PEMBAHASAN
A. ISTIHSAN
a) Definisi Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap baik terhadap
sesuatu. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih, istihsan adalah
berpalingnya (pindahnya) seorang mujtahid dari tuntunan qiyas yang
jali (nyata) kepada tuntunan qiyas yang khafi (samar), atau dari hukum
kulli (umum) kepada hukum istitsani (pengecualian), karena terdapat
dalil yang mementingkan perpindahan.
Dalam hal ini, apabila dalam diri mujtahid terdapat dalil yang
mengunggulkan segi analisis yang tersembunyi, ia dapat berpaling dari
aspek analisis yang nyata, maka ia disebut istihsan, menurut istilah
syara’. Demikian pula apabila ada hukum yang bersifat kulli (umum),
namun pada diri mujtahid terdapat dalil yang menghendaki
pengecualian juz’iyyah dari hukum kulli (umum) tersebut, dan
mujtahid tersebut menghendaki hukum juz’iyyah dengan hukum yang
lain, maka hal tersebut menurut syara’ juga disebut sebagai istihsan.
1
b) Pengertian Istihsan Menurut Ulama
Terdapat beberapa definisi yang dirumuskan oleh ulama ushul
di antaranya adalah:
2
Berdasarkan berbagai definisi istihsan yang dikemukakan
ulama mazhab di atas, maka dapat disimpulkan bahwa esensi dari
istihsan itu adalah pertama: mentarjih qiyas khafi dari qiyas jali,
karena ada dalil yang mendukungnya. Kedua: memberlakukan
pengecualian hukum juz’i, dari hukum kulli atau kaidah hukumnya
didasarkan kepada dalil khusus yang mendukungnya.
ۖ ُين َه َد ٰى ُه ُم ٱللَّهذِ َّٱلَّ ِذين يست ِمعو َن ٱلْ َقو َل َفيتَّبِعو َن َأحسنهۥٓ ۚ ُأ ۟و ٰلَِٓئك ٱل
َ َ ُ ََ ْ ُ َ ْ ُ َْ َ َ
ِ َك ُهم ُأ ۟ولُو ۟ا ٱَأْللْب
ٰب َ وُأ ۟و ٰلَِٓئ
ْ َ
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi
Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”.
(QS. Az-Zumar: 18).
d) Macam-macam Istihsan
Dari definisi istihsan menurut syara’, maka istihsan dibagi
menjadi dua bagian, yaitu:
3
1. Ulama Hanafiyyah menjelaskan bahwa orang yang mewakafkan
sebidang tanah pertanian maka termasuk di dalam mewakafkan hak
pengairan (irigasi), hak air minum, dan hak lewat, tanpa harus
menyebutkannya sebagai wakaf. Hal tersebut dikarenakan
mengikutkan sesuatu yang berhubungan dengan wakaf dianggap
lebih baik.
Menurut qiyas, hal-hal tersebut tidak termasuk kategori barang
yang diwakafkan kecuali bila terdapat keterangan orang yang
mewakafkan bahwa sesuatu yang berhubungan dengan barang
yang diwkafkan menjadi barang wakaf juga, sebagaimana dalam
masalah jual beli.
Bahwa yang menjadi tujuan wakaf dari segi istihsan adalah
pemanfaatan sesuatu yang diwakafkan. Pada kasus di atas,
pemanfaatan tanah pertanian tidak bisa dilakukan kecuali dengan
meminum airnya, pengairannya, dan hak melewatinya. Jadi, hal-hal
tersebut juga termasuk wakaf meskipun tanpa menyebutkannya
sebagai wakaf. Dengan demikian tujuan wakaf tidak akan terealisir
kecuali dengan hal-hal itu, sebagaimana sewa-menyewa.
