Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum islam merupakan istilah khas di Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-
islamy atau dalam keadaan konteks tertentu dari as-syariah al islamy. Istilah ini dalam
wacana ahli Hukum Barat disebut Islamic Law. Dalam Al-Qur’an dan Sunnah, istilah al-
hukm al-Islam tidak ditemukan. Namun yang digunakan adalah kata syari’at islam, yang
kemudian dalam penjabarannya disebut istilah fiqih. Uraian diatas memberi asumsi bahwa
hukum dimaksud adalah hukum islam. Sebab, kajiannya dalam perspektif hukum islam, maka
yang dimaksudkan pula adalah hukum syara’ yang bertalian dengan akidah dan akhlak.
Penyebutan hukum islam sering dipakai sebagai terjemahan dari syari’at islam atau fiqh
islam. Apabila syari’at islam diterjemahkan sebagai hukum islam, maka berarti syari’at islam
yang dipahami dalam makna yang sempit. Pada dimensi lain penyebutan hukum islam selalu
dihubungkan dengan legalitas formal suatu Negara, baik yang sudah terdapat dalam kitab-
kitab fiqh maupun yang belum. Dalam khazanah ilmu hukum islam di Indonesia, istilah
hukum islam dipahami sebagai penggabungan dua kata, hukum dan islam. Jadi, dapat
dipahami bahwa hukum islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah
dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani
kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama islam.

B. Rumusan masalah
1) Apa yang dimaksud dengan istihsan?
2) Jelaskan khilafah tentang dasar hukum istihsan?
3) Jelaskan kehujahan maslahah mursalah?
4) Sebutkan macam-macam Al-‘urf!
5) Jelaskan bagaimana para ahli uslul fikih membagi saddu al-dzari’ah menjadi tempat
kategori?
6) Bagaimana mazhab sahabat?
7) Jelaskan pendapat para ulama pengenai dalalatul iqtiran ?

C. Tujuan penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai sarana pembelajaran untuk lebih
memahami sumber-sumber hukum islam. Melalui makalah ini diharapkan dapat menjadi
penambah wawasan dan lebih mengetahui apa saja sumber hukum islam yang muktalaf.
Selain itu, penulisan makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata pelajaran fikih.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. ISTIHSAN

Istihsan adalah salah satu cara atau sumber dalam mengambil hukum Islam. Berbeda
dengan Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas yang kedudukannya sudah disepakati oleh para
ulama sebagai sumber hukum Islam, istihsan adalah salah satu metodologi yang digunakan
hanya oleh sebagian ulama saja, tidak semuanya.

Al-Imam Asy-Syafi’i dalam mazhabnya termasuk kalangan ulama yang tidak


menerima istihsan dalam merujuk sumber-sumber syariah Islam. Sebaliknya, Al-Imam Abu
Hanifah justru menggunakannya. samping madzhab Hanafi, termasuk sebagian madzhab
Maliki danmadzhab Hambali.

1. Pengertian Istihsan

Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut
ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang
lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’.

Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum
lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk
meninggalkannya.

Misal yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong
tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri
harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini
ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah
hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya.

Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu
pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan
untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah

2
kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan
menghendaki perpindahan hukum itu

a. Khilafah Tentang Dasar Hukum Istihsan

Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam
As-Syafi’i dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan
keinginan hawa nafsu.
Imam Syafi’i berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah
menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak
menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan
beliau, dinyatakan, “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang
melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu
adalah arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah
Ka’bah itu.”
Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat
Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i.

Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu
kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu
timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.

Maka seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan


pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-
Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan, “orang yang menetapkan hukum
berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi
haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah
SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum.”

b. Contoh Istihsan

Menurut madzhab Abu Hanifah, bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian,
maka dengan menggunakan istihsan, yang termasuk diwaqafkan adalah hak pengairan, hak
membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Sebab kalau menurut qiyas (jali), hak-
hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena tidak boleh mengqiyaskan waqaf itu dengan
jual beli.
Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli.
Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu.

3
Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu
kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak
memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang.

Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang
diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika
memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali),
maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan
hak milik. Karena itu perlu dicari asalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa.

Kedua peristiwa ini ada persamaan ‘illat-nya yaitu mengutamakan manfaat barang atau
harta, tetapiqiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya
tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut
istihsan.

Contoh Lain

Menurut Madzhab Hanafi, sisa minuman burung buas, seperti elang, burung gagak
dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan.

Padahal seharusnya kalau menurut qiyas (jali), sisa minuman binatang buas, seperti
anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah
bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu
langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya.

