Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH USHUL FIQIH

ISTIHSAN dan MASLAHAH MURSALAH

Disusun untuk memenuhi tugas Ushul Fiqih


Dosen pengampu : H.M Kholil Nawawi, Drs., M. Ag

Disusun oleh Kelompok 2

Annisa :
Febrian Ayu Syahrani : 221105011485
Mufidatul Azizah : 221105011477
Nurul Khofifa : 221105011507

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBNU KHALDUN BOGOR
2022
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala Rahmat dan
Hidayah -Nya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Sholawat beriring salam
semoga tercurah limpahkan kepada Baginda Alam, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga,
sahabat, dan ummatnya yang teguh memegang ajaran dan sunnahnya hingga hari yang
dijanjikan.

Terima kasih juga terucap kepada Dosen pembimbing dan rekan-rekan serta pihak yang
telah banyak berkontribusi dalam penyusunan makalah ini, semoga senantiasa diberikan
kemudahan oleh Allah atas segala urusan.

Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah Ushul Fiqih, dengan judul: “Istihsan dan
Maslahah Mursalah”. Kami mengharapkan makalah ini bisa bermanfaat untuk menambah
wawasan serta ilmu pengetahuan bagi kita semua, khusus untuk penyusun maupun mahasiswa
PAI 1E pada umumnya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kemajuan pada tugas-tugas selanjutnya

Bogor, 26 November 2022

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Pertumbuhan Ushul Fiqih tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak zaman
Rasulullah SAW. Pada zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya ada dua yaitu Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Apabila muncul suatu kasus, maka para sahabat langsung bertanya
kepada Rasulullah SAW, akan tetapi setelah Rasulullah SAW wafat muncullah berbagai cara
untuk menetapkan suatu hukum. Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu instrument penting yang
harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan
istinbath hukum dalam Islam.

Dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan
sebagai salah satu syarat mutlaknya atau dengan kata lain untuk menjaga proses ijtihad dan
istinbath tetap pada koridornya maka Ushul Fiqih-lah salah satu penjaganya. Meskipun, Ushul
Fiqih tidak serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid.

Di samping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri seperti penentuan keshahihan suatu
hadits, internal Ushul Fiqih pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di
kalangan para Ushuluyyin. Inilah yang dikenal dengan istilah al-Ushul al- Mukhtalaf Fiha atau
“dalil- dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.

Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada
yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam naqliyah adalah Al
Qur’an, Hadits, Ijma’, Madzhab Shahabi, dan Syar‟u Man Qablana. Sedangkan hukum
Islam menurut aqliyah adalah al- qiyas, al-Istihsan, al-Istishhab, dan al-Mashlahah
alMursalah.Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para
ulama selain sumber hukum yang empat di atas yaitu istihsan, dan maslahah mursalah.

Dalam makalah ini akan membahas dua metode penetapan hukum yang dipakai para
mujtahid dalam menetapkan suatu hukum yaitu istihsan dan maslahah mursalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istihsan

Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (berarti sesuatu yang
baik) dengan adanya huruf tambahan alif, sin, ta menjadi Istihsan berarti “menganggap sesuatu
itu baik”. Atau mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang lebih baik atau mencari
yang lebih baik untuk diikuti. Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda dalam memberikan
pengertian. Menurut Ulama Hanafiyah: “Beralih pandangan dari satu dalil qiyas kepada qiyas
lain yang lebih kuat atau mengecualikan qiyas dengan argumentasi yang lebih kuat”. Menurut
Ulama Malikiyah: “Mengutamakan meninggalkan pengertian suatu dalil dengan
cara istisna’ (pengecualian) dan tarkhis (berdasarkan pada keringanan agama), karena adanya
suatu hal yang bertentangan dengan sebagian pengertian. Atau dapat pula diartikan dengan,
memandang lebih baik sesuai dengan tujuan syari’at untuk meninggalkan ketentuan dalil khusus
dan mengamalkan ketentuan dalil umum
Pendapat Ulama tentang istihsan antara lain:
1. Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan
sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau
mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang
ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu
kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan
hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan
karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan.
Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian
Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
2. Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab
Syafi'i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara' berdasarkan
keinginan hawa nafsu. Imam Syafi'i berkata: "Siapa yang berhujjah dengan istihsan
berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsunya,
sedang yang berhak menetapkan hukum syara' hanyalah Allah SWT." Dalam
buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: "Perumpamaan orang yang
melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke
suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka'bah, tanpa ada dalil
yang diciptakan pembuat syara' untuk menentukan arah Ka'bah itu."
Bahkan al-Imam al-Syafi’I menyusun argumentasi secara detil untuk menolak eksistensi
istihsan:
a. Syari’at itu ditetapkan dengan nash dan qiyas. Istihsan bukan nash dan bukan pula
qiyas. Jika begitu menggunakan istihsan berarti mengakui adanya hukum-hukum yang
belum ditetapkan oleh nash dan qiyas dan ini bertentangan dengan ayat Al-Qur’an
yang artinya “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan saja (tanpa
pertanggung jawaban).”
b. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh menaati Allah dan Rasulnya dan jika terjadi
perselisihan hendaknya dikembalikan kepada Allah dan Rasul. Sedangkan istihsan
tidak termasuk kitab dan sunnah dan juga tidak menunjukkan Al-Qur’an dan Sunnah.
c. Nabi SAW. tidak pernah berfatwa berdasarkan istihsan. Ketika ditanya berbagai kasus
beliau tidak memberikan jawaban berdasarkan istihsan melainkan menunggu wahyu.
d. Nabi menolak fatwa sebagian sahabat berdasarkan istihsan ketika berada jauh dari
Nabi.
e. Istihsan itu tidak menjadi kriteria dan tolak ukur untuk membedakan yang hak dan
yang batil sebagaimana qiyas.
f. Jika istihsan diperbolehkan, padahal ia bukan nash dan juga tidak merujuk kepada
nash, berarti ia menetapkan hukum berdasarkan akal semata. Dan hal ini tidak
dibenarkan. Muhammad Abu Zahrah seperti dikutip Nasrun Haroen, berpendapat
bahwa penolakan Imam Syafi’I terhadap istihsan tidak bersifat menyeluruh. Penolakan
itu menurutnya hanya berlaku pada istihsan yang disebarkan pada urf dan maslalaha
mursalah. Ini sejalan dengan prinsip ulama Syafi’iyah yang menolak eksistensi urf dan
maslalah mursalah sebagai dalil.

Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian
istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab
Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i. Menurut Madzhab Hanafi
istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa
nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian
pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik,
kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat
dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: “orang yang
menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya
semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan
tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang
umum”.
B. Dasar Hukum Istihsan
Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil al-Qur'an dan Sunnah yang
menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti
Firman Allah Swt dalam surah Az-Zumar: 18
‫ واولئك هم اولو االلبابز‬. ‫اولئك الذين هدهم هللا‬. ‫الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه‬
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.
mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang
mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)

Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih
dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu
yang disyariatkan oleh Allah.
‫واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكم‬
Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)

Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik,
dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang
memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah
hujjah.
Hadits Nabi saw:
‫فَ َما َرَأى ْال ُم ْسلِ ُمونَ َح َسنًا فَه َُو ِع ْن َد هَّللا ِ َح َس ٌن َو َما َرَأوْ ا َسيًِّئا فَهُ َو ِع ْن َد هَّللا ِ َسيٌِّئ‬.
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah
adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk
pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-
sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
C. Macam-macam Istihsan
Istihsan ada dua jenis yaitu: dapat dilihat dari segi pemindahan hukumnya dan dari
sandaran dalilnya.
1. Adapun istihsan dari segi pemindahan hukumnya, terbagi dua macam yaitu sebagai
berikut:
a. Istihsan dengan cara pemindahan hukum kulli kepada hukum juz'i.
Contohnya : ketika melakukan transaksi jual beli maka barang yang akan dibeli harus ada
atau jelas keberadaannya serta harus sesuai dengan tempo waktu akad jual
beli antara pembeli maupun penjual, kadar atau takaran barang tersebut juga
harus jelas sesuai timbangan. Namun jika keringanan bagi pembeli yang
tidak mempunyai si pembeli mampu memberikan uang muka terleih dahulu.
Maka ada pengecualian hal tersebut.
b. Istihsan dengan cara pemindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil
yang mengharuskan pemindahan itu.
Contohnya : Perempuan kepada laki-laki diperbolehkan meng-qashar shalat diperjalanan,
walaupun terdapat perbedaan jenis kelamin, tapi perbedaan ini bisa
dikesampingkan karena dalam keadaan dharurat yaitu sedang dalam
perjalanan yang jauh.
2. Adapun istihsan dari segi sandaran dalilnya, terbagi beberapa macam yaitu sebagai
berikut :
1. Istihsan berdasarkan nash (Nash artinya ayat al-Qur’an atau hadits nabawi).
Istihsan berdasarkan nash, artinya: istihsan yang dilakukan berdasarkan adanya nash yang
menjelaskan hukum kasus terkait.
Misalnya: hukum jual-beli secara inden. Jual beli yang barangnya belum ada. Jual-beli dengan
sistem inden ini sebenarnya bertentangan dengan kaidah umum. Bahwa seseorang tidak bisa
menjual sesuatu yang belum dia miliki. Jual-beli itu barangnya harus sudah ada. Namun ternyata
ada sebuah hadits yang secara tegas memperbolehkan jual-beli dengan sistem inden ini. Istilah
jual-beli ini adalah bai’ salam.

