Anda di halaman 1dari 18

ISTINBATUL AHKAM

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah:Ushul fiqih

Dosen pengampu: Ahmad Riyadi.,S.Sy

Disusun Oleh Kelompok 5:

Yusuf Agung Gunawan

Ramadhan Saputra

Eni Mardila

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NUSANTARA
TAHUN 2022/2023
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Menelaah aspek epistemologi hukum Islam menurut filsafat syariah


dapat menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan kefilsafatan dan
pendekatan empiris historis ilmu syariah itu sendiri. Secara empiris
historis, dijumpai tiga pilar utama ilmu syariah sebagai ilmu “murni”, dan
satu pilar ilmu syariah sebagai ilmu “terapan”. Tiga pilar utama itu ialah:
filsafat ilmu syariah, metodologi ilmu syariah, dan ilmu syariah atau ilmu
fiqh. Satu pilar lainnya ialah ilmu syariah “terapan”, yaitu al-siyasah al-
syar’iyyah.
Fiqh, menurut bahasa atau etimologi berarti: pintar, cerdas, tahu, dan
paham menurut asal mulanya paham terhadap tujuan seorang pembicara
dari pembicaraannya sehingga paham sampai mendalam. Sedangkan fiqh
menurut istilah adalah ilmu yang mempelajari hukum-hukum syara’ yang
bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang sudah terinci.
Pembatasan kata ilmu tentang hukum syara’ dengan kata yang diambil
dari dalil-dalil yang bersifat terperinci untuk menjelaskan bahwa fiqh
merupakan hasil dari sebuah ijtihad, istinbat (menggali hukum), nazhar
(observasi), dan istidlal (berdalil).
Al- Qur’an dan hadits sudah menjadi sumber pedoman utama dalam
kehidupan dan terkhusus dalam syariat Islam. Namun, dengan adanya
beberapa kalimat dalam Al-Qur’an yang memiliki kalimat sama tetapi
memiliki makna yang berbeda, menjadikan beberapa sahabat dan para
ulama berijtihad dan berpendapat untuk memaknai kalimat-kalimat
tersebut. Dan hasil dari pendapat atau penelitian tersebut disebut sebagai
“istinbath hukum”.

2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Istinbath Hukum


Secara bahasa, kata istinbath berasal dari kata istanbatha-
yastanbitha yang berarti menciptakan, mengeluarkan dan
mengungkapkan atau menarik kesimpulan. Adapun hukum adalah
peraturan dan kekuasaan. Dari pengertian tersebut, dapat dipahami
bahwa istinbath hukum adalah menemukan dan mengambil hukum dari
Al-Qur’an. Sedangkan menurut istilah, istinbath hukum berarti mencari
makna dan nash-nash yang terkandung di dalamnya, dengan cara
mengerahkan kemampuan atau potensi naluriah. 1
Istinbath merupakan upaya menggali dan mengeluarkan hukum dari
sumber-sumbernya yang terperinci untuk mencari hukum syara’ yang
bersifat dzanni. Dengan demikian, istinbath hukum adalah cara yang
dilakukan atau dikeluarkan oleh ahli fiqh mengungkapkan suatu dalil
hukum dengan tujuan menjawab persoalan-persoalan yang terjadi.
Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa istinbath hukum
adalah menemukan dan mengambil hukum dari nash yang ada. Istinbath
hukum terdiri atas istinbath lafdzi yang berarti mengambil suatu hukum
ditinjau dari segi lafazhnya. Dan istinbath maknawi, yang berarti
mengambil suatu hukum ditinjau dari segi maknanya. Manhaj yang
mengistinbathkan hukum ada tujuh, diantaranya Al-Qur’an, As-Sunnah,
pendapat sahabat, qiyas, al-istihsan, ijma’, dan al-‘urf (ada istiadat). 2
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan
istinbath atau ijtihad, yaitu:
1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Qur’an
yang berkaitan dengan masalah hukum.
2. Memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas tentang hadis-
hadis Nabi yang berkaitan dengan masalah hukum.

