Anda di halaman 1dari 6

SUMBER HUKUM ISLAM

Nama : Jesky

Nim : B01121104

1. AL-QUR’AN
Muhammad A. Summa (1997)
Al-Qur’an adalah kitab suci ini memuat aturan-aturan yang sangat jelas tentang kehidupan
manusia, baik dari segi lahiriyah maupun batiniyah.
Abu Faiz (2014)
Menurutnya, beberapa keutamaan yang akan diperoleh oleh para pecinta Al-Qur’an ini
diantaranya; memperoleh pahala yang sangat besar, selalu bersama para malaikat yang
mulia, menghapus dosa dan keburukan, membersihkan hatiserta menenteramkan jiwa.
Muhammad Ali ash-Shabumi
Definisi Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang paling mulia dan diturunkan Nabi
Muhammad melalui perantara malaikat Jibril, yang ditulis dalam bentuk mushaf-mushaf dan
disampaikan secara mutawati.
Syekh Muhammad Khudari Beik
Al-Qur’an ialah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk
seluruh umat manusia yang harus dipahami isinya dan diamlakan, dengan jalan atau
penyampaian kepada mutawatir, yang ditulis dengan awal surat Al Fatihah dan akhiri surat
An Nas.
Dr. Subhi as-Salih
Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad
SAW, dengan ditulis dalam bentuk mushaf dan diriwayatkan dengan jalan mutawatir
(berangsur-angsur), serta bagi siapa yang membacanya adalah ibadah dan merupakan
pahala.
2. HADIST
Abdul Baqa
hadis adalah isim dari tahdith yang berarti pembicaraan. Kemudian didefinisikan sebagai
ucapan, perbuatan atau penetapan yang disandarkan kepada Nabi SAW.
ibnu majah
hadis bermakna rasa malu sebagai penyempurna akhlak umat Islam. Hal ini mengacu dari
tujuan diutusnya Rasulullah SAW untuk menyempurnakan akhlak
Imam Ibn al-Shalah
Dalam kitabnya 'Ulûm al-Hadits yang dikenal juga dengan Muqaddimah Ibn al-Shalah,
mendefinisikan hadits shahih dengan “Hadits yang disandarkan kepada Nabi yang sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang 'adil dan dhâbith hingga sampai akhir sanad,
tidak ada syâdz.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
hadis yang disandarkan kepada Nabi yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh
periwayat yang ‘adil dan dhâbith, diterima dari periwayat yang ‘adil dan dhâbith hingga
sampai akhir sanad, tidak ada syâdz (kejanggalan) dan tidak mengandung ‘illat (cacat).
Ibnu Hibban bahwa hadis adalah tidak boleh bertentangan dengan sabda rasul orang yang
teringkari haditsnya tidak boleh dipercaya. Jika ia meriwayatkan hadits-hadits munkar tetapi
tidak bertentangan dengan hadits-hadits terpercaya, maka ia termasuk perawi yang ‘adil dan
dapat diterima riwayatnya.

3. IJTIHAD
Hanafi
mencurahkan tenaga (memeras pikiran) untuk menemukan hukum agama (Syara') melalui
salah satu dalil syara' dan dengan cara-cara tertentu
Yusuf Qardlawi
mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Penggunaan kata ijtihad hanya
terhadap masalah-masalah penting yang memerlukan banyak perhatian dan tenaga.
Almidi
mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara' yang bersifat dhonni, sampai
merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.
Imam al - ghazali
upaya maksimal seorang mujtahid dalam mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum
syarak.
Zuhdi
ialah mengerahkan segenap kemampuan berpikir untuk mencari dan menetapkan hukum-
hukum Syara' dari dalil-dalilnya yang tafshily.
4. IJMA
Abdul Karim Zaidan
kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang hukum syara’ pada suatu masa
setelah Rasulullah wafat.
imam malik
imam malik mengatakan kesepakatan sudah dianggap ijma; jumhur ulama ijma’ , sudah
dianggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid.
al-Kamal bin al-Hummam
bahwa ijma’ adalah “Kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa dari kalangan umat
Muhammad terhadap perkara syara.
Ash-Shiddieqy
bahwa ijma’ sama dengan mengumpulkan para ahli permusyawaratan untuk bemusyawarah
sebagai wakil rakyat
5. QIYAS
Ibnu suky
Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena
kesamaannya dalam illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan (mujtahid)
imam al-ghazali
Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal
menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada
hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.
qadhi abu bakar
Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal
menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada
hal yang sama antara keduanya.
Imam syafi'i
Setiap kejadian/peristiwa yang terjadi pada seorang muslim pasti ada hukumnya. Dan ia
wajib mengikuti nash, apabila ada nashnya. Dan apabila tidak ada nashnya dicari dari
permasalahannya (dilalah-nya) diatas jalan yang benar dengan ijtihad, dan ijtihad itu adalah
qiyas.

