Anda di halaman 1dari 4

Nama: Neli Zakiyatun Nufus

NIM: 1213050142
Prodi/Fakultas: Ilmu Hukum/Syariah dan Hukum
Angkatan:2021/2022
kelas: C

ISTIHSAN DAN ISTISHAB

Pengertian Istihsan
Istihsan secara etimologi merupakan bentuk masdar dari astahsin (‫ )استحسن‬yang berarti
menganggap baik sesuatu atau mengira sesuatu itu baik.
Di dalam bahasa Arab Istihsan diartikan dengan pengertian: “Menganggap sesuatu itu baik”
atau “Mengikuti sesuatu yang baik” atau “Menganggap baik/bagus”.
1. Menurut al-Bazdawi bahwa Istihsan ialah: Meninggalkan keharusan menggunakan Qiyas
dan berpindah kepada Qiyas yang lebih kuat atau men-takhshish Qiyas dengan dalil yang
lebih kuat dari Qiyas tadi.
2. Menurut an-Nasafy bahwa Istihsan ialah: Meninggalkan suatu Qiyas menuju kepada
suatu Qiyas yang lebih kuat atau dalil yang berlawanan dengan Qiyas Jalli.
3. Menurut Abu Hasan al-Karkhi bahwa Istihsan ialah: Perpindahan seorang mujtahid di
dalam memberikan hukum dalam suatu masalah, seperti yang sudah diberikan hukum
padanya kepada hukum yang berbeda dengan hukum yang sudah ditentukan tersebut,
karena ada segi yang lebih kuat dari hukum sebelumnya (hukum pertama) sehingga
menyebabkan perpindahan dari hukum tersebut (hukum pertama kepada hukum selanjutnya
/ kedua).
4. Menurut Ibnu „Arabi bahwa Istihsan ialah: Meninggalkan ketetapan dalil dengan cara
mengecualikan dan meringankan, karena ada perhitungan yang menentangnya di dalam
sebagian dari ketetapannya.
5. Menurut asy-Syatibi bahwa Istihsan ialah: (Istihsan menurut pendapatku dan menurut
pendapat Ulama-ulama Hanafiyah) yaitu; Beramal dengan dalil yang lebih kuat di antara dua
dalil.
6. Menurut Ibnu Rusyd bahwa Istihsan ialah: Meninggalkan suatu Qiyas yang membawa
kepada yang berlebih-lebihan (melampaui batas) di dalam hukum dan berpindah kepada
hukum lain yang merupakan pengecualian.
7. Imam Abu Hanifah al-Hasan al -Karkhi mengemukakan definisi bahwa Istihsan ialah:
“Penetepan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari
ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan
lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpangan itu”.

MACAM-MACAM ISTIHSAN
1. Istihsan Qiyasi
Istihsan Qiyasi adalah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang
didasarkan kepada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi,
karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan hukum tesebut. Alasan kuat yang
dimaksud adalah kemaslahatan. Seperti pengangkata khalifah setrlah rosul wafat.
2. Istihsan Istisna’i
Istihsan Istisna'i adalah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang
berdasarkan prinsip-prinsip khusus. Istihsan bentuk kedua ini dibagi menjadi lima, yaitu:
1. Istihsan dengan nash. Maknanya adalah pengalihan hukum dari ketentuan yang umum
kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, kaerna ada nash yang
mengecualikannya, baik nash tersebut Al-
Qur’an atau Sunnah.
2. Istihsan dengan ijma’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma’—baik yang sharih
maupun sukuti—terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
3. Istihsan dengan kedaruratan. Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu
kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi
hajat yang darurat itu atau mencegah
kemudharatan.
4. Istihsan dengan ‘urf atau konvensi yang umum berlaku. Artinya
meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda
karena ‘urf yang umum berlaku—baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan—.
5. Istihsan dengan maslahah al-mursalah. Yaitu mengecualikan ketentuan hukum yang
berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang
memenuhi prinsip kemaslahatan.