1
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perbandingan Kaidah Fiqhiyyah, (Bandung:
CV PUSTAKA SETIA, 2018), cet. Ke-1, hal. 63.
2
Ibid, hal. 5.

3
3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh
ijma’, agar tidak bertentangan dengan ijma’ dalam menentukan
hukum sesuatu.
4. Memiliki pengetahuan luas yang berkaitan tentang qiyas dan dapat
mempergunakannya untuk istinbath hukum.
5. Mengetahui ilmu logika agar menghasilkan kesimpulan yang benar
tentang hukum dan mampu serta sanggup
mempertanggungjawabkannya.
6. Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena Al-Qur’an dan
sunnah tersusun dalam bahasa Arab, dan masih banyak hal yang
lainnya.

Para imam madzhab dalam melakukan istinbath hukum memiliki


metode masing-masing sesuai dengan madzhab yang dianutnya.
Sehingga para imam madzhab tersebut menghasilkan produk pemikiran
dari hasil penetapan tersebut sering berbeda antara satu mujtahid dan
mujtahid lainnya. Hal tersebut berdampak pada ciri-ciri metode ujtihad
mujtahid dan munculnya aliran-aliran madzhab fiqh. 3 Akan tetapi, Al-
Qur’an lah yang menjadi sumber hukum utama dalam istinbath hukum
tersebut.

B. Dasar Sumber Istinbath Para Imam Madzhab


Para ulama membagi dalil hukum syara’ menjadi dua, yaitu dalil yang
disepakati (muttafaq) dan dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf). Dalil
yang disepakati terdiri atas empat, yaitu Al-Qur’an, as-sunnah al-
muqoddasah, al-ijma’ dan al-qiyas. Mereka juga menyepakati urutan
prioritas penggunaan yang harus digunakan secara tertib, tidak boleh
melompat. Apabila terjadi sebuah peristiwa, sumber hukum pertamanya,
yaitu Al-Qur’an. Dan apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, langkah
selanjutnya adalah melihat perkataan Rasulullah SAW, dalam haditsnya.
Seandainya masih juga tidak ditemukan, hukumnya dilihat dalam ijma’.

3
Siah Khosyi’ah, Fiqh Muamalah Perbandingan, ( Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
2014), cet. Ke-1, hal. 16.

4
Jika tidak ditemukan juga, langkah selanjutnya berijtihad untuk
mendapatkan hukumnya dengan menggunakan qiyas. 4
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 59, yang
artinya:
“ Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara
kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
(Q.S. An-Nisa : 59)
Dari penjelasan ayat tersebut, jika diurutkan secara tafshili, sumber
pengambilan hukum yang disepakati oleh empat imam madzhab, yaitu:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Al-Ijma’
4. Al-Qiyas
Adapun dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf) menurut wahbah Az-
Zuhaili terdiri atas tujuh macam, yaitu:
1. Istihsan
2. Mashalihur mursalah (istishlaah)
3. Istishaab (kembali ke asal)
4. Urf (adat istiadat)
5. Madzhab Shahabi (perkataan para sahabat Rasul)
6. Syar’u man qablana (syariat sebelum Rasulullah)
7. Saddu As-Zari’ah.5

Setiap imam madzhab memiliki beberapa persamaan dan perbedaan


dalam menjadikan suatu sumber sebagai landasan dalam penetapan
hukum. Persamaan yang dapat dilihat dari tiap-tiap madzhab, yaitu sama-
sama mengedepankan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber yang

4
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perbandingan Kaidah Fiqhiyyah ... hal. 65.
5
Ibid, hal. 66.

5
utama. Namun, dalam penilaian keshahihan ataupun kedhaifan sebuah
hadits, mereka berbeda-beda. Perbedaan yang paling tampak ialah
menggunakan dalil-dalil mukhtalaf, yaitu dalil-dalil yang diperselisihkan.
Adanya perbedaan dalam penetapan sumber hukum yang diperselisihkan
sebagai landasan penetapan hukum disebabkan oleh perbedaan waktu,
tempat, dan kondisi para imam ataupun perbedaan mereka dalam
menyikapi dalil-dalil yang kontradiktif. 6

Berikut adalah dasar sumber hukum dalam istinbath hukum yang


digunakan para imam madzhab.