Sedangkan menurut qiyas khafi, burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut
binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut
burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat
tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan
dagingnya yang haram dimakan, sebab di antara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya.

Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya
dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada
qiyas khafi, yang disebut istihsan.

4
Istihsan artinya menganggap sesuatu lebih baik, mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau
mencari yang lebih baik untuk diikuti.

Menurut istilah syara’, sebagaimana yang didefinisikan oleh Abdul Wahhab


Khallaf, istihsan ialah, “berpindahnya seorang mujtahid dari qiyas jali (jelas) kepada
qiyas khafi (samar) atau dari hukum kulli(umum) kepada hukum pengecualian dikarenakan
adanya dalil yang membenarkannya.

Dari definsi di atas, untuk membentuk istihsan dapat ditempuh melalui tiga cara.

1. Beralih dari semua yang dituntut oleh qiyas jali kepada yang dikehendaki oleh qiyas khafi.
Dalam hal ini, mujtahid tidak menggunakan qiyas jali untuk rnenetapkan hukum, tetapi
mengunakan qiyas khafi. Pengalihan ini dilakukan karena menurut perhitungan, cara inilah
yang paling tepat. Contohnya, hukum air yang dijilat burung buas (seperti elang dan gagak).
Nas syara’ tidak menyebutkan hukumnya. Bila memakai qiyas jali, air bekas jilatan burung
buas hukumnya tidak bersih, karena diqiyaskan dengan daging binatang buas. Qiyas jali ini
dilakukan karena persaman‘illah, yaitu dagingnya sama-sama haram untuk dimakan dan air
liurnya pun dianggap tidak suci. Dengan demikian, air jilatan burung buas dianggap tidak
suci. Jika mengggunakan qiyas khafi, hukum air bekas jilatan burung buas itu suci. Dalam hal
ini, karena burung buas tidak diqiyaskan kepada binatang buas, tapi diqiyaskan kepada
burung biasa. Air yang diminum oleh burung biasa hukumnya suci, karena burung itu minurn
dengan paruhnya sehingga air tidak bersentuhan dengan air liur melekat di lidahnya. Keadaan
seperti ini juga berlaku pada burung buas. Meskipun dagingnya haram dimakan, namun
daging burung buas hanya menyatu dalam air liurnya yang tidak bersentuhan dengan air ke-
tika minurn. Burung minum dengan paruhnya, sedangkan paruh itu suci. Oleh karena itu air
yang dijilatnya juga suci. Cara seperti ini disebut dengan istihsan qiyas.

2. Beralih dari nas yang umum kepada hukum yang bersifat khusus. Artinya bahwa nas yang
bersifat umum dalam keadaan tertentu hukumnya tidak dapat diterapkan karena adanya sebab
tertentu. Oleh karena itu, dalam hal ini berlaku dalil yang khusus. Contohnya, penerapan
sanksi hukum terhadap pencuri. Menurut ketentuan umum, Al-Qur’an menghukuminya
dengan potong tangan sesuai dengan Surah al-Ma’idah [5]: 38. Ayat tersebut menjelaskan

5
bahwa seorang pencuri tangannya harus dipotong. Namun bila pencurian itu dilakukan pada
masa peceklik atau karena kelaparan, hukum potong tangan tersebut tidak berlaku
sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab. Cara ini disebut istihsan Hass.
3. Beralih dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan hukum pengecualian karena adanya
maslahat.Ini dapat ditempuh melalui tiga jalan yaitu :
1) Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan ‘urf (adat ke-
biasaan). Contohnya, ucapan yang berlaku pada sumpah. Misalnya kalian bersumpah
tidak akan makan daging. Di kemudian hari kalian ternyata makan ikan. Dengan
istihsan kalian tidak dinyatakan melanggar sumpah, meskipun, ikan dalam Al-Qur’an
termasuk daging. Alasannya, ‘urf (kebiasaan) yang berlaku dalam ucapan sehari-hari
tidak memasukkan ikan dalam kategori daging.
2) Meninggalkan dalil yang biasa digunakan dan beramal dengan cara lain karena ada
faktor kemaslahatan. Contohnya, tanggung jawab mitra dari tukang yang
memperbaiki barang, bila barang yang diperbaikinya itu rusak di tangannya. Ber-
dasarkan qiyas, ia tidak wajib menggantinya karena kerusakan itu terjadi ketika ia
membantu bekerja. Namun berdasarkan pendekatan istihsan, ia wajib menggantinya
demi terwujudnya kemaslahatan, yaitu memelihara dan menjamin harta orang lain.
3) Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk menghindarkan kesulitan dan
memberikan kernudahan kepada umat. Umpamanya, adanya kelebihan atau
kekurangan sedikit dalam menukar atau menimbang sesuatu dalam ukuran yang
banyak. Dalam menakar apapun, sebenarnya tidak dibenarkan adanya kekurangan
atau kelebihan. Semunya harus pas. Namun, ketika sesuatu yang ditimbang berjumlah
besar, ada kekurangan atau kelebihan sedikit tentu dimaafkan. Kebolehan ini
didasarkan pada pendekatan istihsan.