ِ ِّ‫النبي صلَّى هللاُ علي ِه وسلَّ َم وهم يُسلِفونَ في الث‬


‫مار السَّنةَ والسنتين‬ ُّ ‫ق ِدم‬

‫معلوم‬
ٍ ‫معلوم إلى أ َج ٍل‬
ٍ ‫ووزن‬
ٍ ‫معلوم‬
ٍ ْ ِ‫ من أسلفَ في شي ٍء فليُسل‬:‫فقال‬
‫ف في كي ٍل‬

Adalah Nabi Muhammad Saw. baru saja hadir di kota Madinah. Sementara penduduk
Madinah biasa melakukan jual-beli kurma secara inden (bai’ salam). Maka Nabi bersabda,
“Barangsiapa melakukan jual-beli secara inden, hendaknya dia melakukannya dengan takaran
yang jelas, timbangan yang jelas, dengan tempo yang pasti.” (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Istihsan berdasarkan ijma’ (Ijma’ artinya kesepakatan para ulama).
Istihsan berdasarkan ijma’ artinya: istihsan yang dilakukan berdasarkan adanya ijma’ dalam
hukum kasus terkait.
Misalnya, hukum jual-beli untuk barang yang hanya ada contohnya. Atau disebutkan
spesifikasinya. Seperti kita pesan meja atau rumah. Barangnya belum ada. Masih akan dibuatkan.
Dalam hukum Islam disebut istishna’. Istishna’ ini menurut kaidah umum hukum Islam adalah
tidak boleh, tidak sah. Karena istishna’ itu merupakan akad yang barangnya belum ada. Masih
akan dibuatkan. Namun ternyata ada ijma’ di antara para ulama. Bahwa istishna’ itu hukumnya
adalah boleh, alias sah. Berdasarkan ijma’ ini, maka yang semula tidak boleh menjadi boleh.
Yang semula tidak sah menjadi sah.
3. Istihsan berdasarkan qiyas khafi
Qiyas khafi itu merupakan kebalikan qiyas jali. Bila qiyas khafi itu sifatnya samar dan lemah.
Maka qiyas jali itu sifatnya terang dan kuat. Istihsan berdasarkan qiyas khafi artinya: istihsan
yang dilakukan berdasarkan adanya qiyas khafi dalam hukum kasus terkait, dengan
meninggalkan qiyas jali.
Misalnya kasus tanah wakaf. Akad wakaf tanah itu lebih dekat diqiyaskan kepada akad jual-
beli atau akad sewa-menyewa. Akad wakaf itu bisa diqiyaskan kepada akad jual-beli. Karena
tujuan dari akad wakaf dan akad jual-beli itu sama-sama merupakan akad pemindahan hak milik.
Akad wakaf itu juga bisa diqiyaskan kepada akad sewa-menyewa. Karena akad wakaf dan akad
sewa-menyewa itu sama-sama merupakan pemindahan hak guna. Qiyas akad wakaf kepada akad
jual-beli itu lebih jelas, daripada akad wakaf kepada akad sewa-menyewa. Qiyas akad wakaf
kepada akad jual-beli itu merupakan qiyas jali. Adapun qiyas akad wakaf kepada akad sewa-
menyewa itu merupakan qiyas khafi.
Masalahnya, bila seseorang memiliki tanah seluas 1.000 meter. Lalu dia wakaf tanah
seperempatnya. Sedangkan letak tanah itu ada di sebelah tengah yang tidak punya akses jalan ke
luar. Maka, bila kita pakai qiyas jali. Maka tanah itu selamanya tidak punya jalan ke luar. Untuk
memiliki jalan akses ke luar, maka harus membeli tanah tambahan sebagai jalan akses dari orang
yang wakaf tadi. Bila kita pakai qiyas khafi. Maka tanah itu harus diberi jalan akses ke luar.
Tanpa beli kepada orang yang wakaf tadi. Jadi orang yang wakaf tadi harus memberikan
tambahan tanah wakaf sebagai jalan akses ke luar.
4. Istihsan berdasarkan ‘urf
‘Urf adalah adat istiadat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Apabila ‘urf tidak
bertentangan dengan syariat Islam, maka ia bisa menjadi dalil yang cukup kuat. Namun apabila
bertentangan dengan syariat, maka ‘urf itu tidak dianggap dan tidak bisa digunakan sebagai dalil.
Istihsan berdasarkan ‘urf artinya: istihsan yang dilakukan berdasarkan adanya ‘urf berkaitan
dengan perkara terkait.
Misalnya, wakaf itu asalnya harus berupa benda yang tidak bergerak. Seperti: tanah
pertanian, tanah perkebunan, ataupun tanah kosong. Namun, wakaf itu juga boleh berupa benda
yang bergerak. Karena adanya ‘urf dalam masalah wakaf ini. Seperti: wakaf sepeda motor,
mobil, emas perhiasan, bahkan uang kertas.
5. Istihsan berdasarkan maslahah
Maslahah artinya manfaat yang tidak bertentangan dengan syariat. Bila tidak bertentangan
dengan syariat, maka maslahah itu bisa menjadi dalil yang cukup kuat. Sama halnya dengan ‘urf.
Namun bila bertentangan dengan syariat, maka maslahah itu tidak bisa digunakan sebagai dalil.
Seperti minuman keras dan perjudian. Keduanya bisa mendatangan maslahah. Namun
bertentangan dengan syariat. Ada ayat dan hadits yang secara tegas mengharamkan minuman
keras dan perjudian. Sehingga maslahah dalam hal ini tidak bisa digunakan sebagai dalil.
