Anda di halaman 1dari 9

ISTISHAN

AHMAD AZIZ SIDDIQ


MAHASISWA JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INTERNASIONAL DARUL LUGHAH WAD DA’WAH
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ISTISHAN

1. Menurut Bahasa artinya menganggap sesuatu itu baik, memperhitungkan sesuatu lebih baik,
mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari yang lebih baik untuk diikuti,karena memang di suruh
untuk itu.

2. Menurut Istilah ulama ushul fiqih adalah berpalingnya seseorang mujtahiddari tuntutan qiyas yang
jali (nyata) kepada tuntutan kiyas yang khafi(samar)atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum
istitnainy (pengecualian) ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan
perpalingan ini

3. Imam al-bazdawi (400-482 H/1010-1059 M), salah seorang ahli mazhab hanafi menulis: istihsan
adalah berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas
berdasarkan dalil yang labih kuat.

4. Adapun As-Sarakhsi (1090 M), menyatakan: istihsan itu berarti meninggalkan qiyas dan
mengamalkan yang lebih kuat dari itu karena adanya dalil yang lebih kuat dari itu, karena adanya dalil
yang meng hendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.

Secara etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu” tidak ada perbedaan
pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam mempergunakan lafal istihsan. Adapun pengertian
istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf

‫هو عدول المجتهد عن قياس جلى الى مقتصنى قياس خفى او عن حكم كلى الى حكم استسنائي انقدع فى اقله رجع لديه هذ العدول‬

“Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan
qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i
(pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang
menghendaki perpindahan tersebut.

Dari pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai berikut:

Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita
yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an berdasarkan istihsan, tetapi haram menurut qiyas.

- Qiyas: wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak
suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang Haid haram membaca Al-Qur’an.
- Istihsan : haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh karena itu, wanita yang
sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak
memperoleh pahala ibadah apapun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.

Pengecualian sebagai hukum kulli dengan dalil. Misalnya, jual beli salam (pesanan) berdasarkan istihsan
diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad.
Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka.

Definisi istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari seorang
mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada
masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya
penyimpanagan itu.

Definisi istihsan menurut Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil ruksah dengan
hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain pada sebagian kasus tertentu.

Sementara itu, ibnu anbary, ahli fiqih dari madhab Maliky memberi definisi istihsan bahwa
istihsan adalah memilih menggunakan maslahat juziyyah yang berlawanan dengan qiyas kully .Istihsan
merupakan sumber hukum yang banyak dalam terminology dan istinbath hukum oleh dua imam
madhab, yaitu imam Malik dan imam Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam Abu Hanifah masih tetap
menggunakan dalil qiyas selama masih dipandang tepat .

Dari berbagai definisi diatas, dapat difahami bahwa pada hakikatnya istihsan itu adalah
keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum
baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan
dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.

Dengan demikian, Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan
memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam
pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. Artinya, persoalan khusus
yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak
tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum
atau ketentuan yang sudah jelas.

B. MACAM MACAM ISTIHSAN

Istihsan dipandang dari berbagai segi banyak macamnya. Hal ini dapat dilihat dari segi dalil yang
ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya, dan adakalanya dari segi sandaran atau dasar yang
diikutinya saat beralih dari qiyas.

1) Dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya istihsan terbagi kepada
tiga:

a) Berpindah dari apa yang dituntut oleh qiyas zahir (jali) kepada yang dikehendaki oleh qiyaskhafi.
Artinya pentarjihan qiyas Khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jali (nyata) karena ada suatu dalil.
Contoh: Fuqaha Hanafiyah menyebutkan, bahwa seorang pewakaf apabila mewakafkan sebidang
tanah pertanian, maka masuk pula secara otomastis hak pengairan (irigasi), hak air minum, hak lewat ke
dalam wakaf, tanpa harus menyebutkannya, berdasarkan istihsan.