Madzhab Hanafi (Abu Hanifah) meliputi:

1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma’ Sahabat
4. Pendapat sahabat pribadi
5. Qiyas
6. Istihsan
7. Urf

Dasar sumber istinbath hukum aliran Madzhab Imam Malik, dengan


kitab andalannya As-Muwatha7 yang terkenal dengan ahlu hadis dalam
mengistinbathkan hukum Islam meliputi:

1. Nash Al-Qur’an
2. Keumuman Al-Qur’an, yakni zhahir Al-Qur’an
3. Dalil Al-Qur’an, yakni mafhum mukhalafahnya.
4. Mafhum Al-Qur’an, yakni mafhum muwafaqahnya.
5. Tanbih Al-Qur’an, memperhatikan illat (sebab) suatu ayat.
Adapun yang berasal dari sunnah, yaitu:
1. Ijma’
2. Qiyas

6
Ibid, hal. 67.
7
Qahtan Abdurrahman Ad-dauri, Manaahijul Fuqohaa Fii Istinbathil Ahkam wa Asbabu
Ikhtilafihim, (Lebanon: Books Publisher), 2015, hal. 47

6
3. Amal/ perbuatan penduduk Madinah
4. Perkataan sahabat
5. Istihsan
6. Saddu Dzari’ah
7. Memperhatikan perbedaan
8. Istishab
9. Mashlahah mursalah
10. Syar’u man qablana (syariat sebelum kita)

Sumber hukum Imam Maliki dalam berijtihad, yaitu:


1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma’
4. Qiyas
5. Amal ahlul Madinah (amalan ulama Madinah)
6. Qaul Shahabi (perkataan sahabat)
7. Khabar ahad
8. Istihsan
9. Maslahah mursalah.8
Dasar sumber aliran hukum madzhab Imam Syafi’i yang disebutkan
dalam kitab Ar-Risalah, meliputi:
1. Al-Qur’an
2. Al-Hadits
3. Ijma’
4. Ra’yu (Qiyas)
Adapun dasar sumber istinbath hukum aliran madzhab Imam
Hambali, yaitu:
1. Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2. Apabila tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan sunnah, ia menukil
fatwa sahabat yang disepakati sahabat lainnya.

8
Qahtan Abdurrahman Ad-dauri, Manaahijul Fuqohaa Fii Istinbathil Ahkam wa Asbabu
Ikhtilafihim, … hal. 44

7
3. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, ia memilih salah satu
pendapat yang lebih dekat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
4. Imam Ahmad bin Hambal mengambil hadits mursal dan dhaif
sekiranya tidak ada dalil yang menghalanginya.
5. Qiyas digunakan dalam keadaan darurat.

C. Faktor Perbedaan Pendapat dalam Menetapkan Metode Istinbath


sebagai Sumber Hukum
Seluruh ulama madzhab sepakat bahwa Al-Qur’an secara umum
merupakan sumber hukum Islam. Begitu pula dengan hadits Nabi, tetapi
pada sisi lain, mereka berbeda persepsi pada penggunaan akal pikiran
sebagai sumber hukum sehingga memunculkan banyak variasi tentang
penggunaan hukum sebagai metode istinbath hukum, misalnya ijma’,
qiyas, istihsan, maslahah, al-mursalah, (istishalah) urf, dan sebagainya. 9
Disisi lain, sekalipun mereka berpendapat bahwa kedudukan Al-
Qur’an dan hadis sebagai sumber hukum, dari aspek pemahaman
terhadap nash Al-Qur’an dan hadits, mereka berbeda pendapat. Hal ini
karena dalam Al-Qur’an dan hadits terdapat susunan kata yang kadang-
kadang mendatangkan lafazh yang bermacam-macam maknanya, salah
satu contohnya adalah:
1. Lafazh tunggal, tetapi memiliki makna yang musytarak misalnya
dalam surat al-Baqarah ayat 228, kata quru bisa bermakna suci
dan haidh. Kata ini dipahami suci menurut Imam Malik, Imam
Syafi’i, dan Daud Adz-Dzahiri, sedangkan Imam Abu Hanifah
memahaminya haidh.
2. Nash Al-Qur’an dan hadits kadang-kadang mengandung makna
muthlak dan muqayyad. Artinya, ada yang disebutkan tanpa
batasan dan ada pula yang mengandung adanya batasan.

