Anda di halaman 1dari 12

ISTIHSAN DAN ISTISHAB

A. ISTIHSAN

1. Definisi

Istihsan (‫)االستحسان‬, secara bahasa dari kata hasan (‫ )حسن‬yang artinya baik.
Kata hasan (‫ )حس ن‬ditambah dengan tiga huruf alif, sin ,)‫ (استحس ن‬yang kemudian
menjadi kata baru istahsana ,)‫ ت‬,‫ س‬,‫’ (أ‬dan ta yang bermakna mencari sesuatu yang
baik, dan mengaggap baik terhadap sesuatu hal. Menurut bahasa istihsan berarti
memandang baik sesuatu. Ia juga berarti sesuatu yang digemari dan disenangi
manusia, walaupun dipandang buruk orang lainSedangkan menurut istilah istihsan
ialah meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas 'illahnya dan menggunakan qiyas yang
samar 'illahnya.
Dari segi etimologi, istihsan berarti menilai sesuatu dengan yang baiSedankan
menurut itilah ushul fiqh, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama, antara
lain:1
a. al-Bazdawi
Beralih dari konsekuensi suatu qiyas kepada model qiyas lain yang lebih kuat dari
qiyas yang pertama
b. al-Kharakhi, sebagaimana dikutip oleh al-Bukhari
Seorang mujtahid beralih dari hukum suatu masalah yang sama hukumnya
berdasarkan metode qiyas, kepada hukum lain yang berbeda,karena ada faktor
yang lebih kuat yang meuntu adanya pengalihan tersebut dari hukum yang
pertama
c. Imam Malik
Menerapkan yang terkuat di antara dua dalil,atau mengunakan prinsip
kemaslahatan yang bersifat parsial dalam posisi yang bertentangan dengan dalil
yang bersifat umum
d. Wahbah az-Zuhaili
Merumuskan dua definisi yakni Pertama, Lebih mengungulkan qiyas khafi drai
pada qiyas jali berdasarkan alasan tertentu . Kedua, Mengecualikan Hukum kasus
tertentu dari prinsip hukum atau premis yang bersifat umum, berdasarkan alasan
tertentu pengecualian tersebut.2
Berdasarkan definisi yang diutarakan oleh para ahli di atas dapat difahami,
bahwa istihsan:
a. indahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali kepada qiyas khafi
b. Pindahnya seorang mujtahid dari hukum kulli kepada hukum pengecualian karena
adanya dalil yang dianggap cacat oleh akal yang memperkuat baginya untuk
melakukan kepindahan tersebut

