Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PENGANTAR FIQH & USHUL FIQH

PENGERTIAN DAN KEDUDUKAN ISTISHAB, SYAR’UN MAN


QABLANA MENURUT USHUL FIQH

DOSEN PEMBIMBING
Dr. H. Sutisna, M.A

Disusun Oleh :
Riska Nur Holisoh
Shofiatul Mustafidah

FAKULTAS AGAMA ISLAM


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
(PGMI)
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
2021/2022
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulisan makalah ini dapat
terselesaikan. Shalawat dan salam semoga tercurah limpahkan kepada baginda besar Nabi
Muhammad SAW, beserta keluarga-Nya, sahabat-sahabat-Nya serta orang-orang mukmin
yang senantiasa mengikuti ajaran-Nya.

Dengan rendah hati dan penuh kesadaran, penulis sampaiakan bahwa makalah
ini tidak akan mungkin terselesaikan tanpa adanya dukungan dan bantuan dari semua pihak,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang membantu.
DAFTAR ISI

SAMPUL
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................... ii

BAB I  PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang .............................................................................. iii
B.      Rumusan Masalah ........................................................................ iii
C.      Tujuan Penulisan .......................................................................... iii

BAB II  PEMBAHASAN
A.  Definisi Istishab .............................................. 1
B.  Bentuk-bentuk Istishab dan Kehujahannya ................................... 2
C.   Pengaruh Penerapan Dalil Istishab Terhadap Hukum fiqh
...............3
D. Definisi Syar’u Man Qablana ............................................. 4
E. Hakikat syar’u Man Qablana ............................................. 5

                         
BAB III  PENUTUP
     Kesimpulan .....................................................................................  6
     Saran ....................................................................................................... 7

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 8


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syariat Islam adalah syariat yang bersumber dari Allah, diturunkan untuk
manusia dan berlaku sepanjang masa hingga hari kiamat. Sebagai syariat yang
sempurna sudah pasti syariat Islam mampu menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi
oleh manusia dalam hidup. Sehingga tidak ada permasalahan yang terjadi bahkan yang
mutakhir sekalipun kecuali Islam telah memberikan ketetapan hukumnya. Allah berfirman

:َ٨٩‫ۡكيَلَعا َ ۡنلَّ َزنَ َوبََٰتِ ۡكٱلَنيِ ِم ۡلسُمۡ لِلَٰىَ ۡر ُشبَ ٗوةَمۡ َح َروىٗ ُده َٖو ۡءيَ ِشلُ ِك ٗالنََٰ ۡيبِت‬

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” .
Sebagaimana Allah juga berfirman

ٖٖۚ ‫“يِفا َ ۡنطَّ َرفا َّ ِمبََٰتِ ۡكٱلَن ُو َر ۡشح ُۡي ِم ِهبَ َٰرىََّإِل ُم‬
:٣٨‫ث ۡءيَشنِم‬

“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan” . Atas dasar itu Imam Syafi’i berkata

:"‫"فليست تنزل بأحدمن أهل دين هللا نازلة إال وفي كتاب هللا الدليل على سبيل الهدى فيها‬

“ Tidaklah ada permasalahan terjadi yang dialami oleh pemeluk agama Allah, kecuali telah
terdapat dalil dalam kitab Allah Al Qur’an yang mengantarkan kepada jalan petunjuk
mengenai permasalahan itu” . Adapun kenyataan bahwa permasalahan –permasalahan yang
dihadapi umat akan terus bermunculan sementara teks-teks sumber hukum terbatas, seperti
Al Qur’an seiring dengan berakhirnya turunnya wahyu, atau seperti halnya Sunnah
dengan wafatnya Rasulullah, maka sesungguhnya berbagai permasalahan itu tetap akan
ditemukan jawaban dan setatus hukumnya melalui jalan ijtihad yang dilakukan oleh
ulama yang punya kapasitas untuk berijtihad.Imam Syafii berkata :

