DOSEN PEMBIMBING
Dr. H. Sutisna, M.A
Disusun Oleh :
Riska Nur Holisoh
Shofiatul Mustafidah
Dengan rendah hati dan penuh kesadaran, penulis sampaiakan bahwa makalah
ini tidak akan mungkin terselesaikan tanpa adanya dukungan dan bantuan dari semua pihak,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang membantu.
DAFTAR ISI
SAMPUL
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. iii
B. Rumusan Masalah ........................................................................ iii
C. Tujuan Penulisan .......................................................................... iii
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Istishab .............................................. 1
B. Bentuk-bentuk Istishab dan Kehujahannya ................................... 2
C. Pengaruh Penerapan Dalil Istishab Terhadap Hukum fiqh
...............3
D. Definisi Syar’u Man Qablana ............................................. 4
E. Hakikat syar’u Man Qablana ............................................. 5
BAB III PENUTUP
Kesimpulan ..................................................................................... 6
Saran ....................................................................................................... 7
:َ٨٩ۡكيَلَعا َ ۡنلَّ َزنَ َوبََٰتِ ۡكٱلَنيِ ِم ۡلسُمۡ لِلَٰىَ ۡر ُشبَ ٗوةَمۡ َح َروىٗ ُده َٖو ۡءيَ ِشلُ ِك ٗالنََٰ ۡيبِت
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” .
Sebagaimana Allah juga berfirman
ٖٖۚ “يِفا َ ۡنطَّ َرفا َّ ِمبََٰتِ ۡكٱلَن ُو َر ۡشح ُۡي ِم ِهبَ َٰرىََّإِل ُم
:٣٨ث ۡءيَشنِم
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan” . Atas dasar itu Imam Syafi’i berkata
:""فليست تنزل بأحدمن أهل دين هللا نازلة إال وفي كتاب هللا الدليل على سبيل الهدى فيها
“ Tidaklah ada permasalahan terjadi yang dialami oleh pemeluk agama Allah, kecuali telah
terdapat dalil dalam kitab Allah Al Qur’an yang mengantarkan kepada jalan petunjuk
mengenai permasalahan itu” . Adapun kenyataan bahwa permasalahan –permasalahan yang
dihadapi umat akan terus bermunculan sementara teks-teks sumber hukum terbatas, seperti
Al Qur’an seiring dengan berakhirnya turunnya wahyu, atau seperti halnya Sunnah
dengan wafatnya Rasulullah, maka sesungguhnya berbagai permasalahan itu tetap akan
ditemukan jawaban dan setatus hukumnya melalui jalan ijtihad yang dilakukan oleh
ulama yang punya kapasitas untuk berijtihad.Imam Syafii berkata :
“ Pada setiap permasalahan yang dialami seorang muslim terdapat setatus hukumnya yang
pasti, atau terdapat dalilnya. Atas dasar itu jika ditemukan hukum dengan sendirinya maka
hukum itu harus diikuti. Jika tidak ditemukan hukum dengan sendirinya, maka dalil harus
dicari secara benar melalui Ijtihad dan ijtihad itu adalah qiyas “ . Tentu bukan berarti bahwa
teks-teks sumber hukum Al Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan detail detail segala
permasalahan yang terjadi secara eksplisit untuk kemudian menetapkan setatus
hukumnya.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
PEMBAHASAN
A. Definisi Istishab
Secara etimologi istishab berasal dari kata istashaba dari wazan istaf’ala
yang berarti thalabul mushahabah; minta menemani atau menyertai. Dikatakan “Istashabta al
hal” berarti kamu berpegang dengan apa yang ada di masa lalu, seolah kamu
menjadikan keadaan itu menyertai dan tidak berpisah. Adapun arti istishab secara
terminologi, terdapat rumusan yang berbeda dari ulama yang memberikan definisi
istishab, namun perbedaanya tidak sampai pada hal yang prinsip.Menurut Ibnu Hazm,
Istishab adalah :
بقاء حكم األصل الثابت بالنصوص حتى يقوم الدليل منها على التغيير
“ Istishab adalah tetapnya hukum asal semula yang ditetapkan berdasarkan nash, sehingga
ada dalil dari nash yang merubahnya “. Sementara Abu Hamid Al Ghazali mendefinisikan
:التمسك بدليل عقلي أو شرعي وليس راجعا إلى عدم العلم بالدليل ب••ل إلى دلي•ل م•ع العلم بانتف•اء المغ••ير أو م•ع ظن انتف•اء
المغير عند بذل الجهد في البحث والطلب
“ Istishab adalah berpegang dengan dalil akal atau dalil syar’i, tentu bukan karena tidak
mengetahui adanyadalil, tetapi karena adanya dalil disertai pengetahuan dan dugaan
tentang tidak adanya hal yang merubah saat mengerahkan kemampuan untuk mencarinya “
“ Istishab adalah berpegang dengan dalil akal atau dalil syar’i , karena tidak adanya sesuatu
yang merubah “
" "إعتقاد كون الشيء في الماضي أو الحاضر يوجب ظن ثبوته في الحال واالستقبال
“ Istishab adalah meyakini adanya sesuatu di masa lalu atau sekarang, yang
mengharuskan dugaan tetap adanya sesuatu itu di masa sekarang dan masa akan datang “
“ Istishab adalah melanggengkan penetapan sesuatu yang pernah ada atau meniadakan
sesuatu yang sebelumya tiada “ . Inilah di antara rumusan yang beragam yang
diutarakan ulama ushul dalam mendefinisikan istishab. Kelihatan berbeda akan tetapi
tetap memberikan pengertian yang sama. Hanya saja ada sebagian ulama yang melakukan
tarjih terhadap definisi atas definisi yang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh syekh
Abu Zahrah yang lebih mentarjih definisi yang diutarakan oleh Ibnu Qayyim al Jauziyah.
