Anda di halaman 1dari 5

MATERI KE 4

USHUL FIQH

DALIL HUKUM YANG DIPERSELISIHKAN KEHUJJAHANNYA OLEH PARA


ULAMA
Ada enam dalil hokum yang kehujjahannya diperselisihkan oleh para ulama, yaitu :

1. ISTIHSAN
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul
fiqh, istihsan ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan menuju kepada hukum yang
lainnya pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara'.
Dengan kata lain, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum pindah kepada hukum
lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara' atau keadaan yang mengharuskan untuk
meninggalkannya.
Contoh : Potong tangan adalah hukuman bagi pencuri. Khalifah Umar bin Al-Khattab tidak
memotong tangan pencuri ketika pecurian terjadi pada musim paceklik.Jadi, tindakan Umar itu
disebut Istihsan karena pindah dari hokum asal(potong tangan) kepada hokum lain (tidak potong
tangan) karena alasan paceklik. Yang demikian itu dilakukan agar lebih maslahat (lebih baik).
Khilaf Tentang Dasar Hukum Istihsan
Yang tidak setuju istihsan  dijadikan sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi'i dan
mazhabnya. Imam Syafi'i berkata, "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah
menetapkan sendiri hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsunya”.
Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu bisa dijadikan hujjah karena istihsan itu semacam qiyas.
istihsan dilakukan karena ada suatu kepentingan. Asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât
menyatakan, "orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa
dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum
itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah
syara' yang umum."

2. MASLAHAH MURSALAH
Secara bahasa, maslahah memiliki arti adanya manfaat.
Secara istilah, menurut Imam Ghozali, maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak
kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.
Sedangkan mursalah memiliki arti terlepas atau bebas. Maksudnya adalah terlepas atau bebas
dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan. Jadi, mursalah berarti
tidak adanya dalil yang menunjukkan boleh atau tidaknya suatu masalah dikerjakan. Dengan
demikian, maslahah mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal yang dengan pertimbangan
akal dapat mewujudkan kebaikan dan menghindarkan keburukan bagi manusia tetapi hal itu
tidak dijelaskan di dalam nash.
Berikut adalah beberapa contoh maslahah mursalah
 Pencatatan perkawinan dalam surat yang resmi menjadi maslahat untuk sahnya perkawinan
untuk kepentingan gugatan dalam perkawinan, nafkah, pembagian harta bersama, waris dan
lainnya.
 Para sahabat di masa Abu Bakar mengumpulkan Alquran dari hafalan ke dalam bentuk
tulisan. Tujuannya untuk menjaga Alquran dari kepunahan karena meninggalnya sejumlah
penghafal Alquran.
 Tatkala Islam masuk ke Irak, tanah Irak masih dikuasai oleh para pemilik asalnya dengan
dikenai pajak (kharaj), karena untuk menjaga kemaslahatan umat Islam umumnya.
Seharusnya empat perlima tanah tersebut diberikan kepada orang yang memerangi
peperangan sebagai harta rampasan atau keuntungan perang.

Syarat-syarat Berpegang Kepada Maslahah Mursalah adalah:


1. Kemaslahatan yang dicapai dengan maslahah mursalah harus kemaslahatan yang hakiki,
bukan kemaslahatan yang berdasarkan akal (Waham=sangkaan)
2. Mashalih mursalah hanya berlaku dalam bidang muamalah bukan pada bidang ubudiah.
3. Kemaslahatan yang dicapai dengan maslahah mursalah itu harus kemaslahatan untuk umum,
bukan untuk perorangan atau golongan.
4. Kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan syara’ atau ijma’.
Kedudukan Maslahah Mursalah Sebagai Sumber Hukum
Jumhur ulama menganggap maslahah mursalah sebagai hujjah syari’at karena:
1. Semakin tumbuh dan bertambah hajat manusia terhadap kemaslahatannya , jika hukum tidak
menampung untuk kemaslahatan manusia yang dapat diterima, berarti kurang sempurnalah
syari’at mungkin juga beku.
2. Para shahabat dan tabi’in telah menetapkan hukum berdasarkan kemaslahatan,seperti Abu
Bakar menyuruh mengumpulkan musyaf al-qur’an demi kemaslahatan umum. Diantara ulama
yang banyak menggunakan maslahah mursalah ialah imam Malik, dengan alasan, bahwa Tuhan
mengutus Rasulnya untuk kemaslahatan manusia, maka kemaslahatan ini jelas dikehendaki
syara’, sebagaimana Allah berfirman:
َ ‫“ َو َما َأرْ َس ْل َن‬Tidaklah semata-mata aku mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk
َ ‫اك ِإال َرحْ َم ًة ل ِْل َعالَم‬
‫ِين‬
kebaikan seluruh alam”. (QS.  Al-Anbiya 107).
Sedangkan menurut imam Ahmad, bahwa maslahah mursalah adalah suatu jalan menetapkan
hukum yang tidak ada nash dan ijma’.
Ulama yang menolak maslahah mursalah untuk dijadikan dasar hukum, adalah imam Syafi’i,
dengan alasan bahwa maslahah mursalah disamakan dengan istihsan.

