Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Generasi dimana Nabi Saw, diutus adalah generasi para sahabat. Mereka
adalah sebaik-baiknya generasi, dari aspek keimanan mereka sangat memegang
teguh ajaran Islam, dan mencintai Allah SWT dan RasulNya melebihi dari
segalanya. Hal ini bisa dilihat dari kisah para sahabat dalam mempertahankan
aqidah mereka, meskipun harus disiksa dan didera oleh berbagai siksaan dan
cacian dari kafir quraisy. Mereka adalah generasi yang patut kita jadikan teladan,
baik dari kuatnya keimanan, pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari dan
menyebarkan ajaran Islam kepada yang lainnya.

Terlepas dari segala keutamaan yang dimiliki oleh para sahabat. Para
ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan segala hal yang sampai pada kita
dari sahabat baik itu berupa perkataan, perbuatan ataupun fatwa sebagai salah satu
sumber pengambilan hukum dalam Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian mazhab shahabi?
2. Bagaimana keadaan para sahabat setelah Rasulullah wafat?
3. Bagaimana kehujjahan mazhab shahabi?
4. Jelaskan bentuk-bentuk Madhab Sahabi !
5. Apa dasar hukum Madhab Sahabi ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian mazhab shahabi.
2. Untuk mengetahui keadaan para sahabat setelah Rasulullah wafat.
3. Dapat menjelaskan macam-macam mazhab shahabi.
4. Untuk mengetahui kehujjahan mazhab shahabi.
5. Permasalahan dalam kehidupan Masyarakat

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mazhab Shahabi

Yang dimaksud dengan madzhab shahabi ialah pendapat sahabat


Rasulullah SAW tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara
tegas dalam Alquran dan sunnah Rasulullah.

Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah, adalah setiap orang


muslim yang hidup bergaul dengan Rasulullah dalam waktu yang cukup lama
serta menimba ilmu dari Rasulullah.

Menurut sebagian ulama Ushul Fiqh, mazhab shahabi merujuk pengertian


pada pendapat hukum para sahabat secara keseluruhan tentang suatu hukum
syara’ yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dimana pendapat para
sahabat tersebut merupakan hasil kesepakatan diantara mereka.1

B. Keadaan Para Sahabat setelah Rasulullah Wafat

Setelah Rasulullah SAW wafat, tampillah para sahabat yang telah


memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqh untuk memberikan fatwa kepada
umat Islam dan membentuk hukum. Hal ini karena merekalah yang paling lama
bergaul dengan Rasulullah SAW dan telah memahami Al-Qur’an serta hukum-
hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peristiwa yang
bermacam-macam. Para mufti dari kalangan tabi’in dan tabi’it-tabi’in telah
memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa mereka. Diantara
mereka ada yang mengodifikasikannya bersama sunnah-sunnah Rasul, sehingga
fatwa-fatwa mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang
disamakan dengan nash. Bahkan, seorang mujtahid harus mengembalikan suatu

1
Rahman Dahlan,M.A,Ushul Fiqh, Cet.1, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm.225

2
permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada qiyas, kecuali kalau
hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat Islam.2

C. Kehujjahan Madzhab Shahaby dan Pandangan para Ulama

Dari uraian di atas, tidak diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat
dianggap sebagai hujjah bagi umat Islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa
dijangkau oleh akal. Karena pendapat mereka bersumber langsung dari Rasulullah
SAW., seperti ucapan Aisyah,”Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut
ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah
bayangan alat tenun”.3 Dan seperti yang dikatakan Ibnu Mas’ud bahwa sekurang-
kurangnya masa haid adalah 3 hari.

Keterangan di atas tidaklah sah untuk dijadikan lapangan ijtihad dan


pendapat, namun karena sumbernya benar-benar dari Rasulullah SAW maka
dianggap sebagai sunnah meskipun pada zahirnya merupakan ucapan sahabat.

Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lain bisa


dijadikan hujjah oleh umat Islam. Hal ini karena kesepakatan mereka terhadap
hukum sangat berdekatan dengan zaman Rasulullah SAW. mereka juga
mengetahui tentang rahasia-rahasia syari’at dan kejadian-kejadian lain yang
bersumber dari dalil-dalil yang qath’i. Seperti kesepakatan mereka dalam
pembagian waris untuk nenek yang mendapat bagian seperenam. Ketentuan
tersebut wajib diikuti karena tidak diketahui adanya perselisihan dari umat Islam.

