Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fiqih adalah hukum-hukum syar’iyah ‘amaliyah, yaitu hukum-hukum yang
berkaitan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf, berupa ibadah dan mu’amalah.
Maksud dari sumber-sumber fiqih disini adalah dalil-dalil yang menjadi sandaran dan
pijakan, atau katakanlah dalil-dalil ini sebagai sumber mata air dimana fiqih menimba
darinya. Sebagian ulama menyebutnya sumber-sumber syariat atau sumber-sumber
penetapan syariat Islam. Terlepas dari nama yang diberikan, sumber-sumber fiqih
seluruhnya kembali pada al-Qur’an dan as-Sunnah yang merupakan sumber pokok
bagi umat Islam dalam mengistinbath hukum.
Terdapat berbagai macam metode dalam mengistinbath hukum sesuai dengan
ajaran madzhabnya masing-masing. Pada makalah ini kami menjelaskan metode
istinbath hukum madzhab Syafi’iyah dan madzhab Hanafiyah, yang mana kedua
madzhab tersebut memiliki karakteristik tersendiri dalam menetapkan hukum.
Pada makalah ini akan kami uraikan penjelasan metode istinbath hukum madzhab
Syafi’iyah dan Hanafiyah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu istinbath hukum ?
2. Apa metode istinbath hukum madzhab Syafi’iyah ?
3. Apa metode istinbath hukum madzhab Hanafiyah ?
4. Apa saja sumber-sumber fiqih dalam meng-istinbath hukum ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami apa sebenarnya istinbath hukum
2. Untuk mengetahui metode istinbath hukum madzhab Syafi’iyah
3. Untuk mengetahui metode istinbath hukum madzhab Hanafiyah
4. Untuk memahami sumber-sumber fiqih yang dijadikan dasar dalam menetapkan
hukum

BAB II
2

ISI

A. Definisi Istinbath Hukum


Istilah istinbath hukum merupakan istilah yang masyhur dan sering dijumpai
ketika seseorang mempelajari ushul fikih sebagai suatu disiplin ilmu. Istinbath secara
etimologi memiliki arti “Menemukan; menciptakan”. Sedangkan secara terminologi
dapat diartikan sebagai proses penetapan hukum yang ditempuh oleh mujtahid melalui
ijtihad. Adapun kata hukum secara etimologi berarti “Putusan; ketetapan”. Didalam
kamus bahasa Indonesia kata Hukum diartikan sebagai “Suatu peraturan; kaidah;
ketentuan.” Sedangkan secara terminologi yang dimaksud hukum disini ialah
“Peraturan-peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan
syari’at Islam.”
Dengan demikian, dapat kita pahami bersama bahwa yang dimaksud dengan
istinbath hukum adalah suatu proses penemuan hukum (fikih, read.) yang dilakukan
oleh seorang mujtahid melalui ijtihad. Sedangkan secara teknis, penulis menggunakan
istilah metode istinbath hukum dimaksudkan bahwa hal ini merupakan suatu wujud
usaha penulis dalam rangka pencaritahuan cara-cara yang dilakukan oleh para ulama
didalam proses ber-ijtihad sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan hukum
berdasarkan hasil ijtihad tersebut.
Didalam disiplin ilmu ushul fikih, terdapat perbedaan mendasar yang berkaitan
dengan istinbath hukum, yakni sumber hukum dan dalil hukum. Sumber dalam hal ini
berarti dasar utama yang bersifat orisinil yang melahirkan hukum itu sendiri. Seperti,
al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedangkan dalil hukum dalam hal ini berarti cara-cara yang
ditempuh melalui ijtihad untuk menemukan hukum Islam. Seperti, ditempuh dengan
cara menggunakan istihsân, istishâb, qiyâs, dan lain sebagainya.1

B. Metode Istinbath Hukum Mazhab Syafi’iyah


Dasar-dasar atau sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’I dalam mengistinbath
hukum syara’ adalah :2

1 M. Asadurrohman, “Bab IV Metodologi Istinbath Hukum”, IAIN Tulungagung, 2019, hal. 52.
2 Asep Saifuddin Al-Mansur, Kedudukan Mazhab dalam Syari’at Islam, (Jakarta : Pustaka Al Husna, 1984),
hal. 59.
3