Para ulama yang mengunakan istihsan sebagai metode ijtihad ialah kebanyakan ulama
Hanafiah. Dalil mereka atas kehujahan istihsan adalah bahwa mereka hanyalah berdalil
dengan qiyas khafi yang menang atas qiyas jali, atau berhujah
dengan maslahah mursalah (kepentingan umum), atau pengecualian hukum kulli. Menurut
mereka, semua itu adalah istidlal (berdallil) yang dibenarkan

6
B. MASLAHAH MURSALAH
1) Pengertian
Maslahah mursalah terdiri atas dua kata, yaitu ‫صلَ َحة‬
ْ ‫ َم‬dan‫سلَة‬
َ ‫ ُم ْر‬Secara
harfiah, maslahah artinya kebaikan, kemanfaatan, keuntungan, atau terlepas dari kerusakan.
Sedangkan kata mursalah artinya terlepas dan terbebas, yaitu terlepas dan terbebas dari
keterangan yang menunjukkan boleh atau tidaknya sesuatu dilakukan.

Menurut istilah syara’, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam al-Gazali dalam
Kitab al-Musytasfa,maslahah mursalah adalah

ْ ُ‫ش ْرع ِب ْالب‬


ِ َ‫طالَ ِن َوالَ ِبا ْ ِإل ْع ِتب‬
‫َض ُمعَ ِتين‬
ٌّ ‫ار ن‬ ِ َّ ‫م ََالَ ْم يَ ْش َه ْد لَهُ ِمنَ ال‬
Artinya: Sesuatu yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nas yang
membatalkannya dan tidak ada pula yang menetapkannya

Jadi, maslahah mursalah adalah sesuatu yang tidak ada nas hukumnya dalam Al-
Qur’an ataupun hadis.Maslahah mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal, dengan
pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan (maslahah) dan menghindari keburukan
(mafsadat). Sesuatu yang baik menurut akal sehat pada hakikatnya tidak bertentangan
dengan tujuan syara’ secara umum. Dengan demikian, prinsip umum maslahah
mursalah adalah menarik manfaat dan menghindari kerusakan bagi kehidupan.Maslahah
mursalah sering disebut juga istislah.

Jumhur ulama sepakat bahwa maslahah mursalah bukanlah dalil yang berdiri
sendiri. Maslahah mursalah tidak terlepas dari petunjuk syara’. Oleh karena itu, jika ada
sesuatu yang mendatangkan manfaat menurut tinjauan akal tetapi bertentangan dengan
prinsip nash, nash harus didahulukan. Ketika itu pula maslahah mursalah tidak dapat
digunakan.

Imam Malik dan pengikutnya adalah kelompok yang secara jelas


menggunakan maslahah mursalahsebagai salah satu metode ijtihadnya. Sedangkan Imam
Abu Hanifah dan Imam Syafi’i tidak memakainya sebagai metode ijtihad.

7
Kelompok yang menggunakan maslahah mursalah sebagai metode ijtihad tidak begitu
saja menerimanya, kecuali maslahah itu memenuhi syarat yang cukup ketat. Syarat yang
umum adalah ketika suatu kasus tidak ditemukan hukumnya dalam nash yang sariih (jelas).

2) Syarat-Syarat Khusus Yang Harus Dipenuhi

1. Maslahah itu bersifat riil (hakiki) dan umum, bukan maslahah yang bersifat
perorangan atau bersifat zan. Ia juga harus dapat diterima akal sehat dengan dugaan kuat
bahwa maslahah itu benar-benar mendatangkan manfaat secara utuh dan
menyeluruh. Maslahah ini juga harus sejalan dengan tujuan syara’ dan tidak berbenturan
dengan prinsip dalil syara’ yang telah ada, seperti nas dan ijmak. Contohnya, yang berhak
secara resmi menjatuhkan talak hanyalah hakim.
2. Maslahah mursalah digunakan dalam keadaan mendesak. Jika maslahah tidak
digunakan, umat akan berada dalam kesempitan dan kesulitan. Dengan dernikian maslahah
mursalah harus digunakan demi menghindarkan umat dari kesulitan. Contohnya, mencetak
mata uang, memungut pajak, dan membangun penjara untuk menahan orang-orang terkena
kasus pidana.

