Anda di halaman 1dari 22

BAB II

PEMBAHASAN

A. ISTIHSAN
a) Definisi Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap baik terhadap
sesuatu. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih, istihsan adalah
berpalingnya (pindahnya) seorang mujtahid dari tuntunan qiyas yang
jali (nyata) kepada tuntunan qiyas yang khafi (samar), atau dari hukum
kulli (umum) kepada hukum istitsani (pengecualian), karena terdapat
dalil yang mementingkan perpindahan.

Apabila ada kejadian yang tidak terdapat nash hukumnya,


maka untuk menganalisanya dapat menggunakan dua aspek yang
berbeda, yaitu:

Pertama: Aspek nyata (zhahir) yang menghendaki suatu hukum


tertentu,

Kedua: Aspek tersembunyi (khafi) yang menghendaki hukum lain.

Dalam hal ini, apabila dalam diri mujtahid terdapat dalil yang
mengunggulkan segi analisis yang tersembunyi, ia dapat berpaling dari
aspek analisis yang nyata, maka ia disebut istihsan, menurut istilah
syara’. Demikian pula apabila ada hukum yang bersifat kulli (umum),
namun pada diri mujtahid terdapat dalil yang menghendaki
pengecualian juz’iyyah dari hukum kulli (umum) tersebut, dan
mujtahid tersebut menghendaki hukum juz’iyyah dengan hukum yang
lain, maka hal tersebut menurut syara’ juga disebut sebagai istihsan.

1
b) Pengertian Istihsan Menurut Ulama
Terdapat beberapa definisi yang dirumuskan oleh ulama ushul
di antaranya adalah:

1. Di kalangan Ulama Hanafiyah

Imam al-Bazdawi (400-482 H / 1009-1089 M) mendefinisikan


istihsan dengan: berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang
lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih
kuat. Imam al-Sarakhsi (483 H / 1090 M) mengatakan bahwa
istihsan itu berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang
lebih kuat dari itu, karena adanya dalil yang menghendakinya
dengan kemaslahatan umat manusia.

2. Di kalangan Ulama Malikiyah

Imam al-Syatibi (w. 790 H) ahli usul Maliki mendefinisikan


istihsan dengan: memberlakukan kemaslahatan juz’i ketika
berhadapan dengan kaidah umum. Definisi ini mengandung arti
bahwa seorang mujtahid semestinya menetapkan hukum dengan
berpedoman kepada dalil yang ada, yang bersifat umum. Namun
dalam keadaan tertentu, mujtahid tersebut melihat adanya
kemaslahatan yang bersifat khusus. Lalu, ia dalam menetapkan
hukum tidak berpedoman kepada dalil umum yang ada, tetapi
menggunakan kemaslahatan atau kepentingan yang bersifat khusus
itu.

3. Di kalangan Ulama Hanabilah

Ibn Qudamah (541-620 H / 1147-1223 M) mendefinisikan


istihsan dengan berpaling dari hukum dalam suatu masalah
disebabkan adanya dalil hukum yang menyebabkan pemalingan
ini, baik dari ayat Al-Qur’an maupun dari sunnah Rasul.

2
Berdasarkan berbagai definisi istihsan yang dikemukakan
ulama mazhab di atas, maka dapat disimpulkan bahwa esensi dari
istihsan itu adalah pertama: mentarjih qiyas khafi dari qiyas jali,
karena ada dalil yang mendukungnya. Kedua: memberlakukan
pengecualian hukum juz’i, dari hukum kulli atau kaidah hukumnya
didasarkan kepada dalil khusus yang mendukungnya.

c) Dasar Hukum Istihsan


Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil
dari Al-Qur’an dan As-sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam
pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti firman
Allah SWT, dalam Qs. Az-Zumar: 18

ۖ ُ‫ين َه َد ٰى ُه ُم ٱللَّه‬‫ذ‬ِ َّ‫ٱلَّ ِذين يست ِمعو َن ٱلْ َقو َل َفيتَّبِعو َن َأحسنهۥٓ ۚ ُأ ۟و ٰلَِٓئك ٱل‬
َ َ ُ ََ ْ ُ َ ْ ُ َْ َ َ
ِ َ‫ك ُهم ُأ ۟ولُو ۟ا ٱَأْللْب‬
‫ٰب‬ َ ‫وُأ ۟و ٰلَِٓئ‬
ْ َ
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi
Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”.
(QS. Az-Zumar: 18).

d) Macam-macam Istihsan
Dari definisi istihsan menurut syara’, maka istihsan dibagi
menjadi dua bagian, yaitu:

Pertama: Mengutamakan qiyas khafi (yang tersembunyi) atas qiyas


jali (nyata) karena adanya suatu dalil.

Kedua: Mengecualikan kasuistis (juz’iyyah) dari hukum kulli (umum)


karena adanya suatu dalil.