Adanya perselisihan biasanya terjadi pada ucapan sahabat yang keluar dari
pendapatnya sendiri sebelum ada kesepakatan dari sahabat yang lain. Abu Hanifah
menyetujui pernyataan tersebut dan berkata,”Apabila saya tidak mendapatkan
hukum dalam Al-Qur’an dan Sunnah, saya mengambil pendapat para sahabat
yang saya kehendaki, dan saya meninggalkan pendapat orang yang tidak saya

2
Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A., Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Penerbit PUSTAKA SETIA
Bandung), hal. 141
3
Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Bandung: Penerbit Risalah,1985),
hal. 142

3
kehendaki. Namun, saya tidak keluar dari pendapat mereka yang sama dengan
yang lainnya.”

Dengan demikian Abu Hanifah tidak memandang bahwa pendapat seorang


sahabat itu sebagai hujjah karena dia dapat mengambil pendapat mereka yang ia
kehendaki, namun dia tidak memperkenankan untuk menentang pendapat-
pendapat mereka secara keseluruhan. Dia tidak memperkenankan adanya qiyas
untuk suatu peristiwa, bahkan dia mengambil cara nasakh
(menghilangkan/menghapus) terdapat berbagai pendapat yang terjadi diantara
mereka.

Menurut Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang sahabat mengenai


hukum suatu kejadian sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma’
diantara keduanya. Maka jika keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan
berarti telah keluar dari ijma’ mereka.

Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu di


kalangan sahabat tidak dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau memperkenankan
untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad
untuk mengistinbat pendapat lain. Dengan alasan bahwa pendapat mereka adalah
pendapat ijtihadi secara perseorangan dari orang yang tidak ma’sum (tidak terjaga
dari dosa).

Selain itu, para sahabat juga diperbolehkan menentang sahabat lainnya.


Dengan demikian, para mujtahid juga dibolehkan menentang pendapat mereka.
Maka tidaklah aneh jika Imam Syafi’i melarang untuk menetapkan hukum atau
memberi fatwa, kecuali dari Kitab dan Sunnah atau dari pendapat yang disepakati
oleh para ulama, dan tidak terdapat perselisihan diantara mereka, atau
menggunakan qiyas pada sebagiannya. Imam Syafi’i menyatakan,”Tidak
diperkenankan memberikan hukum atau fatwa melainkan berdasarkan berita yang
benar yang datang dari Al-Qur’an dan Sunnah atau apa-apa yang disepakati ahli
ilmu yang tidak berbeda, atau dengan mengadakan qiyas.”

4
Pendapat seorang shahabi tidak harus diikuti oleh shahabat lainnya.4
Seperti saat Ali diminta oleh Qadli Syuraih mengemukakan saksi, maka beliau
mengemukakan seorang budaknya yang telah dimerdekakan dan anaknya Hasan.
Syuraih menolak Al Hasan. Ali berpendapat bahwa seorang anak dapat dijadikan
saksi. Hal ini merupakan suatu dalil bahwa pendapat sahabat tidak menjadi hujjah.
Ali pun tunduk kepada putusan Syuraih.Akhirnya Yahudi yang menuduh Ali itu
mengaku, bahwa yang dipertengkarkan itu benar milik Ali.5

Pendapat sahabi yang tidak kita ketahui ada sahabi yang


menentangnya,dapat dijadikan hujjah karena diamnya sahabat itu sesuai dengan
kehendak syara’. Pendapat yang berdasarkan ijtihad yang dapat difahami dan
diperoleh dengan kekuatan akal dan diperselisihkan para sahabat, inilah yang
diperselisihkan oleh fuqoha. Menurut jumhur menjadi hujjah sedangkan diantara
yang menolak pendapat shahabi, ialah al-Ghazali dan Asy-Syaukani.6

Jumhur berpendapat bahwa para sahabat lebih dekat kepada dapat


memahami ruhusy syari’ah dan maksud-maksudnya. Banyak hadist yang dapat
dijadikan dalil bahwa pendapat shahabi adalah hujjah. Ibnul Qayyim menguatkan
pendapat jumhur dan menempatkan shahabi sesudah ijma’.

Malik dan Ahmad banyak berpegang kepada pendapat-pendapat shahabi.