Pertama, nash-nash al-Qur’an dan sunnah yang merupakan sumber utama bagi
fikih Islam. Para sahabat terkadang sepakat atau berbeda pendapat, tetapi mereka
tidak pernah bertentangan dengan al-Qur’an atau sunnah.
Kedua, ijma’ yang merupakan salah satu dasar yang dijadikan sebagai hujjah oleh
Imam al-Syafi’I, menempati urutan setelah al-Qur’an dan sunnah. Ia
mendefinisikannya sebagai kesepakatan ulama suatu zaman tertentu terhadap suatu
masalah hukum syar’i dengan bersandar kepada dalil. Adapun ijma’ petama yang
digunakan oleh Imam al-Syafi’I adalah ijma’ para sahabat. Ia menetapkan bahwa
ijma’ diakhirkan dengan berdalil setelah al-Qur’an dan Sunnah. Apabila masalah yang
sudah disepakati bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka tidak ada hujjah
padanya.
Ketiga, pendapat para sahabat. Imam al-Syafi’i membagi pendapat sahabat
kepada tiga bagian : pertama, sesuatu yang sudah disepakati, seperti ijma’ mereka
untuk membiarkan lahan pertanian hasil rampasan perang tetap dikelola oleh
pemiliknya. Ijma’ seperti ini adalah hujjah dan termasuk dalam keumumannya serta
tidak dapat dikritik. Kedua, pendapat seorang sahabat saja dan tidak ada yang lain
dalam suatu masalah, baik setuju atau menolak, maka Imam al-Syafi’I tetap
mengambilnya. Ketiga, masalah yang para sahabat berselisih pendapat. Maka dalam
hal ini, Imam al-Syafi’I akan memilih salah satunya yang paling dekat dengan al-
Qur’an, Sunnah, atau Ijma’, atau menguatkannya dengan qiyas yang lebih kuat. Ia
tidak akan membuat pendapat baru yang bertentangan dengan pendapat yang sudah
ada.
Keempat, qiyas, ia menilainya sebagai sebuah bentuk ijtihad. Karena seperti yang
sudah dijelaskan ketika berbicara tentang dasar-dasar istinbath Imam al-Syafi’I, qiyas
sama dengan menggali makna nash atau menguatkan salah satu pendapat untuk
mencapai pendapat yang lebih mudah dilaksanakan. Atas dasar ini, ia menetapkan
qiyas sebagai salah satu sumber hukum bagi syariat Islam untuk mengetahui tafsiran
hukum al-Qur’an dan Sunnah yang tidak ada nash pasti. Ia tidak menilai qiyas yang
dilakukan untuk menetapkan sebuah hukum dari seorang mujtahid, namun lebih dari
sekedar menjelaskan hukum syariat dalam masalah yang sedang digali oleh seorang
mujtahid.
4

Itulah beberapa dasar yang dijalankan oleh Imam al-Syafi’I dalam menggali
hukum.3
C. Metode Istinbath Hukum Mazhab Hanafiyah
Imam Abu Hanifah mempunyai cara menetapkan hukum syariat berdasarkan
dalil-dalil hukum Islam yang berdasarkan urutan sebagai berikut :4
“Aku (Abu Hanifah) merujuk kepada Al-Quran apabila aku mendapatnya,
apabila tidak ada dalam Al-Quran, aku merujuk kepada Sunnah Rasulullah SAW dan
Atsar yang Shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang Tsiqah. Apabila tidak
mendapatkan dalam Al Quran dan sunnah rasul, aku merujuk kepada Qaul Sahabat,
(apabila sahabat Ikhtikaf), aku mengambil pendapat sahabat yang mana saja yang
kukehendaki, aku tidak akan pindah dari pendapat yang satu ke pendapat sahabat
yang lain. Apabila didapatkan pendapat Ibrahim, al-Sya’bi, dan Ibn al-Musayyab
serta yang lainnya, aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”(Thaha Jabir
Fayadl Al Ulwani,1987:91)5
Pertama, al-Qur’an merupakan sumber pertama dan utama syariat, kepadanya
dikembalikan semua hukum dan tidak ada satu sumber hukum pun, kecuali
dikembalikan kepadanya.
Kedua, sunnah sebagai penjelas kandungan al-Qur’an. Menjelaskan yang global
dan alat dakwah bagi Nabi SAW dalam menyampaikan risalah Allah SWT. Maka,
siapa yang tidak mengamalkan sunnah, sama artinya tidak mengakui risalah Allah.
Ketiga, pendapat sahabat karena mereka hidup satu zaman dengan Nabi SAW.
Mereka lebih memahami sebab turunnya ayat, kesesuaian setiap ayat dan Hadits, dan
merekalah yang membawa ilmu Nabi SAW kepada umatnya.
Keempat, qiyas, digunakan qiyas ketika tidak ada nash al-Qur’an, Sunnnah atau
ucapan sahabat. Ia menggali illat dan jika menemukannya akan mengujinya terlebih
dahulu, lalu menetapkan dan menjawab masalah yang terjadi dengan menerapkan illat
yang ditemukan.
Kelima, al-Istihsan yaitu meninggalkan qiyas zahir dan mengambil hukum yang
lain, karena qiyas zahir terkadang6 tidak dapat diterapkan dalam sebagian masalah.