Menurut qiyas, semuanya itu tidak termasuk kecuali bila terdapat nash yang menyebutkannya
sebagaimana jual beli. Segi istihsan ialah: bahwasanya yang menjadi tujuan dari wakaf adalah
pemanfaatan sesuatu yang diwakafkan kepada mereka. Pemanfaatan tanah pertanian tidak akan ada
kecuali dengan meminum airnya, saluran airnya, dan jalannya. Oleh karena itu, hal-hal tersebut juga
termasuk dalam wakaf meskipun tanpa menyebutkannya. Karena tujuan tersebut tidak akan terealisir
kecuali dengan hal-hal itu, sebagaimana sewa menyewa.

Qiyas yang nyata adalah menyamakan wakaf dengan jual beli, karena masing-masing dari wakaf
dan jual beli merupakan pengeluaran hak milik dari pemiliknya. Sedangkan qiyas yang khafi
menyamakan wakaf ini dengan sewa-menyewa, karena masing-masing dari keduanya dimaksudkan
untuk dimanfaatkan. Oleh karena itu pengairan, air minum, dan jalan masuk di dalam wakaf tanah,
tanpa harus menyebutkannya.

b) Berpindah dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus.

Contoh: tidak memotong tangan pencuri di waktu paceklik, yang menurut pemahaman umum terhadap
ayat al-Qur’an (QS. Al-Maidah: 37) apabila seorang melakukan pencurian dan memenuhi syarat untuk
dikenakan hukuman potong tangan, maka berlaku baginya hukuman potong. Namun, bila pencurian itu
dilakukan pada masa paceklik, maka hukuman potong tangan yang bersifat umum itu tidak
diberlakukan, karena dalam kasus ini berlaku hukum khusus.

c) Pengecualian juziyyah (kasuistik) dari suatu hukum kulli (umum) dengan adanya suatu dalil.

Contoh: Syara’ melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu
barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam
jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kulli. Tetapi syara’ memberikan rukhshah (keringanan)
kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan
waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian
diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada
salam itu merupakan pengecualian (istitsna) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz’i, karena
keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.

2) Ditinjau dari segi sandaran atau dalil yang menjadi dasar dalam peralihan dari qiyas, maka istihsan
ada enam macam:

a) Itihsan yang sandarannya nash. Dalam bentuk ini ketentuan umum dan qiyas tidak digunakan dan
untuk selanjutnya yang digunakan adalah nash yang mengatur pengecualian itu. Seperti,
menghukumkan tetap sah puasa orang yang makan atau minum karena terlupa. Hal ini berlandaskan
kepada hadits Nabi saw: “Siapa saja yang makan atau minum karena lupa, maka janganlah ia berbuka,
karena itu merupakan rizki yang dianugerahkan Allah.” Imam Abu Hanifah berkomentar terhadap kasus
ini: “Andaikata tiada nash yang tidak membatalkan puasa lantaran makan dan minum karena lupa,
tentulah saya memandang batal puasa itu karena sudah rusak satu rukunnya yaitu menahan diri dari
segala yang merusak puasa”.

b) Istihsan yang sandarannya Ijma’. Yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu
persoalan karena ada ijma’. Hal ini terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang
berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam dan
tidak menolak apa yang dilakukan manusia, yang sebenarnya berlawanan dengan dasar-dasar pokok
yang ditetapkan. Misalnya, ketetapan ijma’ tentang sahnya akad istihshna’( pesanan ). Menurut qiyas
semestinya akad itu batal sebab barang yang diakadkan belum ada. Akan tatapi, masyarakat seluruhnya
telah melakukannya, maka hal itu dipandang sebagai ijma’ atau urf am (tradisi) yang dapat mengalahkan
dalil qiyas.

c) Itihsan yang sandarannya adalah urf (adat). Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan
ketentuan qiyas, karena adanya urf yang sudah yang sudah dipraktikkan dan dikenal baik dalam
kehidupan masyarakat. Misalnya, dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaedah umum,
jasa pemandian umum itu harus jelas berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah air yang dipakai,
akan tetapi apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan orang banyak. Oleh sebab itu secara
istihsan boleh mempergunakan jasa pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan
lama waktu yang dipakainya, karena sudah berlaku umum dalam masyarakat.