9
Siah Khosyi’ah, Fiqh Muamalah Perbandingan ... hal. 18.

8
Hadits-hadits Nabi sebagai sumber hukum kedua diriwayatkan
dengan cara variatif, yang kadang-kadang menyebabkan para ulama
madzhab menggunakan hadits sebagai sumber hukum dan menerimanya
dengan sangat selektif, sementara ada juga ulama menerima madzhab
lain tanpa seleksi yang ketat, baik dari aspek shahih, hasan, maupun
dhaifnya hadits dari segi kualitas hadis. Ada yang hanya menerima hadits
mutawatir tanpa hadits ahad. Ada pula yang menerima hadits dari aspek
kualitas secara keseluruhan.10

D. Metode Istinbath Hukum para Imam Madzhab


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, setiap para imam
madzhab memiliki perbedaan dalam menggunakan dasar sumber hukum
dan istinbath. Oleh karena itu, metode yang digunakan akan berbeda
pula, sesuai dengan aliran madzhab yang dianutinya. Metode istinbath
para imam madzhab dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Metode Istinbath Hukum Madzhab Hanafi


a. Al-Qur’an
Abu Hanifah dikenal sebagai ahli ra’yi dalam menetapkan hukum
Islam, baik yang diistinbathkan menurut AL-Qur’an maupun hadis.
Ia banyak menggunakan nalar, menggunakan ra’yu daripada
khabar ahad. Dalam berijtihad Abu Hanifah menetapkan suatu
hukum dengan berpegang pada beberapa dalil syara’, yaitu Al-
Qur’an, Al-Sunnah, ijma’ sahabat, qiyas, istihsan, dan ‘Urf. 11
b. Sunnah
Sebagai penjelas kandungan Al-Qur’an, menjelaskan yang global
dan alat dakwah bagi Rasulullah SAW dalam menyampaikan

10
Ibid, hal 19.
11
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perbandingan Kaidah Fiqhiyyah ... hal. 70.

9
risalah Tuhannya. Maka barangsiapa yang tidak mengamalkan
sunnah, sama artinya ia tidak mengakui risalah Tuhannya.
c. Ijma’ Para Sahabat
Karena mereka hidup satu zaman dengan Rasulullah SAW, lebih
memahami sebab turunnya ayat, kesesuaian setiap ayat dan
hadits, dan merekalah yang membawa ilmu Rasulullah SAW
kepada ummatnya.
d. Qiyas
Beliau menggunakan qiyas ketika tidak ada nash Al-Qur’an atau
sunnah atau ucapan sahabat, beliau menggali illat dan jika
menemukannya ia akan mengujinya terlebih dahulu. Lalu
menetapkan dan menjawab masalah yang terjadi dengan
menerapkan illat yang ditemukannya.
e. Al-istihsan
Yaitu meninggalkan qiyas zhahir dan mengambil hukum yang lain,
karena qiyas zhahir terkadang tidak dapat diterapkan dalam
sebagian masalah. Oleh karena itu, perlu mencari illat lain dengan
cara qiyas khafi, atau karena qiyas zhahir bertentangan dengan
nash sehingga harus ditinggalkan.
f. Al-‘urf
Yaitu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan kaum muslimin
dan tidak ada nash, baik dari Al-Qur’an, sunnah, atau perbuatan
sahabat dan berupa adat yang baik, serta tidak bertentangan
dengan nash sehingga dapat dijadikan hujjah. 12