3. Kehujahan Maslahah Mursalah

Sebagian besar ulama mengakui maslahah mursalah sebagai metode ijtihad. Kejadian
yang tidak ada hukumnya dalam nas, qiyas, dan ijmak hukumnya diserahkan
kepada maslahah mursalah.Pembentukan hukum berdasarkan maslahah mursalah ini tidak
akan terhenti. Ia akan terns menerus dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal
berikut.

1. Masalah umat itu selalu baru dan tidak ada habisnya, sedangkan hukumnya tidak ada dalam
nas (Al-Qur’an dan hadis). Jika asas maslahah tidak digunakan, akan terjadi kekosongan
hukum. Hal ini berarti bertentangan dengan tujuan pembentukan hukum.
2. Sejarah telah membuktikan bahwa para sahabat, tabi’in, dan para mujtahid membentuk
hukum berdasarkan pertimbangan maslahah mursalah. Umparnanya, Abu Bakar telah

8
menghimpun lembaran berberaian yang di dalamnya lain tanpa hal tertulis ayat-ayat Al-
Qur’an dan memerangi orang yang enggan membayar zakat. Umar menghukumi talak tiga
dengan satu kali ucapan. Umar tidak memberikan zakat. Demikian hal kepada orang yang
baru masuk Islam. Umar menetapkan undang-undang pajak, pembukuan administrasi,
membangun penjara, dan menghentikan pelaksanaan hokum pidana kepada pencuri di tahun
paceklik. Usman telah menyatukan umat Islam dalam satu mushaf, menetapkan jatah harta
waris kepada istri yang ditalak karena sang suami menghindari pembagian warisan
kepadanya. Ali telah memerangi para pengkhianat dari kalangan Syiah Rafidah.

C. ISTIHAB
1) Pengertian
Dilihat dari segi bahasa, kata istishab artinya “selalu menyertai”. Sedangkan secara
istilah, sebagaimana yang dikernukakan oleh Imam as-Syaukani dalam kitabnya lrsyad al-
Fukhbl, adalah

‫ان ْال ُم ْست َ ْقبَ ِل‬ َّ ‫ص ُل بَقَا ُءهُ فِى‬


ِ ‫الز َم‬ ِ ‫ان ْال َم‬
ْ َ‫اضى فَاال‬ َ َ‫اِ َّن َماثَب‬
ِ ‫ت فِى الزَ َم‬
Artinya: Apa yang pemah berlaku secara tetap pada masa lalu pada prinsipnya berlaku pada
masa selanjutnya.

Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa kata kunci yang dipakai ialah masa lalu
dan masa yang akan datang. Artinya, sesuatu yang diberlakukan pada masa kini adalah sama
secara hukum dengan yang diberlakukan pada masa lalu. Contohnya, kalian mempunyai harta
ini. yang sah. Hak milik kalian tersebut akan menjadi hak kalian selama-lamanya sampai ada
keadaan yang mengubahnya, seperti untuk membeli kebutuhan atau menghadiahkannya
kepada orang lain.

Dilihat dari sifatnya, keadaan hukum sesuatu itu tidak lepas dari dua keadaan, yaitu
kosong hukum(nafi) dan tetap hukum (subuut). Ketika suatu keadaan kosong hukum berjalan,
ia akan tetap kosong selarnanya sampai ada keadaan yang mengubahnya. Contohnya, pada
masa lalu ti dak pernah ada hukum yang menyatakan bahwa puasa pada bulan Syawal wajib
hukumnya, karena memang tidak ada dalil yang mewajibkannya Tidak adanya hukum wajib

9
berpuasa pada bulan Syawal itu berlaku sampai sekarang, karena dalil syara’ yang
mewajibkannya memang tidak akan ada.

Ketika keadaan hukum sesuatu itu telah tetap, yaitu keadaan pernah ada hukum di dalamnya
maka hukum yang sudah tetap pada sesuatu itu berlaku sampai masa kini dan yang akan
datang sebelum ada keadaan (dalil) yang mengubahnya. Contohnya, seseorang yang memiliki
wudu pada salat Zuhur,kemudian datang waktu Asar, Wudu pada waktu salat Zuhur dapat
digunakan untuk melakukar salat Asar sebelum adanya keadaan yang mengubahnya, seperti
kentut yang keluar dari dubur.