d) Istihsan karena darurat. Yaitu istihsan yang disebabkan karena adanya dlarurat (terpaksa) karena
adanya suatu masalah yang mendorong mujtahid untuk meninggalakan dalil qiyas. Seperti apabila saksi-
saksi yang telah meninggal atau yang jauh dari tempat atau karena tidak sanggup menghadiri sidang
majlis, padahal menurut asal hukum kesaksian itu harus yang melihat dengan mata kepala sendiri,
dibolehkan menggunakan kesaksian orang lain.

e) Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi, yang pengaruhnya terhadap kemaslahatan lebih
tinggi dibanding qiyas jali. Contoh: sisa minum burung elang, gagak, dan sebagainya adalah suci dan
halal diminum. Hal ini ditetapkan melalui sitihsan. Menurut qiyas jali sisa minum binatang buas seperti
anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur
dengan air liur binatang itu karena langsung meminum dengan mulutnya diqiyaskan kepada dagingnya.
Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut
biantang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh
yang terdiri dari tulang atau zat tanduk, dan tulang dan zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu
sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan daging dan air liurnya karena diantarai oleh
paruhnya.

f) Istihsan yang sandarannya maslahah. Misalnya, kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam
proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam
keadaan tertentu seorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya. Maka untuk
kemaslahatan orang tersebut, menurut kaidah istihan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita
yang berobat kepadanya.
3) Ulama ushul dari kalangan malikiyah dikenal pula istihsan yang dalam prakteknya dinamai dengan
istislah. Dari hal ini mereka membagi istihsan kepada tiga macam:

a) Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan urf (kebiasaan). Misalnya,
seseorang bersumpah tidak akan memakan daging, lalu ia memakan daging ikan, maka ia tidak
dinamakan melanggar sumpah meskipun ikan itu dalam al-Qur’an termasuk dalam daging. hal ini terlihat
dalam firman Allah: ‫( ومن كل تأكلون لحما طريا‬dan dari semua yang kamu makan berupa daging yang
lembut). Alasannya adalah karena dalam urf yang berlaku dalam ucapan sehari-hari, ikan tidak termasuk
daging.

b) Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan beramal dengan cara lain karena pertimbangan
kemaslahatan manusia. Misalnya, tanggungjawab mitra dari tukang yang membantu memperbaiki suatu
barang yang diperbaikinya itu rusak di tangannya. Berdasarkan qiyas, ia tidak perlu mengganti karena
kerusakan barang itu di waktu ia membantu bekerja. Namun berdasarkan istihsan ia harus mengganti
barang tersebut demi menjaga kemaslahatan, yaitu memelihara dan menjaga harta orang laian.

c) Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk menghindarkan kesulitan dan memberi kemudahan
kepada umat. Misalnya, adanya sedikit kelebihan dalam menakar sesuatu dalam ukuran yang bnayak.
Tindakan ini dibenarkan meskipun menurut ketentuan yang berlaku kalau menakar itu harus tepat (pas)
sesuai standar takaran yang berlaku.

C. DASAR HUKUM ISTIHSAN

Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang
menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti
Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18

‫ واولئك هم اولو االلبابز‬. ‫اولئك الذين هدهم هللا‬. ‫الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه‬

Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah
orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”.
(QS. Az-Zumar: 18)

Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan
mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang
disyariatkan oleh Allah.

‫واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكم‬

Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan
perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah
ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.

Hadits Nabi saw:

‫َفَم ا َر َأى اْلُمْس ِلُموَن َح َس ًن ا َفُهَو ِع ْن َد ِهَّللا َح َس ٌن َو َم ا َر َأْو ا َس ِّي ًئ ا َفُهَو ِع ْن َد ِهَّللا َس ِّيٌئ‬.

Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik
dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.

Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat
mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.