Menurut ulama ushul istishab bentuk ini adalah; tidak adanya sesuatu yang
mana akal dalam meniadakannya bersandar kepada asalnya. Maksudnya setiap manusia
dilahirkan dalam keadaan terbebas dari segala beban syariah, kewajiban dan tanggung
jawab, baik yang terkait dengan harta atau yang lainnya, sehingga ada dalil syar’i yang
menetapkannya. Contohnya seorang terbebas dari kewajiban shalat selain sholat lima
waktu, karena tidak adanya dalil yang menetapkan kewajibannya. Demikian halnya
seorang terbebas dari tanggung jawab hutang, selama tidak ada bukti bahwa dia telah
berhutang. Mayoritas ulama ushul berpedapat bahwa istishab bentuk ini adalah hujjah.
Menurut ulama ushul bentuk istishab ini hakikatnya adalah; sesuatu yang
padanya tidak terdapat nash dari pembuat syariat, baik secara tegas atau petunjuk yang
bersifat implisit, maka setatusnya tetap menurut asalnya.Bentuk yang kedua ini
kebanyakan ulama ushul menganggapnya identik dengan bentuk istishab al Baraa’ah Al
Ashliyyah . Adapun yang membedakan antara keduanya melihat bahwa istishab Al
Ibahah Al Ashliyyah , berhubungan dengan hukum sesuatu seperti makanan, pakaian dan
yang lainnya, sementara istishab Al Baraa’ah Al Al Ashliyyah berhubungan dengan
perbuatan manusia dalam beban, kewajiban dantanggung jawab sebelum adanya
ketetapan syariah. Istishab ini menurut ulama adalah hujjah.
4. Istishab Al Washfi Al Mustbiti Lil Hukmi Asy Syar’i Hattaa Yastbuta Khilafuhu
1. Kasus orang yang Hilang yang tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah wafat.
Terdapat berbedaan di kalangan fuqoha dalam kasus orang yang hilang dan
tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah wafat.Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah
berpendapat bahwa ia dianggap masih hidup. Maka konsekwensinya, harta orang tersebut
tidak diwariskan kepada ahli warisnya, begitu pula bagiannya dari harta waris
disisihkan jika ada yang meninggal dari kerabatnya, hingga diketahui secara pasti
bahwa ia masih hidup atau sudah wafat. Pendapat ini didasarkan kepada penerapan dalil
Istishab. Ulama Hambaliyah berpendapat seperti pendapat Ulama Malikiyah dan
Syafi’iyah, hanya saja mereka menetapkan batas maksimal masa hilangnya empat tahun.
Setelah empat tahun berlalu, maka ia dianggap sudah wafat.
2. Kasus setatus hukum tayamumnya orang yang melihat air saat menunaikan
shalat
Para fuqaha berselisih pendapat dalam hal najis yang keluar dari selain dua
lubang ( dubur dan kemaluan), seperti muntah, darah fashd atau hijamah. Apakah
hal-hal itu membatalkan wudhu atau tidak ? Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpedapat
bahwa keluarnya najis dari selain dua lobang itu tidak membatalkan wudhu. Pendapat
mereka ini didasarkan kepada penerapan dalil Isitshab, yaitu telah ada kesepakatan
bahwa benda-benda najis itu sebelum keluar dari tubuh hukumnya tidak membatalkan
wudhu, maka hukum ini tetap diberlakukan setelah keluarnya benda-benda najis itu dari
tubuh.