Beberapa contoh bagian yang pertama ialah:

3
1. Ulama Hanafiyyah menjelaskan bahwa orang yang mewakafkan
sebidang tanah pertanian maka termasuk di dalam mewakafkan hak
pengairan (irigasi), hak air minum, dan hak lewat, tanpa harus
menyebutkannya sebagai wakaf. Hal tersebut dikarenakan
mengikutkan sesuatu yang berhubungan dengan wakaf dianggap
lebih baik.
Menurut qiyas, hal-hal tersebut tidak termasuk kategori barang
yang diwakafkan kecuali bila terdapat keterangan orang yang
mewakafkan bahwa sesuatu yang berhubungan dengan barang
yang diwkafkan menjadi barang wakaf juga, sebagaimana dalam
masalah jual beli.
Bahwa yang menjadi tujuan wakaf dari segi istihsan adalah
pemanfaatan sesuatu yang diwakafkan. Pada kasus di atas,
pemanfaatan tanah pertanian tidak bisa dilakukan kecuali dengan
meminum airnya, pengairannya, dan hak melewatinya. Jadi, hal-hal
tersebut juga termasuk wakaf meskipun tanpa menyebutkannya
sebagai wakaf. Dengan demikian tujuan wakaf tidak akan terealisir
kecuali dengan hal-hal itu, sebagaimana sewa-menyewa.
Dalam hal ini qiyas yang nyata (jali) adalah adanya upaya
menyamakan wakaf dengan jual beli, karena masing-masing dari
keduanya terdapat unsur pemberian kepemilikan dari sesorang
kepada orang lain. Sedangkan qiyas yang khafi (tersembunyi)
mempersamakan wakaf sebagaimana kasus ini dengan sewa-
menyewa, karena masing-masing dari keduanya dimaksudkan
untuk memberikan manfaat. Dengan kata lain masuknya pengairan
(irigasi), air minum, dan jalan dalam hal menyewakan tanah meski
tanpa menyebutkannya, maka semua itu juga termasuk dalam hal
wakaf tanah.
2. Ulama Hanafiyyah menjelaskan apabila penjual dan pembeli
bersengketa mengenai harga sebelum serah terima barang,
kemudian penjual mengaku harganya adalah 100 rupiah, dan

4
pembeli mengaku harganya 90 rupiah, maka mereka berdua harus
bersumpah untuk menentukan sikap yang baik (istihsan).
Berdasarkan qiyas, penjual tidak bersumpah, karena penjual
menambah harga 10 rupiah, sedangkan pembeli mengingkarinya.
Dalam hal ini saksi harus ada pada pendakwa, dan sumpah wajib
bagi orang yang mengingkari. Oleh karena itu, penjual tidak wajib
bersumpah.
Segi istihsannya dari kasus di atas ialah penjual sebagai pendakwa
menuntut tambahan uang dan mengingkari hak pembeli dalam
penerimaan barang setelah ia menyerahkan uang 90 rupiah.
Sedangkan pembeli mengingkari tambahan yang dituntutkan
penjual, yaitu 10 rupiah dan menuntut hak penerimaan barang yang
dijual setelah ia menyerahkan 90 rupiah. Dengan demikian,
sebenarnya masing-masing dari kedua belah pihak adalah
pendakwa dari satu segi dan mengingkari dari sisi lainnya, oleh
karena itu, maka mereka berdua saling bersumpah.
Jadi, qiyas jali (nyata) dalam hal ini ialah menyamakan suatu kasus
dengan setiap kejadian antara pendakwa dan pengingkar. Maka
adanya saksi wajib bagi pendakwa, dan bersumpah wajib bagi
orang yang mengingkari dakwaan itu.
Sedangkan menurut qiyas khafi (tersembunyi) pada kasus ini ialah
menyamakan suatu kasus dengan setiap kejadian yang terjadi
antara dua orang yang saling mendakwa. Masing-masing dari
kedua belah pihak pada waktu yang sama dianggap sebagai
pendakwa dan pengingkar, maka mereka saling bersumpah.
3. Ulama Hanafiyyah menjelaskan sisa minuman burung buas, seperti
burung nasar, gagak, elang, rajawali, adalah suci berdasarkan
istihsan, dan najis berdasarkan qiyas. Segi pengqiyasannya ialah
karena itu merupakan sisa minuman binatang buas yang dagingnya
haram dimakan,seperti: harimau, macan tutul, singa, dan serigala.

5
Dalam hal ini hukum sisa makanan binatang mengikuti hukum
daging binatang buas tersebut.
Sedangkan segi istihsannya ialah bahwa jenis burung buas,
meskipun dagingnya haram, tetapi air liur yang keluar dari
dagingnya tidaklah bercampur dengan sisa minumannya, karena ia
minum dengan paruhnya, sedang paruh adalah tulang yang suci.
Adapun binatang buas, maka ia minum dengan lidahnya yang
bercampur dengan air liur. Oleh karena inilah, sisa minumannya
najis.