D. KEHUJJAHAN ISTIHSAN

Ada tiga golongan ulama dalam menanggapi istihsan ini apakah merupakan dalil hukum syara’ atau
tidak:

Pertama, jumhur ulama ushul Fiqh dari mazhab Maliki, Hanafi, dan sebagian besar Hanbali menyatakan
bahwa istihan adalah salah satu dalil syara’ yang menetapkan suatu hukum yang berlawanan dengan
apa yang diwajibkan oleh qiyas, atau umunya nash.Terutama Hanafiyah sangat mengutamakan istihsan
yang dianggap lebih kuat dan memiliki dalil, serta meninggalkan qiyas. Hal ini terlihat dalam ungkapan
Abu Hanifah: ‫ وندع القيـــاس‬،‫( نستحسن هذا‬kami memakai istihsan untuk hal ini, dan meninggalkan qiyas).
Ucapan Abu Hanifah ini diperkuat oleh Abu Al-Khattab dengan ungkapannya : “Saya menolak istihsan
tanpa delil, dan menerimanya apabila ada dalil yang jelas dan meninggalkan qiyas”.Abu Hanifah banyak
menetapkan hukum dengan istihsan, tetapi ia tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan dari
istihsan yang dilakukannya itu. Oleh karena itu dia dikatakan menetapkan hukum hanya menurut
kemauannya saja tanpa memakai metode. Asal sudah dipandang baik sudah bisa menjadi dasar
penetapan hukum, karena demikianlah arti yang ditunjukkan oleh kata isthsan itu. Banyak fuqaha yang
tidak mengetahui hakikat istihsan yang dipraktekkan oleh Abu Hanifah, dan karena itu menurut Husain
Hamid Hassan, berpegangnya Abu Hanifah kepada isthsan menjadi sumber kritikan terhadapnya. Malah
sampai kepada mencelanya sebagai orang yang tidak mengetahui fiqh dan meragukan kewarakannya.

Setelah timbul kritikan-kritikan itu, maka para sahabat dan murid Abu Hanifah berusaha menjelaskan
pengertian dan rumusan istihsan yang banyak dilakukan oleh imam mereka. Di antara mereka adalah
Imam As-Syarkhasi, yang mengarang sebuah kitab terkenal yang menjadi rujukan bagi pengikut mazhab
Hanafi, bernama “Ushul al-Syarkhasi”. Mereka berusaha menjelaskan bahwa sesungguhnya isthsan itu
tidak keluar dari dalil-dalil syarak. mereka mengatakan bahwa hakikat istihsan adalah dua macam qiyas.
Pertama, qiyas jaly tapi lemah pengaruhnya, inilah yang dinamakan dengan qiyas. Kedua, qiyas khafi tapi
pengaruhnya kuat, inilah yang dinamakan dengan istihsan, oleh karena itu dalam dua hal ini yang
dipandang adalah pengaruhnya, bukan jelas atau tidaknya qiyas. Pengaruh yang lebih kuat itulah yang
menyebabkan Hanafiyah, Malikiyah dan sebagain Hanabilah lebih mengutamakan istihsan daripada
qiyas. Atau dengan perkataan lain, pengutamaan istihsan daripada qiyas semata-mata didasarkan
kepada pengaruh hukumnya, bukan didasarkan pada khafi atau jali-nya bentuk qiyas.

Bagi Hanafiyah dan Malikiyah pada hakekatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri,
karena sesungguhnya hukum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang
tersembunyi yang mengalahkan qiyas yang jelas, karena adanya beberapa faktor yang
memenangkannya yang membuat tenang hati si Mujtahid. Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan
ialah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum), dan ini juga
disebut dengan segi istihsan.

Adapun dalil yang dipegang oleh ulama yang meyakini istihsan sebagai dalil hukum adalah:

- ‫َف َب ِّش ْر ِع بَاِدَي اَّلِذْي َن َي ْس َت ِمُعْو َن اْلَقْو َل َف َي َّت ِبُعْو َن َأْح َس َن ُه‬....

”Berilah kabar gembira kepada hamba-hambaKu yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya....” (QS. Az-Zumar: 18)

- ‫وأمر قومك يأخذوا بأحسنـــــها‬.....

“Suruhlah kaummu (Musa) berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya...”(QS. Al-


A’raaf: 145)

- ‫يريد هللا بكم اليسر وال يريد بكم العسر‬..

