USHUL FIQH
1. ISTIHSAN
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul
fiqh, istihsan ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan menuju kepada hukum yang
lainnya pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara'.
Dengan kata lain, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum pindah kepada hukum
lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara' atau keadaan yang mengharuskan untuk
meninggalkannya.
Contoh : Potong tangan adalah hukuman bagi pencuri. Khalifah Umar bin Al-Khattab tidak
memotong tangan pencuri ketika pecurian terjadi pada musim paceklik.Jadi, tindakan Umar itu
disebut Istihsan karena pindah dari hokum asal(potong tangan) kepada hokum lain (tidak potong
tangan) karena alasan paceklik. Yang demikian itu dilakukan agar lebih maslahat (lebih baik).
Khilaf Tentang Dasar Hukum Istihsan
Yang tidak setuju istihsan dijadikan sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi'i dan
mazhabnya. Imam Syafi'i berkata, "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah
menetapkan sendiri hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsunya”.
Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu bisa dijadikan hujjah karena istihsan itu semacam qiyas.
istihsan dilakukan karena ada suatu kepentingan. Asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât
menyatakan, "orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa
dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum
itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah
syara' yang umum."
2. MASLAHAH MURSALAH
Secara bahasa, maslahah memiliki arti adanya manfaat.
Secara istilah, menurut Imam Ghozali, maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak
kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.
Sedangkan mursalah memiliki arti terlepas atau bebas. Maksudnya adalah terlepas atau bebas
dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan. Jadi, mursalah berarti
tidak adanya dalil yang menunjukkan boleh atau tidaknya suatu masalah dikerjakan. Dengan
demikian, maslahah mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal yang dengan pertimbangan
akal dapat mewujudkan kebaikan dan menghindarkan keburukan bagi manusia tetapi hal itu
tidak dijelaskan di dalam nash.
Berikut adalah beberapa contoh maslahah mursalah
Pencatatan perkawinan dalam surat yang resmi menjadi maslahat untuk sahnya perkawinan
untuk kepentingan gugatan dalam perkawinan, nafkah, pembagian harta bersama, waris dan
lainnya.
Para sahabat di masa Abu Bakar mengumpulkan Alquran dari hafalan ke dalam bentuk
tulisan. Tujuannya untuk menjaga Alquran dari kepunahan karena meninggalnya sejumlah
penghafal Alquran.
Tatkala Islam masuk ke Irak, tanah Irak masih dikuasai oleh para pemilik asalnya dengan
dikenai pajak (kharaj), karena untuk menjaga kemaslahatan umat Islam umumnya.
Seharusnya empat perlima tanah tersebut diberikan kepada orang yang memerangi
peperangan sebagai harta rampasan atau keuntungan perang.
3. ISTISHAB
Secara etimologi bermakna menemani atau menyertai.
Secara terminologi, Imam Ibnu al-Subki mendefinisikannya sebagai:
َأل َّ ت َأمْ ٍر فِي
ِ الثانِي ل ُِثب ُْو ِت ِه فِي ا َّو ِل لِفُ ْقد
َان َما َيصْ لُ ُح لِل َّت ْغ ِيي ِْر ُ “ ُثب ُْوMenetapkan/mengukuhkan hukum bagi
masalah kedua berdasarkan hukum yang pertama karena tidak ditemukan dalil yang mengubah
hokum pertama itu.”
Contoh: Seseorang yang telah wudhu untuk shalat subuh, maka keadaan telah wudhu itu tetap
diakui keberadaannya ketika ia akan melaksanakan shalat Dhuha selama tidak ada bukti dan
tanda-tanda bahwa wudhunya telah batal. Dia tidak perlu wudlu lagi.
Imam Abu Zahrah dalam kitab Ushul al-Fiqh membagi istishab ke dalam empat hal, yaitu:
Pertama, istishab al-bara’ah al-ashliyyah. Dari sini, para ulama merumuskan kaidah fiqih: اَألصْ ُل
ِّ ُ“ َب َرا َءةPada dasarnya setiap orang itu terbebas dari tanggungan.”
الذ َّم ِة
Penerapan Istishab ini misalnya, Ahmad mengklaim bahwa Bisri memiliki utang sebesar
Rp100.000, tetapi Bisri tidak mengakuinya. Dalam hal ini, yang dimenangkan adalah pihak
Bisri. Sebab, pada dasarnya, Bisri terbebas dari tanggungan kepada Ahmad, kecuali jika Ahmad
mampu mengajukan bukti yang memperkuat pengakuannya.