Abu Hasan al-Bashri


(menetapkan) hukum ashal pada furu’ karena keduanya sama dalam ‘illat hukum menurut
mujtahid”
6. ISTIHSAN
Al-Hanafi
bahwa istihsan ialah: “Perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan
memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan
keadilan
Imam as-Syafi'i
secara tegas menolak istihsan, karena istihsan dianggap sebagai sebuah metode istinbat
hukum berdasarkan hawa nafsu dan hanya mencari enaknya saja
Al-Bazdawi
bahwa Istihsan ialah: Meninggalkan keharusan menggunakan Qiyas dan berpindah kepada
Qiyas yang lebih kuat atau men-takhshish Qiyas dengan dalil yang lebih kuat dari Qiyas tadi.
An-Nasafy
Bahwa Istihsan ialah: Meninggalkan suatu Qiyas menuju kepada suatu Qiyas yang lebih kuat
atau dalil yang berlawanan dengan Qiyas
Jalli Asy-Syatibi
Bahwa Istihsan ialah: (Istihsan menurut pendapat dan menurut pendapat Ulama-ulama
Hanafiyah) yaitu; Beramal dengan dalil yang lebih kuat di antara dua dalil.
7. MASLAHAH MURSALAH
Abdul Wahab Khallaf
Maslahah mursalah adalah maslahah di mana syari’ tidak mensyari’atkan hukum untuk
mewujudkan maslahah, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau
pembatalannya.
Muhammad Abu Zahra
Definisi maslahah mursalah adalah segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan tujuan
syari’ (dalam mensyari’atkan hukum Islam) dan kepadanya tidak ada dalil khusus yang
menunjukkan tentang diakuinya atau tidaknya
Alsyatibi
Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum bila Kemaslahatan sesuai
dengan prinsip-prinsip apa yang ada dalam ketentuan syari’ yang secara ushul dan furu’nya
tidak bertentangan dengan nash
Imam malik
legislasi hukum Islam apabila tidak bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan oleh
nash (alQur’an dan al-Hadits) serta ijma’ ulama Imam Syafi’i tentang kedudukan maslahah
mursalah sebagai sumber hukum
Imam Syafi’i
sebagai ulama yang menentang pemakaian maslahah mursalah pada dasarnya juga memakai
maslahah sebagai sumber hukum selama bukan dilatarbelakangi oleh dorongan hawa nafsu
dan tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan syariat
8. ISTISHAB
Al-Syawkani
Istishab adalah tetapnya (hukum) sesuatu selama belum ada dalil lain yang merubahnya.
Imam Ibnu al-Subki
Mendefinisikan istishab sebagai menetapkan hukum atas masalah hukum yang kedua
berdasarkan hukum yang pertama karena tidak ditemukan dalil yang merubahnya