1
AbdRahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakrta: Amzah, 2016.) hal.197
2
Ibid., hal 197-198
c. Memindahkan hukum masalah karena adanya suatu dalil khusus dari kitab
(Alquran) dan sunnah3
Para ulama yang menerima Istihsan sebagai dalil hukum, mereka
Mengembalikan dasar Istihsan kepada al-Quran dan as-Sunnah.
‫ الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه‬.‫فبش عباد‬......
Artinya : “...Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hambaku, yang
mendengar perkataan lalu mengikutinya dengan yang lebih”. (QS. Az-Zumar: 17-18).
...‫وأمر قومك يأخذوا باحسنها‬...
Artinya : “...Dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-perintahnya)
dengan sebaik-baiknya... “ (QS. Al-A’raf : 145)
‫يريدهللا بكم اليسر وال يريد بكم العسر‬......
Artinya : “...Allah mengehendaki kemudahan bagimu dan tidak mengehendaki
kesukaran bagimu..” (QS. Al-Baqarah: 185).
Di samping kedua dalil hukum di atas, Ulama Hanafiyah yang mengatakan
bahwasannya mengambil dalil dengan Istihsan itu hanyalah Istidlal dengan Qiyas
Khafi yang menang atas Qiyas Jalli atau kemampuan Qiyas atas Qiyas lain yang
melawannya dengan dalil yang menuntut kemenangan itu atau juga Istidlal dengan
Mashlahah Mursalah (kepentingan umum) atas pengecualian bagian Hukum Kulli,
semua itu merupakan Istidalal yang sahih (benar). Untuk sementara menurut istilah
Ushul Ulama adalah : Berkembangnya seorang mujtahid dari permohonan Qiyas Jalli
(Qiyas Asli) menjadi Qiyas Khafi (Qiyas Samar), atau dari Peraturan Kully (Umum)
menjadi hukum pengecualian, sejak ada perselisihan yang membuatnya menegur
penjelasannya dan langkah ini dimenangkannya4.
Jika syariat Islam tidak diciptakan dan disegarkan maka syariat Islam akan
ketinggalan zaman, tidak sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. Faktanya,
masyarakat bisa saja menolak hukum Islam karena hukum tersebut tidak mampu
menjawab permasalahan yang dihadapi masyarakat. Artinya hukum Islam tidak lagi
dapat menjamin kemaslahatan hidup manusia dan memberikan kebahagiaan. Jadi
pembenahan syariat Islam sebenarnya merupakan syarat syariat Islam yang menyebut
dirinya rahmat bagi seluruh alam di segala zaman dan di mana pun, karena syariat
Islam diciptakan untuk memahami kepentingan umat manusia dan menjamin
kebahagiaan mereka di dalamnya. di dunia dan seterusnya.
Mereformasi hukum Islam bukan berarti berusaha menciptakan hukum Islam
yang mampu menyikapi segala persoalan dan peristiwa baru secara asal-asalan tanpa
pedoman dan batasan. Namun reformasi hukum Islam merupakan upaya untuk
menciptakan ketentuan-ketentuan hukum yang selaras dengan prinsip-prinsip dasar
dan nilai-nilai ajaran Islam dan meyakini bahwa perkembangan baru akan mendorong
berkembangnya prinsip-prinsip dan nilai-nilai tersebut.
Salah satu metode penentuan hukum Islam melalui istihsan adalah metode
hukum mengontekstualisasikan suatu teks berdasarkan realitas yang ada. Oleh karena
itu, prinsip istihsan harus mewujudkan hukum-hukum yang menyimpang dari kaidah-
3
Muhammad al-Amin al-Sinqithi, Mudzakarah fi Ushul al-fiqh, (Madinah KSA: Maktabah al-ulum wa al-hikam,
2001), hlm.199.
4
Kadenun, “Istihsan sebagai Sumber dan Metode Hukum Islam,” Qlamuna 10, no. 2 (2018): 95–96.
kaidah umum karena menyimpang dari kaidah-kaidah umum tersebut untuk
menciptakan kaidah-kaidah yang lebih sesuai dengan tujuan syariat (maqasid al-
shari'ah). daripada yang lama. Aturan. Oleh karena itu mengikuti istihsan adalah
tantangan yang lebih berat.

2. Macam Macam

Istihsan dibagi menjadi dua istihsan qiyasi dan istihsan istitsna'I


a. Istihsan Qiyasi
lalah, suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan
pada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan pada qiyas khafikarena
adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut.
Contohnya ialah, Berdasarkan istihsan qiyahiyang dilandasi oleh qiyas khafi, air
sisa minuman burung buas, adalh suci dan boleh diminum, seperti: sisa minuman
burung gagak atau burung elangPadahalberdasarkan qiyas jali, sisa minuman
binantang buas, seperti anjing dan burung buas adalah najis dan haram di minum,
karena sisa minuman tersebut telah bercampur dengan air liurnya, yaitu dengan
mengqiyaskan dengan dagingnya.
Sebagaiman diketahui, binatang buas itu minum dengan mulutnya,sehingga air
liurnya masuk ke tempat minumnya. Akan tetapi, paruh burung buas berbeda
dengan mulut binatang buas yang tidak lansung bertemu dengan dagingnya. Mulut
binatang buas terdiri atas daging yang haram di makan, sedangkan paruh burubg
buas merupakan tulang atau zat tanduk. Sedangkan tulang atau tanduk tidak najis.
5

b. Istihsan Istisna'i
lalah, qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang
berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat
khususIstihsan bentuk yang kedua ini dapat dibagi kepada beberapa macam
sebagai berikut : 6
1) Istihsan bi an-Nashsh
lalah, pengalihan hukum dari ketentuan hukum dari ketentuan yang umum
kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada nash yang
mengecualikanya, baik nashsh tersebut Alquran maupun sunnah.
2) Istihsan bi al-Ijma'
lalah, pengalihan hukum dari ketentuan umum kepada ketentuan lain dalam
bentuk pengecualiankarena ada ketentuan ijma yang mengecualikanya
3) Istihsan bi al-Urf
Lalah pengecualian hukum dari prinsip syariah yang umum, berdasarkan
kebiasaan yang berlaku
4) Istihsan bi ad-Dharurah