Pada setiap contoh dari beberapa contoh tersebut, terdapat


pertentangan antara dua qiyas pada satu kasus, yang pertama adalah
qiyas yang nyata yang mudah dipahami, dan kedua adalah qiyas yang
tersembunyi yang sulit dipahami, namun mujtahid mempunyai dalil
yang memenangkan qiyas yang tersembunyi, sehingga ia dapat
berpaling dari qiyas yang nyata. Perpindahan dari qiyas itulah yang
disebut dengan “istihsan”. Dan dalil yang menjadi dasarnya adalah
segi istihsannya.

Contoh-contoh bagian yang kedua, yaitu:

Syar’i (Pembuat hukum: Allah) melarang jual beli atau


perjanjian (akad) suatu benda yang tidak ada di tempat. Namun Syar’i
memperbolehkan dengan cara istihsan pada akad salam (pemesanan),
sewa-menyewa, muzara’ah (akad bagi hasil penggarapan tanah,
musaqat (akad bagi hasil penyiraman tanaman), dan istishna’ (akad
jasa pengerjaan sesuatu). Semua itu adalah akad, akan tetapi barang
yang dijadikan transaksi tidak ada ditempat saat akad berlangsung.
Segi istihsannya adalah ketika kebutuhan manusia yang saling kenal di
antara mereka.

Para fuqaha’menjelaskan bahwa orang yang diamanati terhadap


sesuatu, ia akan menanggung resiko terhadap apa yang dipercayakan

6
kepadanya. Apabila ia mati tapi ia tidak memberi tahu tanggungannya
itu kepada orang lain karena tajhil (berpura-pura bodoh) dengan tidak
memberitahukan kepercayaannya, maka hal itu merupakan bentuk
kelalaian/kecerobohan. Namun terdapat pengecualian berdasarkan
istihsan, seperti kematian ayah, kakek, atau orang yang membuat
wasiat secara rahasia. Wujud istihsan dalam kasus ini yaitu ayah,
kakek, dan pewasiat dapat menyediakan pembelanjaan untuk anak
kecil dan memenuhi segala kebutuhannya. Sebab, kemungkinan
sesuatu yang menjadi tanggungannya, yang tidak diketahuinya sudah
dipenuhi dengan jalan tersebut.

Fuqaha’ juga menjelaskan bahwa orang yang diberi amanat


tidak mengganti barang yang dimanfaatkan kcuali jika ia ceroboh atau
lalai memelihara. Hal ini menurut istihsan dikecualikan orang yang
menyewa dengan persekutuan. Maka ia menanggung resiko atau
mengganti rugi, kecuali jika kerusakan yang terjadi itu disebabkan
sesuatu yang sangat luar biasa kuatnya dan bersifat memaksa. Segi
istihsannya ialah jaminan pihak penyewa.

Mereka juga menyebutkan bahwa orang yang dicegah


membelanjakan hartanya karena bodoh, maka perbuatan baiknya tidak
sah. Berdasarkan istihsan dikecualikan perihal wakaf yang ia lakukan
untuk dirinya sendiri selama masa hidupnya. Segi istihsannya ialah
bahwa wakaf atas dirinya sendiri merupakan pengamanan tanah
miliknya dari penyerobotan. Demikan itulah yang dimaksud
membelanjakan harta.

Dari beberapa contoh tersebut ada pengecualian juz’iyyah dari


hukum kulli (umum) karena adanya dalil. Inilah yang disebut istihsan
menurut istilah.

7
e) Kehujjahan Istihsan
Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua
macamnya. Jelaslah pada hakekatnya istihsan bukan sumber hukum
yang berdiri sendiri, karena hukum-hukum tersebut pada bagian
pertama berasal dari qiyas khafi (tersembunyi), yang mengalahkan
terhadap qiyas yang jali (jelas), karena adanya beberapa faktor yang
menenangkan hati mujtahid yaitu dari segi istihsan. Sedangnkan
bagian kedua dari istihsan, hukum-hukumnya antara lain berupa dalil
maslahat, yang menuntut pengecualian juz’iyyah dari hukum kulli
(umum), dan ini juga disebut sebagai segi istihsan.

Hujjah istihsan kebanyakan digunakan oleh kalangan ulama


Hanafiyyah. Alasan mereka, ialah, bahwa mencari dalil dengan
istihsan hakikatnya merupakan istidlal (mencari dalil) dengan dasar
qiyas yang tersembunyi, yang lebih diungguli dari qiyas yang nyata.
Atau sebagai upaya mengunggulkan suatu qiyas dengan qiyas lain
yang berlawanan, dengan berdasar pada suatu dalil yang bisa
diunggulkan, atau merupakan istidlal dengan jalan mashlahah
mursalah berdasarkan pengecualian juz’iyyah dari hukum kulli
(umum). Semua ini merupakan istidlal yang sahih.

f) Keraguan Orang yang Tidak Berhujjah dengan Istihsan


Sekelompok mujtahid mengingkari terhadap istihsan sebagai
hujjah dan mereka menganggapnya sebagai istimbath terhadap hukum
syara’ berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya sendiri. Tokoh ulama
kelompok ini adalah Imam Asy-Syafi’i. Menurut sebuah riwayat, ia
berkata:

‫ع‬ ِ
َ ‫م ْن ا ْستَ ْح َس َن َف َق ْد َشَر‬.
َ
“Barang siapa yang beristihsan, maka ia telah membuat syariat.”