2) Pembagian Istishab
1. Bara’ah asliyyah, yaitu bahwa pada dasarnya suatu hukum itu tidak ada sampai ada
dalil yang mengubahnya (menyebutkan ketentuannya). Dalam hal ini berlaku kaidah
‫ص ُل ْال َعدَ ُم‬
ْ َ‫(اال‬pada asalnya hukum sesuatu itu tidak ada). Contoh, bebasnya seseorang
dari dakwaan bersalah sebelum ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan secara
meyakinkan bahwa ia bersalah.
2. lstishab as-sifah, yaitu mengukuhkan berlakunya suatu sifat, dan sifat itu berlaku pada
suatu ketentuan hukum sampai sifat itu mengalami perubahan yang mengakibatkan
hukum berubah. Contohnya, sifat tanggung jawab untuk melunasi utang bagi orang
yang berutang kepada seseorang. Sesungguhnya beban untuk membayar utang itu
akan tetap ada pada diri orang yang berutang sampai ia melunasinya atau orang yang
diutangi menyatakan bebas (lunas) kepadanya.
3. Istishab al-hukm, yaitu mengukuhkan pemberlakuan suatu hukum boleh (mubah) atau
larangan (haram). Hukum boleh pada sesuatu terus berlangsung sampai ada dalil yang
mengharamkannya. Bisa jugs hukum sesuatu itu haram sampai ada sesuatu yang
membolehkannya. Maka Dalam hal ini berlaku kaidah berikut.

‫اإلبَا َحةُ َحتَّى يَدُ َّل الدَّ ِل ْي ُل َعلَى ت َ ْح ِر ي ِْم َها‬


ِ ‫ف‬ ْ َ‫اَال‬
ِ ‫ص ُل‬

Artinya: Hukum sesuatu pada asalnya adalah boleh sehingga ada dalil yang
mengharamkannya.

10
Berdasarkan kaidah ini, sesuatu yang ada di islam ini boleh dimakan atau digunakan
sebelum ada dalil yang mengharamkannya. Misalnya, makanan. Allah membolehkan
kita memakan binatang yang ada di islam ini, kecuali binatang yang diharamkan oleh
Allah.

4. Istishab syara’ atau akal, yaitu keberadaan hukum pada sesuatu ditetapkan
berdasarkan akal atau syara’. Contohnya, kewajiban membayar utang akan tetap
berlaku sebelum utang itu dilunasi.

D. AL- ‘URF
1) Pengertian
Dilihat dari segi bahasa, kata ‘urf berarti sesuatu yang dikenal. Kata lain yang sepadan
dengannya adalah adat. Menurut istilah syara’, sebagaimana dikemukakan oleh Abu
Zahra, ‘urf adalah

‫ت َعلَ ْي ِه ْم أ ُ ُم ْو ُر ُه ْم‬ ٍ َ‫س ِم ْن ُمعَا َمال‬


ْ ‫ت َوا ْستَقَا َم‬ ُ ‫م ََاا ْعتَدَاهُ النَّا‬

Artinya: Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan manusia dalam pergaulannya dan sudah
mantap dan melekat dalam urusan-urusan mereka.

2) Macam-macam Al-‘Urf
Dilihat dari segi sumbernya, ‘urf dapat digolongkan menjadi dua macam.

1. ‘Urf Qauly, yaitu kebiasaan yang berlaku berupa kata-kata atau ucapan dalam
kehidupan sehari-hari. Contohnya, kata “lahm” dalam bahasa Arab artinya adalah
daging. Pengertian daging bisa mencakup semua daging, termasuk daging ikan, sapi,
kambing, dan sebagainya. Namun dalam adat kebiasaan sehari-hari, kata daging tidak
berlaku untuk ikan. Oleh karena itu, jika ada orang bersumpah, “Demi Allah, saya
tidak akan makan daging.” tapi kemudian ia makan ikan maka menurut adat ia tidak
melanggar sumpah
2. ‘Urf My, yaitu kebiasaan yang berlaku berupa perbuatan. Umpamanya, kebiasaan
dalam jual beli barang-barang yang kurang bernilai. Transakasi antara penjual dan
pembeli hanya cukup dengan pembeli menerima barang dan penjual menerima uang

11
tanpa ada ucapan transaksi (akad). Kebiasaan mengambil rokok di antara sesama
teman tanpa adanya ucapan meminta dan memberi juga tidak bisa dianggap
pencurian.

Dilihat dari ruang lingkup penggunaannya, ‘urf juga dibagi menjadi dua macam.

1) ‘Urf Umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di mana saja hampir di seluruh
penjuru dunia tanpa memandang negara, bangsa, dan agama. Contohnya, menganggukkan
kepala pertanda setuju dan menggelengkan kepala pertanda menolak. Jika ada orang
melakukan kebalikan dari itu, orang itu dianggap aneh dan ganjil. Contoh lain, mengibarkan
bendera setengah tiang menandakan duka cita untuk kematian orang yang dianggap
terhormat.

