Hanifah : aku tidak tahu
apakah aku sudah menolak istriku atau tidak ? maka Abu Hanifah menjawab :
kamu tidak men-talaq istri kamu sehingga, kamu benar-benar yakin telah men-
talaqnya.6

6 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani; Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum


Islam di Indonesia. Hal 90

7
Dan imam As-Sarkhosy meriwayatkan bahwa imam Abu Hanifah berkata : barang
siapa yang ragu apakah dia berhadats maka dia memiliki wudhunya dan apabila
ragu apakah punya wudlu atau tidak maka dia adalah berhadats. Dari kedua
contoh diatas menunjukan bahwa imam Abu Hanifah mengamalkan kaidah al-
Yakin la Yu’aridlu bi as-Syak yang merupakan salah satu kaidah yang selaras
dengan methode istishhab.
3. Imam Malik ( 93-179 H )
Dalam kitab al-Mudawwanah dituliskan : imam Malik berkata ” tidak
boleh dibagikan harta warisan orang yang hilang sehingga ada kabar tentang
kematiannya atau setelah mencapai masa yang tidak mungkin dia masih hidup,
maka harta warisan itu dibagikan hari itu yang jadi ditetapkannya bahwa dia
sudah meninggal.
Dan imam Malik meriwayatkan sebuah hadits Rasulullah Saw. : barang
siapa ragu dalam jumlah raka’at shalat maka dia harus menetapkan dengan yakin
yaitu mengambil yang sedikit.
Akan tetapi kita mendapatkan bahwa imam Malik dalam beberapa masalah
beliau berfatwa berbeda dari apa yang telah di tetapkannya dengan methode
istishhab yaitu mengambil yang lebih kecil (sedikit ) Imam Sahnun
meriwayatkan : aku bertanya ” kalau ada suami yang men-talaq istrinya kemudian
dia tidak tahu apakah dia men-talaqnya yang pertama, kedua atau
ketiga.Bagaimanakah pendapat malik ? imam Malik menjawab : tidak halal
baginya sehingga ada orang lain yang menikahinya terlebih dahulu. Dan pendapat
ini bertentangan dengan pendapat jumhur yang mengambil yang lebih kecil.
4. Imam Asy-Syafi’i ( 150-204 H )
Imam asy-Syafi’I pernah mengamalkan ishtishhab yaitu beliau pernah
berkata : apabila seseorang melakukan perjalanan dan dia membawa air maka dia
ragu apakah sudah ada najis yang tercambur dengan air tersebut dengan tidak
yakin, maka air itu tetap dalam kesuciannya. Dia boleh berwudhu dan minum dari
air tersebut sehingga dia yakin ada najis yang sudah bercampur dengan air
tersebut.

8
Dan imam asy-Syafi’I pernah berkata : kalau seseorang ragu apakah keluar
mani atau tidak? Maka dia tidak wajib mandi sehingga dia yakin, akan tetapi dalam
menjaga kehati-hatian dianjurkan mandi.7

