Ramadhan Saputra
Eni Mardila
Latar Belakang
2
PEMBAHASAN
1
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perbandingan Kaidah Fiqhiyyah, (Bandung:
CV PUSTAKA SETIA, 2018), cet. Ke-1, hal. 63.
2
Ibid, hal. 5.
3
3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh
ijma’, agar tidak bertentangan dengan ijma’ dalam menentukan
hukum sesuatu.
4. Memiliki pengetahuan luas yang berkaitan tentang qiyas dan dapat
mempergunakannya untuk istinbath hukum.
5. Mengetahui ilmu logika agar menghasilkan kesimpulan yang benar
tentang hukum dan mampu serta sanggup
mempertanggungjawabkannya.
6. Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena Al-Qur’an dan
sunnah tersusun dalam bahasa Arab, dan masih banyak hal yang
lainnya.
3
Siah Khosyi’ah, Fiqh Muamalah Perbandingan, ( Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
2014), cet. Ke-1, hal. 16.
4
Jika tidak ditemukan juga, langkah selanjutnya berijtihad untuk
mendapatkan hukumnya dengan menggunakan qiyas. 4
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 59, yang
artinya:
“ Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara
kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
(Q.S. An-Nisa : 59)
Dari penjelasan ayat tersebut, jika diurutkan secara tafshili, sumber
pengambilan hukum yang disepakati oleh empat imam madzhab, yaitu:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Al-Ijma’
4. Al-Qiyas
Adapun dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf) menurut wahbah Az-
Zuhaili terdiri atas tujuh macam, yaitu:
1. Istihsan
2. Mashalihur mursalah (istishlaah)
3. Istishaab (kembali ke asal)
4. Urf (adat istiadat)
5. Madzhab Shahabi (perkataan para sahabat Rasul)
6. Syar’u man qablana (syariat sebelum Rasulullah)
7. Saddu As-Zari’ah.5
4
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perbandingan Kaidah Fiqhiyyah ... hal. 65.
5
Ibid, hal. 66.
5
utama. Namun, dalam penilaian keshahihan ataupun kedhaifan sebuah
hadits, mereka berbeda-beda. Perbedaan yang paling tampak ialah
menggunakan dalil-dalil mukhtalaf, yaitu dalil-dalil yang diperselisihkan.
Adanya perbedaan dalam penetapan sumber hukum yang diperselisihkan
sebagai landasan penetapan hukum disebabkan oleh perbedaan waktu,
tempat, dan kondisi para imam ataupun perbedaan mereka dalam
menyikapi dalil-dalil yang kontradiktif. 6
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma’ Sahabat
4. Pendapat sahabat pribadi
5. Qiyas
6. Istihsan
7. Urf
1. Nash Al-Qur’an
2. Keumuman Al-Qur’an, yakni zhahir Al-Qur’an
3. Dalil Al-Qur’an, yakni mafhum mukhalafahnya.
4. Mafhum Al-Qur’an, yakni mafhum muwafaqahnya.
5. Tanbih Al-Qur’an, memperhatikan illat (sebab) suatu ayat.
Adapun yang berasal dari sunnah, yaitu:
1. Ijma’
2. Qiyas
6
Ibid, hal. 67.
7
Qahtan Abdurrahman Ad-dauri, Manaahijul Fuqohaa Fii Istinbathil Ahkam wa Asbabu
Ikhtilafihim, (Lebanon: Books Publisher), 2015, hal. 47
6
3. Amal/ perbuatan penduduk Madinah
4. Perkataan sahabat
5. Istihsan
6. Saddu Dzari’ah
7. Memperhatikan perbedaan
8. Istishab
9. Mashlahah mursalah
10. Syar’u man qablana (syariat sebelum kita)
8
Qahtan Abdurrahman Ad-dauri, Manaahijul Fuqohaa Fii Istinbathil Ahkam wa Asbabu
Ikhtilafihim, … hal. 44
7
3. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, ia memilih salah satu
pendapat yang lebih dekat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
4. Imam Ahmad bin Hambal mengambil hadits mursal dan dhaif
sekiranya tidak ada dalil yang menghalanginya.
5. Qiyas digunakan dalam keadaan darurat.
9
Siah Khosyi’ah, Fiqh Muamalah Perbandingan ... hal. 18.