Syar'u man Qablana merupakan syari'at para nabi terdahulu sebelum adanya
syari'at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Telah diketahui bahwa .syar'u man
qablana adalah salah saru dari sekian banyak metode istinbot (penggalian) hukum Islam,
walaupun tampak adanya warna-warna yang mengindikasikan sycr'u man qablana hanya
sebagai penguat teks-teks keagamaan dan bukan dijadikan sebagai petunjuk untuk menggali
hukum, namun seringkali ia tetap dijadikan sebagai metode. Berkaitan dengan hal tersebut,
para ahli usul al-fi.qh menggunakan syar'u man qablana untuk membedakan antara syari'at
atau hukum sebelum Nabi Muhammad menjadi seorang rasul dan hukum di saat ia diutus
sebagai rasul. Namun demikian, tampalnya para ahli usul al-fqh memiliki perspektif yang
berbeda dalam memandang syar'u man qablana. Sejak adanya kesepakatan tersebut, maka
syar'u man qablana dapat dianggap sebagai sebuah solusi terhadap kebimbangan dan kemelut
syari'at yang dihadapi dan selanjumya bernaung dalam sebuah metodologi yang disebut usul
ol-fqh (metodologi hukum Islam).
Namun demikian, posisi syar'u man qablana tampalnya tidak sejelas ketika ia
diperkenalkan untuk penama kalinya, dan bahkan apabila dibandingkan dengan metodologi
usul al-fqh lainnya (seperti qiyos, isrrhson, atislah, istishab, dll), ia sudah tidak lagi popular
bahkan cenderung ditinggalkan, posisinya kini hanyalah sebagai sebuah pajangan atau simbol
yang merupakan warisan dari perjalanan intelektual para ahli usul al-fqh.
E. Hakikat Syar’u Man Qablana
Berkaitan dengan posisi qyor'u man qoblana, Zuhaili (2001, II: 867)
menyatakan bahwa dengan diurusnya Muhammad sebagai nabi pada tahun 611 Masehi, maka
sejak itu pula bahwa syari'at Nabi Muhammad adalah penutup segala syari'at yang diturunkan
Tuhan. Kendati demikian, Zuhaili juga mengatakan bahwa keadaan seperti itu masih
menimbulkan berbagai penanyaan di kalangan para ahli usul ol-fqh, khususnya berkaitan
dengan keterikatan Nabi Muhammad secara pribadi dengan syari'at sebelumnya dan sesudah
ia menjadi Nabi, termasuk pula di dalamnya pengikut-pengikut Nabi Muhammad sampai
sekarang.
Kesimpulan
Secara etimologi istishab berasal dari kata istashaba dari wazan istaf’ala
yang berarti thalabul mushahabah; minta menemani atau menyertai. Dikatakan “Istashabta al
hal” berarti kamu berpegang dengan apa yang ada di masa lalu, seolah kamu
menjadikan keadaan itu menyertai dan tidak berpisah. Adapun arti istishab secara
terminologi, terdapat rumusan yang berbeda dari ulama yang memberikan definisi
istishab, namun perbedaanya tidak sampai pada hal yang prinsip. Istishab juga memiliki
beberapa hakikat dan kehujahannya.
Sedangkan, Syar'u man qablana dalan pandangan para ulama salaf adalah
syari'at-syari'at para nabi terdahulu sebelum adanya syari'at Islam yang dibawa Nabi
Muhammad. Ada beberapa pandangan dalam memahami syar'u man qab' Iana. Ada yang
memahaminya sebagai pembatas (taklrsrs), nasikh dan bahkan sebagai metode, tetapi semua
ini berkaitan dengan keberlakuan syari'at umat terdahulu, apakah ia masih berlaku atau sudah
dibataikan berdasarkan dalil normatif dalam Alqulan yang secara tegas menyebutkan hal
tersebut. Selain itu, adajuga ketentuan syar'u man qoblana yang ditulis kembali dalam
Alqufan tetapi tidak ditemukan ayat lain yang memberlakukan atau membatalkannya.
Terhadap permasalahan ini, terjadi perbedaan pandangan, ada yang memandang hal tersebut
sebagai syari'at Islam ada pula yang memandang sebaliknya.
Saran
Istishab dan syar’u man qablana dalam hukum islam sangatlah berguuna untuk
digunakan pada kehiduoan sekarang maupun dimasa depan karena banyak hakikat yang perlu
diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad bin Idris Asy Syafi’I, Ar Risalah, (Tahqiq Ahmad Syakir) h.204Muhammad bin
Idris Asy Syafi’I, Ar Risalah, (Tahqiq Ahmad Syakir) h.477
Lihat Abid Muhammad As Sufyani, Ast Stabat Wa Asy Syumul fii Asy Syariah Al Islamiyah
( Makkah Al Mukarramah: Maktabah Al Manarah, cet.I, 1408/1988. h.131
Ibnu Hazm Adz Dzohiri, Al Ihkam Fii Ushulil Ahkam, juz 5. h.31
Syihabuddin Al Qarafi, Syarhu Tanqihil Fushul Fii Ikhtisharil Mahsul Fil Ushul, h. 351
Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, I’lamul Muwaqqi’in ‘An Rabbil ‘Aalamin, juz 1, h. 339
Helim, A. (2006). Memposisikan kembali Syar'u Man Qablana sebagai instibat hukum islam.
Himmah, 7(20), 35-50.