“ ‫كل ما نزل بمسلم فقيه حكم‬


‫داهتجالابهيفقحالليبسىلعةلالدالبِلُطهنيعبهيفنكيمال‬.‫ُسايقالُداهتجالاو‬. ‫مبعينه‬،‫ةدوجو ٌمةلالدهيفِقحالليبسىلعوأ‬،‫الزهيفناكاذإهيلعو‬
‫ٌمكح‬:‫هُعابتا‬،‫”ذإو‬

“ Pada setiap permasalahan yang dialami seorang muslim terdapat setatus hukumnya yang
pasti, atau terdapat dalilnya. Atas dasar itu jika ditemukan hukum dengan sendirinya maka
hukum itu harus diikuti. Jika tidak ditemukan hukum dengan sendirinya, maka dalil harus
dicari secara benar melalui Ijtihad dan ijtihad itu adalah qiyas “ . Tentu bukan berarti bahwa
teks-teks sumber hukum Al Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan detail detail segala
permasalahan yang terjadi secara eksplisit untuk kemudian menetapkan setatus
hukumnya.

Menjelaskan berbagai nilai, dasar serta prinsip yang bisa digunakan


untuk menjawab berbagai permasalahan dan persoalan yang terjadi hingga hari
kiamat .Dengan demikian untuk menjawab berbagaipermasalahan dan persoalan, perlu
dibuka pintu ijtihad melalui dalil qiyas atau dalil –dalil turunannya yang lain seperti
Istishab yang menjadi fokus pembahasan tulisan Ini.Meski demikian Istishab bukanlah
merupakan dalil yang hujjahnya disepakati di kalangan ulama ketika tidak ada dalil
(muttafaq). Karena seabgaian ulama melihat bahwa menetapkan hukum menggunakan dalil
istishab sama artinya menetapkan hukum dengan akal, bukan berdasarkan pada asal syari’at.
Ada atau tidaknya sebuah hukum, karena hanya dengan disandarkan pada masa lampau dan
dibangun dengan keyakinan. Artinya ada atau tidaknya hukum karena memang sudah ma’lum
dari masa lampaunya, bukan karena asli adanya syari’at itu sendiri

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud istishab?


2. Apa saja bentuk-bentuk istishab dan kehujjahannya?
3. Apa saja pengaruh penerapan dalil istishab dalam hukum fiqh?
4. Apa yang dimaksud denngan syar’un man qabalana?
5. Apa saja hakikat dalam syar’u man qablana?
6. Sebutukan kontribusi Syar’u Man Qablana di Masa Identifikasi Hukum Islam?

C. Tujuan Pembahasan

1. Mengetahui definisi istishab


2. Mengetahui bentuk-bentuk istishab beserta kehujahannya
3. Mengetahui dalil istishab dalam hukum fiqh
4. Mengetahui definisi syar’um qablana secara jelas
5. Mengetahui hakikat serta kontribusi syar’u man qablana dalam Hukum Islam
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Istishab

Secara etimologi istishab berasal dari kata istashaba dari wazan istaf’ala
yang berarti thalabul mushahabah; minta menemani atau menyertai. Dikatakan “Istashabta al
hal” berarti kamu berpegang dengan apa yang ada di masa lalu, seolah kamu
menjadikan keadaan itu menyertai dan tidak berpisah. Adapun arti istishab secara
terminologi, terdapat rumusan yang berbeda dari ulama yang memberikan definisi
istishab, namun perbedaanya tidak sampai pada hal yang prinsip.Menurut Ibnu Hazm,
Istishab adalah :

‫بقاء حكم األصل الثابت بالنصوص حتى يقوم الدليل منها على التغيير‬
“ Istishab adalah tetapnya hukum asal semula yang ditetapkan berdasarkan nash, sehingga
ada dalil dari nash yang merubahnya “. Sementara Abu Hamid Al Ghazali mendefinisikan

:‫التمسك بدليل عقلي أو شرعي وليس راجعا إلى عدم العلم بالدليل ب••ل إلى دلي•ل م•ع العلم بانتف•اء المغ••ير أو م•ع ظن انتف•اء‬
‫المغير عند بذل الجهد في البحث والطلب‬