2) ‘Urf Khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang di tempat tertentu
atau pada waktu tertentu dan tidak berlaku di sembarang waktu dan tempat. Umpamanya adat
menarik garis keturunan melalui garis ibu atau perempuan (matriliniel) di Minangkabau atau
melalui bapak (patrilineal) di kalangan suku Batak. Bagi masyara’at umum, penggunaan kata
budak dianggap menghina, karena kata itu berarti hamba sahaya. Tapi bagi masyara’at
tertentu, kata budak biasa digunakan untuk memanggil anak-anak.

Dilihat dari baik dan buruknya, ‘urf digolongkan lagi menjadi dua macam.

1) ‘Urf Saffih, yaitu kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang, diterima oleh orang
banyak, tidak bertentangan dengan norma agama, sopan santun, dan budaya yang luhur.
Umpamanya, memberi hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat pada waktu-waktu
tertentu, mengadakan acara halal bi halal (silaturahmi) pada hari Raya, memberi hadiah
sebagai penghargaan atas prestasi, dan sebagainya.

2) ‘Urf Fasid, yaitu adat atau kebiasaan yang berlaku di suatu tempat meskipun merata
pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara, dan sopan
santun. Contohnya, berjudi untuk merayakan peristiwa perkawinan atau meminum minuman
keras pada hari ulang tahun.

12
1. Kedudukan `Urf dalam Penetapan Hukum

Para ulama menggunakan ‘urf untuk menetapkan hukum dengan syarat sebagai berikut.

1) Adat atau ‘urf itu mengandung maslahat dan dapat diterima akal sehat. Contohnya, ada
suatu kebiasaan istri yang ditinggal mati oleh suaminya tidak kawin lagi untuk
seterusnya, meskipun ia masih muda. Mungkin ini dinilai baik oleh suatu adat daerah
tertentu namum ini tidak bisa diterima oleh akal sehat.
2) Adat itu tidak bertentangan dengan dalil syara’. Contohnya, mengadakan acara syukuran
tujuh bulan dari kehamilan seorang ibu tidaklah bertentangan dengan dalil syara’.
3) Para ulama membagi taqlid menjadi beberapa jenis.
a) Taqlid yang terpuji (al-mahmudah), yaitu taqlid yang dilakukan orang awam
dalam masalah fikih kepada mujtahid. Hal ini dapat maklumi, sebab tidak sernua
orang bisa berijtihad.
b) Taqlid tercela (al-mazmumah). Taqlid ini hukumnya haram. Taqlid terbagi
menjadi tiga.
c) Taqlid kepada pendapat para orang tua dan pemimpin tar membahas sama sekali
pendapat tersebut. Taqlid seperti biasanya terjadi dalam persoalan akidah.
d) Taqlid yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain padai–7 sebenarnya ia
mampu untuk berijtihad sendiri.
e) Taqlid kepada suatu pendapat yang diketahui pendapat itu be– tentangan dengan
dalil yang sudah qati. Contohnya, mengk– pendapat dukun yang jelas
bertentangan dengan hukum Allah,

Adat yang berlaku di kalangan umat berarti telah diterima secara baik oleh umat. Adat
diterima karena mengandung kemaslahatan. Tidak memakai adat berarti tidak menerima
kemaslahatan. Sedangkan semua ulama telah sepakat mengenai keharusan untuk mengambil
sesuatu yang bernilai maslahat, meskipun itu tidak ada nasnya.

E. SADDUAI-DZAR’IAH

1) Pengertian
Dilihat dari segi bahasa, kata َ terdiri atas dua kata, yaitu kata ُ‫الذَّ ِر ْيعَة‬yang
‫سدُّال ِذِّ ِر ْيعَ ِة‬
artinya menutup dan kata ُ‫الذَّ ِر ْي َعة‬yang berarti jalan. Jadi, saddu al-dzari’ah, artinya
13
menutup jalan. Akal akan berkata kalau jalan itu ditutup, semua arch yang menuju ke jalan
itu tidak boleh dilalui.
Menurut istilah syara’, sebagaimana dikemukakan oleh Imam asy-Syaukani, saddu al-
zarl”ah adalah “Sesuatu yang secara lahiriah hukumnya boleh, namun hal itu akan menuju
kepada hal-hal yang dilarang”. Dari definisi tersebut, diperoleh gambaran secara jelas
bahwa saddu al-dzari’ah merupakan usaha mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap
satu kasus hukum yang pada dasarnya mubah (boleh). Dengan demikian, metode ini bersifat
preventif atau usaha pencegahan. Artinya, segala sesuatu yang mubah tetapi akan menuju
pada perbuatan yang haram, hukumnya menjadi haram. Bukankah selain mewujudkan masla-
hat, tujuan hukum Islam adalah mencegah mafsadat?