Maksudnya orang tersebut membuat hukum syara’ sendiri.

8
Dalam kitab Risalah Ushuliyyah, Asy-Syafi’i menjelaskan:

‫الصالَِة اِىَل ِج َه ِة اِ ْستَ ْح َس َن اَن ََّها الْ َك ْعبَةُ ِم ْن‬


َّ ‫ْما ِّمثْ ُل َم ْن اِجَّتَهَ ىِف‬ ِ
ً ‫َمثَ ُل َم ْن ا ْستَ ْح َس َن ُحك‬
‫ َغرْيِ اَ ْن يَّ ُق ْو َم لَهُ َدلِْي ٌل ِّم َن ااْل َ ِدلَِّة الَّيِت ْ اَقاََم َها الشَّارِعُ لَِت ْعيِنْي ِ ااْلِ جِّتَا ِه اِىَل الْ َك ْعبَ ِة‬.

“Sesungguhnya perumpamaan orang beristihsan terhadap hukum


adalah seperti orang yang menghadap suatu arah di dalam shalatnya di mana
ia beranggapan baik bahwa arah tersebut adalah Ka’bah, namun tidak ada
dalil baginya dari berbagai dalil yang telah dikemukakan oleh Syar’i untuk
menentukan arah Ka’bah.”

Dan di dalam kitab tersebut ia juga berkata:

ِ َ ‫ك اِل‬ ِ ِ ‫ ولَو ج َاز ااْل َخ ُذ بِاااْلِ ستِحس‬. ٌ‫اَ َّن ااْلِ ستِحسا َن َتلَ ُّذذ‬
‫هل‬ َ ‫ان ىِف الدِّيْ ِن َج َازذَا ل‬ َْ ْ ْ َ َْ َْ ْ
‫ِج ُك ُّل اّ َح ٍد‬ ٍ ‫ وجَلَ َازاَ ْن يَّ ْشر َ ىِف‬,‫الْعُ ُقو ِل ِم ْن خَرْيِ اَ ْه ِل الْعِْل ِم‬
َ ‫ع الدِّيْ ِن يِف ُك ِّل بَاب َّواَ ْن خُّيْر‬ َ َ ْ
‫لَِن ْف ِس ِه َش ْر ًعا‬.

“Bahwa istihsan adalah mencari keenakan. Kalau sekiranya berdasarkan


istihsan dalam agama itu boleh, niscaya hal itu boleh juga bagi kaum rasional
yang tidak ahli ilmu agama, dan niscaya boleh pula mensyariatkan agama pada
setiap bab, serta boleh pula setiap orang mengeluarkan hukum syara’ untuk
dirinya sendiri.”

Yang jelas bagi saya, bahwa kedua kelompok yang berbeda


pendapat mengenai istihsan itu lantaran tidak sepakat mengartikan
pengertiannya. Dengan demikian, ulama yang menggunakan istihsan
sebagai hujjah mengharapkan pada ulama yang tidak menjadikannya
hujjah dengan pengertian yang lain. Jika mereka sepakat dalam
memaknai pengertiannya, niscaya mereka tidak akan bertentangan
mengenai menjadikan istihsan sebagai hujjah, karena pada dasarnya

9
istihsan adalah perpindahan dari dalil yang zhahir atau dari hukum
kulli (umum) karena ada dalil yang menuntut perpindahan itu. Jadi,
istihsan bukan semata-mata pembentukan syariat berdasarkan hawa
nafsu.

Dalam beberapa kasus seorang hakim terkadang harus


memberikan putusan yang berseberangan dengan pikirannya,
dikarenakan adanya kemaslahatan yang menuntut adanya perpindahan
dari hukum yang diatur oleh undang-undang. Hal demikian jika kita
cermati tiada lain adalah suatu bentuk istihsan.

Oleh karena inilah, Imam Asy-Syathibi dalam kitab Al-


Muwafaqat berkata: “Barang siapa yang mempergunakan dalil
istihsan, ia tidak boleh mengembalikan persoalan hanya pada perasaan
dan keinginannya, namun harus dikembalikan pada hal-hal yang telah
diketahui dari tujuan Syar’i dalam menetapkan hukum pada masalah
yang baru, seperti beberapa hal yang dituntut oleh qiyas tentang
adanya perintah, walaupun perintah itu dari satu sisi dapat
menghilangkan mashlahah dan dari sisi lain mendatangkan mafsadah.

