Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan landasan hukum yaitu yang disepakati
dan yang tidak disepakati. Adapun landasan hukum yang disepakati oleh para
ulama yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Sedangkan
landdasan hukum Islam yang tidak disepakati salah satunya adalah Istishab.

Istishab sendiri adalah dalil syar’i terakhir yang dapat digunakan sebagai rujukan oleh
mujtahid untuk mengetahui hukum dari permasalahn yang dihadapinya apabila tidak
terdapat penjelasan dalam al-Qur’an dan as-sunnah.

Dalam peristilahan ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut keadaan
yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain,
ia diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula
tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan
itu.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian istishab?
2. Apa saja Syarat-syarat istishab?
3. Apa saja macam-macam istishab?
4. Bagaimana Kehujjahan Al-Istishhab?
5. Bagaimana pendapat para ulama?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Istishab

Kata Istishab secara etimologi berasal dari kata “istashhaba” sighat istif’ala
(‫ )استفعال‬yang bermkna ‫ استمرارالصحبة‬kalau kata ‫ الصحبة‬diartikan dengan teman atau
sahabat dan ‫ استمرار‬diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara Lughawi
artinya menemani atau selalu menyertai.

Sedangkan menurut isthilah1


Imam al- Asnawy:
“Istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang sudah ada dan sudah
ditetapkan ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai ditemukan dalil lain
yang mengubah ketentuan hukum tersebut.

Istishab diartikan Hasby Ash-Shiddiqy:


“Mengekalkan apa yang telah ada atas keadaan yang telah ada, karena tidak
ada yang mengubah hukum, atau karena sesuatu hal yang belum diyakini. Dari
pengertian yang lain juga disebutkan, istishab berasal dari bahasa Arab ialah:
pengakuan adanya perhubungan. Sedangkan dari kalangan ulama` (ahli) ushul
fiqih Istishab menurut istilah adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan
keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan
tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih
tetap pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya.

1 Jumantoro Totok Kamus Ilmu Ushul Fikih Amzah,2005 hal 145

2
Menurut Ibnu Qayyim, istishab adalah menyatakan tetap berlakunya hukum yang
telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa
yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Menurut Asy Syatibi, istishab adalah
segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa yang lampau dinyatakan tetap
berlaku hukumnya pada masa sekarang.

Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah:
1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada
masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang
lalu.
Oleh sebab itu apabila seorang Mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau
pengelolan yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah atau dalil Syara’ yang
meng-Itlak-kan hukumnya, maka hukumnya boleh sesuai kaidah :2
‫االصل فى االشياءاالباحة‬

Artinya :”Pangkal sesuatu adalah kebolehan”

Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali para Mujatahid untuk
mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya.

Ulama Ushul Fiqh berkata “sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat beredarnya
fatwa”.3
Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak
ada dalil yang mengubahnya .Ini adalah teori dalam pengembalian yang telah menjadi
kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk mereka.

2 Syafi’I Rahmat Ilmu Ushul Fiqh Bandung : CV Pustaka Setia,cet-1 1999 hal 162
3 Jumantoro Totok Kamus Ilmu Ushul Fikih hlm 146,Amzah,2005

3
B. Syarat-syarat Istishab

1. Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat bahwa


hak-hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap
hak-haknya terdahulu.
2. Hanafiyyah dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak
saja dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk
menolak, tetapi tidak untuk mentsabitkan.

C. Macam-Macam Istishab

Para ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam, yaitu:

1. Istishab hukm al- ibahah al ashliyah. Maksudnya, menetapkan hukum


sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil
yang menunjukkan keharamannya. Contohnya: seluruh pepohonan yang ada
dihutan merupakan milik bersama manusia dan masing-masing berhak
menebang dan mengambil manfaatkan pohon dan buahnya, sampai pada
bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang.
2. Istishab Al-Bara`at Al Ashliyat. Yaitu kontinuitas hukum dasar ketiadaan
berdasarkan argumentasi rasio dalam konteks hukum-hukum syar’i.
Maksudnya memberlakukan kelanjutan status ketiadaan dengan adanya
peniadaan yang dibuat oleh akal lantaran tidak adanya dalil syar’i yang
menjelaskannya. Dalam objektivitasnya, istishab tersebut bereferensi kepada
hukum akal dalam hukum ibadah atau baraatul ashliyah (kemurnian menurut
aslinya). Akal menetapkan bahwa dasar hukum pada segala yang diwajibkan
adalah dapat diwajibkan sesuatu, kecuali apabila datang dalil yang tegas
mewajibkannya. Contoh: hukum wudhu seseorang dianggap berlangsung
terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya.