Shihab al-Din al-Zanjani al-Shafi'i


Seorang ulama ushul fiqh mazhab Syafi'i mengartikan bahwa istishab adalah mengambil
dalil-dalil hukum dikarenakan ketiadaannya dalil atas hukum tersebut, atau mengukuhkan
apa yang pernah berlaku pada masa lalu.
Umar Maulud Abd al-Hamid
memberikan makna istishab yakni penetapan hukum pada masa kedua sebagaimana yang
telah ditetapkan pada masa pertama, maksudnya adalah menetapkan hukum yang mana
hukum tersebut telah ada pada zaman sebelumnya, sehingga tinggal penetapan dari hukum
tersebut
Imam Al ghazali
Istishan adalah Tetap berpegang teguh kepada dalil dalil syar i
9. URF
Fuqaha
‘urf adalah segala sesuatu yang telah menjadi kebiasaan masyarakat dan dilakukan
terusmenerus, baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Imam al-Syatibi dan Ibn Qayyim al-Jauziyah
berpendapat bahwa ‘urf bisa diterima sebagai dalil untuk menetapkan hukum Islam. Namun,
kedua Imam tersebut memberikan catatan, apabila tidak ada nas} yang menjelaskan hukum
masalah tersebut
Abu Yusuf
berpendapat bahwa urf itu juga berubah mengikuti perkembangan adat kebiasaan atau ‘urf
yang bersangkutan. Hal ini sesua degan kaidah “tidak dapat diingkari perubahan hukum itu
disebabkan oleh perubahan zaman dan tempat”.
Abu Hanafiah
bahwa yang tetap menjadi patokan hukum adalah ‘urf yang lama pada saat datangnya nas}
yang bersangkutan
Abdul Wahab Khalaf
berpendapat bahwa pada dasarnya ‘urf itu bukan dalil shara’ yang berdiri sendiri, sebab ia
termasuk memelihara maslahah mursalah. Maka jika ‘urf dijadikan pertimbangan salah satu
patokan hukum, maka dipertimbangkan pula dalam menafsirkan nash.
10. MADZHAB SHAHABI
Al asnawi
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mazhab shahabi yaitu, pendapat hukum yang
dikemukakan oleh seorang atau beberapa sahabat Rasulullah secara individu, tentang suatu
hukum syara’ yang tidak terdapat ketentuanya dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah
SAW.
Imam syafi i
Yang dimaksud madzhab shahabi adalah pendapat orang tertentu di kalangan sahabat dan
tidak dipandang sebagai hujjah. Beliau memperkanankan untuk mengistimbatkan pendapat
lain.
Abu Hanifah
Tidak menentukan satu pendapat saja dari pendapat para sahabat sebagai hujjah, beliau
bebas mengambil pendapat yang dikehendaki tetapi tidak memperbolehkan menentang
pendapat mereka secara keseluruhan.
Muhammad Abu Zahrah
kebanyakan hukum-hukum yang telah termaktub dalam kitab al-Muwattha’ didasarkan atas
fatwa para sahabat
Ibn al-Qayyim
menjelaskan bahwa pendapat para sahabat lebih mendekati Alquran dan sunah dibanding
pendapat para ulama yang hidup sesudah mereka Dengan argument bahwa para sahabat
lebih mengetahui isi kandungan Alquran dan sunah dari pada pendapat ulama sesudahnya.
11. SYAR’U MAN QABLANA
Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili
mendefinisikan Syar'u Man Qablana dengan arti hukum-hukum Allah yang disyariatkan
kepada umat terdahulu melalui nabi-nabi mereka, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi
Dawud dan Nabi Isa 'alaihimussalam.
Al-Maududi
bahwa syaru man qablana merupakan ketetapan Allah dan RasulNya yang berisi
ketentuanketentuan hukum dasar yang bersifat global, kekal, dan universal yang
diberlakukan bagi semua hambaNya berkaitan dengan masalah akidah, ibadah, dan
muamalah.
Hasbi Assiddiq
Para ulama menjelaskan bahwa syariat sebelum kita atau syar ` u man qablana ialah hukum
hukum yang telah disyariatkan untuk umat sebelum Islam yang dibawa oleh para Nabi dan
Rasul terdahulu.
Abu Husein al-Bashri
berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak pernah mengikuti syariat manapun dari syariat
nabi-nabi sebelumnya ketika beliau belum menerima wahyu. Alasannya karena sekiranya
Nabi Muhammad beramal dengan salah.
Abu Hanifah
berpendapat bahwa Nabi Muhammad ada mengikuti syariat sebelumnya yang sah yang
diterimanya melalui wahyu, dan tidak melalui kitab suci para nabi dan rasul terdahulu yang
sudah diperbarui Allah atau diubah oleh para pendetanya, selama syariat tersebut belum
dinasakah.
12. SADDU DZARIAH
Abdul Hamid
sadd adz-dzari'ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang
pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain
yang dilarang.
Assyatibi
Menyatakan bahwa Sadd al-Dzari'ah dapat diterima sebagai salah satu alat/dalil untuk
menetapkan hukum
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman
sadd adzdzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan
yang terlarang
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah
mempertegas pernyataan mukhtar yahya bahwa jalan atau perantara tersebut bisa
berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan
Al-Qurthubi
Saddu dzariah ialah sesuatu yang hukumnya boleh, tapi jika dilakukan khawatir akan
menjerumuskan kepada hal yang haram

Anda mungkin juga menyukai