5
A. Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakara: Kencana, 2005) hal.83
6
Ibid., hal 200
lalah, suatu keadaan darurat yang mendorong mujtahid untuk mengecualikan
ketentuan qiyas yang berlaku umum kepada ketentuan lain yang memenuhi
kebutuhan mengatasi keadaan darurat
5) Itihsan bi al-Mashlahah al-Mursalah
lalah, mengecualikan ketentuan hukum yang berlaku umum berdasarkan
kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip
kemaslahatan7

3. Kehujjahan Istihsan

Pendapat ulama terbagi dua kelompok antar kehujjahan istihsan. Pertama


kelompok yang berpendapat bahwa istihsan merupakan dalil syara. Mereka ini
adalah mazhab Hanafi, Maliki, dan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan
kelompok kedua yang menolak pengunaan istihsan sebagai dalil syara' adalah asy-
Syafi' iZahiryyah, Mu'tazilah Dan Syi'ah. Mereka berpendapat bahwa
mengunakan istihsan sebenarnya dikendalikan oleh hawa nafsu untuk besenang-
senang dengan cara mengunakan nalar murni untuk menentang hukum yang
ditetapkan dalil syara'.8
Pendapat ulama yang Mengunakan Istihsan,Di antaranya sebagai berikut: 9
a. Mengunakan istihsan berarti mencari yang mudah dan meningalkan yang
sulit.
b. Firman ALLAH pada surah az-Zumar(39): 55:
"Dan ikutilah sebaik- baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari tuhanmu
sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba,sengkan kamu tidak
menyadarinya"
c. Sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka ia dipandang baik
oleh Allah.
Jika ditelusuri sejarah istihsan sebagai dalil hukum, bermula dari persoalan
penerapan kiyas sebagai dalil hukum. Bahkan dalam beberapa hal qiya tidak dapat
digunakan karena tidak berkaitan dengan permasalahan penyelesaian masalah
tersebut, qiya harus dikesampingkan dan dicari cara lain yang lebih mendekati tujuan
syara. Penyelesaian dengan cara yang kemudian disebut istihsan ini adalah Imam
Abu Hanifah yang banyak menggunakan metode istimbat, istilah hukum istihsan,
dalam berbagai permasalahan fiqih. Namun ketika disistematisasikan menjadi bagian
dari rancangan undang-undang (istilah menurut para ahli ushul), penggunaannya tidak
hanya terbatas pada pengikut pemikiran Hanafi saja, tetapi juga dilakukan oleh
mazhab Maliki dan Hambali.
Kehujjahan Al-istishan dikuatkan oleh firman Allah sebagai berikut10:
‫ٰۤل‬ ‫ٰۤل‬
‫اَّلِذ ْيَن َيْسَتِم ُعْو َن اْلَقْو َل َفَيَّتِبُعْو َن َاْح َس َنٗه ۗ ُاو ِٕىَك اَّلِذ ْيَن َهٰد ىُهُم ُهّٰللا َو ُاو ِٕىَك ُهْم ُاوُلوا اَاْلْلَباِب‬

7
Ibid., hal 200-202
8
Ibid., hal 203
9
Ibid., hal 204
10
Eka Sakti Habibullah, “Pandangan Imam Abu Hanifah Dan Imam Syafi’i Tentang Al-Istihsan,” Al
Mashlahah Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam 4, no. 7 (2016): 451–66.
Artinya : “(Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah dan mereka itulah ululalbab (orang-orang yang mempunyai akal sehat)”. (QS.
Az-Zumar : 18)
Menurut peneliti Hanfiyah, pengenalan dan kata-kata manis pada bagian ini
menunjukkan kapasitas al-istihsan dan sekaligus refreinnya menguatkan hujjahan al-
istihsan. Kemudian di kuatkan dalam ayat 55 :

‫ۙ َو اَّتِبُع ْٓو ا َاْح َس َن َم ٓا ُاْنِز َل ِاَلْيُك ْم ِّم ْن َّرِّبُك ْم ِّم ْن َقْبِل َاْن َّيْأِتَيُك ُم اْلَع َذ اُب َبْغ َتًة َّو َاْنُتْم اَل َتْش ُعُرْو َن‬
Artinya : “Ikutilah sebaik-baik apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu (Al-
Qur’an) sebelum azab datang kepadamu secara mendadak, sedangkan kamu tidak
menyadarinya.” (QS. Az-Zumar : 55)
Sedikit bait di atas merupakan arahan untuk mengikuti apa yang terbaik
dengan akibat meninggalkan apa yang tidak baik. Sekiranya bait ini bukan tentang
hujjahan al-istihsan maka tidak ada perintah demikian. Dasar dari sunnah adalah
hadits Rasulullah SAW:
‫ رواه أحمد‬.‫ما رأه املطلمىن حطىا فهى عىد هالل حطن‬
Artinya : “Apa yang dilihat kaum muslimin baik, maka menurut Allah pun baik” .