Di antara kasus hukum yang ditetapkan berdasarkan metode ini adalah kasus
pemberian hadiah kepada hakim. Seorang hakim haram menerima hadiah dari pihak yang
berperkara sebelum perkara itu diputuskan. Sebab pengharaman ini adalah kekhawatiran akan
adanya ketidakadilan hakim dalam memutuskan perkara yang sedang ditanganinya. Padahal,
pada dasarnya menerima pemberian dari orang lain hukumnya boleh. Tapi kasus di atas mesti
memakai pendekatan saddu al-zari>’ah, sehingga hukumnya menjadi haram.

2) Para ahli ushul fikih membagi saddu al-dzari’ah menjadi empat kategori.

1. Z\ari’ah yang sudah pasti akan membawa kerusakan (mafsadat). Contohnya menggali
sumur di jalan umum yang gelap.
2. Dzari’ah yang jarang membawa mafsadat, seperti membuat pisau. Meskipun ada
kemungkinan digunakan untuk membunuh, tapi hal ini termasuk jarang. Oleh karena
itu, membuat pisau tidak dilarang alias boleh.
3. Dzari’ah yang berdasarkan dugaan yang kuat akan membawa kepada mafsadat,
seperti menjual anggur kepada orang atau perusahaan Yang memproduksi minuman
keras. Menjual pisau kepada orang yang diduga kuat akan menggunakannya untuk
membunuh. Dugaan yang pasti ini membawa konsekuensi keharaman.
4. Dzari’ahyang sering kali membawa mafsadat, namun kekhawatiran itu tidak sampai
kepada dugaan yang kuat. Ia hanya didasari oleh dugaan biasa. Contohnya, transaksi
jual bell secara kredit. Transaksi seperti ini diduga akan membawa mafsadat terutama
bagi para pembeli (pengutang).

14
Terlepas dari permasalahan dzari’ahyang dilarang dan dibolehkan, prinsip, adalah
bahwadzari’ahdigunakan untuk mernelihara tujuan syariat hukum, yaitu menarik
kernaslahatan dan menolak kerusakan. Memelihara maslahat dalam berbagai peringkatnya
termasuk tujuan disyariatkannya Islam. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
metode sadduzdzari’ahberhubungan erat dengan tujuan ditetapkannya hukum Islam. Metode
ini dikembangkan oleh Imam al-Syatibi dari kalangan Malikiyah.

F. MAZHAB SAHABAT
Setelah Nabi wafat, tampillah sahabat untuk memberikan fatwa kepada umat Islam.
Sahabat adalah orang-orang yang bergaul dengan Rasul dan mengerti secara mendalarn isi
Al-Qur’an. Mereka menghasilkan fatwa-fatwa untuk berbagai macam peristiwa. Fatwa-fatwa
para sahabat itu telah mendapat perhatian dari para tabi’in. Oleh karena itu, kedudukan fatwa
sahabat dalam hukum Islam sangat tinggi. Menurut beberapa ulama, fatwa sahabat termasuk
di antara sumber pembentukan hukum yang hampir bisa disamakan dengan nas. Oleh karena
itu, seorang mujtahid harus memperhatikan fatwa sahabat sebelum menggunakan qiyas.
Kumpulan fatwa sahabat inilah yang disebut mazhab sahabat. Contohnya, para sahabat telah
sepakat bahwa bagian waris untuk nenek adalah seperenam. Kesepakatan ini harus kita ikuti
dan sampai sekarang kesepakatan itu tidak diperselisihkan. Yang menjadi perselisihan ialah
ucapan sahabat yang belum ada kata sepakat dari sahabat lainnya. Menurut Imam Abu
Hanifah, ia tidak dapat dijadikan hujah. Begitu juga pendapat Imam Syafi’i. Ia
memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan. Sebab, pendapat
mereka itu sifatnya ijtihad perorangan dari orang-orang yang tidak ma’’su>m (terbebas dari
dosa dan kesalahan). Hal ini dilakukan sebagaimana sahabat boleh menentang pendapat
sahabat yang lain. Mujtahid yang datang sesudah generasi sahabat juga bisa menentang
pendapat sahabat.