Ditinjau dari segi berpindahnya suatu hukum, maka Istihsan dapat dibagi menjadi berbagai
macam Istihsan, di antaranya menurut Ulama Hanafiyah yaitu:
1. Berpindahnya suatu hukum dari Qiyas Zhahir kepada suatu Qiyas Khafi.
2. Berpindahnya suatu hukum yang ditetapkan oleh Nash yang umum kepada yang khusus.
3. Berpindahnya suatu hukum yang Kulli kepada hukum yang merupakan kekecualian.

Sedangkan Ulama-ulama Malikiyah membagi Istihsan kepada:


1. Istihsan yang sanadnya „Urf .
2. Istihsan yang sanadnya Mashlahah.
3. Istihsan yang sanadnya Raf‟u al-Kharaj.

SANGGAHAN IMAM SYAFI’I TERHADAP ISTIHSAN


Imam Syafi‟i merupakan salah satu ulama yang dengan tegas membatalkan tentang dalil
Istihsan, karena itu ia menguraikannya dalam pasal tersendiri yang terdapat di dalam
kitabnya yaitu al-Umm dengan judul “Ibthal al-Istihsan” (pembatalan dalil Istihsan). Dan
alasan-alasan yang ia sebutkan itu dapat diketahui beberapa aspek tentang Istihsan,
adapun alasan-alasan tersebut dapat diringkas ke dalam enam hal yaitu sebagaimana
dikemukakannya ke dalam beberapa tempat secara terpencar di dalam kitab ar-Risalah dan
dalam kitab al-Umm dalam pasal Ibthal al-Istihsan yaitu sebagai berikut:
1. Syari‟ah adalah Nash dan dalam kandungan Nash (acuan kepada nash) harus melalui
Qiyas.
2. Banyak ayat al-Qur‟an agar taat kepada Allah dan Rasul-Nya yaitu melarang dan
mengikuti hawa nafsu dan memerintahkan kepada kita agar supaya kita kembali kepada
Allah SWT ketika terjadi pertentangan. Sementara Istihsan tidak termasuk al-Kitab
(al-Qur‟an) atau as-Sunnah (al-Hadits) dan tidak pula merujuk kepada al-Kitab dan
as-Sunnah, akan tetapi ia berada di luar itu semuanya.
3. Nabi Muhammad SAW tidak pernah memberikan fatwa dengan menggunakan Istihsan
dan beliau tidak pernah berpendapat berdasarkan hawa nafsunya.
4.Nabi Muhammad SAW tidak berkenan terhadap para sahabat yang pergi ke daerah lain
dan memberi fatwa dengan Istihsan.
5.Istihsan tidak mempunyai batasan yang jelas dan tidak pula memiliki kriteria-kriteria yang
bisa dijadikan standar untuk membedakan antara yang haq dan yang bathil sebagaimana
halnya dengan Qiyas.
6.Seandainya Istihsan boleh dipakai oleh seorang Mujtahid sementara ia tidak berpegang
pada Nash atau mengacu pada Nash, akan tetapi berpegang pada kemampuan akal
semata, maka niscaya Istihsan boleh dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai
pengetahuan tentang al-Kitab (al-Qur‟an) dan as-Sunnah (al-Hadits).

ISTISHAB
Pengertian Istishab
Istishab secara etimologi berasal dari kata is-tash-ha-ba yang bermakna: menemani atau
menyertai. Sedangkan istishab secara terminologi, Imam Ibnu al-Subki mendefinisikannya
‫َأل‬
ِ َ‫الثانِي ل ُِثب ُْو ِت ِه فِي ا وَّ ِل لِفُ ْقد‬
sebagai: ‫ان َما َيصْ لُ ُح لِل َّت ْغ ِيي ِْر‬ ٍ ‫ت َأ‬
َّ ‫مْر فِي‬ ُ ‫“ ُثب ُْو‬Menetapkan hukum atas masalah
hukum yang kedua berdasarkan hukum yang pertama karena tidak ditemukan dalil yang
mengubahnya.”
Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, merupakan tokoh Ushul Fiqh Hanbali yaitu:
menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang
memang tidak ada sampai ada yang mengubah kedudukanya atau menjadikan hukum yang
telah di tetapkan pada masa lampau yang sudah kekal menurut keadaannya sampai
terdapat argumentasi (dalil) yang menunjukkan perubahannya.
‫ثبت ماكان ثابتاونفي ماكان منفيا استخدامة‬
“Mengukuhkan/menetapkan apa yang pernah di tetapkan dan meniadakan apa yang
sebelumnya tidak ada.”
Al-Ghazali mendefinisikan al- Istishab adalah berpegang pada argumentasi (dalil akal) atau
Syara’, bukan didasarkan karena tidak mengetahui dalil, tetapi setelah melalui pembahasan
dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada.