Dalam hal ini qiyas yang nyata (jali) adalah adanya upaya
menyamakan wakaf dengan jual beli, karena masing-masing dari
keduanya terdapat unsur pemberian kepemilikan dari sesorang
kepada orang lain. Sedangkan qiyas yang khafi (tersembunyi)
mempersamakan wakaf sebagaimana kasus ini dengan sewa-
menyewa, karena masing-masing dari keduanya dimaksudkan
untuk memberikan manfaat. Dengan kata lain masuknya pengairan
(irigasi), air minum, dan jalan dalam hal menyewakan tanah meski
tanpa menyebutkannya, maka semua itu juga termasuk dalam hal
wakaf tanah.
2. Ulama Hanafiyyah menjelaskan apabila penjual dan pembeli
bersengketa mengenai harga sebelum serah terima barang,
kemudian penjual mengaku harganya adalah 100 rupiah, dan
4
pembeli mengaku harganya 90 rupiah, maka mereka berdua harus
bersumpah untuk menentukan sikap yang baik (istihsan).
Berdasarkan qiyas, penjual tidak bersumpah, karena penjual
menambah harga 10 rupiah, sedangkan pembeli mengingkarinya.
Dalam hal ini saksi harus ada pada pendakwa, dan sumpah wajib
bagi orang yang mengingkari. Oleh karena itu, penjual tidak wajib
bersumpah.
Segi istihsannya dari kasus di atas ialah penjual sebagai pendakwa
menuntut tambahan uang dan mengingkari hak pembeli dalam
penerimaan barang setelah ia menyerahkan uang 90 rupiah.
Sedangkan pembeli mengingkari tambahan yang dituntutkan
penjual, yaitu 10 rupiah dan menuntut hak penerimaan barang yang
dijual setelah ia menyerahkan 90 rupiah. Dengan demikian,
sebenarnya masing-masing dari kedua belah pihak adalah
pendakwa dari satu segi dan mengingkari dari sisi lainnya, oleh
karena itu, maka mereka berdua saling bersumpah.
Jadi, qiyas jali (nyata) dalam hal ini ialah menyamakan suatu kasus
dengan setiap kejadian antara pendakwa dan pengingkar. Maka
adanya saksi wajib bagi pendakwa, dan bersumpah wajib bagi
orang yang mengingkari dakwaan itu.
Sedangkan menurut qiyas khafi (tersembunyi) pada kasus ini ialah
menyamakan suatu kasus dengan setiap kejadian yang terjadi
antara dua orang yang saling mendakwa. Masing-masing dari
kedua belah pihak pada waktu yang sama dianggap sebagai
pendakwa dan pengingkar, maka mereka saling bersumpah.
3. Ulama Hanafiyyah menjelaskan sisa minuman burung buas, seperti
burung nasar, gagak, elang, rajawali, adalah suci berdasarkan
istihsan, dan najis berdasarkan qiyas. Segi pengqiyasannya ialah
karena itu merupakan sisa minuman binatang buas yang dagingnya
haram dimakan,seperti: harimau, macan tutul, singa, dan serigala.
5
Dalam hal ini hukum sisa makanan binatang mengikuti hukum
daging binatang buas tersebut.
Sedangkan segi istihsannya ialah bahwa jenis burung buas,
meskipun dagingnya haram, tetapi air liur yang keluar dari
dagingnya tidaklah bercampur dengan sisa minumannya, karena ia
minum dengan paruhnya, sedang paruh adalah tulang yang suci.
Adapun binatang buas, maka ia minum dengan lidahnya yang
bercampur dengan air liur. Oleh karena inilah, sisa minumannya
najis.
6
kepadanya. Apabila ia mati tapi ia tidak memberi tahu tanggungannya
itu kepada orang lain karena tajhil (berpura-pura bodoh) dengan tidak
memberitahukan kepercayaannya, maka hal itu merupakan bentuk
kelalaian/kecerobohan. Namun terdapat pengecualian berdasarkan
istihsan, seperti kematian ayah, kakek, atau orang yang membuat
wasiat secara rahasia. Wujud istihsan dalam kasus ini yaitu ayah,
kakek, dan pewasiat dapat menyediakan pembelanjaan untuk anak
kecil dan memenuhi segala kebutuhannya. Sebab, kemungkinan
sesuatu yang menjadi tanggungannya, yang tidak diketahuinya sudah
dipenuhi dengan jalan tersebut.