Keduanya memandang bahwa pendapat shahabat adalah sumber tasyri’ dibawah
ijma. Adapun golongan hanafiyah dan Syafi’iyah memandangnya lebih dekat
kepada benar, mereka mengambil pendapat shahabi atas dasar taqlid.7

D. Bentuk-Bentuk Madhab Shahabi

Para ulama membagi qaul al-Shahabi ke dalam beberapa macam, di antaranya:8

4
Imam as-Shan’ani, Subulussalam, hal.94
5
Asy-Syatibi, Al-Muwafaqot, hal 40
6
Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal.214, Imam Ghazali, Al-Mustashfa, hal. 260
7
M. Hasbi Ashiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta, PT Bulan Bintang, 1993), hal. 182

5
a. Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad.

Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa
dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dari Nabi SAW sangat besar,
sehingga perkataan sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori al-Sunnah,
meskipun perkataan ini adalah hadits mauquf. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam
as-Sarkhasi dan beliau memberikan contoh perkataan sahabat dalam hal-hal yang
tidak bisa dijadikan objek ijtihad seperti, perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang
terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling sedikit haid seorang
wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak adalah sepuluh hari.

Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama Syafi’iyah,


bahwa hal-hal tersebut adalah permasalahan-permasalahan yang bisa dijadikan
objek ijtihad. Dan pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita
berbeda-beda dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing.

b. Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain.

Dalam hal ini perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.

c. Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak
diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya.

Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti,
bagi mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.

d. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri.

Qaul al-Shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara


para ulama mengenai keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam.

Adapun Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar menambahkan


beberapa poin mengenai macam-macam qaul al-Shahabi ini, di antaranya:

8
Abdul Karim Zaedan, Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh (Terj), (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1996),
hlm. 260-261

6
a. Perkataan Khulafa ar-Rasyidin dalam sebuah permasalahan. Dalam hal ini para
ulama sepakat untuk menjadikannya hujjah. Sebagaimana diterangkan dalam
sebuah hadits, ”Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para
Khulafa ar-Rasyidin setelahku”
b. Perkataan seorang sahabat yang berlandaskan pemikirannya dan ditentang oleh
sahabat yang lainnya. Dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa
perkataan sahabat ini tidak bisa dijadikan hujjah. Akan tetapi sebagian ulama
lainnya dari kalangan Ushuliyyin dan fuqaha mengharuskan untuk mengambil
perkataan satu sahabat.

Menurut Imam Abu Zahrah, ada beberapa bentuk madhab sahabi :

1. Apa yang disampaikan oleh Sahabat itu adalah yang didengarnya dari Nabi
Muhammad SAW. tetapi tidak menyatakan bahwa berita itu adalah sunnah
Rasul,
2. Apa yang disampaikan Sahabat adalah sesuatu yang didengarnya dari Nabi
SAW. tapi orang itu tidak menjelaskan bahwa yang didengarnya berasal dari
Nabi SAW.
3. Sesuatu yang disampaikan itu adalah hasil pemahaman Sahabat terhadap ayat
Al-Qur’an yang orang lain tidak memahaminya.
4. Sesuatu yang disampaikan oleh Sahabat itu telah disepakati oleh
lingkungannya.
5. Merupakan hasil pemahaman atas dalil-dalil, karena kemampuannya dalam
bahasa dan penggunaan dalil-dalil.
E. Dasar Hukum Madhab Shahabi

Pendapat sahabat tidak menjadi hujjah atas sahabat lainnya. Hal ini telah
disepakati. Namun yang masih diperselisihkan ialah, apakah pendapat sahabat
bisa menjadi hujjah atas tabi’n dan orang-orng setelah tabi’in. Ulama ushul
memiliki tiga pendapat, di antaranya adalah:9

9
Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, cet. 2, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 182

7
a. Satu pendapat mengatakan bahwa mazhab Sahabat (qaulussshahabi) dapat
menjadi hujjah

Pendapat ini berasal dari Imam Maliki, Abu bakar ar-Razi, Abu Said
shahabat Imam Abu Hanifah, begitu juga Imam Syafi’i dalam madzhab qadimnya,
termasuk juga Imam Ahmad Bin Hanbal dalam satu riwayat.

Alasan pendapat ini adalah firman Allah SWT.