3 Fauzi, Sejarah Hukum Islam, (Banda Aceh : Perpustakaan Nasional, 2018), hal. 67.
4 Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia : Pemikiran dan Praktek, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991),
hal. 213.
5 Juhaya S. Praja, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 74.
6 Fauzi, Op.CIt., hal. 60.
5

Oleh karena itu, perlu mencari illat lain dengan cara qiyas khafi, atau karena qiyas
zahir bertentangan dengan nash sehingga harus ditinggalkan.
Keenam, ijma’ yang menjadi hujjah berdasarkan kesepakatan ulama walaupun
mereka berbeda pendapat.
Ketujuh, al-‘urf (adat istiadat), yaitu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan
kaum Muslimin dan tidak ada nash, baik dari al-Qur’an, Sunnah, atau perbuatan
sahabat, dan berupa adat yang baik, serta tidak bertentangan dengan nash sehingga
dapat dijadikan hujjah.7
D. Sumber-Sumber Fiqih
a. Al-qur’an
Al Kitab atau al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya
Muhammad SAW yang tertulis dalam mushaf yang disampaikan kepada kita dari
Nabi SAW secara mutawatir tanpa adanya keraguan.8
1) Macam-Macam Hukum al-Qur’an
Hukum-hukum al-Qur’an bermacam-macam :
Pertama, hukum-hukum yang berkaitan dengan akidah seperti iman kepada
Allah, Rasul-Nya dan Hari Akhir. Ini adalah hukum-hukum i’tiqadiyah.
Kedua, hukum-hukum yang berkaitan dengan tazkiyatun nafs, dan
penjelasan tentang akhlak terpuji yang wajib dijadikan perhiasan, dan akhlak
tercela yang wajib ditinggalkan. Ini adalah hukum akhlaqiyah.
Ketiga, hukum-hukum yang berkaitan dengan ucapan dan tindakan
mukallaf di luar dua macam di atas. Ini adalah hukum-hukum ‘amaliyah
(praksis) dan masuk dalam tema fiqih. Ia terbagi menjadi dua : ibadah dan
mu’amalah yang mencakup seluruh masalah undang-undang umum dan
khusus, seperti gambaran yang kami jelaskan sebelumnya.
2) Cara al-Qur’an Menjelaskan Hukum
Penjelasan al-Qur’an tentang berbagai hukum ada tiga jenis :
Pertama, penjelasan umum (kulli), yaitu dengan menyebutkan kaidah-
kaidah dan prinsip-prinsip umum yang menjadi dasar untuk menentukan
hukum-hukum furu’, seperti :
a) Perintah musyawarah dalam firman Allah :

7 Ibid, hal. 61.


8 Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah : Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam, (Jakarta : Robbani
Press, 2008), hal. 230.
6

“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (Ali Imran


[3] : 156).9
b) Perintah berbuat adil dan memutuskan secara adil :
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) untuk berbuat adil,” (an-nahl
[16] : 90).10
Kedua, penjelasan global (ijmali), yaitu penyebutan hukum-hukum secara
global yang membutuhkan penjelasan dan perincian. Di antara hukum-hukum
ini adalah :
a. Kewajiban shalat dan zakat. Allah berfirman :
“Tegakkan shalat dan tunaikan zakat.” (al-Baqarah [2] : 110).
Al-Qur’an tidak menjelaskan jumlah rakaat shalat dan tata caranya.
Maka, sunnah merinci hal tersebut. Rasulullah SAW bersabda : “Shalatlah
sebagaimana kamu melihatku shalat.” Begitu juga Sunnah menjelaskan
hukum-hukum zakat, takarannnya dan nashab-nya.
b. Kewajiban qishash :
“Diwajibkan atasmu qishash.” (al-Baqarah [2] :178)
Sunnah menjelaskan syarat-syaratnya.11
Ketiga, penjelasan rinci (tafshili), yaitu menyebutkan hukum-hukum secara
rinci. Misalnya, pembagian warisan, cara talak dan jumlahnya, cara li’an
antara suami-istri, wanita-wanita yang haram dinikahi, sebagian hukuman
yang disebut had, seperti had zina, pencurian, perampasan di jalan, qadzaf
(tuduhan zina), dan hukum-hukum tafshili lain di dalam al-Qur’an.
b. As-Sunnah
Arti sunnah yang biasa disebut dalam risalah dengan “khabar”, secara lughawi
berarti “jalan”.12 As-Sunnah menurut bahasa berarti cara yang sudah dibiasakan
dan dilakukan berulang-ulang. Menurut istilah syar’i, Sunnah adalah apa yang
bersumber dari Nabi selain al-Qur’an, berupa ucapan, perbuatan, atau pengakuan
(taqrir).
Macam-Macam Hukum yang Tercantum dalam Sunnah, yaitu :

9 Ibid, hal. 233.


10 Ibid, hal. 234.
11 Ibid, hal. 235.
12Roibin, Sosiologi Hukum Islam : Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’I, (Malang : UIN-Malang
Press, 2008), hal. 95.
7