4. Contoh

Berikut ini beberapa contoh berkaitan dengan tema istihsan ini:

1. Hukum bai’ salam


Bai’ salam itu artinya membeli buah-buahan yang belum ada. Jadi baru pesan.
Tapi uangnya sudah diberikan sekarang. Misalnya kita pesan buah mangga
kepada pedagang. Padahal sekarang belum masanya pohon mangga berbuah.
Lalu kita kasih uangnya sekarang. Hukum akad jual-beli barang yang belum
ada wujudnya itu sebenarnya adalah tidak boleh. Tidak sah. Namun hal itu
ternyata diperbolehkan oleh Rasulullah Saw. Sehingga hadits ini merubah
hukum sesuatu yang semula tidak sah menjadi sah. Perbuatan Rasulullah Saw.
memperbolehkan bai’ salam ini disebut sebagai istihsan.
2. Hukum istishna’
Istishna’ itu artinya membeli suatu barang yang baru ada contohnya saja.
Barang yang akan dibeli baru akan dibuatkan. Sesuai dengan contoh yang ada.
Misalnya kita pesan meja atau kursi di toko mebel. Berdasarkan meja dan kursi
yang sudah ada di sana. Lalu kita minta kepada penjual untuk menyediakan
barang yang sama atau yang mirip dengannya. Hukum akad jual-beli barang
yang belum ada seperti ini sebenarnya tidak boleh. Tidak sah. Namun ternyata
para ulama bersepakat, atau ijma’. Bahwa akad jual-beli seperti ini hukumnya
adalah sah. Nah, kesepakatan para ulama untuk merubah hukum yang asalnya
tidak sah menjadi sah ini merupakan istihsan.
3. Hak irtifaqiyah dalam wakaf tanah
Hak irtifaqiyah itu adalah hak yang menyertai apa-apa yang kita miliki. Dalam
hal ini, hak irtifaqiyah dikaitkan dengan tanah wakaf. Maka maksudnya adalah
hak yang menyertai tanah wakaf. Seperti hak atas akses jalan dari luar menuju
lokasi tanah wakaf. Akad wakaf itu sebenarnya lebih menyerupai akad jual-
beli. Yang penekanannya adalah pemindahan hak milik. Daripada akad sewa-
menyewa. Yang penekanannya adalah pemindahan hak guna atau hak pakai.
Qiyas akad wakaf kepada akad jual-beli disebut sebagai qiyas jali. Adapun
qiyas akad wakaf kepada akad sewa-menyewa disebut sebagai qiyas khafi. Bila
kita menggunakan qiyas khafi, maka kita telah menggunakan salah satu dalil
yang disebut dengan istihsan.
4. Hukum wakaf tunai
Pada dasarnya, wakaf itu harus merupakan benda yang tidak bergerak. Namun
ternyata ada adat kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan
wakaf berupa uang. Sehingga para ulama pun memperbolehkan wakaf berupa
benda bergerak, misalnya wakaf uang ini. Inilah yang disebut sebagai wakaf
tunai. Di mana asalnya wakaf tunai itu tidak sah. Namun karena ada adat
kebiasaan masyarakat untuk melakukan wakaf tunai, maka para ulama pun
memperolehkannya. Perubahan hukum dari tidak boleh menjadi boleh. Atau
tidak sah menjadi sah ini. Disebut sebagai istihsan.
5. Hukum memecahkan gelas di toko tanpa sengaja
Orang yang melakukan sesuatu secara tidak sengaja itu sebenarnya tidak bisa
dimintai pertanggungjawaban. Termasuk orang yang memecahkan gelas
maupun piring di toko. Bila hal ini dipertahankan, boleh jadi membuat para
calon pembeli kurang hati-hati. Sehingga yang menanggung kerugian adalah
pemilik toko. Kasihan dia. Oleh karena itu, pemilik toko pun membuat
pengumuman. Bahwa barang yang rusak atau pecah karena perilaku calon
pembeli, meskipun tidak sengaja, merupakan tanggung jawab orang yang
merusak atau memecahkannya. Perubahan hukum ini dalam hukum Islam
disebut sebagai istihsan.
6. Hukum membaui aroma makanan
Ketika sedang berpuasa. Kita dilarang untuk membaui aroma makanan. Karena
hal itu sama saja dengan makan. Bikin kita merasa kenyang. Sehingga puasa
menjadi batal. Namun orang yang sedang masak di dapur tidak bisa
menghindari hal itu. Karena dia harus tetap tinggal di dapur. Oleh karena itu,
orang yang sedang memasak itu puasanya tetap sah. Perubahan hukum ini
disebut sebagai istihsan.
B. ISTISHAB