7
e) Kehujjahan Istihsan
Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua
macamnya. Jelaslah pada hakekatnya istihsan bukan sumber hukum
yang berdiri sendiri, karena hukum-hukum tersebut pada bagian
pertama berasal dari qiyas khafi (tersembunyi), yang mengalahkan
terhadap qiyas yang jali (jelas), karena adanya beberapa faktor yang
menenangkan hati mujtahid yaitu dari segi istihsan. Sedangnkan
bagian kedua dari istihsan, hukum-hukumnya antara lain berupa dalil
maslahat, yang menuntut pengecualian juz’iyyah dari hukum kulli
(umum), dan ini juga disebut sebagai segi istihsan.
ع ِ
َ م ْن ا ْستَ ْح َس َن َف َق ْد َشَر.
َ
“Barang siapa yang beristihsan, maka ia telah membuat syariat.”
8
Dalam kitab Risalah Ushuliyyah, Asy-Syafi’i menjelaskan:
ِ َ ك اِل ِ ِ ولَو ج َاز ااْل َخ ُذ بِاااْلِ ستِحس. ٌاَ َّن ااْلِ ستِحسا َن َتلَ ُّذذ
هل َ ان ىِف الدِّيْ ِن َج َازذَا ل َْ ْ ْ َ َْ َْ ْ
ِج ُك ُّل اّ َح ٍد ٍ وجَلَ َازاَ ْن يَّ ْشر َ ىِف,الْعُ ُقو ِل ِم ْن خَرْيِ اَ ْه ِل الْعِْل ِم
َ ع الدِّيْ ِن يِف ُك ِّل بَاب َّواَ ْن خُّيْر َ َ ْ
لَِن ْف ِس ِه َش ْر ًعا.
9
istihsan adalah perpindahan dari dalil yang zhahir atau dari hukum
kulli (umum) karena ada dalil yang menuntut perpindahan itu. Jadi,
istihsan bukan semata-mata pembentukan syariat berdasarkan hawa
nafsu.
B. MASHLAHAH MURSALAH
a) Definisi Mashlahah Mursalah
Secara mutlak, mashlahah mursalah diartikan oleh ahli ushul
fiqih sebagai suatu kemashlahatan yang secara hukum tidak
disyariatkan oleh syari’, serta tidak ada dalil syar’i yang menerangkan
atau membatalkannya. Mashlahah ini disebut mutlak, karena tidak
terikat oleh dalil yang mengakuinya atau dalil yang membatalkannya.
Misalnya kemashlahatan yang diambil para sahabat dalam
mensyariatkan pengadaan penjara, percetakan mata uang, penetapan
hak milik tanah pertanian dan penentuan pajak penghasilan, atau hal-
hal lain yang termasuk kemashlahatan yang dituntut oleh keadaan
darurat, kebutuhan, atau kebaikan, namun belum disyariatkan
10
hukumnya, dan tidak ada bukti syara’ yang menunjukkan terhadap
kebenaran atau kesalahannya.
a. Munasib Muatstsir,
11
b. Munasib Mulaim.
“Dan tiadalah Kami mengutus Kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam”.
12
ِ ِ ِ
ُ يَا َأيُّ َها الن
ٌَّاس قَ ْد َجاءَتْ ُك ْم َم ْوعظَةٌ م ْن َربِّ ُك ْم َوش َفاء
c) Macam-macam Mashlahah
Mashlahah dari segi pembagiannya dapat di bedakan menjadi
dua macam, yaitu dilihat dari segi tingkatan dan eksistensinya.