7 Ibid hal. 92

9
F. Ekonomi Berdasarkan Tuntutan Islam
Salah satu mispersepsi umum tentang sistem ekonomi islami adalah bahwa
sistem ini merupakan “perpaduan” atau “jalan tengah” di antara sistem ekonomi
kapitalis dan sistem ekonomi sosialis. 1 Pandangan semacam ini pada awalnya
memang tidak dapat terhindarkan karena:
Pertama, gagasan tentang sistem ekonomi islami mulai disampaikan para
pemikir muslim di tengah-tengah berlangsungnya pertarungan ideologis
kapitalisme versus sosialisme. Merujuk pada sejarah ekonomi islami kontemporer
yang ditulis Ahmad (1997), tahap-tahap awal pengembangan ekonomi islami
terjadi pada kurun 1950-an hingga 1980-an, di mana pada saat yang sama
kapitalisme dan sosialisme masih kokoh dan berhadap-hadapan diametral.
Kedua, secara kebetulan, sebagian inti gagasan ekonomi islami
mengandung persamaan dengan inti gagasan yang telah ada dalam sistem
ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi sosialis, sehingga inti gagasan ekonomi
islami yang disampaikan dianggap tidak lebih sebagai hasil “comotan” dari
sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi sosialis. Meskipun demikian,
sistem ekonomi islami adalah sistem ekonomi yang “asli” bersumber pada nilai-
nilai ajaran Islam. Sistem ekonomi islami dibangun di atas keyakinan dasar bahwa
alam dan segala isinya termasuk manusia adalah ciptaan Allah swt, dan bahwa
sebagai makhluk dan khalifatullah fil ardh, manusia berkewajiban menjalankan
dua tugas utama, yaitu bertauhid kepada Allah (rububiyah, uluhiyah, maupun
mulkiyah) dan memakmurkan dunia sesuai dengan cara-cara yang diperintahkan-
Nya. Begitu juga, sistem ekonomi islami didasarkan pada keyakinan bahwa
Muhammad saw adalah rasul dan utusan Allah, pembawa kabar gembira sekaligus
uswatun hasanah bagi seluruh manusia. Keyakinan-keyakinan ini membawa
konsekuensi pada pemahaman bahwa setiap upaya untuk menata perekonomian
harus sesuai dengan ketetapanketetapan Allah swt sebagaimana termaktub di
dalam al-Quran. Begitu juga, dalam tataran rinci, upaya-upaya untuk menata
perekonomian harus disandarkan pada contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh
Rasulullah Muhammad saw sebagaimana termuat dalam sunnah-sunnahnya.8

8 Abdur Rahman I. Doi, Syari’ah kodifikasi Hukum Islam. Hal 104

10
Dari sini, para pemikir ekonomi islami telah mencoba mengambil inti-inti
ajaran Islam di bidang ekonomi, yang meskipun beragam secara klasifikatif, tetapi
praktis tidak mencerminkan pertentangan satu sama lain. Dua norma utama yang
dapat mewakili inti inti ajaran Islam di bidang ekonomi tersebut adalah maslahah
dan ‘adl. Maslahah terkait dengan nilai absolut keberadaan barang, jasa, atau
action (termasuk kebijakan ekonomi) di mana kesemuanya harus memenuhi
kriteria-kriteria yang mengarah pada perwujudan tujuan syariah (maqashid al-
syariah), yaitu perlindungan agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Sementara,
adil terkait dengan interaksi relatif antara suatu hal dengan hal lain, individu yang
satu dengan yang lain, atau masyarakat tertentu dengan masyarakat lain. Untuk
mewujudkan kedua norma utama tersebut, diperlukan beberapa institusi, yang
mencakup antara lain: Pertama, bentuk kepemilikan yang multijenis (Islam di satu
sisi mengakui dan melindungi kepemilikan individu, tetapi di sisi lain juga
menekankan penghormatan atas kepemilikan bersama – dalam konteks
masyarakat ataupun negara). Kedua, insentif dunia plus insentif akhirat sebagai
pemotivasi untuk melakukan kegiatan ekonomi. Ketiga, kebebasan berusaha.
Keempat, pasar sebagai mekanisme pertukaran ekonomi).
Kelima, peran pemerintah untuk menjaga pasar sedemikan rupa sehingga
kemaslahatan dan keadilan dapat terwujud Di samping hal-hal di atas, beberapa
instrumen juga digunakan sebagai penopang kegiatan ekonomi dan kebijakan. Di
antaranya adalah penghapusan riba dan pendayagunaan zakat. Riba adalah setiap
penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau
penyeimbang yang dibenarkan syariah. sementara zakat adalah bagian dari harta
yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim untuk membersihkan dan
membersihkan harta sesuai dengan tuntunan Islam.9
G. Praktik Ekonomi Islam
Praktek ekonomi Islam adalah kegiatan ekonomi yang berbeda dengan
masyarakat yang bersandarkan pada ajaran sekuler (ajaran yang memisahkan
antara kepentingan hidup di dunia dan di akhirat). Ajaran sekuler lebih
mengutamakan keuntungan duniawi, sedangkan praktek ekonomi dalam Islam
tetap memegang teguh ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan As