1. Pengertian

Istishab secara lughawy (etimologi) berasal dari kata is-tash-ha-ba (‫)استصحب‬


dalam sighat istif’al (‫ )استفعال‬yang artinya ‫( طلب الصحابة‬mencari persahabatan)[6], ‫اعتبار‬
‫( الص حابة‬menganggap bersahabat),[7] dan ‫( طلب الص حبة‬mencari teman).[8] Suhbah
dimaknai dengan membandingkan sesuatu kemudian mendekatkannya. Dengan
demikian, secara lughowy (etimologi), dipahami bahwa istishab yaitu mendekatkan
suatu peristiwa dengan hukum tertentu dengan peristiwa lainnya, sehingga keduanya
dinilai sama status hukumnya.11
Sedangkan secara istilahy (terminologi), para ulama ushul berbeda-beda dalam
memberikan makna istishab. Meskipun dengan redaksi yang berbeda namun secara
substansi mengarah pada makna yang sama, diantaranya:
1. Al-Syawkani, istishab adalah tetapnya (hukum) sesuatu selama belum ada dalil
lain yang merubahnya.12
2. Imam Ibnu al-Subki mendefinisikan istishab sebagai menetapkan hukum atas
masalah hukum yang kedua berdasarkan hukum yang pertama karena tidak
ditemukan dalil yang merubahnya.13
3. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengartikan istishab sebagai melanggengkan
hukum dengan cara menetapkan hukum berdasarkan hukum yang sudah ada, atau
meniadakan hukum atas dasar tidak adanya hukum sebelumnya.14
4. Wahbah Zuhaili memaknai istishab dengan menghukumi tetap atau hilangnya
sesuatu pada masa kini atau masa mendatang berdasar pada tetap atau hilangnya
sesuatu tersebut di masa lalu karena tidak ada dalil yang merubahnya.15
5. Sedangkan definisi istishab menurut Al-Ghazali yaitu tetap berpegang teguh
dengan dalil akal atau dalil syar’i, bukan karena tidak mengetahui adanya dalil,
melainkan karena mengetahui adanya dalil yang mengubahnya setelah berusaha
keras mencarinya.16
6. ‘Abd al-‘Aziz al-Bukhari, mendefinisikan istishab dengan menyatakan tetap
adanya sesuatu pada masa kedua karena sesuatu tersebut memang ada pada masa
pertama.17

11
Masykur Rosyid, Istishab Sebagai Solusi Pemecahan Masalah Kekinian, Jurnal Hukum dan Pemikiran Syariah,
Volume 8, No. 1, Juni 2018, hal, 47.
12
Muhammad Ibn Ali ibn Muhammad al-Syawkani, Irsyad al-Fukhul ila Tahqiq ‘Ilm al-Usul Juz I (Beirut: Daar al-
Fikr, 1992), hal. 396.
13
Ali Abdul Kafi al-Subki, Al-Ibhaj, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1404H), III/173.
14
Muhammad bin Abi Bakar bin Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, (Beirut: Daar al-Jil, 1973), I/339.
15
Wahbah Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Darul Fikr, 1999), hal, 113.
16
Abu hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazzali, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Daar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1993) hal. 410.
17
‘Abd al-‘Aziz ibn Muhammad al-Bukhari, Kashf al-Asrar ‘An Ushul Fakhr al-Islam al-Bazdwi, (Beirut: Daar al-
Kitab al-‘Arabi, t.t.), Vol.2, hal. 377.
7. Abdul Wahab Khallaf, mendefinisikan istishab yakni menjadikan ketentuan
hukum yang telah tetap di masa lalu tetap berlaku pada saat ini sampai muncul
keterangan tentang adanya perubahan.18
8. Shihab al-Din al-Zanjani al-Shafi’i, seorang ulama ushul fiqh mazhab Syafi’i
mengartikan bahwa istishab adalah mengambil dalil-dalil hukum dikarenakan
ketiadaannya dalil atas hukum tersebut, atau mengukuhkan apa yang pernah
berlaku pada masa lalu dengan dalil.19
9. Umar Maulud Abd al-Hamid, memberikan makna istishab yakni penetapan
hukum pada masa kedua sebagaimana yang telah ditetapkan pada masa pertama,
maksudnya adalah menetapkan hukum yang mana hukum tersebut telah ada pada
zaman sebelumnya, sehingga tinggal penetapan dari hukum tersebut.20
10. al-Asnawy menyatakan bahwa istishab adalah penetapan (keberlakuan) hukum
terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah
berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya
perubahan (hukum tersebut).
Dari berbagai definisi yang telah disebutkan diatas, kita dapat menyimpulkan
bahwa pada prinsipnya istishab adalah suatu metode hukum yang sudah ada
sebelumnya selama belum ada dalil (bukti hukum) baru yang menyatakan sebaliknya.
Dengan makna lain, istishab bukanlah merumuskan hukum yang murni baru, akan
tetapi justru mencari hukum sekarang yang didasarkan pada hukum lama.
Istishab Berasal dari kata istishaba dalam isti’fal yang artinya istimrar al-
shahabah (sahabat) yang dalam bahasa lughowi artinya selalau bersama atau bersama.
Istishab juga dapat di artikan sebagai membawa dan melepaskan sesuatu, misalnya :
‫استصبحت الكتاب يف سفري‬