B. MASHLAHAH MURSALAH
a) Definisi Mashlahah Mursalah
Secara mutlak, mashlahah mursalah diartikan oleh ahli ushul
fiqih sebagai suatu kemashlahatan yang secara hukum tidak
disyariatkan oleh syari’, serta tidak ada dalil syar’i yang menerangkan
atau membatalkannya. Mashlahah ini disebut mutlak, karena tidak
terikat oleh dalil yang mengakuinya atau dalil yang membatalkannya.
Misalnya kemashlahatan yang diambil para sahabat dalam
mensyariatkan pengadaan penjara, percetakan mata uang, penetapan
hak milik tanah pertanian dan penentuan pajak penghasilan, atau hal-
hal lain yang termasuk kemashlahatan yang dituntut oleh keadaan
darurat, kebutuhan, atau kebaikan, namun belum disyariatkan

10
hukumnya, dan tidak ada bukti syara’ yang menunjukkan terhadap
kebenaran atau kesalahannya.

Untuk lebih jelasnnya definisi tersebut, bahwa pembentukan


hukum dimaksudkan untuk mewujudkan kemashlahatan manusia.
Artinya, mendatangkan keuntungan, menolak mudarat dan
menghilangkan kesulitan dari mereka. Sesungguhnya kemashlahatan
manusia itu tidak terbatas pada bagian-bagiannya dan individu-
individunya. Kemashlahatan akan terus-menerus muncul bersamaan
dengan perkembangan situasi dan kondisi manusia akibar perbedaan
lingkugan. Pensyariatan hukum terkadang mendatangkan kemanfaatan
pada suatu masa dan pada masa yang lain mendatangkan mudarat.
Pada saat yang sama, kadangkala suatu hukum dapat mendatangkan
manfaat dalam lingkungan tertentu, namun justru mendatangkan
mudarat dalam lingkungan yang lain.

Adapun kemashlahatan-kemashlahatan yang ditetapkan oleh


syari’ dalam berbagai hukum, dan dijelaskan ‘illat persyariatannya
dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqih disebut dengan mashlahah
mu’tabarah. Misalnya pemeliharaan kehidupan manusia, Syari’
mewajibkan qisas terhadap pelaku pembunuhan dengan sengaja.
Contoh lain, pemeliharaan harta manusia di mana Syari’ mewajibkan
hukuman potong tangan bagi pencuri, baik laki-laki maupun wanita.
Kemudian, pemeliharaan kehormatan mereka, Syari’ mensyariatkan
hukuman dera kepada penuduh zina, pelaku zina, baik laki-laki
maupun wanita. Masing-masing dari pembunuhan dengan sengaja,
pencurian, tuduhan zina dan zina merupakan sifat yang munasib,
maksudnya pembentukan hukum yang didasarkan pada hal-hal tersebut
bertujuan untuk mewujudkan kemashlahatan, yang mana hukum
tersebut telah berlaku pada Syari’. Sifat munasib yang berlaku di
Syari’ ada kalanya:

a. Munasib Muatstsir,

11
b. Munasib Mulaim.

Sesuai dengan i’tibar (pengakuan/pembenaran) Syari’. Dan dalam


pembentukan hukum yang didasarkan atas sifat tersebut, tidak ada
perbedaan pendapat sebagaimana telah kami kemukakan.

Adapaun kemashlahatan yang muncul karena tuntutan


lingkungan dan kenyataan-kenyataan baru yang datang setelah
terhentinya wahyu, sedangkan Syari’ belum mensyariatkan suatu
hukum, dan tidak ada dalil Syari’ yang mengakui atau
membatalkannya, maka ini disebut dengan munasib marsal. Dengan
kata lain, disebut mashlahah mursalah. Misalnya kemshlahatan yang
menuntut pernikahan yang tidak mendapat akte resmi, maka ketika
terjadi permasalahan, pemgingakaran terhadap pernikahan itu tidak
dapat diterima. Contoh lain seperti kemashlahatan yang menghendaki
bahwa akad jual beli yang tidak dicatatat, tidak dapat dipakai sebagai
dasar pemindahan hak milik. Semua itu merupakan berbagai
kemashlahatan yang hukumnya tidak disyariatkan oleh Syari’, dan
tidak ada dalil yang menunjukakan atas pengakuan atau
pembatalannya. Hal tersebut dinamakan mashlahah mursalah.

b) Dasar Hukum Mashlahah Mursalah

‫ـك ِإالَّ َرمْح َةً لِّْل َعـلَ ِمني‬


َ َ‫َو َمآ َْأر َس ْلن‬

“Dan tiadalah Kami mengutus Kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam”.

Di sini Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada kita


bahwa Dia telah mencipatakan Muhammad shalAllahu ‘alaihi wa
salam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), artinya,
Dia mengirimnya sebagai rahmat untuk semua orang. Barangsiapa
menerima rahmat ini dan berterima kasih atas berkah ini, dia akan
Bahagia di dunia dan akhirat.