“ Istishab adalah berpegang dengan dalil akal atau dalil syar’i, tentu bukan karena tidak
mengetahui adanyadalil, tetapi karena adanya dalil disertai pengetahuan dan dugaan
tentang tidak adanya hal yang merubah saat mengerahkan kemampuan untuk mencarinya “

Ibnu Qudamah berkata :

" ‫" التمسك بدليل عقلي أو شرعي لم يظهر عنه ناقل‬

“ Istishab adalah berpegang dengan dalil akal atau dalil syar’i , karena tidak adanya sesuatu
yang merubah “

Menurut Syihabudin Al Qarafi :

" ‫"إعتقاد كون الشيء في الماضي أو الحاضر يوجب ظن ثبوته في الحال واالستقبال‬

“ Istishab adalah meyakini adanya sesuatu di masa lalu atau sekarang, yang
mengharuskan dugaan tetap adanya sesuatu itu di masa sekarang dan masa akan datang “

Dan Ibnu Qayyim Al Jauziyah mendefinisikan bahwa :


"‫" استدامة إثبات ما كان ثابتا أو نفي ما كان منفيا‬

“ Istishab adalah melanggengkan penetapan sesuatu yang pernah ada atau meniadakan
sesuatu yang sebelumya tiada “ . Inilah di antara rumusan yang beragam yang
diutarakan ulama ushul dalam mendefinisikan istishab. Kelihatan berbeda akan tetapi
tetap memberikan pengertian yang sama. Hanya saja ada sebagian ulama yang melakukan
tarjih terhadap definisi atas definisi yang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh syekh
Abu Zahrah yang lebih mentarjih definisi yang diutarakan oleh Ibnu Qayyim al Jauziyah.

B. Bentuk-bentuk Istishab dan Kehujahannya


1. Istishab al Baraa’ah al Ashliyyah

Menurut ulama ushul istishab bentuk ini adalah; tidak adanya sesuatu yang
mana akal dalam meniadakannya bersandar kepada asalnya. Maksudnya setiap manusia
dilahirkan dalam keadaan terbebas dari segala beban syariah, kewajiban dan tanggung
jawab, baik yang terkait dengan harta atau yang lainnya, sehingga ada dalil syar’i yang
menetapkannya. Contohnya seorang terbebas dari kewajiban shalat selain sholat lima
waktu, karena tidak adanya dalil yang menetapkan kewajibannya. Demikian halnya
seorang terbebas dari tanggung jawab hutang, selama tidak ada bukti bahwa dia telah
berhutang. Mayoritas ulama ushul berpedapat bahwa istishab bentuk ini adalah hujjah.

2. Istishab Al Ibaahah Al Ashliyyah

Menurut ulama ushul bentuk istishab ini hakikatnya adalah; sesuatu yang
padanya tidak terdapat nash dari pembuat syariat, baik secara tegas atau petunjuk yang
bersifat implisit, maka setatusnya tetap menurut asalnya.Bentuk yang kedua ini
kebanyakan ulama ushul menganggapnya identik dengan bentuk istishab al Baraa’ah Al
Ashliyyah . Adapun yang membedakan antara keduanya melihat bahwa istishab Al
Ibahah Al Ashliyyah , berhubungan dengan hukum sesuatu seperti makanan, pakaian dan
yang lainnya, sementara istishab Al Baraa’ah Al Al Ashliyyah berhubungan dengan
perbuatan manusia dalam beban, kewajiban dantanggung jawab sebelum adanya
ketetapan syariah. Istishab ini menurut ulama adalah hujjah.

3. Istishab Maa Dalla Asy Syar’u Au Al ‘Aqlu ‘Alaa Stubuutihi.

Mengukuhkan apa yang syara’ atau akal menunjukkan ketetapannya.