Artinya : “ Aku membuat buku itu ikut serta bersamaku dalam perjalananku”.
Selain itu definisi dari istishab menurut pendapat para ulama’ ushul fiqh:
1. Segala hukum yang ada pada masa sekarang terjadi karena hukum sebelumnya
atau masa lali
2. Segala hukum yang yang berlaku pada masa sekarang tetap berlaku kecuali
ada yang mengubahnya.
3. Segala hukum yang ada sekarang pasti sudah ada di masa lalu.

2. Macam Macam

Para ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam,
Yaitu
1. Istishab hukm al-ibahah al ashliyah.

18
Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Usul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1990), hal. 91.
19
Mustafa Sa’id al-Khani, Athar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah fi ikhtilafi al-Fuqaha, (Beirut: Muassasah al-
Risalah, 1994), hal. 542.
20
Umar Maulud Abd al-Hamid, Hajjiyah al-Qiyas di Usul al-Fiqh al-Islami, (Ghaza: Jami’ah Qar Yunus, t.t.), hal.
50
Menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh,
selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Contohnya: seluruh
pepohonan yang ada dihutan merupakan milik bersama manusia dan
masing-masing berhak menebang dan mengambil manfaatkan pohon dan
buahnya, sampai pada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah
menjadi milik orang.
2. Istishab Al-Bara`at Al Ashliyat.
Yaitu kontinuitas hukum dasar ketiadaan berdasarkan argumentasi rasio
dalam konteks hukum-hukum syar’i. Maksudnyamemberlakukan kelanjutan
status ketiadaan dengan adanya peniadaan yang dibuat oleh akal lantaran tidak
adanya dalil syar’i yang menjelaskannya. Dalam objektivitasnya, istishab
tersebut bereferensi kepada hukum akal dalam hukum ibadah ataubaraatul
ashliyah(kemurnian menurut aslinya). Akal menetapkan bahwa dasar hukum
pada segala yang diwajibkan adalah dapat diwajibkan sesuatu, kecuali apabila
datang dalil yang tegas mewajibkannya. Contoh: hukum wudhu seseorang
dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya.
3. Istishab Al-‘Umumi.Istishab
Terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang
mengkhususkannya danistishabdengan nash selama tidak ada dalil yang
nash (yang membatal-kannya). Suatu nash yang umum mencakup segala
yang dapat dicakup olehnya sehingga datang suatu nash lain yang
menghilangkan tenaga pencakupannya itu dengan jalantakhsish. Atau sesuatu
hukum yang umum, tidaklah dikecualikan sesuatupun daripadanya, melainkan
dengan ada suatu dalilyang khusus. Contohnya: kewajiban puasa yang berlaku
bagi umat sebelum Islam, tetap wajib wajib bagi umat Islam (QS.Al-Baqarah :
183) selama tidak ada nash lain yang membatalkannya.
4. Istishab An-Nashshi(Istishab Maqlub/Pembalikan)
Yaitu istishab pada kondisi sekarang dalam menentukan status hukum pada
masa lampau, sebab istishab pada bentuk-bentuk sebelumnya, merupakan
penetatapan sesuatu pada masa kedua berdasarkan ketetapannya pada masa
pertama lantaran tidak ditemukannya dalil secara spesifik. Urgensinya,
dalamsuatu dalil (nash) terus-menerus berlaku sehingga di-nasakh-kan
oleh sesuatu nash, yang lain. Contoh: kasus adanya seseorang yang
sedang dihadapkan pertanyaan, apakah Muhammad kemarin berada di
tempat ini?,padahal kemarin ia benar-benar melihat Muhammad disini. Maka
ia jawab, benar ia berada disini kemarin.
5. Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti.
Sesuatu yang telah diyakini adanya, atau tidak adanya masa yang telah
lalu, tetaplah hukum demikian sehingga diyakini ada perubahannya.
Disebut pula denganistishabul madhi bilhaliyakni menetapkan hukum
yang telah lalu sampai kepada masa sekarang. Yaitu istishab terhadap
hukum yang dihasilkan dari ijma’ dalam kasus yang dalam perkembangannya
memicu terjadinya perselisihan pendapat. Contoh: Kasus orang yang
bertayamum, dalam pertengahan shalat melihat air. Menurut ijma’ ditetapkan
shalatnya tidak batal, keabsahan shalat itu ditentukan sebelum melihat air. Hal
ini menunjukkan pula pada keberlanjutan