1) Hukum-hukum yang selaras dengan hukum-hukum al-Qur’an dan


menguatkannya, seperti hadits :
“Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan darinya.”
Hadits ini selaras dan menguatkan firman Allah,
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta kamu di
antaramu dengan cara bathil, kecuali perdagangan dengan sikap saling rela
dari kamu.” (an-Nisa’ [4] : 29)
2) Hukum-hukum yang menjelaskan dan merinci penjelasan global al-Qur’an.
Di antaranya, Sunnah yang menjelaskan ketentuan zakat dan batas harta
curian yang diwajibkan potong tangan atas pencurinya.
3) Hukum-hukum yang membatasi (taqyid) kemutlakan atau mengkhususkan
(takhsis) keumuman al-Qur’an.
Di antara hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an ada yang disampaikan
secara mutlak, kemudian dibatasi oleh Sunnah, atau disampaikan secara umum
lalu dikhususkan oleh Sunnah. Contoh pertama adalah hukum potong tangan
pencuri. Di dalam al-Qur’an disebutkan secara umum, namun dibatasi Sunnah
dengan memotong pada pergelangan tangan. Contoh lain adalah larangan
memakan bangkai dalam ayat : “Diharamkan atasmu bangkai”, namun
dikecualikan darinya bangkai hewan laut. Nabi bersabda mengenai laut : “Laut
itu suci airnya lagi halal bangkainya.” Sunnah mengkhususkan bangkai
dengan ketentuan selain bangkai hewan laut.13
4) Hukum-hukum baru yang tidak disebutkan al-Qur’an karena Sunnah
mensyariatkan hukum secara terpisah. Dalam hal ini Sunnah berkedudukan
seperti al-Qur’an. Diriwayatkan secara shahih bahwa Nabi bersabda :
“ketahuilah, sesungguhnya aku telah diberi al-Qur’an dan semisalnya
bersamanya.”
Maksudnya Nabi diberi al-Qur’an dan semisalnya Sunnah yang hukum-
hukumnya juga sama-sama wajib ditaati. Di antara hukum semacam ini adalah
larangan memakan keledai jinak (ahliyah), hewan bertaring dari jenis binatang
buas, dan hewan bercakar dari jenis burung. Juga seperti kewajiban diyat atas
kerabat wajib diyat, warisan untuk nenek, dan semisalnya.14

13 Abdul Karim Zaidan, Op.Cit., hal. 245.


14 Ibid, hal. 247.
8

c. Ijma’
Ijma’ menurut bahasa adalah ‘azm (tekad) untuk melakukan sesuatu dan
bersikeras terhadapnya. Menurut istilah ulama fiqih dan ulama ushul, ijma’
berarti kesepakatan para mujtahid di kalangan umat Islam di setiap masa setelah
wafatnya Nabi atas suatu hukum syariat.15
1) Sandaran Ijma’
Ijma’ harus bersandar pada suatu dalil, karena pendapat mengenai perkara
syariat tanpa disertai dalil merupakan kesalahan. Jadi, ijma’ para mujtahid
harus bersumber dari dalil agar umat tidak bersepakat atas kesalahan, karena
masyarakat umum mengikuti para mujtahid.
Sandaran atau dalil ijma’ terkadang berupa nash al-Qur’an dan as-Sunnah,
dan bias berupa qiyas atau ‘urf atau jenis-jenis ijtihad lain.
Contohnya, ijma’ yang mengharamkan menikah dengan anak perempuan
dari anak laki-laki sampai terus ke bawah, didasarkan pada nash al-Qur’an.
“Diharamkan atas kamu menikahi ibu-ibumu dan anak-anak
perempuanmu.” (an-Nisa’ [4] : 23).
2) Macam-Macam Ijma’
Ijma’ ada dua macam, yaitu :
a) Ijma’ sharih adalah kesepakatan para mujtahid atas hukum suatu masalah
secara jelas, seperti ketika setiap mujtahid menyatakan pendapatnya dan
pendapat-pendapat itu mnyepakati hukum masalah.
b) Ijma’ sukuti adalah seorang mujtahid menyatakan pendapatnya mengenai
sutau masalah, dan para mujtahid lain mengetahuinya lalu mereka diam,
dan tidak muncul dari mereka pernyataan secara tegas mengakui atau
mengingkari.16
d. Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti taqdir (mengukur) dan musawah (menyamakan).
Qiyas menurut istilah ulama fiqih berarti menyamakan suatu masalah yang
hukumnya tidak disebutkan oleh nash secara tegas dengan masalah yang
dijelaskan hukumnya dalam sebuah nash karena persamaan kedua masalah dalam
hal ‘illat hukum. Penyamaan ini disebut qiyas. Masalah yang hukumnya