13
Contoh lain dalam hal ibadah ialah bolehnya berbuka puasa
bagi musafir, dan orang termasuk dalam hal hajjiyah ini,
memelihara kemerdekaan pribadi, kemerdekaan beragama.
Sebab dengan adanya kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan
beragama, luaslah gerak langkah hidup manusia. Melarang
rampasan dan penodongan termasuk juga dalam hajjiyah.
c. Mashlahah Tahsiniyah (Tersier)
Maslahah tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang
dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh
bagian mahasinul akhlak. Kemaslahatan ini lebih mengacu
pada keindahan saja ( )زينة للحياةsifatnya hanya untuk kebaikan
dan kesempurnaan. Dalam lapangan muamalah, misalnya
larangan menjual benda – benda yang bernajis, tidak
memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi dari
kebutuhannya. Dalam lapangaan uqubat, misalnya dilarang
berbuat curang dalam timbangan ketika berjual beli, dalam
peperangan tidak boleh membunuh wanita, anak-anak,
pendeta, dan orang-orang yang sudah lanjut usia. Di antara
contoh tahsiniyat yang berkaitan dengan harta ialah
diharamkannya memalsu barang. Perbuatan ini tidak
menyentuh secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya),
tetapi menyangkut kesempurnaanya. Hal itu berlawanan
kepentingan dengan keinginan membelanjakan harta secara
terang dan jelas. Jelaslah bahwa dalam hal itu tidak membuat
cacat terhadap pokok harta (ashul mal), akan tetapi
berbenturan dengan kepentingan orang yang membelanjakan
hartanya, yang mungkin masih bisa dihindari dangan jalan
ihtiyath.
2) Dari segi eksistensi dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Mashlahat Mu’tabarah
14
Mashlalat Mu’tabarah ialah kemashlahatan yang terdapat
dalam nash yang secara tegas menjelaskan dan mengakui
kebenarannya. Dengan kata lain yakni kemaslahatan yang
diakui oleh syar’i dan terdapatnya dalil yang jelas,
sebagaimana disebutkan oleh Muhammad al–Said Ali Abd.
b. Mashlahat Mulghah
Yang dimaksud dengan Mashlahat Mulghah ini ialah maslahat
yang bertentangan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain,
maslahat yang tertolak karena ada dalil yang menunjukkan
bahwa ia bertentangan dengan dalil yang jelas. Dapat
disimpulkan juga bahwa syara’ menyikapi maslahat ini dengan
menolak sebagai variabel penetap hukum (illat). Contoh:
menyamakan pembagian warisan antara seorang perempuan
dengan saudara laki-lakinya. Penyamakan ini memang banyak
mashlahatnya namun berlawanan dengan ketentuan nash.
Namun penyamakan ini dengan alasan kemaslahatan,
penyelesaian kasus seperti inilah yang disebut dengan Maslahat
Mulghah. Seperti juga kasus bentuk sanksi kafarat bagi orang
yang menggauli istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan
yang terdiri dari tiga macam kafarat. Menurut konsep kaffarat
ini dogmatik yang menghendaki adanya kemashlahatan berupa
tindakan jera (al-zajr) tanpa mempertimbangkan mashlahat
lainnya maka tidak diragukan bahwa menurut sebagian orang ia
tidak dapat dijadikan illat hukum karena bertentangan dengan
ketentuan syara’. Jadi kafarat ini harus dilakukan secara
berurutan Lain halnya dengan pendapat Imam Malik ia
mengatakan boleh memilih diantara ketiga kafarat itu dengan
tujuan demi kemaslahatan yang lebih tepat.
c. Mashlahah Mursalah
Yang dimaksud dengan Mashlahah Mursalah ialah mashlahat
yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun yang
15
mengakuinya ataupun menolaknya. Mashlahat ini merupakan
salah satu maslahat yang sejalan dengan tujuan syara’ yang
dapat dijadikan dasar pijakan dalam mewujudkan kebaikan
yang dihajatkan
oleh manusia serta terhindar dari kemudhorotan. Namun karena
tidak ditemukan variabel yang menolak ataupun mengakuinya
maka para ulama berselisih pendapat mengenai kebolehannya
dijadikan illat hukum.