3. Kehujjahan Istishab

Syaikh Abu Zahrah menegaskan bahwa para ulama sepakat akan kehujjahan
ketiga jenis Istishâb yang disebutkan pertama, yaitu: Istishâb al-ibahah al-
ashliyyah, Istishâb albara’ah al-asliyyah, dan Istishâb al-hukm, sekalipun mereka
berbeda dalam sebagian penerapannya dalam hukum Islam. Sedangkan Istishâb
keempat yaitu Istishâb al-wasf, para ulama berbeda pendapat tentang
kehujjahannya.
Dalam pandangan ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah, Istishâb al-wasf dapat
dijadikan hujjah secara penuh, baik dalam menetapkan sesuatu yang belum ada
(itsbat) ataupun mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i). Sedangkan
ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah menganggap Istishâb al-wasf sebagai hujjah
dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada (al-daf’u) saja, bukan untuk
menetapkan sesuatu yang belum ada (al-itsbat).21
Adapun nilai kehujjahan Istishâb secara umum, para ulama berbeda pendapat.
Pertama, mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali menyatakan
bahwa Istishâb merupakan hujjah secara penuh, baik dalam mempertahankan
sesuatu yang sudah ada (al-daf’u), maupun menetapkan sesuatu yang belum ada
(al-itsbat). Mereka menggunakan Alquran, Hadis, Ijmâ’, dan akal, untuk
memperkuat pandangannya.
Sedangkan menurut Mustafa Sa’id al-Khani, selain pendapat dari dua
kelompok ulama diatas, terdapat pendapat lain yaitu pendapat Sebagian ulama
Hanafiyah dan Sebagian ulama Syafi’iyyah dan Abi Husain al-Basri serta
sekelompok ulam Mutakallimin yang menyatakan bahwa istishab tidak bisa
dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum baik untuk menetapkan hukum
berdasarkan hukum yang sudah ada atau menetapkan hukum yang belum ada.
Argumentasi mereka adalah bahwa status hukum halal atau haram adalah hukum
syara’ yang harus didasarkan pada justifikasi tekstual yang bersumber dari al-
Quran dan al-Hadits.
Menurut Saifuddin al-Amidi, pendapat ulama yang menyatakan bahwa
istishab bisa dijadikan hujjah hukum merupakan pendapat yang ia pilih. lebih
lanjut, al-Amidi menyatakan bahwa adanya hukum pada masa lalu menjadikan
dasar adanya dugaan kuat (zann) bahwa hukum itu masih berlaku hingga saat ini.
Menurutnya, dugaan kuat (zann) merupakan dasar yang bisa dijadikan pegangan
dalam syariat.22
Dalam pandangan ‘Abd al-Wahhab Khallaf, penolakan ulama tentang
kehujjahan istishab al-wasf karena pendasaran istishab itu hanya pada asumsi-