15 Ibid, hal. 247.


16 Ibid, hal. 248.
9

disebutkan oleh nash itu disebut maqis ‘alaih (yang diqiasi) atau ashl (pokok),
dan hukum yang disebutkan oleh nash di dalam maqis ‘alaih (yang diqiasi) itu
disebut hukmul ashli (hukum pokok). Masalah yang tidak dijelaskan hukumnya
oleh nash dan hendak disamakan dengan maqis ‘alaih (yang diqiasi) disebut far’
(cabang) atau maqis (yang diqiaskan). Sedangkan sebab atau alasan yang
karenanya suatu hukum disyariatkan itu disebut illat.
Jika didapati suatu masalah yang dijelaskan hukumnya oleh nash dan kita
ketahui ‘illat-nya, kemudian terjadi suatu kasus yang hukumnya tidak ditegaskan
oleh nash, namun ia17 memiliki kesamaan dengan masalah pertama dalam soal
‘illat hukumnya, maka masalah kedua dapat mengambil masalah pertama.
1) Contoh-Contoh Qiyas
a) Hukum meminum khamer adalah haram karena telah ditegaskan oleh nash.
‘Illah hukum haram ini adalah memabukkan. Maka dapat disimpulkan
bahwa setiap minuman perasan (nabidz) yang mengandung efek
memabukkan ini hukumnya haram dengan meng-qiyas-kannya kepada
khamer.
b) Ahli waris (warits) membunuh orang yang mewariskan (muwarits) adalah
masalah yang hukumnya ditegaskan oleh nash, yaitu si pembunuh
terhalangi untuk mendapatkan warisan. ‘Illat hukumnya adalah ketergesa-
gesaan ahli waris tersebut untuk mendapatkan warisan sebelum waktunya
sehingga dihukum dengan tidak mendapatkan warisan. Sedangkan
pembunuhan oleh orang yang menerima wasiat (musha lahu) terhadap
pemberi wasiat (mushi) merupakan kasus yang hukumnya tidak ditegaskan
oleh nash, namun ada ‘illat yang sama dengan masalah pembunuhan ahli
waris terhadap orang yang mewariskan (muwarrits), yaitu ketergesa-gesaan
untuk mendapat sesuatu sebelum waktunya, sehingga masalah kedua
mengambil hukum yang sama, yaitu penerima wasiat yang membunuh itu
terhalang mendapatkan hak wasiatnya sebagaimana ahli waris yang
membunuh tidak mendapatkan hak warisannya.
Pembunuhan ahli waris terhadap orang yang mewariskan (muwarrits)
berkedudukan sebagai maqis ‘alaih atau ashl (pokok), hukum keterhalangan
mendapat warisan adalah hukum ashl, sedangkan ‘illah hukum adalah

17 Ibid, hal. 250.


10

ketergesa-gesaan mendapatkan hak sebelum waktunya. Pembunuhan


penerima wasiat terhadap pemberi wasiat adalah maqis atau far’ (cabang),
dan mengandung ‘illah yang sama dengan ashl sehingga mengambil
hukumnya. Proses ini, menyamakan (ilhaq) penerima wasiat yang
membunuh18 dengan ahli waris yang membunuh dalam hal terhalang
mendapatkan hak, disebut qiyas.
2) Kekuatan Argumentasi Qiyas
Kekuatan argumentasi qiyas dikukuhkan dengan banyak dalil, di antaranya
nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah, dan ijma’.19
e. Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah menilai baik sesuatu. Sedangkan, menurut
istilah ulama istihsan berarti20 beralihnya mujtahid dari qiyas jali (yang jelas)
kepada qiyas khafi (yang samar),21 atau mengecualikan masalah juz’iyah (parsial)
dari pokok umum (kulli) atau kaidah umum karena adanya dalil yang menuntut
peralihan ini.22
Contohnya, menurut Madzhab Hanafi, sisa minuman burung buas, seperti
elang, burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini
ditetapkan dengan istihsan. Padahal seharusnya kalau menurut qiyas (jali), sisa
minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram
diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu
diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan
mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Sedangkan menurut
qiyas khafi, burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas.
Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut
burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang
atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu
tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab di antara oleh
paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang
ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar

18 Ibid, hal. 251.


19 Ibid, hal. 252.
20 Loc.Cit.
21 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 139.
22 Abdul Karim Zaidan, Op.Cit., hal. 252.
11

keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang
disebut istihsan.
1) Macam-Macam Istihsan
a) Istihsan bi al-Nash, yakni istihsan yang berdasarkan pada nash lain yang
menghendaki tidak berlakunya dalil yang pertama. Dalil yang pertama
bersifat khusus, sedangkan dalil yang kedua bersifat umum. Jadi lebih
bersifat pengecualian.23 Sebagai contoh istihsan dengan sunnah Rasulullah
Saw adalah dalam kasus orang yang makan dan minum karena lupa pada
waktu ia sedang berpuasa. Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini
batal karena telah memasukan  sesuatu kedalam tenggorokannya dan tidak
menahan puasanya sampai pada waktu berbuka. Akan tetapi hukum ini
dikecualikan  oleh hadits Nabi Saw yang mengatakan : “Siapa yang makan
atau minum karena lupa ia tidak batal puasanya, karena hal itu merupakan
rizki yang diturunkan Allah kepadanya.” (HR. At.Tirmidzi).
b) Istihsan bi al-mashlahat, yaitu istihsan yang didasarkan pada mashlahat
dalam berbagai peringkatnya, padahal qiyas sendiri tidak menghendaki
demikian. Adakalanya mashlahat itu masuk peringkat daruriyyat dan
adakalanya masuk peringkat hajiyyat. Sebenarnya berbicara tentang istihsan
maka sudah dipastikan bahwa tujuannya adalah untuk memperoleh
kemashlahatan. Hanya saja kemashlahatan yang dimaksud adakalanya
ditentukan oleh nash dan adakalanya tidak. Dalam hal yang disebut
terakhir, maka peranan mujtahid sangat penting untuk mengidentifikasi
jenis kemashlahatan sekaligus memperhatikan peringkat
kemashlahatannya.24 Misalnya kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam
proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat
orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya
untuk di diagnosa penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatan orang itu, maka
menurut kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita
yang berobat kepadanya.
2) Kekuatan Hujjah Istihsan

23 Fathurrahman Djamil, Op.Cit., hal. 140.


24 Ibid, hal. 141.
12

Istihsan adalah salah satu sumber fiqih yang mu’tabar (diakui) karena ia
tidak lain merupakan penerapan qiyas atau dalil lain, seperti yang dijelaskan
dalam uraian. Adapun ulama yang mengingkarinya seperti Imam Syafi’i, ia
memaksudkan istihsan sebagai tindakan mengikuti hawa nafsu dan
menetapkan hukum syariat tanpa dalil, tentu saja hal ini tidak diperbolehkan.25

f. Fatwa Sahabat
Sahabat, menurut mayoritas ulama Ushul, adalah orang yang menyaksikan
Nabi SAW, mengimaninya, dan menyertainya dalam waktu yang cukup untuk
disebut sebagai sahabat menurut kebiasaan, seperti Khulafaur Rasyidin, Abdullah
bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan sahabat yang lain yang 26 beriman kepada
Nabi SAW, membelanya, mendengar ucapannya dan mengikuti petunjuknya.
Setelah Nabi SAW wafat, sahabat-sahabat beliau yang mulia yang dikenal
dengan ilmu dan pemahaman agamanya memberikan fatwa dan peradilan di
antara umat. Fatwa dan keputusan mereka telah diriwayatkan kepada kita.
Apakah fatwa dan keputusan mereka ini dinilai sebagai sumber fiqih yang
dipegang teguh mujtahid dan tidak boleh ditinggalkannya jika ia tidak mendapati
hukum masalah dal al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’?27
1) Verifikasi Letak Perbedaan Pendapat Ulama
Adapun yang masih diperselisihkan oleh para ulama ialah perkataan
sahabat  yang semata-mata berdasarkan hasil ijtihad mereka sendiri dan para
sahabat tidak dalam satu pendirian.
Imam Abu Hanifah beserta rekan-rekannya berpendapat bahwa perkataan
sahabat itu adalah hujjah. Kata Imam Abu Hanifah: “Apabila aku tidak
mendapatkan ketentuan dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAW maka
aku mengambil pendapat dari sahabat beliau yang kukehendaki dan
meninggalkan pendapat yang tidak ku kehendaki. Aku tidak mau keluar dari
pendapat sahabat-sahabat tersebut untuk kemudian memilih pendapat selain
sahabat.” Perkataan Imam Abu Hanifah ini dapat dipahami bahwa beliau tidak
menetapkan perkataan sahabat tertentu itu adalah sebagai hujjah. Beliau
membolehkan mengambil pendapat salah seorang sahabat yang dikehendaki