12
ِ ِ ِ
ُ ‫يَا َأيُّ َها الن‬
ٌ‫َّاس قَ ْد َجاءَتْ ُك ْم َم ْوعظَةٌ م ْن َربِّ ُك ْم َوش َفاء‬

ِِ ِ ُّ ‫لِ َما يِف‬


َ ‫الص ُدو ِر َو ُه ًدى َو َرمْح َةٌ ل ْل ُمْؤ من‬
‫ني‬

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu


pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang
berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman. (QS. Yunus: 57)

c) Macam-macam Mashlahah
Mashlahah dari segi pembagiannya dapat di bedakan menjadi
dua macam, yaitu dilihat dari segi tingkatan dan eksistensinya.

1) Dari segi tingkatan dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:


a. Mashlahah Dharuriyah (Primer)
Mashlahah Dharuriyah adalah perkara – perkara yang menjadi
tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan,
maka rusaklah kehidupan manusia, timbullah fitnah, dan
kehancuran yang hebat.
b. Mashlahah Hajjiyah (Sekunder)
Mashlahah hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan
tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada
pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat
tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan
menghilangkan kesempitan. Hajjiyah ini tidak rusak dan
terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan
kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah,
adat, muamalat, dan bidang jinayat. Termasuk kategori hajjiyat
dalam perkara mubah ialah diperbolehkannya sejumlah bentuk
transaksi yang dibutuhkan oleh manusia dalam bermu’amalah,
seperti akad muzaro’ah, musaqoh, sala maupun murobahah.

13
Contoh lain dalam hal ibadah ialah bolehnya berbuka puasa
bagi musafir, dan orang termasuk dalam hal hajjiyah ini,
memelihara kemerdekaan pribadi, kemerdekaan beragama.
Sebab dengan adanya kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan
beragama, luaslah gerak langkah hidup manusia. Melarang
rampasan dan penodongan termasuk juga dalam hajjiyah.
c. Mashlahah Tahsiniyah (Tersier)
Maslahah tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang
dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh
bagian mahasinul akhlak. Kemaslahatan ini lebih mengacu
pada keindahan saja (‫ )زينة للحياة‬sifatnya hanya untuk kebaikan
dan kesempurnaan. Dalam lapangan muamalah, misalnya
larangan menjual benda – benda yang bernajis, tidak
memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi dari
kebutuhannya. Dalam lapangaan uqubat, misalnya dilarang
berbuat curang dalam timbangan ketika berjual beli, dalam
peperangan tidak boleh membunuh wanita, anak-anak,
pendeta, dan orang-orang yang sudah lanjut usia. Di antara
contoh tahsiniyat yang berkaitan dengan harta ialah
diharamkannya memalsu barang. Perbuatan ini tidak
menyentuh secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya),
tetapi menyangkut kesempurnaanya. Hal itu berlawanan
kepentingan dengan keinginan membelanjakan harta secara
terang dan jelas. Jelaslah bahwa dalam hal itu tidak membuat
cacat terhadap pokok harta (ashul mal), akan tetapi
berbenturan dengan kepentingan orang yang membelanjakan
hartanya, yang mungkin masih bisa dihindari dangan jalan
ihtiyath.
2) Dari segi eksistensi dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Mashlahat Mu’tabarah

14
Mashlalat Mu’tabarah ialah kemashlahatan yang terdapat
dalam nash yang secara tegas menjelaskan dan mengakui
kebenarannya. Dengan kata lain yakni kemaslahatan yang
diakui oleh syar’i dan terdapatnya dalil yang jelas,
sebagaimana disebutkan oleh Muhammad al–Said Ali Abd.
b. Mashlahat Mulghah
Yang dimaksud dengan Mashlahat Mulghah ini ialah maslahat
yang bertentangan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain,
maslahat yang tertolak karena ada dalil yang menunjukkan
bahwa ia bertentangan dengan dalil yang jelas. Dapat
disimpulkan juga bahwa syara’ menyikapi maslahat ini dengan
menolak sebagai variabel penetap hukum (illat). Contoh:
menyamakan pembagian warisan antara seorang perempuan
dengan saudara laki-lakinya. Penyamakan ini memang banyak
mashlahatnya namun berlawanan dengan ketentuan nash.
Namun penyamakan ini dengan alasan kemaslahatan,
penyelesaian kasus seperti inilah yang disebut dengan Maslahat
Mulghah. Seperti juga kasus bentuk sanksi kafarat bagi orang
yang menggauli istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan
yang terdiri dari tiga macam kafarat. Menurut konsep kaffarat
ini dogmatik yang menghendaki adanya kemashlahatan berupa
tindakan jera (al-zajr) tanpa mempertimbangkan mashlahat
lainnya maka tidak diragukan bahwa menurut sebagian orang ia
tidak dapat dijadikan illat hukum karena bertentangan dengan
ketentuan syara’. Jadi kafarat ini harus dilakukan secara
berurutan Lain halnya dengan pendapat Imam Malik ia
mengatakan boleh memilih diantara ketiga kafarat itu dengan
tujuan demi kemaslahatan yang lebih tepat.
c. Mashlahah Mursalah
Yang dimaksud dengan Mashlahah Mursalah ialah mashlahat
yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun yang