3. ISTISHAB
Secara etimologi bermakna menemani atau menyertai.
Secara terminologi, Imam Ibnu al-Subki mendefinisikannya sebagai:
‫َأل‬ َّ ‫ت َأمْ ٍر فِي‬
ِ ‫الثانِي ل ُِثب ُْو ِت ِه فِي ا َّو ِل لِفُ ْقد‬
‫َان َما َيصْ لُ ُح لِل َّت ْغ ِيي ِْر‬ ُ ‫“ ُثب ُْو‬Menetapkan/mengukuhkan hukum bagi
masalah kedua berdasarkan hukum yang pertama karena tidak ditemukan dalil yang mengubah
hokum pertama itu.”
Contoh: Seseorang yang telah wudhu untuk shalat subuh, maka keadaan telah wudhu itu tetap
diakui keberadaannya ketika ia akan melaksanakan shalat Dhuha selama tidak ada bukti dan
tanda-tanda bahwa wudhunya telah batal.  Dia tidak perlu wudlu lagi.
Imam Abu Zahrah dalam kitab Ushul al-Fiqh membagi istishab ke dalam empat hal, yaitu:
Pertama, istishab al-bara’ah al-ashliyyah. Dari sini, para ulama merumuskan kaidah fiqih: ‫اَألصْ ُل‬
ِّ ُ‫“ َب َرا َءة‬Pada dasarnya setiap orang itu terbebas dari tanggungan.”
‫الذ َّم ِة‬
Penerapan Istishab ini misalnya, Ahmad mengklaim bahwa Bisri memiliki utang sebesar
Rp100.000, tetapi Bisri tidak mengakuinya. Dalam hal ini, yang dimenangkan adalah pihak
Bisri. Sebab, pada dasarnya, Bisri terbebas dari tanggungan kepada Ahmad, kecuali jika Ahmad
mampu mengajukan bukti yang memperkuat pengakuannya.
Kedua, istishab al-ibahah al-ashliyyah, yakni istishab yang didasarkan atas hukum asal, yaitu
mubah. Dari istishab ini, para ulama menetapkan kaidah: ‫اح ُة َح َّتى َي ُد َّل ال َّدلِ ْي ُل َعلَى‬ َ ‫اَألصْ ُل فِي اَأل ْش َيا ِء اِإل َب‬
‫ال َّتحْ ِري ِْم‬  “Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang
mengharamkannya.” Contohnya, jerapah tidak dijelaskan status halal-haramnya dalam Alquran
maupun hadits. Di sisi lain, hewan ini tidak memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh hewan-hewan
yang telah dijelaskan hukum keharamannya. Berdasarkan hal ini, ulama menghalalkan jerapah.
Ketiga, istishab al-hukm yaitu menetapkan hukum yang sudah ada dan berlaku pada masa lalu
sampai sekarang, hingga ada dalil lain yang mengubahnya.
Istishab al-hukm ini melahirkan kaidah fiqih: ‫ان‬ َ ‫اَألصْ ُل َب َقا ُء َما َك‬  “Pada dasarnya, sesuatu
َ ‫ان َعلَى َما َك‬
yang telah memiliki kepastian hukum tertentu ditetapkan sebagaimana keadaan hukum semula.”
Penerapan Istishab al-hukm dalam hukum Islam misalnya seseorang hendak berpuasa, kemudian
ia makan sahur. Namun ia ragu, apakah sewaktu makan sahur masih tersisa waktu sahur ataukah
sudah masuk waktu puasa. Dalam kasus ini, puasa orang tersebut tetap dianggap sah. Sebab, ia
meyakini bahwa waktu itu merupakan waktu sahur. 
Keempat, istishab al-wasf, yaitu Istishab yang didasarkan pada anggapan masih tetapnya sifat
yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat hidup yang
dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat.
Istishab keempat ini memunculkan kaedah fiqih berbunyi:   ِ‫“ ال َيقِيْنُ اَل ي َُزا ُل ِبال َّشك‬Keyakinan tidak
bisa dihilangkan dengan keraguan.”
Para ulama berbeda pendapat tentang nilai kehujjahan istishab. Mayoritas ulama dari mazhab
Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menyatakan bahwa istishab merupakan hujjah secara penuh, baik
dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i), maupun menetapkan sesuatu yang belum
ada (itsbat).  Sedangkan ulama muta’akhirin dari mazhab Hanafi, di antaranya imam Abu Zaid
dan Shadrul Islam Abul Yusr, berpendapat, istishab merupakan hujjah dalam mempertahankan
sesuatu yang sudah ada (daf’i), bukan menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat).
Dalam konteks kehidupan modern ini penggunaan istishab sebagai sarana merumuskan hukum
Islam kontemporer sangatlah diperlukan. Bidang Hukum Pidana misalnya, ada istilah ‘asas
praduga tak bersalah’, yaitu bahwa seorang terdakwa dianggap tidak bersalah sehingga ada bukti
hukum secara material bahwa orang tersebut dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Asas praduga
tak bersalah ini relevan dengan konsep “Istishab al-Bara’ah al-Ashliyyah”, yaitu Istishab yang
didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari beban, sampai adanya dalil
yang merubah status tersebut.