‫ُوف َوتَ ْنهَ ْو َن َع ِن ْال ُم ْن َك ِر‬ َ ‫اس تَأْ ُمر‬


ِ ‫ُون بِ ْال َم ْعر‬ ِ َّ‫ت لِلن‬ ْ ‫ُك ْنتُ ْم َخي َْر أُ َّم ٍة أُ ْخ ِر َج‬
َ ُ‫ان َخ ْيرًا لَهُ ْم ۚ ِم ْنهُ ُم ْال ُم ْؤ ِمن‬
‫ون‬ ِ ‫ون بِاهَّلل ِ ۗ َولَ ْو آ َم َن أَ ْه ُل ْال ِكتَا‬
َ ‫ب لَ َك‬ َ ُ‫َوتُ ْؤ ِمن‬
ِ َ‫َوأَ ْكثَ ُرهُ ُم ْالف‬
َ ُ‫اسق‬
‫ون‬
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka,
di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-
orang yang fasik.” (QS. Ali-Imran: 110)

Ayat ini merupakan kitab dari Allah untuk sahabat-sahabat agar mereka
menganjurkan ma’ruf, sedangkan perbuatan ma’ruf adalah wajib, karena itu
pendapat para sahabat wajib diterima.

Alasan yang kedua adalah hadits Rasul yang artinya; “Sahabatku bagaikan
bintang-bintang siapa saja di antara mereka yang kamu ikuti pasti engkau
mendapat petunjuk”.

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menjadikan ikutan


kepada siapa saja dari sahabatnya sebagai dasar memperoleh petunjuk (hidayah).
Hal ini menunjukkan bahwa tiap-tiap pendapat dari mereka itu adalah hujjah dan
wajib kita terima/amalkan.

b. Satu pendapat mengatakan bahwa mazhab sahabat (qaulussshahabi) secara


mutlak tidak dapat menjadi hujjah/dasar hukum

8
Pendapat ini berasal dari jumhur Asya’iyah dan Mu’tazilah, Imam Syafi’i
dalam mazhabnya yang jadid (baru) juga Abu Hasan al-Kharha dari golongan
Hanafiyah.

Alasan mereka antara lain adalah firman Allah:

‫ار ِه ْم أِل َ َّو ِل ْال َح ْش ِر ۚ َما‬ ِ َ‫ب ِم ْن ِدي‬ ِ ‫ين َكفَرُوا ِم ْن أَ ْه ِل ْال ِكتَا‬ َ ‫هُ َو الَّ ِذي أَ ْخ َر َج الَّ ِذ‬
‫ظَنَ ْنتُ ْم أَ ْن يَ ْخ ُرجُوا ۖ َوظَنُّوا أَنَّهُ ْم َمانِ َعتُهُ ْم ُحصُونُهُ ْم ِم َن هَّللا ِ فَأَتَاهُ ُم هَّللا ُ ِم ْن‬
‫ُون بُيُوتَهُ ْم ِبأ َ ْي ِدي ِه ْم‬
َ ‫ب ۚ ي ُْخ ِرب‬َ ‫ف فِي قُلُوبِ ِه ُم الرُّ ْع‬ ُ ‫َحي‬
َ ‫ْث لَ ْم يَحْ تَ ِسبُوا ۖ َوقَ َذ‬
‫ار‬
ِ ‫ْص‬ َ ‫ين فَا ْعتَبِرُوا يَا أُولِي اأْل َب‬َ ِ‫َوأَ ْي ِدي ْال ُم ْؤ ِمن‬
Artinya:“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari
kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak
menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-
benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah
mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-
sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai
orang-orang yang mempunyai wawasan”. (QS. al-Hasyr: 2)

Maksud ayat tersebut adalah bahwa Allah SWT menganjurkan kepada


orang-orang yang mempunyai pandangan/pikiran untuk mengambil i’tibar
(pelajaran). Yang dimaksud i’tibar dalam ayat tersebut ialah qiyas dan ijtihad,
sedangkan dalam hal mujtahid sama saja apakah mujtahid itu sahabat atau bukan
sahabat.

c. Ulama Hanafiyah, Imam Malik, qaul qadim Imam Syafi’i dan pendapat terkuat
dari Imam Ahmad bin Hanbal Menyatakan bahwa pendapat sahabat itu
menjadi hujjah dan apabila pendapat sahabat bertentangan dengan qiyas maka
pendapat sahabat didahulukan.