15
mengakuinya ataupun menolaknya. Mashlahat ini merupakan
salah satu maslahat yang sejalan dengan tujuan syara’ yang
dapat dijadikan dasar pijakan dalam mewujudkan kebaikan
yang dihajatkan
oleh manusia serta terhindar dari kemudhorotan. Namun karena
tidak ditemukan variabel yang menolak ataupun mengakuinya
maka para ulama berselisih pendapat mengenai kebolehannya
dijadikan illat hukum.

d) Dalil Ulama yang Berhujjah Menggunakan Mashlahah Mursalah


Jumhur ulama umat Islam berpendapat, bahwa mashlahah
mursalah adalah hujjah syar’iyyah yang dapat dijadikan dasar
pembentukan hukum. Adapun kejadian yang tidak ada hukumnya
dalam nash, ijma’, qiyas, atau istihsan, maka hukum di dalamnya
disesuaikan dengan kemashlahatan umum. Dan pembentukan hukum
atas dasar kemashlahatan tidak boleh ditangguhkan sampai ada bukti
dan pengakuan syara’.

Dalil ulama atas kehujjahan mashlahah mursalah, yaitu

Pertama:

Kemashlahatan umat manusia selalu baru dan tidak pernah habis.


Maka jika hukum tidak disyariatkan untuk mengantisipasi
kemashlahatan umat manusia yang terus bermunculan dengan
tuntutan perkembangan mereka, serta pembentukan hukum hanya
berkisar pada kemashlahatan yang diakui Syari’ saja, niscaya hal
tersebut akan mengakibatkan banyaknya kemashlahatan manusia
yang tertinggal di berbagai tempat dan zaman, dan pembentukan
hukum tidak sesuai dengan roda perkembangan manusia dan
kemashlahatan mereka. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan yang
dimaksud dalam pembentukan hukum sebagai upaya meuwujudkan
kemashlahatan umat manusia.

16
Kedua:

Orang yang meneliti pembentukan hukum dengan bersumber dari


para sahabat, tabi’in, dan para imam mujtahid, makan akan jelas
bahwa mereka telah mensyariatkan berbagai hukum untuk
merealisir kemashlahatan umum, bukan karena adanya pengakuan
sebagai saksi.

e) Syarat-syarat Berlakunya Mashlahah


Ulama yang menerima mashlahah sebagai sumber hukum
menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam
menerangkannya.

Zakaria Al-Farisi dalam kitabnya masadirul ahkamil Islamiyah


memberikan syarat-syarat, antara lain:

1. Hendaknya kemashlahatan itu bersifat hakiki bukan bersifat


imajinatif dalam arti apabila orang yang berkesempatan dan yang
memusatkan perhatian pada itu yakin bahwa membina hukum
berdasarkan kemashlahatan tersebut akan dapat menarik manfaat
dan menolak mudarat bagi umat manusia. Berbeda halnya apabila
hanya sebagian saja yakin kan adanya kemashlahatan itu, misalnya
tentang kemashlahatan dari larangan talak oleh suami dan
kemudian hak itu diserahkan secara mutlak pada hakim semata.
Yang demikian bukan kemashlahatan hakiki melainkan
kemashlahatan imajinatif yang hanya akan menghancurkan
kehidupan keluarga dan masyarakat.
2. Kemashlahatan itu hendaknya bersifat universal dan tidak parsial.
Sebagai contoh ialah apa yang dikemukakan oleh Al-Ghazali yaitu:
Kalau dalam suatu pertempuran melawan orang kafir mereka
membentengi diri dan membuat pertahanan melalui beberapa orang
muslim yang tertawan, sedang orang kafir tersebut dikhawatirkan
akan melancarkan agresi dan dapat mengahancurkan kaum