2. Metode Istinbath Hukum Madzhab Maliki


Imam Malik dikenal sebagai seorang ahli hadis yang sangat
menghormati dan menjunjung tinggi hadits Nabi. Itulah sebabnya, jika
memberi penjelasan hadis, Imam Malik berwudhu terlebih dahulu,
kemudian duduk diatas alas dan shalat tawadhu. Ia sangat tidak suka
memberikan pelajaran hadits sambil berdiri di tengah jalan atau

12
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam ... hal. 176-177

10
dengan cara tergesa-gesa. Demikian cara Imam Malik memuliakan
ilmu, terutama ilmu hadits. 13

Urutan dalam metode istinbath Imam Malik dapat disebutkan


sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
Merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan
hukum. Hal ini disebabkan AL-Qur’an adalah perkataan Allah SWT.
Yang merupakan petunjuk kepada umat manusia dan mewajibkan
manusia untuk berpegang kepada Al-Qur’an.
b. Sunnah yang dipandang sah
c. Ijma’ para ulama Madinah, tetapi ia kadang-kadang menolak hadits
apabila nyata-nyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para
ulama madinah tersebut.
d. Qiyas adalah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain
dalam hukum karena adanya sebab antara keduanya.
e. Mashalihul Mursalah (Istislah), yang berarti prinsip kemaslahatan
(kebaikan) yang dipergunakan untuk menetapkan suatu hukum
Islam ,juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai
baik (manfaat).

3. Metode Istinbath Hukum Madzhab Syafi’i


Imam Syafi’i merupakan imam rihalah fi thalab al-fiqh, pergi ke
Hijaz untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik dan pergi ke Irak untuk
menuntut ilmu kepada Muhammad bin Al-Hasan, salah seorang murid
Imam Abu Hanifah. Oleh karena itu, meskipun Imam Syafi’i
digolongkan sebagai seorang yang beraliran ahlul hadits,
pengetahuannya tentang fiqh ahlu al- ra’yu memberikan pengaruh
kepada metodenya dalam menetapkan hukum.14
Dalam istinbath hukum, Imam Syafi’i menggunakan lima sumber
sebagai berikut:

13
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perbandingan Kaidah Fiqhiyyah ... hal. 77.
14
Ibid, hal. 84.

11
a. Nash-nash, yaitu Al-Qur’an dan sunnah yang merupakan sumber
utama bagi fiqh Islam, dan selain keduanya adalah pengikut saja.
Para sahabat terkadang sepakat atau berbeda pendapat, tetapi
mereka tidak pernah bertentangan dengan Al-Qur’an atau sunnah.
b. Ijma’, merupakan salah satu dasar yang dijadikan sebagai hujjah
oleh Imam Syafi’i, menempati urutan setelah Al-Quran dan
sunnah. Beliau mendefinisikannya sebagai kesepakatan ulama
suatu zaman tertentu terhadap satu masalah hukum syar’i dengan
bersandar kepada dalil. Adapun ijma’ pertama yang digunakan
oleh Imam Syafi’i adalah ijma’ nya para sahabat, beliau
menetapkan bahwa ijma’ diakhirkan dalam berdalil setelah Al-
Quran dan sunnah. Apabila masalah yang sudah disepakati
bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah maka tidak ada hujjah
padanya.15
c. Qiyas, Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil
keempat setelah Al-Quran, sunnah dan ijma’. Qiyas menurut para
ahli hukum islam berarti penalaran analogis, yaitu pengambilan
kesimpulan dari prinsip tertentu, perbandingan hukum
permasalahan yang baru dibandingkan dengan hukum yang lama.
Imam Syafi’i adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas
dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya.
Adapun mujtahid sebelumnya, sekalipun telah menggunakan qiyas
dalam berijtihad, belum membuat rumusan patokan kaidah dan
asas-asasnya. Bahkan dalam praktik, ijtihad secara umum belum
mempunyai patokan yang jelas sehingga sulit diketahui hasil ijtihad
yang benar dan yang keliru.
d. Istidlal, Imam Syafi’i memakai jalan istidlal dalam menetapkan
hukum, apabila tidak menemukan hukum dari kaidah-kaidah
sebelumnya. Dua sumber istidlal yang diakui Imam Syafi’i adalah
adat istiadat (urf) dan undang-undang agama yang diwahyukan
sebelum Islam (istishab). Namun, kedua sumber ini tidak termasuk

15
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam ... hal,189- 190.