4. ‘URF
Secara etimologi ‘Urf diartikan dengan al-ma‘ruf ( ُ‫ )اَ ْل َمعْ رُوف‬yaitu sesuatu yang dikenal, sesuatu
yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat. Kata ‘urf sering disamakan dengan kata adat
artinya perulangan. Oleh karena itu, sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan
adat. Kata ‘urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan,
tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang
banyak.
Secara terminologi, ‘Urf berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah
menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.
‘Urf tergolong salah satu sumber hukum dari ushul fiqih yang diambil dari intisari Al-Qur’an.
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (Al-‘Urfi), serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh." — QS. Al-A’raf: 199
Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi
itu selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam
bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyrakat, melainkan
secara selektif menyaring ; ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan.
Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung (al-
mudarabah). Praktik seperti ini telah berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan
kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat
dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan.
Macam-macam ‘Urf
Para Ulama Ushul fiqh membagi ‘Urf kepada tiga macam:
Dari segi objeknya :
a. Al-‘Urf al-Lafzhi. Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan
tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan
terlintas dalam pikiran masyarakat.
b. Al-‘urf al-‘amali. Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan.
Dari segi cakupannya :
a. Al-‘urf al-‘am adalah kebiasaan tertentu yang bersifat umum dan berlaku secara luas di
seluruh masyarakat dan diseluruh daerah.
b. Al-‘urf al-khash adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah dan masyarakat tertentu tidak ada
di tempat lain.
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’
a. Al-‘urf al-Shahih (Yang sah). Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat
yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) tidak menghilangkan kemaslahatan
mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka.
b. Al-‘urf al-fasid (Yang rusak). Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’
dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’.

5. MAZHAB SHAHABI
Madzhab Shahabi berarti "pendapat para sahabat Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan
"pendapat sahabat" ialah pendapat para sahabat yang tentang suatu kasus yang dinukil para
ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak
menjelaskan hukum terhadap kasus  yang dihadapi sahabat tersebut.

Kehujjahan Mazhab Shahabi.


Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, yaitu :
1.   Pendapat sahabat yang berada diluar lingkup ijtihad (masalah ta’abbudi atau hal lain yang
secara qath’i berasal dari Nabi), meskipun secara terang tidak disebutkan dari Nabi dapat
menjadi hujah. Bila terdapat dua pendapat atau lebih yang berbeda dalam bentuk ini, maka
diselesaikan dengan cara atau metode yang lazim (berlaku).
2.  Pendapat sahabat dalam lingkup ijtihad dan bukan dalam bentuk tawfiq, tentang
kehujjahannya tergantung untuk siapa pendapat sahabat itu diberlakukan. Para ulama
sepakat bahwa pendapat sahabat dalam bentuk ini tidak menjadi hujjah untuk sesama
sahabat lainnya, baik ia seorang imam, hakim atau mufti.

6. SYAR’U MAN QABLANA


Syar’u man qablana adalah syariat atau ajaran-ajaran Nabi sebelum Islam yang berkaitan dengan
hukum. Seperti syariat Nabi Ibrahim, Musa dan Isa. Menurut Abu Zahran, syariat Samawi pada
dasarnya satu. Apabila al-Qur’an atau al-Sunnah yang sahih itu disyariatkan oleh Allah kepada
para ummatnya yang telah mendahului kita melalui para Rasulnya, dan telah dinashkan bahwa
syariat itu diwajibkan juga kepada kepada kita, maka tidak ada perselisihan bahwa syariat itu
adalah syariat untuk kita dan wajib diikuti. Seperti firman Allah.
‫ َيَأ ُّي َها ا‬ .‫صيَا ُم َك َما ُكتِ َب َعلَى الَّ ِذيْنَ ِمنْ قَ ْبلِ ُك ُم‬
ِّ ‫لَّ ِذيْنَ َأ َمنُ ْوا ُكتِ َب عَل ْي ُك ُم ال‬
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagai mana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu (Q.S. al Baqarah: 183)
Dan apabila al-Qur’an dan al-Sunnah yang sahih telah menceritakan mengenai hukum diantara
hukum-hukum ini, maka wajiblah kita melaksanakannya.

Macam-macam Syar’u Man qablana


Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian.
Pertama, hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan al-
Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita.
Kedua, hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga :
1. Dinasakh syariat kita, maka tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua ulama.
2. Disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas kesepakatan
ulama.
3. Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinaskh atau dianggap sebagai syariat
kita.Terhadap masalah ketiga ini para ulama berbeda pendapat, ada yang mengakui sebagai
syariat yang kita akui dengan alasan karena itu datangnya dari Allah, da nada yang tidak
mengakuinya karena masing-masing umat ada syariatnya masin-masing.

SEKIAN…

Anda mungkin juga menyukai