25 Abdul Karim Zaidan, Op.Cit, hal. 254.


26 Ibid, hal. 261.
27 Ibid, hal. 262.
13

akan tetapi tidak boleh melawan pendapat keseluruhan sahabat. Oleh karena
itu, mengambil qiyas tidak diperkenankan selama masih ada fatwa dari
sahabat, biarpun yang diambil hanya pendapat salah seorang sahabat saja yang
dikehendaki. Jika hukum suatu peristiwa terdapat dua macam pendapat, maka
yang demikian itu adalah merupakan ijma’ bahwa tidak ada pendapat yang
ketiga dan bila ada tiga macam pendapat, maka yang demikian itu adalah
merupakan ijma’ bahwa tidak ada pendapat yang keempat. Jadi, keluar dari
pendapat mereka keseluruhan berarti keluar dari ijma’ para sahabat.
Dengan memandang jenis masalahnya, qaul shahabi seperti ini sebenarnya
masih dapat dibagi kepada dua golongan, yaitu yang tidak merupakan
lapangan ijtihad, dan yang termasuk lapangan ijtihad.
Mengenai ini, ditemukan beberapa pernyataan Al-Syafi’i yang tidak sama
sehingga para ulama ushul fiqh masih berbeda pendapat tentang pendirian al-
Syafi’i yang sebenarnya mengenai kehujjahan qaul shahabi, khususnya yang
menyangkut masalah-masalah ijtihad.
Al-Ghazali mengutip bahwa pada kitab Ikhtilaf al-Hadits al-Syafi’i
mengemukakan adanya riwayat bahwa pada suatu malam Ali melakukan salat
enam raka’at dengan enam kali sujud pada tiap-tiap raka’atnya. Kemudian al-
Syafi’i berkata,” Kalau saja riwayat tentang perbuatan ‘Ali itu shahih, niscaya
saya akan mengamalkannya, sebab masalahnya tidak termasuk lapangan qiyas.
Jadi, tentu ia melakukan hal itu berdasarkan tauqif (penetapan) dari Nabi
SAW.”
Dengan ini, al-Syafi’i jelas menyatakan pendiriannya bahwa dalam
masalah-masalah yang tidak termasuk lapangan qiyas atau ijtihad, qaul
shahabi dianggap sebagai hujjah. Adapun mengenai masalah yang termasuk
lapangan ijtihad, telah disepakati bahwa pendapat seorang sahabat tidak
mengikat bagi sahabat lainnya. Mereka yang mampu berijtihad bebas
mengeluarkan pendapatnya masing-masing dan yang tidak mujtahid bebas
pula mengikuti salah satu dari pendapat yang ada.
g. ‘Urf
‘Urf adalah hal-hal yang dibiasakan dan menjadi acuan manusia dalam perkara
kehidupan dan mu’amalah mereka, berupa ucapan atau perbuatan, atau
pantangan. ‘Urf juga disebut adat menurut banyak ulama fiqih. Dan sebagian
14

ulama fiqih mendefinisikan adat sebagai perkara yang diulang-ulang, lebih umum
dari ‘urf, dimana setiap ‘urf adalah adat, namun tidak setiap adat adalah ‘urf.
Sebagian ulama yang lain menilai ‘urf28 lebih umum dari adat. Pendapat yang
kami pilih, ‘urf dan adat adalah sama, keduanya adalah nama untuk hal yang
diulang-ulang manusia dan biasa dilakukannya, serta menjadi acuan mereka
dalam menjalankan kehidupan. Dan inilah yang dimaksud oleh pembicaraan
ulama fiqih.
1) Macam-Macam ‘Urf
Pertama, ‘urf dibagi menjadi ‘urf qauli dan ‘urf ‘amali. ‘Urf qauli adalah
seperti kebiasaan manusia dalam menggunakan kata walad pada anak laki-laki,
bukan anak perempuan, meskipun secara bahasa dipergunakan untuk
keduanya.
Di antara ‘urf ‘amali adalah kebiasaan manusia berjual beli dengan cara
saling menyerahkan tanpa menggunakan kalimat verbal dalam jual beli.
Kedua, dari segi keumumannya, ‘urf dibagi menjadi ‘urf ‘am dan ‘urf
khash. ‘Urf ‘am adalah kebiasaan yang telah dikenal manusia di seluruh negeri
di suatu masa, seperti masuk kamar mandi tanpa menentukan waktu
penggunaan dan ketentuan berapa takaran air yang digunakan.
‘Urf khash adalah kebiasaan yang dikenal oleh sebagian penduduk negeri
saja, seperti kebiasaan penduduk Irak dalam menyegerakan sebagian mahar
dan mengakhirkan sebagian yang lain hingga dekat waktu meninggal atau
talak. Juga seperti kebiasaan suatu kelompok yang tidak dikenal oleh kaum
lain,29 seperti kebiasaan pedagang mencatat hutang orang yang bertransaksi
dengan mereka dalam buku catatan khusus tanpa adanya saksi, dan seperti
kebiasaan pemilik kebun memasang bendera untuk memberi bonus bagi
pembeli berupa penambahan barang.
Ketiga, dari segi keabsahan dan tidaknya, ‘urf dibagi menjadi dua bagian,
yaitu shahih dan fasid (rusak). Kebiasaan yang shahih adalah yang tidak
bertentangan dengan nash syariat, juga dengan salah satu kaidahnya, meskipun
tidak dijelaskan oleh nash khusus. Dan ‘urf fasid adalah yang bertentangan
dengan hukum-hukum syariat dan kaidah-kaidah yang ada, seperti kebiasaan