8
Hadits-hadits Nabi sebagai sumber hukum kedua diriwayatkan
dengan cara variatif, yang kadang-kadang menyebabkan para ulama
madzhab menggunakan hadits sebagai sumber hukum dan menerimanya
dengan sangat selektif, sementara ada juga ulama menerima madzhab
lain tanpa seleksi yang ketat, baik dari aspek shahih, hasan, maupun
dhaifnya hadits dari segi kualitas hadis. Ada yang hanya menerima hadits
mutawatir tanpa hadits ahad. Ada pula yang menerima hadits dari aspek
kualitas secara keseluruhan.10
10
Ibid, hal 19.
11
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perbandingan Kaidah Fiqhiyyah ... hal. 70.
9
risalah Tuhannya. Maka barangsiapa yang tidak mengamalkan
sunnah, sama artinya ia tidak mengakui risalah Tuhannya.
c. Ijma’ Para Sahabat
Karena mereka hidup satu zaman dengan Rasulullah SAW, lebih
memahami sebab turunnya ayat, kesesuaian setiap ayat dan
hadits, dan merekalah yang membawa ilmu Rasulullah SAW
kepada ummatnya.
d. Qiyas
Beliau menggunakan qiyas ketika tidak ada nash Al-Qur’an atau
sunnah atau ucapan sahabat, beliau menggali illat dan jika
menemukannya ia akan mengujinya terlebih dahulu. Lalu
menetapkan dan menjawab masalah yang terjadi dengan
menerapkan illat yang ditemukannya.
e. Al-istihsan
Yaitu meninggalkan qiyas zhahir dan mengambil hukum yang lain,
karena qiyas zhahir terkadang tidak dapat diterapkan dalam
sebagian masalah. Oleh karena itu, perlu mencari illat lain dengan
cara qiyas khafi, atau karena qiyas zhahir bertentangan dengan
nash sehingga harus ditinggalkan.
f. Al-‘urf
Yaitu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan kaum muslimin
dan tidak ada nash, baik dari Al-Qur’an, sunnah, atau perbuatan
sahabat dan berupa adat yang baik, serta tidak bertentangan
dengan nash sehingga dapat dijadikan hujjah. 12
12
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam ... hal. 176-177
10
dengan cara tergesa-gesa. Demikian cara Imam Malik memuliakan
ilmu, terutama ilmu hadits. 13
13
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perbandingan Kaidah Fiqhiyyah ... hal. 77.
14
Ibid, hal. 84.
11
a. Nash-nash, yaitu Al-Qur’an dan sunnah yang merupakan sumber
utama bagi fiqh Islam, dan selain keduanya adalah pengikut saja.
Para sahabat terkadang sepakat atau berbeda pendapat, tetapi
mereka tidak pernah bertentangan dengan Al-Qur’an atau sunnah.
b. Ijma’, merupakan salah satu dasar yang dijadikan sebagai hujjah
oleh Imam Syafi’i, menempati urutan setelah Al-Quran dan
sunnah. Beliau mendefinisikannya sebagai kesepakatan ulama
suatu zaman tertentu terhadap satu masalah hukum syar’i dengan
bersandar kepada dalil. Adapun ijma’ pertama yang digunakan
oleh Imam Syafi’i adalah ijma’ nya para sahabat, beliau
menetapkan bahwa ijma’ diakhirkan dalam berdalil setelah Al-
Quran dan sunnah. Apabila masalah yang sudah disepakati
bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah maka tidak ada hujjah
padanya.15
c. Qiyas, Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil
keempat setelah Al-Quran, sunnah dan ijma’. Qiyas menurut para
ahli hukum islam berarti penalaran analogis, yaitu pengambilan
kesimpulan dari prinsip tertentu, perbandingan hukum
permasalahan yang baru dibandingkan dengan hukum yang lama.
Imam Syafi’i adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas
dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya.
Adapun mujtahid sebelumnya, sekalipun telah menggunakan qiyas
dalam berijtihad, belum membuat rumusan patokan kaidah dan
asas-asasnya. Bahkan dalam praktik, ijtihad secara umum belum
mempunyai patokan yang jelas sehingga sulit diketahui hasil ijtihad
yang benar dan yang keliru.
d. Istidlal, Imam Syafi’i memakai jalan istidlal dalam menetapkan
hukum, apabila tidak menemukan hukum dari kaidah-kaidah
sebelumnya. Dua sumber istidlal yang diakui Imam Syafi’i adalah
adat istiadat (urf) dan undang-undang agama yang diwahyukan
sebelum Islam (istishab). Namun, kedua sumber ini tidak termasuk
15
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam ... hal,189- 190.