G. SYAR’UMANQABLANA
Syar’u man qablana atau syariat umat sebelum kita adalah syariat Allah yang
diturunkan kepada umat sebelum Nabi Muhammad. Baik syariat para rasul sebelum Nabi
Muhammad maupun syariat Nabi Muhammad sendiri disebut dengan
syariat samawiyah, yaitu syariat yang diturunkan oleh Allah untuk manusia perhatikan !!!
Terjemahan: Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya

15
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah
Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan
ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belch di dalamnya. Sangat berat bagi orangorang
musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang
Dia kehendaki kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang
yang kembali (kepada-Nya). (Q.S. asy-Syura- [42]: 13)

ِ ‫اْل َ ْر‬
‫ض ب ِ غ َ ي ِْر‬ ْ ‫اس َو ي َ بْ غ ُو َن ف ِ ي‬ ْ َ ‫إ ِ ن َّ َم ا ال سَّ ب ِ ي ُل عَ ل َ ى ال َّ ِذ ي َن ي‬
َ َّ ‫ظ لِ ُم و َن ال ن‬
‫ك ل َ ُه ْم عَ ذ َاب أ َلِ يم‬ َ ِ ‫الْ َح قِ ۚ أ ُو َٰل َ ئ‬

Artinya: Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan
melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.

Kedudukan Syariat Umat sebelum Kita

Syariat umat sebelum kita menjadi syariat kita juga. Ini terjadi jika Al-Qur’an dan
sunah menegaskan bahwa syariat tersebut diwajibkan baik untuk mereka (orang yang
sebelum kita) maupun untuk kita. Contohnya, puasa dan kisas. Namun, seandainya Al-Qur’an
dan sunah Nabi menegaskan bahwasyariat orang sebelum kita itu telah di-naskh (dihapus),
tidak ada lagi kewajiban bagi kita untuk mengikutinya, karena ia bukanlah syariat kita.
Umpamanya, syariat Nabi Musa bahwa orang yang berdosa tidak dapat menebus dosanya,
kecuali ia harus membunuh dirinya sendiri. Pakaian yang terkena najis tidak bisa disucikan,
kecuali dengan memotong bagian yang terkena najis. Syariat ini tidak berlaku bagi umat Nabi
Muhammad. Contoh lain, Allah menghararnkan bagi orang Yahudisetiap binatang yang
berkuku, seperti sapi dan domba. Syariat ini tidak berlaku bagi umat Muhammad. Sapi dan
domba termasuk binatang yang dagingnya halal kita makan.

Menurut Abu Zahra, setidaknya ada tiga ketentuan yang harus diperhatikan dalam
melihat syariat orang sebelum kita.

1. Syariat orang sebelum kita itu harus diceritakan dengan bersandarkan kepada sumber-sumber
yang menjadi pedoman ajaran Islam.

16
2. Apabila syariat umat sebelum kita telah dinasakh, ia tidak boleh lagi diamalkan. Artinya,
syariat itu memang khusus untuk mereka.
3. Disyariatkannya hukum itu berlaku untuk mereka (umat sebelum kita) dan juga untuk kita
jika didasari oleh nas Islam, bukan cerita orang-orang terdahulu. Misalnya, kewajiban
berpuasa. Kewajiban puasa yang merupakan syariat umat sebelum kita tersebut ditegaskan
kembali dalam Al-Qur’an.

H. DALALATUL IQTIRAN
A. Pengertian Dalalatul Iqtiran
Dalalatul Iqtiran Secara bahasa berarti dalil yang bersama-sama (berbarengan), secara
istilah adalah dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu sama hukumnya dengan sesuatu
yang disebut bersama-sama. Imam Malik menyamakan hukum karena bergandengan dengan
yang lain, contoh tidak mewajibkan zakat pada kuda karena ada ayat “dan kuda dan bighal
dan keledai”

Contoh Dalatul Iqtiran : Firman Allah Surat Al Baqarah ayat 196 “Sempurnakanlah
haji dan umrah karena Allah”

Kedudukan Dalalatul Iqtiran sebagai sumber hukum.


Para ulama berbeda pendapat mengenai dalalatul iqtiran sebagai sumberhukum.

1. Sejumlah ulama berpendapat bahwa dalalatul iqtiran tidak dapat dijadikan hujjah dengan
alasan “Sesungguhnya bersama-sama dalam suatu himpunan tidak mesti bersamaan dalam
hukum”
2. Sebagian ulama yang lain dari golongan Hanafiyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyah mengatakan
bahwa Dalalatul Iqtiran dapat dijadikan hujjah dengan alasan : Sesungguhnya µathaf itu
menghendaki musyarakat.

17
PENUTUP
A. Kesimpulan

18

Anda mungkin juga menyukai