28 Ibid, hal. 258.


29 Ibid, hal. 259.
15

manusia melakukan perbuatan munkar seperti mu’amalah riba, minum


khamer, berjudi dan sejenisnya.
2) ‘Urf yang Mu’tabar (Diakui)
Ulama fiqih sepakat bahwa ‘urf fasid tidak menjadi dasar pertimbangan,
karena berarti mengikuti hawa nafsu, sedangkan mengikuti hawa nafsu dapat
merusak syariat. Allah berfirman :
”Seandainya kebenaran mengikuti hawa nafsu mereka, maka rusaklah
langit dan bumi beserta isinya.” (al-Mu’minun [23] : 7)
Tidak diperselisihkan di kalangan fuqaha’ bahwa ‘urf yang shahih dapat
dijadikan dasar pertimbangan. Dasar dipertimbangkannya ‘urf ini kembali
kepada prinsip menjaga kemaslahatan manusia dan menghilangkan kesulitan.
Melalui hukum-hukumnya, syariat memperhatikan hal ini. Islam mengakui
adat yang benar yang ada di kalangan bangsa Arab Jahiliyah, seperti
kewajiban diyat, dan sebagian mu’amalah lain seperti mudharabah dan
syirkah. Sebagian ulama memberikan dalil atas kehujjahan ‘urf dengan sebuah
riwayat dari Nabi SAW, bahwa apa yang dinilai baik oleh kaum Muslimin
adalah baik pula di sisi Allah juga, ‘urf adalah hujjah syariat dan sumber fiqih
yang darinya hukum-hukum dapat digali.30

30 Ibid, hal. 261.


16

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan di atas dapat kami simpulkan bahwa istinbath hukum
adalah suatu proses penemuan hukum (fikih, read.) yang dilakukan oleh seorang
mujtahid melalui ijtihad.
Metode istinbath hukum madzhab Syafi’iyah adalah al-Qur’an, Sunnah, ijma’,
pendapat para sahabat, dan qiyas. Sedangkan metode istinbath hukum madzhab
Hanafiyah adalah al-Qur’an, Sunnah, pendapat para sahabat, qiyas, istihsan, ijma’,
dan al-‘urf.
Al Kitab atau al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya
Muhammad SAW yang tertulis dalam mushaf yang disampaikan kepada kita dari
Nabi SAW secara mutawatir tanpa adanya keraguan. Menurut istilah syar’i, Sunnah
adalah apa yang bersumber dari Nabi selain al-Qur’an, berupa ucapan, perbuatan, atau
pengakuan (taqrir).
Menurut istilah ulama fiqih dan ulama ushul, ijma’ berarti kesepakatan para
mujtahid di kalangan umat Islam di setiap masa setelah wafatnya Nabi atas suatu
17

hukum syariat. Qiyas menurut istilah ulama fiqih berarti menyamakan suatu masalah
yang hukumnya tidak disebutkan oleh nash secara tegas dengan masalah yang
dijelaskan hukumnya dalam sebuah nash karena persamaan kedua masalah dalam hal
‘illat hukum.
Menurut istilah ulama istihsan berarti beralihnya mujtahid dari qiyas jali (yang
jelas) kepada qiyas khafi (yang samar), atau mengecualikan masalah juz’iyah (parsial)
dari pokok umum (kulli) atau kaidah umum karena adanya dalil yang menuntut
peralihan ini. Setelah Nabi SAW wafat, sahabat-sahabat beliau yang mulia yang
dikenal dengan ilmu dan pemahaman agamanya memberikan fatwa dan peradilan di
antara umat. Fatwa dan keputusan mereka telah diriwayatkan kepada kita.
‘Urf adalah hal-hal yang dibiasakan dan menjadi acuan manusia dalam perkara
kehidupan dan mu’amalah mereka, berupa ucapan atau perbuatan, atau pantangan.
B. Saran
Dari makalah yang dibuat ini, penulis sangat mengharapkan tanggapan, baik
kritik maupun saran dari Bapak/Ibu dan teman-teman agar penulis bisa membuat
makalah dengan lebih baik kedepannya.
18

DAFTAR PUSTAKA

[1] Al-Mansur, Asep Saifuddin. 1984. Kedudukan Mazhab dalam Syari’at Islam. Jakarta :
Pustaka al-Husna.

[2] Djamil, Fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana Islam.

[3] Fauzi. 2018. Sejarah Hukum Islam. Jakarta : Prenadamedia Group.

[4] Praja, Juhaya S. 1991. Hukum Islam di Indonesia : Pemikiran dan Praktek. Bandung :
Remaja Rosdakarya.

[5] Praja, Juhaya S. 2000. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung : Remaja
Rosdakarya.

[6] Roibin. 2008. Sosiologi Hukum Islam : Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i.
Malang : UIN-Malang Press.

[7] Zaidan, Abdul Karim. 1969. Pengantar Studi Syari’ah : Mengenal Syari’ah Islam Lebih
Dalam. Jakarta : Robbani Press.

Anda mungkin juga menyukai