Contohnya, kepemilikan seorang pembeli dianggap sah, selama akad jual belinya sah
secara syariat, selanjunya dilarang mengambil alih kepemilikan tersebut. Demikian
pula ketetapan halalnya wanita yang dinikahi dengan akad nikah yang sah secara syariat,
selanjutnya kehalalannya tidak hilang sehingga ada bukti baru. Sama halnya juga ketetapan
adanya tanggung jawab seorang yang melakukan perusakan barang orang lain, sehingga
ada bukti yang membebaskannya dari tanggung jawab. Menurut mayoritas ulama ushul
Istishab Maa Dalla Asy Syar’u Au Al ‘Aqlu ‘Alaa Stubuutihi adalah hujjah.

4. Istishab Al Washfi Al Mustbiti Lil Hukmi Asy Syar’i Hattaa Yastbuta Khilafuhu

Mengukuhkan pemberlakuan sifat yang menetapkan suatu hukum


sehingga ada ketetapan yang menyelisihinya. Contohnya seperti tetapnya sifat hidup
bagi orang yang hilang (mafqud ), hingga ada bukti atas kematianya. Demikan pula
tetapnya sifat thaharah orang yang berwudhu, sehingga ada bukti atas adanya sesuatu
yang membatalkannya.Istishab bentuk ini, sebagaimana Ibnu Qayyim tegaskan tidak ada
perselisihan dalam kehujahannya.

5. Istshab Ad Dalil Ma’a Ihtimaali Al Mu’aaridh

Mengukuhkan pemberlakuan sebuah dalil, disamping ada kemungkinan


adanya dalil yang menyelisihinya. Sebagian ulama mengungkapkan bentuk istishab ini
dengan ungkapan yang hakikatnya adalah; Mengukuhkan pemberlakuan keumuman
dalil, sehingga ada yang menghususkanya. Atau mengukuhkan perberlakuan dalil (nash)
sehingga ada yang mengahapusnya (nasikh). Maksudnya menurut mayoritas ualama ushul
adalah adanya kewajiban memberlakukan keumuman lafadz dan penerapan hukumnya,
karena keumumannya tetap berlaku sehingga ada dalil yang menghususkannya. Demikian
juga kewajiban pemberlakuan dalil (nash ), sehingga ada dalil yang menghapusnya.
Mayoritas ualama ushul menganggap bentuk istishab ini hujjah, bahkan sebagian mengatakan
adanya ijma atas pemberlakuannya.

6. Istishab Al Hukmi Ast Stabiti Bil Ijma’ Fii Mahalli Al Khilafi

Mengukuhkan pemberlakuan hukum yag ditetapkan berdasarkan ijma’, dalam


posisi adanya perubahan. Maksudnya telah terjadi ijma’ di antara ulama tentang hukum suatu
perkara atau suatu kejadian dan dalam kondisi tertentu, kemudian hal yang disepakati itu
atau keadaanya berubah. Apakah hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ boleh tetap
diberlakukan saat terjadi perubahan tersebut atau tidak ? Contonya seperti masalah najis
yang keluar bukan dari dua tempat keluarnya kotoran setelah bersuci. Apakah
keluarnya najis tersebut membatalkan thaharahnya ataukah tidak membatalkan dengan
memberlakukan hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’atas adanya thaharah sebelum
keluarnya najis ? Di bentuk istishab inilah ulama berbeda pendapat, dan perbedaannya benar-
benar hakiki. Adapun dalam bentuk –bentuk istishab yang lain, kalaupun ada perbedaan,
maka perbedaan itu lebih bersifat semu (lafdzi).

C. Pengaruh Penerapan Dalil Istishab Terhadap Hukum Fiqh

1. Kasus orang yang Hilang yang tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah wafat.

Terdapat berbedaan di kalangan fuqoha dalam kasus orang yang hilang dan
tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah wafat.Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah
berpendapat bahwa ia dianggap masih hidup. Maka konsekwensinya, harta orang tersebut
tidak diwariskan kepada ahli warisnya, begitu pula bagiannya dari harta waris
disisihkan jika ada yang meninggal dari kerabatnya, hingga diketahui secara pasti
bahwa ia masih hidup atau sudah wafat. Pendapat ini didasarkan kepada penerapan dalil
Istishab. Ulama Hambaliyah berpendapat seperti pendapat Ulama Malikiyah dan
Syafi’iyah, hanya saja mereka menetapkan batas maksimal masa hilangnya empat tahun.
Setelah empat tahun berlalu, maka ia dianggap sudah wafat.