Pertama:
16
Kedua:
17
muslimin mayoritas maka penyerangan terhadap mereka harus
dilakukan, meskipun akan mengakibatkan kematian beberapa
orang muslim yang sebenarnya harus dilindungi keselamatan
jiwanya. Hal ini berdasarkan pertimbangan kepentingan umum
dengan tetap mementingkan suatu kemenangan dan ketahanan.
3. Hendaknya kemashlahatan itu bukan kemashlahatan yang mulghah
yang jelas ditolak oleh nash. Sebagai contoh dari kemashlahatan
yang mulghah ini adalah fatwa Imam Yahya bin al Yaisy, salah
seorang murid Imam Malik dan ulama fiqih Andalusia pada salah
seorang rajanya pada waktu itu. Difatwakannya bahwa bagi raja
apabila ia berbuka puasa dengan sengaja pada bulan Ramadhan ia
tidak boleh tidak harus memenuhi kafarat berpuasa dan dua bulan
berturut-turut. Dia berfatwa tanpa memberikan pemilihan antara
memerdekakan budak atau berpuasa sebagaimana dipegangi oleh
Imam Malik dan tidak pula dengan memerdekakan budak
sebagaimana dipegangi oleh ulama-ulama yang lain karena dia
menganggap bahwa kemashlahatan akan dapat dicapai hanya
dengan itu. Dan menurut dia, maksud kafarat tidak hanya
memberikan pelajaran kepada orang yang melakukan pelanggaran
agar ia tidak mau lagi mengulangi perbuatannya. Dan khusus bagi
seorang raja maksud ini dapat dicapai hanya dengan mengharuskan
dia memenuhi kafarat berupa puasa yang memberatkan, sedang
memerdekakan budak baginya tidak mempunyai pengaruh apa-apa
karena tidak memberatkan. Namun demikian pendapat ini oleh
kebanyakan ulama dinilainya sebagai fatwa yang berlandaskan
kepada pertimbangan kemashlahatan yang mulghah karena nash
Al-Qur’an menunjuk kepada kafarat itu tidak mengadakan
diskriminasi antara raja dan lainnya.
18
f) Keraguan Orang yang Tidak Menggunakan Mashlahah Mursalah
Sebagai Hujjah
Sebagian ulama kaum muslimin berpendapat bahwa mashlahah
mursalah yang tidak terdapat bukti syar’i mengenai pengakuan dan
pembatalan terhadapnya, tidak bisa dijadikan sebagai dasar
pembentukan hukum. Alasan mereka ialah:
Pertama:
Kedua:
19
tersebut dikarenakan bahwa kemashlahatan umum dapat dijadikan
dasar pembentukan hukum jika memenuhi tiga syarat sebagaimana
yang telah dijelaskan, yaitu kemashlahatan harus bersifat umum, harus
hakiki, dan tidak bertentangan dengan nash syar’i maupun prinsip
syar’i yang lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan makalah
sebagai berikut:
2. Pembagian Istihsan:
4. Pembagian Mashlahah:
20
a) Mashlahah Dharuriyah,
b) Mashlahah Hajjiyah,
c) Mashlahah Tahsiniyah,
d) Mashlahat Mu’tabarah,
e) Mashlahat Mulghah,
f) Mashlahah Mursalah.
a) Bersifat Hakiki,
b) Bersifat Universal,
21
DAFTAR PUSTAKA
Basri, Rusdaya. 2020. Ushul Fikih 1. Pare Pare: IAIN Parepare Nusantara Press.
Khallaf, Abdul Wahhab. 2014. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina Utama
Semarang.
Zuhri, Saifudin. 2011. Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
22