12
metode yang digunakan sebagai dasar istinbath hukum yang
digunakan oleh Imam Syafi’i. Imam Syafi’i mempunyai dua
pandangan, yang dikenal dengan qaul al-qadim dan qaul al-jadid.
Qaul qadim terdapat dalam kitabnya al-hujjahh, yang dicetuskan di
Irak. Qaul jadid terdapat dalam kitabnya Al-umm, yang dicetuskan
di Mesir.16

4. Metode Istinbath Hukum Madzhab Hanbali


Kecenderungan Imam Ahmad terhadap pelajaran hadits dan
periwayatannya telah memberi dampak yang besar baginya untuk
memperdalam ilmu fiqh. Setiap hadits yang diriwayatkan dan fatwa
dan keputusan hakim oleh sahabat atau tabi’in yang dikuasainya,
semua menjelma menjadi sebuah pemahaman yang sangat dalam,
memberi Imam Ahmad keahlian fiqh yang besar dan kemampuan
menggali sehingga ia menjadi seorang mujtahid mandiri yang memiliki
madzhab tersendiri.17
Imam Ahmad mendirikan madzhab nya diatas lima dasar sebagai
berikut:
a. Nash Al-Qur’an dan sunnah. Jika ia menemukan nash maka ia
akan menggunakannya dalam berfatwa dan tidak melirik yang lain,
tidak mendahulukan pendapat sahabat daripada hadist yang
shahih, atau amalan penduduk Madinah atau yang lainnya.
b. Fatwa sahabat yang tidak ada penentangnya, dan tidak
menamakannya sebagai ijma’, namun beliau menamakannya
karena wara’ “Saya tidak menemukan ada yang menentangnya”.
c. Jika para sahabat berbeda pendapat maka beliau akan memilih
salah satunya jika sesuai dengan Al-Quran dan sunnah, dan tidak
mencari pendapat orang lain. Jika setelah itu ternyata semua
pendapat tersebut bertentangan dengan Al-Quran dan sunnah
maka ia akan menyebutkan semua perbedaan tanpa ada
penentuan pendapat yang kuat.
16
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perbandingan Kaidah Fiqhiyyah ... hal. 89.
17
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam ... hal, 195.

13
d. Menggunakan hadits mursal dan hadits dhaif jika tidak ada dalil
lain yang menguatkannya dan didahulukan daripada qiyas.
Adapun hadis dhaif menurut versi Imam Ahmad bukan hadis bathil
atau munkar, atau ada perawinya yang dituduh dusta serta tidak
boleh diambil hadisnya. Namun yang beliau maksud kandungan
hadist dhaif adalah orang yang belum mencapai derajat tsiqah,
tetapi tidak sampai dituduh berdusta dan jika memang demikian
maka ia pun bagian dari hadis yang shahih.
e. Qiyas, jika tidak ada nash dari Al-quran dan sunnah, atau
pendapat sahabat atau hadis mursal atau hadis dhaif maka ia baru
mengambil qiyas.18