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...”(Qs. Albaqarah:
185)

- ‫ما رآه المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن‬

“ Sesuatu yang di pandang baik oleh umat islam, maka ia dihadapan allah juga baik” (HR. Ahmad ibn
Hanbal)

Kedua, kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil syara’ dan menyatakan bahwa istihsan adalah
menetapkan hukum dengan keinginan hawa nafsu semata. Kelompok yang menolak istihsan sebagai
dalil hukum ini adalah Imam Syafi’i dan pengikutnya, kelompok zahiriyah, Mu’tazilah, dan Ulama Syi’ah
qathibah. Imam Syafi’i merupakan ulama yang sangat keras mengeritik isthsan tersebut. Kritikannya ini
terlihat jelas dalam ungkapannya: ‫“من استحسن فقد شرع‬Siapa yang memakai istihsan maka telah membuat
sendiri hukum syara’..”. Oleh karena itu bagi Syafi’i memakai istihsan dalam istinbath hukum adalah
haram apabila dia bertentangan dengan khabar yang ada di dalam al-Qur’an dan hadits. Dalam buku
Risalah Ushuliyah karangan Imam Syafi’i dinyatakan: “perumpamaan orang yang melakukan istihsan
adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut sitihsan
bahwa arah itu adalah arah ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan
arah ka’bah itu.” Setelah Imam Syafi’i mengkritik Hanafi dan pengikutnya, lalu diikuti oleh Ulama dari
ahli Theologi, mereka mengatakan bahwa bahwa istihsan adalah dalil yang rusak dan tidak bisa
digunakan sebagai metode mengistinbathkan hukum.
Adapun landasan mereka mengkritik dan menolak dalil istihsan adalah:

a. Tidak boleh membuat sebuah hukum kecuali dengan nash atau dengan yang diqiyaskan dengan
nash, karena hal terebut berarti membuat hukum syara’ dengan keinginan hawa nafsu. Allah Swt
berfirman: ‫( وأن احكم بينهم بما أنزل هللا وال تتبع أهوائهم‬dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara
mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka...(QS.
Al-Maidah: 49).

b. Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. tidak pernah berfatwa dengan menggunakan istihsan, akan
tetapi dia menunggu hingga wahyu turun, walaupun sekiranya dia beristihsan itu adalah benar, karena
dia berbicara bukan karena kehendak hawa nafsu.

c. Istihsan itu dasarnya adalah akal, akal itu ada yang pintar ada yang bodoh, kalau sekiranya
seseorang boleh beristihsan, berarti setiap orang boleh menetapkan hukum syara’ yang baru untuk
dirinya sendiri.

Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut
mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat mazhab Hanafi berbeda dari
istihsan menurut pendapat mazhab Syafi’i dan dan lainnya. Menurut mazhab Hanafi istihsan itu
semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang
menurut mazhab Syafi’i dan dan yang lainnya istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian
pindah kepada rasa yang lebih enak.

Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati,
tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu Al-Syathibi dalam bukunya Al-
Muwaafaqaat menengahi kedua kubu ini dalam ungkapannya: “Orang yang menetapkan hukum
berdasarkn istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah
berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah swt. menciptakan
syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum.”

kelompok ketiga, menyatakan bahwa istihsan memang merupakan dalil hukum syara’, akan tetapi dia
bukan dalil yang berdiri sendiri, akan tetapi dia menopang kepada dalil syara’ yang lain, karena kerjanya
adalah menguatkan qiyas yang ada atau beramal dengan urf, atau dengan maslahah. Pendapat ini
dipegang oleh Al-Syaukani. Hal ini terlihat dalam ungkapannya: “Istihsan merupakan dalil syara’ yang
tidak berdiri sendiri, yang pada dasarnya tidak memiliki manfaat, karena dia hanya menegaskan dalil
yara’ yang telah ada sebelumya, ketika dia keluar dari dalil syara’ yang ada itu maka dia tidak bisa
dijadikan dalil hukum lagi.”

Menurut hemat penulis walaupun istihsan bukan suatu dalil yang berdiri sendiri, namun ia
menyingkapkan jalan yang ditempuh sebagian ulama mujtahid dalam menetapkan dalil-dalil syara’ dan
kaedah-kaedahnya ketika dalil-dalil itu bertentangan dengan kenyataan yang berkembang dalam
masyarakat. Hal ini untuk menghindari kesulitan dan kemudaratan serta menghasilkan kemanfaatan
dengan cara menetapkan dasar-dasar syariat dan sunber-sumbernya.

Anda mungkin juga menyukai