4
3. Istishab Al-‘Umumi. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum
datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama
tidak ada dalil yang nash (yang membatal-kannya). Suatu nash yang umum
mencakup segala yang dapat dicakup olehnya sehingga datang suatu nash
lain yang menghilangkan tenaga pencakupannya itu dengan jalan takhsish.
Atau sesuatu hukum yang umum, tidaklah dikecualikan sesuatupun
daripadanya, melainkan dengan ada suatu dalilyang khusus. Contohnya:
kewajiban puasa yang berlaku bagi umat sebelum Islam, tetap wajib wajib
bagi umat Islam (QS.Al-Baqarah : 183) selama tidak ada nash lain yang
membatalkannya.
4. Istishab An-Nashshi (Istishab Maqlub/Pembalikan). Yaitu istishab pada
kondisi sekarang dalam menentukan status hukum pada masa lampau, sebab
istishab pada bentuk-bentuk sebelumnya, merupakan penetatapan sesuatu
pada masa kedua berdasarkan ketetapannya pada masa pertama lantaran tidak
ditemukannya dalil secara spesifik. Urgensinya, dalam suatu dalil (nash)
terus-menerus berlaku sehingga di-nasakh-kan oleh sesuatu nash, yang lain.
Contoh: kasus adanya seseorang yang sedang dihadapkan pertanyaan, apakah
Muhammad kemarin berada di tempat ini?,padahal kemarin ia benar-benar
melihat Muhammad disini. Maka ia jawab, benar ia berada disini kemarin.
5. Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti. Sesuatu yang telah diyakini adanya, atau tidak
adanya masa yang telah lalu, tetaplah hukum demikian sehingga diyakini ada
perubahannya. Disebut pula dengan istishabul madhi bilhali yakni
menetapkan hukum yang telah lalu sampai kepada masa sekarang. Yaitu
istishab terhadap hukum yang dihasilkan dari ijma’ dalam kasus yang dalam
perkembangannya memicu terjadinya perselisihan pendapat. Contoh: Kasus
orang yang bertayamum, dalam pertengahan shalat melihat air. Menurut
ijma’ ditetapkan shalatnya tidak batal, keabsahan shalat itu ditentukan
sebelum melihat air. Hal ini menunjukkan pula pada keberlanjutan ketetapan

5
hukum, sampai ditemukan adanya dalil yang menunjukkan batalnya
penetapan tersebut.4

D. Kehujjahan Al-Istishhab

Mengenai kehujjahan Istishhab para ulama berbeda pendapat ada yang


menerima al-istishhab dan ada yang menolak al-istishhab. Argumen ulama yang
menerima Istishhab adalah bahwa dalam muamalah dan pengelolaan harta, manusia
memberlakukan adat yang sudah berlaku di antara mereka, ia dapat dijadikan dasar
menentukan hokum tersebut selama tidak ada dalil yang mengubahnya, hal ini sesuai
dengan Al-quran surah Al-barah ayat 29.
Ulama yang menerima al-istishhab dapat dibedakan menjadi tiga :
a. Jumhur ulama yang dipelopori oleh imam malik, sebagian ulama syafi’iah dan
hanafiah berpendapat bahwa istishhab dapat dijadikan hujjah ketika tidak ada
nas atau dalil dari Al-quaran,hadist, ijmak,qias. hukum yang ada tetap berlaku
sepanjang belum ada dalil yang mengubahnya
b. Sebagian ulama Hanafi’ah dan Syafi’ah.berpendapat bahwa istishhab
bukankah dalil untuk menentukan hukum yang sekarang, ia sekedar
mengetahui hukum masa lalu. Sedangkan untuyk menentukan hukumnya
sekarang ini, ia memerlukan dalil.
c. Jumhur ulama hanafiah berpendapat bahwa istishhab adalah untuk
menetapkan (dirinya sendiri) dan bukan untuk menetapkan yang lain.
Sedangkan argument ulama yang menolaknya adalah bahwa penentuan halal, haram,
dan sucinya sesuatu memerlukan dalil yang dalil itu tidak dapat kecuali dari “syari’’.
Dalil-dalil syari tercakup dalam nas Alquran dan Sunnah, ijmak, dan Qias. Dan
istishhab tidak masuk dalil syari.