17
muslimin mayoritas maka penyerangan terhadap mereka harus
dilakukan, meskipun akan mengakibatkan kematian beberapa
orang muslim yang sebenarnya harus dilindungi keselamatan
jiwanya. Hal ini berdasarkan pertimbangan kepentingan umum
dengan tetap mementingkan suatu kemenangan dan ketahanan.
3. Hendaknya kemashlahatan itu bukan kemashlahatan yang mulghah
yang jelas ditolak oleh nash. Sebagai contoh dari kemashlahatan
yang mulghah ini adalah fatwa Imam Yahya bin al Yaisy, salah
seorang murid Imam Malik dan ulama fiqih Andalusia pada salah
seorang rajanya pada waktu itu. Difatwakannya bahwa bagi raja
apabila ia berbuka puasa dengan sengaja pada bulan Ramadhan ia
tidak boleh tidak harus memenuhi kafarat berpuasa dan dua bulan
berturut-turut. Dia berfatwa tanpa memberikan pemilihan antara
memerdekakan budak atau berpuasa sebagaimana dipegangi oleh
Imam Malik dan tidak pula dengan memerdekakan budak
sebagaimana dipegangi oleh ulama-ulama yang lain karena dia
menganggap bahwa kemashlahatan akan dapat dicapai hanya
dengan itu. Dan menurut dia, maksud kafarat tidak hanya
memberikan pelajaran kepada orang yang melakukan pelanggaran
agar ia tidak mau lagi mengulangi perbuatannya. Dan khusus bagi
seorang raja maksud ini dapat dicapai hanya dengan mengharuskan
dia memenuhi kafarat berupa puasa yang memberatkan, sedang
memerdekakan budak baginya tidak mempunyai pengaruh apa-apa
karena tidak memberatkan. Namun demikian pendapat ini oleh
kebanyakan ulama dinilainya sebagai fatwa yang berlandaskan
kepada pertimbangan kemashlahatan yang mulghah karena nash
Al-Qur’an menunjuk kepada kafarat itu tidak mengadakan
diskriminasi antara raja dan lainnya.

18
f) Keraguan Orang yang Tidak Menggunakan Mashlahah Mursalah
Sebagai Hujjah
Sebagian ulama kaum muslimin berpendapat bahwa mashlahah
mursalah yang tidak terdapat bukti syar’i mengenai pengakuan dan
pembatalan terhadapnya, tidak bisa dijadikan sebagai dasar
pembentukan hukum. Alasan mereka ialah:

Pertama:

Bahwa syariat telah memelihara segala kemashlahatan manusia


dengan nash-nash dan petunjuk qiyas. Sebab Syari’ tidak akan
menyia-nyiakan umat manusia, maksudnya tidak akan membiarkan
kemashlahatan apa pun tanpa suatu bukti dari Syari’ yang
mengakuinya. Sedangkan jika tidak ada bukti dari Syari’, maka
pada hakikatnya bukanlah kemashlahatan. Namun merupakan
mashlahah wahmiyah (kemashlahatan yang bersifat dugaan) dan
tidak sah mendasarkan hukum atas kemashlahatan tersebut.

Kedua:

Bahwa pembentukan hukum atas dasar kemutlakan mashlahat


berarti membuka pintu hawa nafsu bagi orang yang menurutinya,
baik dari kalangan penguasa, amir, dan para mufti. Sebagian dari
mereka kadangkala kalah oleh hawa nafsu dan keinginannya,
sebagai akibatnya mereka bisa menghalalkan mafsadah
(kerusakan) untuk kemashlahatan. Sedangkan kemashlahatan
merupakan hal yang bersifat perkiraan yang berbeda berdasarkan
pendapat dan kondisi lingkungan. Oleh karena itu, membentuk
hukum berdasarkan mutlaknya kemashlahatan berarti membuka
pintu kejahatan.

Barang siapa yang khawatir dengan permainan hukum,


kezaliman, dan menuruti hawa nafsu dengan mengatasnamakan
kemashlahatan umum, maka kekhawatirannya itu dapat ditolak. Hal

19
tersebut dikarenakan bahwa kemashlahatan umum dapat dijadikan
dasar pembentukan hukum jika memenuhi tiga syarat sebagaimana
yang telah dijelaskan, yaitu kemashlahatan harus bersifat umum, harus
hakiki, dan tidak bertentangan dengan nash syar’i maupun prinsip
syar’i yang lain.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan makalah
sebagai berikut:

1. Definisi dari kaidah Istihsan:

a) Istihsan adalah menganggap baik terhadap sesuatu.

b) Istihsan adalah berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang


lebih kuat.

c) Istihsan adalah memberlakukan kemashlahatan juz’i ketika


berhadapan dengan kaidah umum.

2. Pembagian Istihsan:

a) Mengutamakan qiyas khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jali


(nyata).

b) Mengecualikan kasuistis (juz’iyyah) dari hukum kulli (umum).

3. Mashlahah Mursalah adalah suatu kemashlahatan yang secara hukum


tidak disyariatkan oleh syari’.

4. Pembagian Mashlahah:

20
a) Mashlahah Dharuriyah,

b) Mashlahah Hajjiyah,

c) Mashlahah Tahsiniyah,

d) Mashlahat Mu’tabarah,

e) Mashlahat Mulghah,

f) Mashlahah Mursalah.

5. Syarat-syarat berlakunya Mashlahah:

a) Bersifat Hakiki,

b) Bersifat Universal,

c) Bukan Kemashlahatan Mulghah.

6. Antara Istihsan dan Mashlahah Mursalah sama-sama mendapatkan


keraguan untuk dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum.

21
DAFTAR PUSTAKA

Basri, Rusdaya. 2020. Ushul Fikih 1. Pare Pare: IAIN Parepare Nusantara Press.

Khallaf, Abdul Wahhab. 2014. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina Utama
Semarang.

Zuhri, Saifudin. 2011. Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

22

Anda mungkin juga menyukai