18
Ibid, hal. 50-51

14
PENUTUP

Kesimpulan

Secara bahasa, kata istinbath berasal dari kata istanbatha-yastanbitha


yang berarti menciptakan, mengeluarkan dan mengungkapkan atau
menarik kesimpulan. Adapun hukum adalah peraturan dan kekuasaan.
Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa istinbath hukum adalah
menemukan dan mengambil hukum dari Al-Qur’an. Sedangkan menurut
istilah, istinbath hukum berarti mencari makna dan nash-nash yang
terkandung di dalamnya, dengan cara mengerahkan kemampuan atau
potensi naluriah.
Istinbath hukum adalah menemukan dan mengambil hukum dari
nash yang ada. Istinbath hukum terdiri atas istinbath lafdzi yang berarti
mengambil suatu hukum ditinjau dari segi lafazhnya. Dan istinbath
maknawi, yang berarti mengambil suatu hukum ditinjau dari segi
maknanya. Manhaj yang mengistinbathkan hukum ada tujuh, diantaranya
Al-Qur’an, As-Sunnah, pendapat sahabat, qiyas, al-istihsan, ijma’, dan
al-‘urf (ada istiadat).
Dasar sumber pengambilan hukum yang disepakati oleh empat imam
madzhab, yaitu: Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’, Al-Qiyas.
 Madzhab Hanafi (Abu Hanifah) meliputi:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma’
4. Sahabat
5. Pendapat sahabat pribadi
6. Qiyas
7. Istihsan
8. Urf.
 Dasar sumber hukum Imam Maliki dalam berijtihad, yaitu:
1. Al-Qur’an

15
2. As-Sunnah
3. Ijma’
4. Qiyas
5. Amal ahlul Madinah (amalan ulama Madinah)
6. Qaul Shahabi (perkataan sahabat)
7. Khabar ahad
8. Istihsan
9. Maslahah mursalah.
 Dasar sumber aliran hukum Madzhab Imam Syafi’i yaitu:
1. Al-Qur’an
2. Al-Hadits
3. Ijma’
4. Ra’yu (Qiyas).
 Dasar sumber istinbath hukum aliran Madzhab Imam Hambali,
yaitu:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Apabila tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan sunnah, ia
menukil fatwa sahabat yang disepakati sahabat lainnya.
4. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, ia memilih salah satu
pendapat yang lebih dekat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
5. Imam Ahmad bin Hambal mengambil hadits mursal dan dhaif
sekiranya tidak ada dalil yang menghalanginya.
6. Qiyas digunakan dalam keadaan darurat.
Seluruh ulama madzhab sepakat bahwa Al-Qur’an secara umum
merupakan sumber hukum Islam. Begitu pula dengan hadits Nabi,
tetapi pada sisi lain, mereka berbeda persepsi pada penggunaan akal
pikiran sebagai sumber hukum sehingga memunculkan banyak variasi
tentang penggunaan hukum sebagai metode istinbath hukum,
misalnya ijma’, qiyas, istihsan, maslahah, al-mursalah, (istishalah) urf,
dan sebagainya.

16
 Metode Istinbath Hukum Madzhab Hanafi
a. Al-Qur’an
b. Sunnah
c. Ijma’ Para Sahabat
d. Qiyas
e. Al-istihsan
f. Al-‘urf.
 Metode Istinbath Hukum Madzhab Maliki
a. Al-Qur’an
b. Sunnah yang dipandang sah
c. Ijma’ para ulama Madinah
d. Qiyas
e. Mashalihul Mursalah (Istislah).
 Metode Istinbath Hukum Madzhab Syafi’i
a. Nash-nash, yaitu Al-Qur’an dan sunnah
b. Ijma’,
c. Qiyas,
d. Istidlal.
 Metode Istinbath Hukum Madzhab Hanbali
a. Nash Al-Qur’an dan sunnah.
b. Fatwa sahabat yang tidak ada penentangnya
c. Jika para sahabat berbeda pendapat maka beliau akan memilih
salah satunya jika sesuai dengan Al-Quran dan sunnah,
d. Menggunakan hadits mursal dan hadits dhaif
e. Qiyas.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Budi, Saebani, Ahmad, Perbandingan Kaidah Fiqhiyyah Cet. 1,


Bandung: CV. Pustaka Setia, 2018.

Abdurrahman Ad-dauri, Qahtan, Manaahijul Fuqohaa Fii Istinbathil Ahkam wa


Asbabu Ikhtilafihim, Lebanon: Books Publisher, 2015.

Hasan, Khalil Rasyad, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam Cet.
1, Jakarta: Amzah, 2009.

Khosyi’ah, Siah, Fiqih Muamalah Perbandingan Cet. 1, Bandung: CV.


Pustaka Setia, 2014.

Shamad, Abdul, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syari’ah Dalam Hukum


Indonesia, Jakarta: Kencana, 2017.

18

Anda mungkin juga menyukai