Istihsan berdasarkan maslahah artinya: istihsan yang dilakukan berdasarkan adanya maslahah
berkaitan dengan perkara terkait.
Misalnya, bila kita masuk toko barang pecah-belah. Seperti: gelas, piring dan guci. Bila kita
tidak sengaja memecahkan barang di situ, apakah kita harus memberikan ganti rugi? Hukum
asalnya, bila tidak sengaja, maka tidak wajib mengganti.
Namun hukum itu berubah berdasarkan maslahah. Meskipun tidak sengaja, orang yang
memecahkan barang di toko, maka dia wajib membelinya. Atau istilah populernya: Memecahkan
berarti membeli. Atau merusak berarti membeli. Karena bila setiap orang yang memecahkan
barang di toko itu tidak wajib memberikan ganti rugi, maka yang menanggung adalah si pemilik.
Tentunya hal ini akan sangat merugikannya. Oleh karena itu, berlakulah istihsan dalam masalah
seperti ini. Demi sebuah maslahah.
6. Istihsan berdasarkan dharurah
Dharurah itu artinya kondisi yang di luar kendali kita. Baik karena ancaman orang lain,
maupun kondisi tertentu yang di luar kemampuan kita untuk menghindarinya. Istihsan
berdasarkan dharurah artinya “istihsan yang dilakukan berdasarkan adanya kondiri dharurah
yang berkaitan dengan perkara terkait”.
Misalnya, menghirup uap nasi maupun masakan itu sebenarnya membatalkan puasa. Namun
bagi orang yang sedang masak, tentu dia tidak bisa menghindarinya. Secara dharurah dia pasti
selalu membaui berbagai aroma masakan yang membuatnya kenyang. Sehingga biasanya orang
yang habis masak itu tidak makan langsung. Karena dia sudah merasa kenyang. Nah, orang yang
sedang masak itu tidak bisa meninggalkan dapur. Meskipun sedang puasa, mau tidak mau dia
akan selalu mencium aroma masakan.
Secara hukum, sebenarnya orang yang sedang memasak di dapur itu batal puasanya. Namun
karena alasan dharurah, sesuatu yang di luar kemampuan untuk menghindarinya, maka puasa
orang itu tidak batal. Alias tetap sah.
D. Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah menurut lughat (fitologi) terdiri dari dua kata, yaitu maslahah
َ menjadi ‫ ص ُْلحًا‬atau ‫َمصْ لَ َحة‬
ٍ ُ‫صلَ َح – يُصْ ل‬
mursalah. Kata maslahah berasal dari kata kerja bahasa arab ‫ح‬
yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata mursalah berasal dari kata
kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu : - ‫ ُمرْ ِس ٌل يُرْ ِس ُل اَرْ َس َل‬-ً‫ اِرْ َساال‬- menjadi
‫ ُمرْ َس ًل‬yang berarti diutus, dikirim, atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi
maslahah mursalah yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan
suatu hukum islam. Juga berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).
Sedangkan pengertian menurut para ulama diantaranya adalah:
1. Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah: memelihara tujuan syara’ dengan
jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan makhluk.
2. Menurut Imam Ar-Razi maslahah adalah perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan
oleh musyarri’ (Allah) kepada hambaNya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya,
keturunannya, dan harta bendanya.
3. Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali, maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan
menolak madharat.
Menurut etimologi maslahah berarti kepentingan hidup manusia, sedangkan mursalah
berarti sesuatu yang tidak ada ketentuan nash syari’at yang menguatkan atau membatalkannya.
Maslahah mursalah atau disebut dengan istilah secara terminologi menurut ulama-ulama usul,
adalah maslahah yang tidak ada ketetapannya dalam nash yang membenarkan atau yang
membatalkannya. Metode ini merupakan salah satu cara dalam menetapkan hukum yang
berkaitan dengan masalah-masalah yang ketetapannya sama sekali tidak disebutkan dalam nash
dengan pertimbangan untuk mengatur kemaslahatan hidup manusia. Prinsipnya, menarik
manfaat dan menghindari kerusakan dalam upaya memelihara tujuan hukum yang lepas dari
ketetapan dalil syara’.
Kedudukan dan keberadaan maslahah mursalah ini sangat penting dalam mengantisipasi
perkembangan zaman dan kemajuan umat manusia, sehubungan dengan meninggalnya
Rasulullah dan terhentinya wahyu Ilahi.
Syekh Muhammad Mustafa Wahbah Al-Zuhaili mengatakan, bahwa maslahah mursalah
adalah;