Kedua, istishab al-ibahah al-ashliyyah, yakni istishab yang didasarkan atas hukum asal, yaitu
mubah. Dari istishab ini, para ulama menetapkan kaidah: اح ُة َح َّتى َي ُد َّل ال َّدلِ ْي ُل َعلَى َ اَألصْ ُل فِي اَأل ْش َيا ِء اِإل َب
ال َّتحْ ِري ِْم “Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang
mengharamkannya.” Contohnya, jerapah tidak dijelaskan status halal-haramnya dalam Alquran
maupun hadits. Di sisi lain, hewan ini tidak memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh hewan-hewan
yang telah dijelaskan hukum keharamannya. Berdasarkan hal ini, ulama menghalalkan jerapah.
Ketiga, istishab al-hukm yaitu menetapkan hukum yang sudah ada dan berlaku pada masa lalu
sampai sekarang, hingga ada dalil lain yang mengubahnya.
Istishab al-hukm ini melahirkan kaidah fiqih: ان َ اَألصْ ُل َب َقا ُء َما َك “Pada dasarnya, sesuatu
َ ان َعلَى َما َك
yang telah memiliki kepastian hukum tertentu ditetapkan sebagaimana keadaan hukum semula.”
Penerapan Istishab al-hukm dalam hukum Islam misalnya seseorang hendak berpuasa, kemudian
ia makan sahur. Namun ia ragu, apakah sewaktu makan sahur masih tersisa waktu sahur ataukah
sudah masuk waktu puasa. Dalam kasus ini, puasa orang tersebut tetap dianggap sah. Sebab, ia
meyakini bahwa waktu itu merupakan waktu sahur.
Keempat, istishab al-wasf, yaitu Istishab yang didasarkan pada anggapan masih tetapnya sifat
yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat hidup yang
dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat.
Istishab keempat ini memunculkan kaedah fiqih berbunyi: ِ“ ال َيقِيْنُ اَل ي َُزا ُل ِبال َّشكKeyakinan tidak
bisa dihilangkan dengan keraguan.”
Para ulama berbeda pendapat tentang nilai kehujjahan istishab. Mayoritas ulama dari mazhab
Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menyatakan bahwa istishab merupakan hujjah secara penuh, baik
dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i), maupun menetapkan sesuatu yang belum
ada (itsbat). Sedangkan ulama muta’akhirin dari mazhab Hanafi, di antaranya imam Abu Zaid
dan Shadrul Islam Abul Yusr, berpendapat, istishab merupakan hujjah dalam mempertahankan
sesuatu yang sudah ada (daf’i), bukan menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat).
Dalam konteks kehidupan modern ini penggunaan istishab sebagai sarana merumuskan hukum
Islam kontemporer sangatlah diperlukan. Bidang Hukum Pidana misalnya, ada istilah ‘asas
praduga tak bersalah’, yaitu bahwa seorang terdakwa dianggap tidak bersalah sehingga ada bukti
hukum secara material bahwa orang tersebut dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Asas praduga
tak bersalah ini relevan dengan konsep “Istishab al-Bara’ah al-Ashliyyah”, yaitu Istishab yang
didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari beban, sampai adanya dalil
yang merubah status tersebut.
4. ‘URF
Secara etimologi ‘Urf diartikan dengan al-ma‘ruf ( ُ )اَ ْل َمعْ رُوفyaitu sesuatu yang dikenal, sesuatu
yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat. Kata ‘urf sering disamakan dengan kata adat
artinya perulangan. Oleh karena itu, sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan
adat. Kata ‘urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan,
tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang
banyak.
Secara terminologi, ‘Urf berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah
menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.
‘Urf tergolong salah satu sumber hukum dari ushul fiqih yang diambil dari intisari Al-Qur’an.
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (Al-‘Urfi), serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh." — QS. Al-A’raf: 199
Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi
itu selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam
bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyrakat, melainkan
secara selektif menyaring ; ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan.
Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung (al-
mudarabah). Praktik seperti ini telah berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan
kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat
dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan.
Macam-macam ‘Urf
Para Ulama Ushul fiqh membagi ‘Urf kepada tiga macam:
Dari segi objeknya :
a. Al-‘Urf al-Lafzhi. Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan
tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan
terlintas dalam pikiran masyarakat.
b. Al-‘urf al-‘amali. Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan.
Dari segi cakupannya :
a. Al-‘urf al-‘am adalah kebiasaan tertentu yang bersifat umum dan berlaku secara luas di
seluruh masyarakat dan diseluruh daerah.
b. Al-‘urf al-khash adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah dan masyarakat tertentu tidak ada
di tempat lain.
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’
a. Al-‘urf al-Shahih (Yang sah). Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat
yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) tidak menghilangkan kemaslahatan
mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka.
b. Al-‘urf al-fasid (Yang rusak). Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’
dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’.
5. MAZHAB SHAHABI
Madzhab Shahabi berarti "pendapat para sahabat Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan
"pendapat sahabat" ialah pendapat para sahabat yang tentang suatu kasus yang dinukil para
ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak
menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut.
SEKIAN…