9
Alasan yang mereka kemukakan antara lain adalah firman Allah dalam surat at-
Taubah ayat 100:

‫ض َي‬ ٍ ‫ين اتَّبَعُوهُم بِإِحْ َس‬


ِ ‫ان َّر‬ َ ‫ار َوالَّ ِذ‬
ِ ‫ص‬َ ‫ين َواألَن‬ ِ َ‫ون ِم َن ْال ُمه‬
َ ‫اج ِر‬ َ ُ‫ون األَ َّول‬
َ ُ‫َوالسَّابِق‬
َ ‫ت تَجْ ِري تَحْ تَهَا األَ ْنهَا ُر َخالِ ِد‬
‫ين فِيهَا‬ ٍ ‫ُوا َع ْنهُ َوأَ َع َّد لَهُ ْم َجنَّا‬
ْ ‫هّللا ُ َع ْنهُ ْم َو َرض‬
‫ك ْالفَ ْو ُز ْال َع ِظي ُم‬
َ ِ‫أَبَداً َذل‬
Artinya: “Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama dari golongan
Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridha pada mereka dan merekapun ridha kepada Allah. Allah menyediakan
bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-
lamanya. Mereka kekal di dalamnya itulah kemenangan yang besar”. (QS. at-
Taubah: 100)

Dalam ayat ini menurut mereka, Allah secara jelas memuji para sahabat
karena merekalah yang pertama kali masuk Islam. Sabda Rasulullah yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Imran bin Hushain yang berbunyi: “Sebaik-baik
kamu (adalah yang hidup pada) masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian
generasi berikutnya”.

Dari segi alasan logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah karena terdapat
kemungkinan bahwa pendapat meraka itu berasal dari Rasulullah. Disamping itu
karena mereka sangat dekat dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang lama,
hal ini memberikan pengalaman yang sangat luas kepada mereka dalam
memahami ruh syari’at dan tujuan-tujuan persyari’atan hukum syara’. Dengan
bergaul dengan Rasulullah berarti mereka merupakan murid-murid langsung dari
beliau dalam menetapkan hukum, sehingga diyakini pendapat mereka lebih
mendekati kebenaran. Oleh karena itu, jika pendapat mereka bertentangan dengan
al-Qiyas, maka sangat mungkin ada landasan hadits yang mereka gunakan untuk
itu. Sebagaimana diketahui, mereka adalah generasi terbaik (memiliki sifat
al-‘Adalah), yang sangat sulit diterima menurut kebiasaan jika melahirkan
pendapat syara’ tanpa alasan, sebab hal itu terlarang menurut syara’.

10
Kemudian Imam Ibnu Qayyim di dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in berkata
bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari enam bentuk10 :

1. Fatwa yang didengar sahabat dari Nabi


2. Fatwa yang didasarkan dari orang yang mendengar dari Nabi
3. Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Alquran yang agak kabur
pemahaman ayatnya bagi kita.
4. Fatwa yang disepakati oleh tokoh sahabat sampai kepada kita melalui salah
seorang sahabat.
5. Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun
tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksud-
maksudnya. Kelima hal inilah hujjah yang wajib diikuti
6. Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan ternyata
pemahamannya salah. Maka hal ini tidak jadi hujjah.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Madzhab shahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang suatu


kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan sunnah
10
Jazuli, dkk, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal.
212-213

11
Rasulullah. Pendapat para Ulama pun sangat beragam mengenai pendapat para
Sahabat ini. Ada yang menggunakannya sebagai hujjah dan ada yang tidak
menggunakannya. Dan untuk kita boleh memilih pada siapa kita akan ittiba’.

B. Saran

Sebagai penganut agama Islam, tentu penting untuk kita memahami


hukum dan sumber hukum dalam Islam. Saran kami, sebaiknya kita lebih banyak
belajar mengenai hukum dan sumber hukum Islam, baik dari Ulama maupun dari
berbagai literatur yang kini banyak tersedia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmad, Mahfud. 2007. Islamic Law Studies Yogyakarta: Gama Media.


2. Djazul. 2005. Ilmu Fiqh. Jakarta: Kencana.
3. Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
4. Syarifuddin, Amir. 2001. Ushul Fiqh jilid 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

12

Anda mungkin juga menyukai