21
Musthofa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah al-Mukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Imam al-
Bukhari), hal. 188-189.
22
Saefuddin Abi Hasan ‘Ali ibn Muhammad al-Amidi, al-Ihkam fi Usul al-ahkam juz 4, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1983), hal.173-174.
asumsi (i’tibar) yang bersifat spekulatif (zanni) bukan pada fakta. Pendapat ini
bisa dibuktikan secara empiris dimana salah satu contohnya adalah para hakim
menjadikan istishab sebagai salah satu metode penetepan hukum, dimana salah
satu pertimbangan dalam menetapkan status hak kepemilikan hakim didasarkan
pada bukti akta (sertifikat hak milik) yang telah disahkan pada waktu yang lalu.
Sementara itu, kelompok ulama usuliyyun yang menerima istishab sebagai
dalil hukum, mendudukkan posisi istishab sebagai dalil terakhir bilamana tidak
ditemukan dalil lain yang menjelaskan hukumnya. Argumentasi mereka adalah
bahwa menyandarkan hukum pada istishab pada hakikatnya bersandar pada fakta
hukum yang sudah ada yang akan selalu bergerak dinamis seiring dengan
dinamika yang terjadi di masyarakat.

4. Contoh

1. Bidang Hukum Pidana Islam


Dalam hukum pidana khususnya yang berlaku di Indonesia, berlaku
asas praduga tak bersalah. Seseorang yang sedang menjalani proses
persidangan tidak boleh dihukumi bersalah sampai ada bukti formil dan
materiil serta dijatuhkan putusan oleh pengadilan bahwa ia telah melakukan
tindak pidana. Asas ini, dalam hukum pidana Islam dikenal dengan asas
legalitas.
Asas praduga tak bersalah juga relevan dengan konsep Istishab al-
bara’ah al-asliyyah (‫)استصحاب ال براءة االص لية‬, yaitu istishab yang menetapkan
hukum dengan berpegang pada prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang itu
bebas dari tuntutan beban sehingga ditemukan dalil yang menyatakan
sebaliknya.
2. Bidang Hukum Perdata
Konsep istishab juga dapat kita jumpai penerapannya dalam hukum
perdata, misalnya di bidang perikatan ekonomi. Pada prinsipnya, seseorang
adalah bebas dari segala bentuk tanggungan kewajiban perdata. Jika seseorang
(Penggugat) mengajukan gugatan ke pengadilan dengan mendalilkan
seseorang (Tergugat) telah melakukan wanprestasi, maka Tergugat berhak
untuk menolaknya sehingga Penggugat dapat membuktikan dalil gugatannya
di pengadilan.
Hal ini sejalan dengan teori pembuktian Umar bin Khattab yang dapat
kita temui dalam Risalah Umar, yaitu risalah yang dikirimkannya kepada Abu
Musa Al-Asy‟ari r.a., di dalamnya tercantum pedoman bagaimana seharusnya
peradilan dilaksanakan dan bagaimana sikap seorang hakim dalam
melaksanakan tugasnya. Teori pembuktian Umar adalah “Beban pembuktian
bagi orang yang menggugat, dan sumpah dibebankan kepada yang digugat”
yang berpendapat bahwa berdasarkan konsep istishab, seorang Tergugat
berada pada posisi yang kuat dan benar selama Penggugat tidak bisa
membuktikan dalil gugatannya. Hal ini disebabkan karena pada prinsipnya
hukum asalnya bahwa setiap orang tidak mempunyai tanggungan hutang.23

3. Bidang Hukum Perkawinan


Seorang laki-laki dan perempuan secara perdata tidak terdapat
hubungan hak dan kewajiban sebaggai sepasang suami istri sebelum
keduannya dapat membuktikan bahwa keduanya telah mengadakan akad nikah
yang dibuktikan dengan bukti hukum seperti Akta Nikah. Dengan demikian,
hukum asal hubungan antara keduannya adalah bebas dan tidak terikat. Aturan
ini relevan dengan konsep “Istishâb al-Barâ’ah al-Ashliyyah”.
Jika konsep istishab ini dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa suatu perkawinan dinilai sah menurut
hukum negara apabila dilakukan sesuai dengan hukum agamanya masing-
masing, dan dilakukan pencatatan yang dibuktikan dengan adanya Akta
Nikah, maka praktik pernikahan sirri secara hukum negara dianggap tidak
pernah ada. Tuntutan akan adanya kepastian hukum dan menghindari dampak-
dampak negative yang ditimbulkan dari perkawinan yang tidak tercatat,
merupakan beberapa alasan dari pentingnya pencatatan perkawinan. Hal ini
sesuai dengan prinsip menghindari kemafsadatan didahulukan daripada
menarik kemaslahatan.

23
Maktabah Syamilah, Kitab Jaami’ al-Ahadits, Bab Musnad Umar bin al-Khathab, Juz 28 hlm. 181

Anda mungkin juga menyukai