2. Kasus setatus hukum tayamumnya orang yang melihat air saat menunaikan
shalat

Para fuqaha telah sepakat bahwa apabila seorang muslim bertayamum


kemudian ia menemukan air sebelum shalat, maka tayamumnya dianggap batal dan wajib
baginya berwudhu. Mereka juga sepakat apabila ia telah bertayamum dan setelah selesai
shalat ia menemukan air, maka ia tidak wajib mengulang shalatnya. Tetapi mereka
berselisih pendapat apabila di saat menjalankan shalat ia melihat air. Apakah
tayamum dan shalatnya dianggap batal dan wajib baginya keluar dari shalat dan berwudhu,
ataukah ia menuruskan dan menyelesaikan shalatnya ?

Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa tayamum dan


shalatnya dianggap sah. Mereka mengidentifikasi masalah ini berdasarkan kepada penerapan
dalil Istishab Al Hukmi Ast Stabiti Bil Ijma’ Fii Mahalli Al Khilafi yaitu; mengukuhkan
pemberlakuan hukum yang ditetapkan berdasarkanijma’, dalam posisi adanya
perubahan. Sementara Abu Hanifah dan Ahmad dalam riwayat yang masyhur
berpendapat bahwa tayamum dan shalatnya batal, maka baginya harus berwudhu dan
mengulang shalatnya.
3. Kasus Benda Najis Yang Keluar Dari Selain Dua Lobang ( Dubur dan Kemaluan )

Para fuqaha berselisih pendapat dalam hal najis yang keluar dari selain dua
lubang ( dubur dan kemaluan), seperti muntah, darah fashd atau hijamah. Apakah
hal-hal itu membatalkan wudhu atau tidak ? Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpedapat
bahwa keluarnya najis dari selain dua lobang itu tidak membatalkan wudhu. Pendapat
mereka ini didasarkan kepada penerapan dalil Isitshab, yaitu telah ada kesepakatan
bahwa benda-benda najis itu sebelum keluar dari tubuh hukumnya tidak membatalkan
wudhu, maka hukum ini tetap diberlakukan setelah keluarnya benda-benda najis itu dari
tubuh.

Sementara ulama Hanafiyah dan Hanbaliyah berpendapat bahwa keluarnya


najis dari selain dua lubang (dubur dan Kemaluan ) membatalkan wudhu, dengan syarat
mengalir menurut Hanafiyah, dan dengan syarat banyak menurut Hambaliyah. Mereka
lebih mengutamakan dalil hadis dari pada dalil Istishab dalam masalah ini.

D. Definisi Syar’u Man Qablana

Syar'u man Qablana merupakan syari'at para nabi terdahulu sebelum adanya
syari'at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Telah diketahui bahwa .syar'u man
qablana adalah salah saru dari sekian banyak metode istinbot (penggalian) hukum Islam,
walaupun tampak adanya warna-warna yang mengindikasikan sycr'u man qablana hanya
sebagai penguat teks-teks keagamaan dan bukan dijadikan sebagai petunjuk untuk menggali
hukum, namun seringkali ia tetap dijadikan sebagai metode. Berkaitan dengan hal tersebut,
para ahli usul al-fi.qh menggunakan syar'u man qablana untuk membedakan antara syari'at
atau hukum sebelum Nabi Muhammad menjadi seorang rasul dan hukum di saat ia diutus
sebagai rasul. Namun demikian, tampalnya para ahli usul al-fqh memiliki perspektif yang
berbeda dalam memandang syar'u man qablana. Sejak adanya kesepakatan tersebut, maka
syar'u man qablana dapat dianggap sebagai sebuah solusi terhadap kebimbangan dan kemelut
syari'at yang dihadapi dan selanjumya bernaung dalam sebuah metodologi yang disebut usul
ol-fqh (metodologi hukum Islam).