Macam Macam Istishab


Imam Abu Zahrah dalam kitab Ushul al-Fiqh membagi istishab ke dalam empat hal, yaitu:
1.istishab al-bara’ah al-ashliyyah. Dari sini, para ulama merumuskan kaidah fiqih: ُ‫اَألصْ ُل َب َرا َءة‬
ِّ “Pada dasarnya setiap orang itu terbebas dari tanggungan.” Penerapan Istishab ini
‫الذ َّم ِة‬
misalnya, Ahmad mengklaim bahwa Bisri memiliki utang sebesar Rp100.000, tetapi Bisri
tidak mengakuinya. Dalam hal ini, yang dimenangkan adalah pihak Bisri. Sebab, pada
dasarnya, Bisri terbebas dari tanggungan kepada Ahmad, kecuali jika Ahmad mampu
mengajukan bukti yang memperkuat pengakuannya.
2.istishab al-ibahah al-ashliyyah, yakni istishab yang didasarkan atas hukum asal, yaitu
mubah. Dari istishab ini, para ulama menetapkan kaidah: ‫اح ُة َح َّتى َي ُد َّل ال َّدلِ ْي ُل َع َلى‬ َ ‫اَألصْ ُل فِي اَأل ْش َيا ِء اِإل َب‬
‫“ ال َّتحْ ِري ِْم‬Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang
mengharamkannya.” Contohnya, jerapah tidak dijelaskan status halal-haramnya dalam
Alquran maupun hadits. Di sisi lain, hewan ini tidak memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh
hewan-hewan yang telah dijelaskan hukum keharamannya. Berdasarkan hal ini, ulama
menghalalkan jerapah.
3.istishab al-hukm yaitu menetapkan hukum yang sudah ada dan berlaku pada masa lalu
sampai sekarang, hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Istishab al-hukm ini melahirkan
kaidah fiqih: ‫ان‬ َ ‫“ اَألصْ ُل َب َقا ُء َما َك‬Pada dasarnya, sesuatu yang telah memiliki kepastian
َ ‫ان َع َلى َما َك‬
hukum tertentu ditetapkan sebagaimana keadaan hukum semula.” Penerapan Istishab
al-hukm dalam hukum Islam misalnya seseorang hendak berpuasa, kemudian ia makan
sahur. Namun ia ragu, apakah sewaktu makan sahur masih tersisa waktu sahur ataukah
sudah masuk waktu puasa. Dalam kasus ini, puasa orang tersebut tetap dianggap sah.
Sebab, ia meyakini bahwa waktu itu merupakan waktu sahur.
4.istishab al-wasf, yaitu Istishab yang didasarkan pada anggapan masih tetapnya sifat yang
diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat hidup yang
dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah
wafat. Istishab keempat ini memunculkan kaedah fiqih berbunyi: ِ‫“ ال َي ِقيْنُ اَل ي َُزا ُل ِبال َّشك‬Keyakinan
tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.” Para ulama berbeda pendapat tentang nilai
kehujjahan istishab.

Kehujahan istishab
Mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menyatakan bahwa istishab
merupakan hujjah secara penuh, baik dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada
(daf’i), maupun menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat). Sedangkan ulama
muta’akhirin dari mazhab Hanafi, di antaranya imam Abu Zaid dan Shadrul Islam Abul Yusr,
berpendapat, istishab merupakan hujjah dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada
(daf’i), bukan menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat). Sementara, mayoritas ulama
mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi’i, Abul Husein al-Bashri, dan sekelompok
ulama ilmu kalam berpendapat, istishab bukan merupakan hujjah sama sekali.

Anda mungkin juga menyukai