‫ ولم يدل دليل شرعي على اعتبارها أو إلغائها‬،‫المصلحة التي لم ينص الشارع على حكم لتحقيقها‬
Maslahah mursalah adalah jenis maslahat yang mana Allah tidak menyebutkan satu
ketentuan hukum pun untuk mewujudkannya. Dan tidak ada dalil agama yang menunjukkan
penerimaan atau pengabaian terhadapnya. (Al-Wajiz Fi Ushul Al-Fiqh Al-Islami, jilid 1, hlm.
253).
Secara bahasa, maslahah memiliki arti adanya manfaat. Secara istilah, Imam Ghozali
menjelaskan bahwa pada dasarnya, maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak
kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’. Di mana apa yang baik menurut
akal juga selaras dengan tujuan syara menetapkan hukum. Dan apa yang baik menurut akal dan
selaras dengan tujuan syara tersebut tidak ditemukan petunjuknya secara khusus, baik berupa
pengakuannya maupun penolakannya.
D. Macam- Macam Maslahah Mursalah
1. Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, maslahah ada tiga
macam yaitu: maslahah daruriyyah, maslahah hajiyyah, dan maslahah tahsiniyyah.
a) Maslahah daruriyyah adalah kemaslahatan yang keberadaanya sangat dibutuhkan oleh oleh
kehidupan manusia, artinya kehidupan manusia tidak punya arti apa-apa bila satu saja
dari prinsip yang lima itu tidak ada. Yakni lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia,
yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Untuk memelihara keberadaan jiwa yang
telah diberikan Allah bagi kehidupan, manusia harus melakukan banyak hal, seperti
makan, minum, menutup badan dan mencegah penyakit. Manusia juga perlu berupaya
dengan melakukan segala sesuatu yang memungkinkan untuk meningkatkan kualitas
hidup. Segala usaha yang mengarah pada pemeliharaan jiwa adalah perbuatan baik,
karenanya disuruh Allah untuk melakukannya. Sebaliknya, segala sesuatu yang dapat
menghilangkan atau merusak jiwa adalah perbuatan buruk dilarang Allah.
Dalam hal ini Allah melarang menjatuhkan diri kepada kebinasaan sebagaimana firman-Nya
dalam surat al-baqarah ayat 195: Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan. (QS. Al-Baqarah:195).
b) Maslahah hajiyyah adalah kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya
tidak berada pada tingkat darury. Bentuk kemaslahatannya tidak secara langsung bagi
pemenuhan kebutuhan pokok yang lima, tetapi secara tidak lengsung menuju kearah sana
seperti dalam hal yang memberi kebutuhan hidup manusia. Maslahah hajiyah jika tidak
terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak sampai secara langsung menyebabkan
rusaknya lima unsur pokok tersebut.
c) Maslahah Tahsiniyah adalah kemaslahatan yang sifatnya komplementer (pelengkap),
berupa keleluasan dan kepatutan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya
(Maslahah al-hajiyyah). Dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk
penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok.
Tiga bentuk maslahah tersebut, secara berurutan menggambarkan tingkatan
peringkat kekuatannya. Yang kuat adalah maslahah dharuriyah, kemudian dibawahnya
adalah maslahah hajiyyah dan berikutnya maslahah tahsiniyah. Perbedaan tingkat
kekuatan ini terlihat bila terjadi perbenturan kepentingan antar sesamanya. Dalam hal ini
harus didahulukan dharuri atas hajiyyah, dan didahulukan hajiyyah atas tahsiniyah.
2. Sedangkan dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akal itu dengan
tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, ditinjau dari maksud usaha mencari dan menetapkan
hukum, maslahah itu disebut juga dengan munasib atau keserasian maslahah dengan tujuan
hukum. Maslahah dalam artian munasib itu dari segi pembuat hukum (syari)
memperhatikannya atau tidak, maslahah terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Maslahah mu‘tabarah ialah suatu kemaslahatan yang dijelaskan dan diakui
keberadaannya secara langsung oleh nash.
Sebagai contoh, untuk melindungi jiwa manusia, Islam menetapkan hukum qiyas
terhadap pembunuhan secara sengaja. Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-
Baqarah ayat 178: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat
suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah yang mema’afkan mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah yang diberi ma’af membayar (diat) kepada yang
memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. Demikian pula, untuk
memelihara dan menjamin keamanan pemilik harta, Islam menetapkan hukum
potong tangan bagi pelaku pencurian. Untuk memelihara kehormatan manusia, Islam
melarang melakukan zina.
b. Maslahah Mulgah, yaitu sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal pikiran, tetapi
dianggap palsu karena kenyataannya bertentangan dengan ketentuan syariat.
Misalnya, ada anggapan bahwa menyamakan pembagian warisan antara anak
laki-laki dan wanita adalah maslahah. Akan tetapi, kesimpulan seperti itu
bertentangan dengan ketentuan syariat, yaitu ayat 11 Surat an-Nisa’ yang
menegaskan bahwa pembagian laki-laki dua kali pembagian anak perempuan.
Adanya pertentangan itu menunjukkan bahwa apa yang dianggap maslahat itu, bukan
maslahat disisi Allah.
c. Maslahah Mursalah, yang pengertiannya adalah seperti dalam definisi yang disebutkan
di atas. Maslahat macam ini terdapat dalam masalahmasalah muamalah yang tidak
ada ketegasan hukumnya dan tidak pula ada bandingannya dalam al-Qur’an dan
Sunnah untuk dapat dilakukan analogi.
Contohnya, peraturan lalu lintas dengan segala ramburambunya. Peraturan seperti
itu tidak ada dalam Al-Qur’an maupun dalam sunnah Rasulullah. Namun peraturan
seperti itu sejalan dengan tujan syariat, yaitu dalam hal ini adalah untuk memelihara
jiwa dan harta.
Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi dua, yaitu maslahah garibah dan
maslahah mursalah. Maslahah garibah adalah kemaslahatan yang asing, atau
kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan syara’, baik secara rinci maupun
secara umum. Al-Syatibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan
dalam praktek, sekalipun ada dalam teori. Maslahah mursalah adalah kemaslahatan
yang tidak didukung dalil syara’ atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh
sekumpulan makna nash.
F. Contoh-contoh Maslahah Mursalah
Adapun beberapa contoh masalah yang menggunakan ketentuan hukum berdasarkan
maslahat yaitu antara lain:

1. Sahabat mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf alasannya semata- mata karena
maslahat, yaitu menjaga Al-qur’an dari kepunahan atau kehilangan kemutawatiranya
karena meninggalnya sejumlah besar penghapal Al-quran dari generasi sahabat.

2. Khulafau ar-Rasyidin menetapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada pada


para tukang. Padahal menurut hukum asal, bahwasanya kekuasaan mereka
didasarkan atas kepercayaan. Akan tetapi ternyata seandainya mereka tidak dibebani
tanggung jawab mengganti rugi, mereka akan berbuat ceroboh dan tidak memenuhi
kewajibannya untuk menjaga harta benda orang lain yang berada dibawah
tanggungjawabnya.
3. Umar bin Khattab RA sengaja menumpahkan susu yang dicampur air guna memberi
pelajaran kepada mereka yang berbuat mencampur susu dengan air. Sikap Umar itu
tergolong dalam kategori maslahah, agar mereka tidak mengulangi perbuatannya
lagi.

4. Diperbolehkannya mengangkat seorang penguasa mafdhūl (bukan yang terbaik).


Penolakan akan bai’at dikhawatirkan berakibat timbulnya kemudharatan, kerusakan,
kegoncangan serta kekosongan pemerintah.

5. Apabila uang kas negara mengalami defisit, dan tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan- kebutuhan pembiayaan tentara, maka bagi pemerintah diperbolehkan
menarik pungutan wajib kepada orang- orang kaya untuk menutupi kebutuhan
mereka yang mendesak, sampai baitul mal mendapatkan masukan uang atau
kebutuhan mereka tercukupi.

6. Apabila keadaan serba haram menggejala dan melanda diseluruh dunia atau pada
suatu daerah tertentu yang penduduknya mengalami hambatan untuk pindah
kedaerah lain, dan mereka sulit mendapat lapangan pekerjaan yang baik (halal) dan
terdesak oleh kebutuhan yang melebihi dari sekedar mempertahankan hidup, maka
bagi mereka diperbolehkan secara terpaksa untuk memasuki dan menerima lapangan
pekerjaan yang buruk demi menolak darurat dan menutupi hajat (kebutuhan).

7. Pencatatan berbagai aktivitas transaksi di lembaga-lembaga pemerintahan,


perkantoran dan Pengadilan menjadi alasan atau ilat hukum terwujudnya kemaslahatan
memelihara dan menjamin hak-hak terutama pada masa modern ini yang telah muncul
berbagai masalah muamalah yang tidak jarang menimbulkan kecurangan dan
kurangnya kepercayaan, misalnya, keharusan pencatatan akad nikah (Buku Nikah) dan
perceraian di laksanakan di Pengadilan Agama dibuktikan dengan Akta Cerai.

8. Tuntunan Beribadah dimasa pandemi Copid-19 seperti, mengganti Sholat Jum’at


dengan sholat Dzuhur, meninggalkan sholat Jum’at bagi Muslim yang terpapar
pandemi , tidak melaksanakan Sholat berjama’ah di Masjid, menutup sementara
masjid, menggunakan masker dalam sholat, menggunakan hand sanitizer, seperti
dibulan Ramadhan sekarang dengan tidak melakukan Buka puasa Bersama, tidak
melakukan Sholat Taraweh dan Witir Berjama’ah di Masjid cukup dengan keluarga di
rumah. Tidak melakukan I’tikaf di Masjid, teknis mengeluarkan Zakat Fitrah dan mal
dengan mengoptimalkan penjemputan oleh amilin, meniadakan pelaksanaan Idul fitri