Namun demikian, posisi syar'u man qablana tampalnya tidak sejelas ketika ia
diperkenalkan untuk penama kalinya, dan bahkan apabila dibandingkan dengan metodologi
usul al-fqh lainnya (seperti qiyos, isrrhson, atislah, istishab, dll), ia sudah tidak lagi popular
bahkan cenderung ditinggalkan, posisinya kini hanyalah sebagai sebuah pajangan atau simbol
yang merupakan warisan dari perjalanan intelektual para ahli usul al-fqh.
E. Hakikat Syar’u Man Qablana

Berdasarkan beberapa referensi yang berkaitan, ditemukan bahwa istilah


syar'u man qablana lebih berorientasi untuk menunjukkan adanya syari'at-syari'at sebelum
Islam sebagai agama ketika dilahirkan. Hal ini dapat dilihat dalam alGhazali (2000: 165), al-
Amidi (1996, IV: 294;2OO3:239), asySyaukani (tt.: 345), Qannuraji (2003: 346), yang
semuanya mengatakan bahwa hakikat syar'u man qablana pada intinya adalah adanya upaya
dalam memahami syari'at-syari'at terdahulu sebelum syari'at Nabi Muhammad (Islam).
Khallaf (1978: 93) menyebutkan bahwa qya'u man qoblana adalah berhubungan dengan "md
syarc'-aha Allah liman sabaqana min alumam" (syari'at yang telah diturunkan Thhan kepada
orang-orang yang telah mendahului kita (hukum-hukum para Nabi terdahulu).

Berkaitan dengan posisi qyor'u man qoblana, Zuhaili (2001, II: 867)
menyatakan bahwa dengan diurusnya Muhammad sebagai nabi pada tahun 611 Masehi, maka
sejak itu pula bahwa syari'at Nabi Muhammad adalah penutup segala syari'at yang diturunkan
Tuhan. Kendati demikian, Zuhaili juga mengatakan bahwa keadaan seperti itu masih
menimbulkan berbagai penanyaan di kalangan para ahli usul ol-fqh, khususnya berkaitan
dengan keterikatan Nabi Muhammad secara pribadi dengan syari'at sebelumnya dan sesudah
ia menjadi Nabi, termasuk pula di dalamnya pengikut-pengikut Nabi Muhammad sampai
sekarang.

 Kontribusi Syar’u Man Qablana di Masa Identifikasi Hukum Islam


Identifikasi hukum tersebut bisa dibaca dalam ayat-ayat Alqufan yang secara
tekstual menyebut syari'at umat terdahulu, kemudian hal ini dipahami kembali oleh para ahli
usul ol-fqh sebagai bukti peran dan kiprah.lyar'u man qablana dalam percaturan hukum Islam
kala itu. Misalnya Q.S. al-An'am ayat 146 yang artinya sebagai berikut : "Dan kepada orang-
orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku. Sedangkan dari sapi dan
dombo, Kami haramkan atas mereka lemak dai kedua binatang ia+ selain lemak yang melekat
di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan rulang.
Demikian lah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan merekq dan sesunggthnya Komi
adalah Maha Benar".

Pesan normatif di atas menceritakan apa yang diharamkan kepada umat


Yahudi, namun hal tersebut tidak berlaku bagi umat Islam karena ada ayat lain dalam
Alqufan yang membatalkan ketentuan tersebut. Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam
Yahya (1993: 114) yang menjelaskan bahwa pada zaman Nabi Musa cara menebus dosa
(bertobat) atas kesalahan yang telah dilakukan adalah dengan bunuh diri. Setelah Islam
datang, syari'at tersebut kemudian tidak berlaku lagi (mansukh) dengan turunnya ayat pada
Q.S. 11:3yang artinya sebagai berikut : "Dan henilaklah kamu meminta ampun kepada
Tuhanmu dan bertaubotkepada-Nya".