9 Ibid hal. 106

11
Sunnah. Syari’at Islam telah menggariskan sistem jual beli, yang adil yang
menjamin terbinanya kehidupan ekonomi masyarakat yang sehat lahir dan batin.
Jual beli sendiri, dalam bahasa Arab di sebut mubadalah, artinya menukarkan
sesuatu barang dengan yang lainnya. Dalam Al-Qur’an, kata “jual-beli”
terjemahan dari lafaz “bai” seperti tercantum dalam surah Al-Baqarah ayat 275.
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al-
Baqarah : 275)
Bukti sejarah telah menunjukkan bahwa Rasulullah Muhammad saw,
istrinya dan juga paman serta kakeknya adalah orang-orang yang menjalankan
kegiatan ekonomi. Dalam sejarah Islam, keempat tokoh tersebut dikenal sebagai
seorang pedagang yang sukses, bahkan Siti Khadijah (istri Rasulullah Muhammad
saw) adalah seorang konglomerat di zamannya. Berdasarkan temuan sejarah
seperti ini, tepat bila dikatakan bahwa Islam adalah agama yang memperhatikan
masalah ekonomi dan juga perdagangan antar daerah atau antar negara,
sebagaimana yang dilakukan masyarakat Arab waktu dulu yang berdagang sampai
ke negeri Eropa.10
Hukum Jual Beli dalam Islam
Di jelaskan dalam usul fiqh, jual beli adalah proses penukaran satu barang
dengan barang lain, atau dengan alat penukar yang diakui melalui satu akad jual
beli, atas dasar suka sama suka. Dengan adanya akad ini, maka pemindahan
barang tersebut bukan berdasarkan hibah (pemberian) semata, sedangkan yang
dimaksud dengan dasar “suka sama suka” artinya para pelaku transaksi memiliki
kesadaran dan merdeka untuk menentukan sikap, bukan atas dasar paksaan atau
dibawah tekanan pihak lain.
Bila menelaah ayat 275 dalam surah Al-Baqarah, dapat ditemukan
kejelasan tentang hukum jual beli. Islam menghalalkan praktek jual beli. Dengan
kata lain, seorang muslim dapat dibenarkan melakukan transaksi ekonomi, baik
dalam kontek lokal maupun global. Berdagang atau melakukan perdagangan
adalah sesuatu hal dihalalkan dalam ajaran Islam.
Perhatian terhadap masalah transaksi ekonomi ini terkait dengan salah satu
kewajiban manusia di muka bumi. Dalam kaitan dengan ini, Islam memberikan

10 Abdul Wahhab Kallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh, terj. Hal. 123

12
penjelasan bahwa setiap manusia perlu memanfaatkan waktu hidupnya baik untuk
kepentingan dunia maupun kepentingan akherat. Waktu sejumlah 24 jam setiap
harinya, Islam memberikan keterangan bahwa ada sebagian waktu hidup manusia
yang digunakan untuk mencari nafkah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt
dalam Qs. Al-Isra: 12, yang berbunyi : “Dan Kami jadikan malam dan siang
sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda
siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu
mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu telah Kami
terangkan dengan jelas”. (Qs. Al-Isra: 12)
Syarat dan Rukun Jual Beli
Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa transaksi atau jual beli adalah akad antara
jual beli atas sesuatu barang yang secara syah di perjualbelikan. Oleh karena itu
ada empat rukun jual beli, yaitu (1) ada penjual, (2) ada pembeli, (3) ada barang
yang diperjualbelikan, dan (4) sigat akad.11

11 Ibid hal. 124

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
istishab adalah penetapan hukum atas sesuatu berdasarkan ketetapan
hukum yang terdaulu, sampai adanya dalil yang dapat membuktikan perubahan
hukumnya.
Istishab sendiri adalah dalil syar’i terakhir yang dapat digunakan sebagai
rujukan oleh mujtahid untuk mengetahui hukum dari permasalahn yang
dihadapinya apabila tidah terdapat penjelasan dalam al-Qur’an dan as-sunnah.

14
DAFTAR PUSAKA
Abdul Wahhab Kallaf. 2000. Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh,
terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moch. Tolchah Mansoer. Jakarta:
raja grafindo Persada.
Asmawi. 2011. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Abdur Rahman I. Doi, 1993. Syari’ah kodifikasi Hukum Islam, terj. Basri Iga
Asghari dan Wadi Masturi. Jakarta: Rineka Cipta
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani; Relevansinya Bagi Pembaharuan
Hukum Islam di Indonesia.

15

Anda mungkin juga menyukai