12
metode yang digunakan sebagai dasar istinbath hukum yang
digunakan oleh Imam Syafi’i. Imam Syafi’i mempunyai dua
pandangan, yang dikenal dengan qaul al-qadim dan qaul al-jadid.
Qaul qadim terdapat dalam kitabnya al-hujjahh, yang dicetuskan di
Irak. Qaul jadid terdapat dalam kitabnya Al-umm, yang dicetuskan
di Mesir.16
13
d. Menggunakan hadits mursal dan hadits dhaif jika tidak ada dalil
lain yang menguatkannya dan didahulukan daripada qiyas.
Adapun hadis dhaif menurut versi Imam Ahmad bukan hadis bathil
atau munkar, atau ada perawinya yang dituduh dusta serta tidak
boleh diambil hadisnya. Namun yang beliau maksud kandungan
hadist dhaif adalah orang yang belum mencapai derajat tsiqah,
tetapi tidak sampai dituduh berdusta dan jika memang demikian
maka ia pun bagian dari hadis yang shahih.
e. Qiyas, jika tidak ada nash dari Al-quran dan sunnah, atau
pendapat sahabat atau hadis mursal atau hadis dhaif maka ia baru
mengambil qiyas.18
18
Ibid, hal. 50-51
14
PENUTUP
Kesimpulan
15
2. As-Sunnah
3. Ijma’
4. Qiyas
5. Amal ahlul Madinah (amalan ulama Madinah)
6. Qaul Shahabi (perkataan sahabat)
7. Khabar ahad
8. Istihsan
9. Maslahah mursalah.
Dasar sumber aliran hukum Madzhab Imam Syafi’i yaitu:
1. Al-Qur’an
2. Al-Hadits
3. Ijma’
4. Ra’yu (Qiyas).
Dasar sumber istinbath hukum aliran Madzhab Imam Hambali,
yaitu:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Apabila tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan sunnah, ia
menukil fatwa sahabat yang disepakati sahabat lainnya.
4. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, ia memilih salah satu
pendapat yang lebih dekat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
5. Imam Ahmad bin Hambal mengambil hadits mursal dan dhaif
sekiranya tidak ada dalil yang menghalanginya.
6. Qiyas digunakan dalam keadaan darurat.
Seluruh ulama madzhab sepakat bahwa Al-Qur’an secara umum
merupakan sumber hukum Islam. Begitu pula dengan hadits Nabi,
tetapi pada sisi lain, mereka berbeda persepsi pada penggunaan akal
pikiran sebagai sumber hukum sehingga memunculkan banyak variasi
tentang penggunaan hukum sebagai metode istinbath hukum,
misalnya ijma’, qiyas, istihsan, maslahah, al-mursalah, (istishalah) urf,
dan sebagainya.
16
Metode Istinbath Hukum Madzhab Hanafi
a. Al-Qur’an
b. Sunnah
c. Ijma’ Para Sahabat
d. Qiyas
e. Al-istihsan
f. Al-‘urf.
Metode Istinbath Hukum Madzhab Maliki
a. Al-Qur’an
b. Sunnah yang dipandang sah
c. Ijma’ para ulama Madinah
d. Qiyas
e. Mashalihul Mursalah (Istislah).
Metode Istinbath Hukum Madzhab Syafi’i
a. Nash-nash, yaitu Al-Qur’an dan sunnah
b. Ijma’,
c. Qiyas,
d. Istidlal.
Metode Istinbath Hukum Madzhab Hanbali
a. Nash Al-Qur’an dan sunnah.
b. Fatwa sahabat yang tidak ada penentangnya
c. Jika para sahabat berbeda pendapat maka beliau akan memilih
salah satunya jika sesuai dengan Al-Quran dan sunnah,
d. Menggunakan hadits mursal dan hadits dhaif
e. Qiyas.
17
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Khalil Rasyad, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam Cet.
1, Jakarta: Amzah, 2009.
18