Kedua persoalan hukum di atas tampak mudah diselesaikan dengan metode


syar'u man qablana, balkan tampaknya tanpa adanya metode tersebut dimungkinkan hukum-
hukum di atas dapat diidentifikasi karena adanya penjelasan kongkrit yang secara eksplisit
sudah dijelaskan Allah melalui ayat-ayat Alqur'an.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Secara etimologi istishab berasal dari kata istashaba dari wazan istaf’ala
yang berarti thalabul mushahabah; minta menemani atau menyertai. Dikatakan “Istashabta al
hal” berarti kamu berpegang dengan apa yang ada di masa lalu, seolah kamu
menjadikan keadaan itu menyertai dan tidak berpisah. Adapun arti istishab secara
terminologi, terdapat rumusan yang berbeda dari ulama yang memberikan definisi
istishab, namun perbedaanya tidak sampai pada hal yang prinsip. Istishab juga memiliki
beberapa hakikat dan kehujahannya.

Sedangkan, Syar'u man qablana dalan pandangan para ulama salaf adalah
syari'at-syari'at para nabi terdahulu sebelum adanya syari'at Islam yang dibawa Nabi
Muhammad. Ada beberapa pandangan dalam memahami syar'u man qab' Iana. Ada yang
memahaminya sebagai pembatas (taklrsrs), nasikh dan bahkan sebagai metode, tetapi semua
ini berkaitan dengan keberlakuan syari'at umat terdahulu, apakah ia masih berlaku atau sudah
dibataikan berdasarkan dalil normatif dalam Alqulan yang secara tegas menyebutkan hal
tersebut. Selain itu, adajuga ketentuan syar'u man qoblana yang ditulis kembali dalam
Alqufan tetapi tidak ditemukan ayat lain yang memberlakukan atau membatalkannya.
Terhadap permasalahan ini, terjadi perbedaan pandangan, ada yang memandang hal tersebut
sebagai syari'at Islam ada pula yang memandang sebaliknya.

Saran
Istishab dan syar’u man qablana dalam hukum islam sangatlah berguuna untuk
digunakan pada kehiduoan sekarang maupun dimasa depan karena banyak hakikat yang perlu
diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA

QS. An Nahl [16:89] QS. Al An’am [6:38]

Muhammad bin Idris Asy Syafi’I, Ar Risalah, (Tahqiq Ahmad Syakir) h.204Muhammad bin
Idris Asy Syafi’I, Ar Risalah, (Tahqiq Ahmad Syakir) h.477

Lihat Abid Muhammad As Sufyani, Ast Stabat Wa Asy Syumul fii Asy Syariah Al Islamiyah
( Makkah Al Mukarramah: Maktabah Al Manarah, cet.I, 1408/1988. h.131

Ibnu ‘ushfur al Isybili, Al Mumti’ Fii At Tasrif, juz.1 hal.1957

Al Fayumi, al Mishbah Al Munir, juz.1 hal.3578Prof.Dr.H.Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, jilid


2, h.342

Ibnu Hazm Adz Dzohiri, Al Ihkam Fii Ushulil Ahkam, juz 5. h.31

Abu Hamid Al Ghazali, Al Mustashfa Fii Ilmil Ushul juz 1, h. 379

Ibnu Qudamah al Maqdisi, Raudhatun Nadzir Bihasyiati syarhiMuhtashar Raudhah, juz 3, h.


1471

Syihabuddin Al Qarafi, Syarhu Tanqihil Fushul Fii Ikhtisharil Mahsul Fil Ushul, h. 351

Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, I’lamul Muwaqqi’in ‘An Rabbil ‘Aalamin, juz 1, h. 339

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 295

Mahfud, A. (2020). Dalil Istishab, Kehujjahan dan Pengaruhnya Terhadap Hukum-Hukum


Fikih. MADZAHIB, 1(1).

Helim, A. (2006). Memposisikan kembali Syar'u Man Qablana sebagai instibat hukum islam.
Himmah, 7(20), 35-50.

Anda mungkin juga menyukai