4 http://seaskystone.blogspot.co.id/2014/12/makalah-fiqih-ilmu-ushul-fiqih-istihsan.html

6
Istishhab merupakan akhir dalil syar’i yang menjadi tempat kembali seorang
mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Dan para
ahli ilmu ushul figih berkata seungguhnya istishhab merupakn akhir tempat
beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang
telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil yang mengubahnya.
Istishhab tidak menetapkan sesuatu hukum baru lagi sesuatu hal, tetapi hanya
melangsungkan berlakunya hukum akal tentang kebolehan (Ibahah) atau bebas asal
(bar’at al-ashaliyah) atau melangsungkan hukum syara’ tentang sesuatu atas dasar
terpenuhinya sebab terjadinya hukum. Oleh karena itu istishab hanya menjadi hujjah
untuk melangsungkan hokum yang telah ada, tidak untuk menetapkan hukum baru
yang sebelumnya belum ada.5

E. Perbedaan Pendapat Ulama Tentang al-Istishab

Para ulama’ Ushul Fiqh seperti dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah,
sepakat bahwa tiga macam Istishab yang disebut pertama distas adalah sah dijadikan
landasan hukum. Mereka berbeda pendapat pada macam yang ke empat yaitu
istishab al-washf. Dalam hal ini ada dua pendapat :
1. Kalangan hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa Istishab al-washf
dapat dijadikan landasan secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang
baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah ada. Misalnya
seorang hilang tidak tahu tempatnya, tetapi dianggap hidup sampai terbukti
bahwa ia wafat. Oleh karena masih dianggap hidup, maka berlaku baginya
segala hal bagi yang hidup seperti bahwa harta dan istrinyamasih dianggap
kepunyaanya, dan jika ahli warisnya yang wafat maka dia turut mewarisi harta
peninggalannya dan kadar pembagiannya langsung dinyatakan sebagai hak
miliknya.

5 Rahmat,Jalaluddin, 1994, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung, Mizan

7
2. Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa, Istishab al-washf
hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada bukan untuk
menimbulkan hak yang baru. Dalan contoh diatas, orang yang hilang itu
meskipun masih dianggap hidup, yang dengan itu istrinya tetap dianggap
sebagai istrinya dan hartanya juga bersetatus sebagai hak miliknya sebagai
orang yang masih hidup, namun jika ada ahli warisnya yang wafat, maka
khusus kadar pembagiannya harus disimpan dan belum dapat dinyatakan
sebagai hak sampai terbukti ia masih hidup. Jika terbukti ia sudah wafat dan
wafatnya lebih dulu dari pada ahli warisnya, maka kadar pembagiannya yang
disimpan tersebut dibagi antara ahli waris yang masih ada. Alasan mereka
didasarkan pada dalil Istishab yang berupa dugaan bukan hidup secara fakta.6

BAB III
6 Prof. DR. H. Satria Efendi dan M. Zein, M.A, 2005 : 161-162

8
PENUTUP

A. Kesimpulan

Imam al-Khawarizmy berkata : Ishtishhab adalah akhir cara untuk membuat fatwa,
jika mufti ditanya tentang hukum dari perkara yang baru, maka mufti mencari
hukumnya pertama dari al-quran, as-Sunnah, ijma’, kemudian qiyas. Maka jika tidak
ada dalil yang dia mengambil hukumnya dengan istishhab al-hal dalam melarang atau
menetapkan, maka jika berselisih dalam ketiadaan maka pada asalnya adalah ada, dan
jika berselisih dalam ada atau tidak maka asalnya tidak ada.

hanafiyyah dan malikiyyah menjadikan istishhab liddaf’I la lil isbat yaitu dalil dalam
menetapkan sesuatu yang pada asalnya sudah ditetapkan dan bukan menjadi hujah
menetapkan sesuatu perkara yang belum ada. Sedangkan syafi’iyyah dan hanabilah
berpendapat bahwa istishhab itu hujjah liddaf’I wa lil istbat yaitu menetapkan hukum
yang pada sudah ditetapkan pada awalnya kemudian menetapkannya seolah-olah
dengan dalil baru.

Dari uraian-uraian tentang Istishhab di atas maka penulis berpendapat bahwa


istishhab bisa di jadikan sebagai salah satu methode dalam mencari sebuah hukum
setelah merujuk terlebih dahulu pada al-quran, as-sunnah, maka jika tidak ada dalil
yang menunjukan secara detail maka methode ishtishhab bisa di lakukan.

Anda mungkin juga menyukai