dan tradisi berma’afan secara langsung bersentuhan, Menunda pelaksanaan Resepsi
dan aqad nikah, Pola pengurusan jenazah yang terpapar pandemi, membatasi Interaksi
sosial di Masa pandemi ( Work From Home, Tidak boleh Mudik, Kedermawanan,
memaksimalkan penggunaan Kas Masjid untuk Penanggulangan Covid-19, dll).
Semuanya ini merupakan bentuk Ijtihad yang dilakukan oleh Ulama dan Ulil Amri di
Indonesia untuk upaya lahiriyah memutus mata rantai penyebaran wabah yang akan
menimbulkan kemadlaratan bagi dirinya dan kemadlaratan bagi orang lain (la dharar
wa la dhiror) artinya hal tersebut memperioritaskan keselamatan diri dan keselamatan
bersama (fiqih al-awlawiyat).
G. Kehujjahan Istihsan dan Maslahah Mursalah
Menurut mazhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu
kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut mazhab Syafi’i dan dan yang
lainnya istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih
enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian
yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu Al-Syathibi dalam
bukunya Al-Muwaafaqaat menengahi kedua kubu ini dalam ungkapannya: “Orang yang
menetapkan hukum berdasarkn istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata,
akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan
Allah swt. menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum.”
Pertama, sesungguhnya syariat Islam itu sudah memperhatikan seluruh kemaslahatan
umat manusia dalam nash-nashnya, maupun qiyas yang berdasar padanya. Karenanya, maslahat
yang tidak mendapatkan kesaksian (syahid) dari syar’i, berarti ia tak terhitung sebagai maslahat.
Dan jika kita tetap memaksakan menggunakan, secara tidak langsung berarti kita telah
mengatakan bahwa syariat Islam itu cacat atau tidak lengkap.
Kedua, tasyri’ atau penetapan hukum atas dasar maslahat itu membuka peluang bagi
masuknya hawa nafsu, yang mana hawa nafsu ini bisa saja menyebabkan seseorang salah
memandang sesuatu sebagai maslahat padahal sesuatu tersebut merupakan satu mafsadat.
Ketiga, boleh berhujjah dengan maslahah mursalah. Di antara argumentasi mereka adalah
Keadaan atau kondisi manusia itu akan terus berubah dan berkembang sepanjang zaman (tak
terbatas), sedangkan ushul juz’iyah yang digunakan untuk menetapkan hukum itu sifatnya tetap
dan tidak berubah (terbatas). Maka dari itu diperlukan cara lain untuk menghukumi hal-hal baru
tersebut agar bisa ‘menyesuaikan’ dengan maslahat umat manusia sepanjang zaman, yakni
dengan menimbang aspek maslahat dan mafsadatnya.
Keempat, perbuatan sahabat dan tabi’in yang menghukumi berbagai hal dengan landasan
‘hanya’ untuk menciptakan maslahat. Misalnya keputusan Khalifah Abu Bakar untuk
mengumpulkan al-Quran dalam satu mushaf dan memerangi orang yang enggan membayar
zakat. Dua keputusan tersebut tidak lain hanya untuk menciptakan maslahat semata..
Sebagai catatan, para ulama yang menyatakan bahwa maslahah mursalah adalah sumber
hukum Islam yang independen, maslahat tersebut harus memenuhi tiga syarat:

1. Maslahah harus bersifat faktual. Dalam arti dapat mendatangkan manfaat bagi
masyarakat atau mencegah keburukan dari mereka. Tidak dianggap maslahat yang
bersifat masih ‘kemungkinan kuat’ atau ‘kemungkinan kecil’.
2. Maslahah harus bersifat umum, berdampak pada komunitas masyarakat atau mayoritas
masyarakat. Tidak dianggap maslahah yang bersifat individu atau kemaslahatan
kelompok minoritas tertentu.
3. Hukum yang didasarkan pada maslahah tidak bertentangan dengan hukum yang
ditetapkan berdasar pada nash Al-Quran/As-Sunnah dan ijma’.
PENUTUP
II. Kesimpulan
1. Istihsan
Istihsan adalah berpalingnya (pindahnya) seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali
(nyata) kepada tuntutan qiyas yang Khafi (samar), atau dari hukum Kulli (umum) kepada hukum
istitsnai (pengecualian), karena terdapat dalil yang mementingkan perpindahan.
Dasar-dasarnya terdapat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang maknanya denotatif, yaitu QS.
Az-Zumar: 18, 55 dan hadits Nabi “Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang
baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka
disisi Allah adalah buruk pula”
Pembagian Istihsan: istihsân dengan nash, ijmâ’, dhorurat, qiyâs khafî, ‘urf, dan
mashlahah. Segolongan ulama’ berpendapat bahwa istihsan bukan dalil yang berdiri sendiri,
tetapi memerlukan dan berpokok pangkal pada dalil syar’i lain.
2. Maslahah Mursalah
Yaitu suatu hukum yang ditetapkan untuk memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’
yaitu menolak madharat dan meraih maslahah. Pembentukan maslahah mursalah harus
memenuhi beberapa syarat diantaranya: Maslahah itu harus hakikat bukan dugaan., Maslahah
harus bersifat umum dan menyeluruh., Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum
yang dituju oleh syari’, Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar.
Maslahah dibagi menjadi tiga macam yaitu, Maslahah Dharuriyyah, Maslahah Hajjiyah,
dan Maslahah Tahsiniyah. Mengenai kehujjahan Maslahah mursalah, para ulama mempunyai
perbedaan pendapat.
DAFTAR REFERENSI
(Desember 2016)https://suduthukum.com/2016/12/macam-macam-maslahah-
mursalah.html#:~:text=SUDUT%20HUKUM%20%7C%20Macam%2DMacam%20Maslahah
%20Mursalah&text=Dari%20segi%20kekuatannya%20sebagai%20hujjah,maslahah
%20hajiyyah%2C%20dan%20maslahah%20tahsiniyyah.
https://www.kompasiana.com/musfimuroqobah/5f9cb7428ede484a91782d12/paradigma-
istihsan-istishab-maslahah-mursalah?page=2&page_images=1
https://duniakampus7.blogspot.com/2014/04/dasar-hukum-istihsan.html
https://jabar.kemenag.go.id/portal/read/maslahah-mursalah-dalam-kedudukannya-sebagai-
sumber-hukum-islam
M Khoirul Huda. Januari 2022. https://harakah.id/maslahah-mursalah-definisi-kehujjahan-dan-
contohnya/
https://harakah.id/maslahah-mursalah-definisi-kehujjahan-dan-contohnya/

Anda mungkin juga menyukai