Anda di halaman 1dari 16

KELOMPOK 7

NAMA KELOMPOK :
1. Taufiq Nur Hidayatullah (34)
2. Tuti Wijayanti (35)
3. Vika Ayu Firnanda Saputri (36)
4. Yoga Adhikrul Huda (37)
5. Yosi Afifah Banath (38)
ISTIHSAN SEBAGAI
SUMBER HUKUM ISLAM
A.PENGERTIAN ISTIHSAN

bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik.


Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah
ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau
kMenurut ejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara'.

Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum


kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara' yang
mengharuskan untuk meninggalkannya.
B.MACAM-MACAM ISTIHSAN

1. Istihsan bil an-Nash (Istihsan berdasarkan ayat atau hadits).

2. Istihsan bi al-Ijma (istihsan yang didasarkan kepada ijma).

3. Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi (Istihsan berdasarkan qiyas yang


tersembunyi).

4. Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan).

5. Istihsan bi al-Urf  ( Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku


umum).

6. Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan dharurah).


1.. Istihsan bil an-Nash (Istihsan berdasarkan ayat atau hadits).
Yaitu penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada
ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan nash al-kitab
dan sunnah.
Contoh: dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum wasiat itu tidak boleh,
karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat ketika orang yang
berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat. Tetapi, kaidah umum ini di dikecualikan
melalui firman Allah Swt dalam Surat An-Nisa ayat 11. ‫ا أَ ْو دَ ي ٍْن‬G‫ َه‬GGG‫وصِ ي ِب‬GG‫ ِد َوصِ يَّةٍ ُي‬G‫ ْع‬GGG‫ ْمِن َب‬artinya:
“setelah mengeluarkan wasiat yang ia buat atau hutang”.
Contoh istihsan dengan sunnah Rasulullah Saw adalah dalam kasus orang yang
makan dan minum karena lupa pada waktu ia sedang berpuasa. Menurut kaidah umum
(qiyas), puasa orang ini batal karena telah memasukan  sesuatu kedalam tenggorokannya
dan tidak menahan puasanya sampai pada waktu berbuka. Akan tetapi hukum ini
dikecualikan  oleh hadits Nabi Saw yang mengatakan: Siapa yang makan atau minum
karena lupa ia tidak batal puasanya, karena hal itu merupakan rizki yang diturunkan Allah
kepadanya.” (HR. At.Tirmidzi).
2. Istihsan bi al-Ijma (istihsan yang didasarkan kepada ijma).

Yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena


ada ijma. Hal ini terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang
berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid
bersikap diam dan tidak menolak apa yang dilakukan manusia, yang sebetulnya
berlawanan dengan dasar-dasar pokok yang telah ditetapkan. Muhammad al-Said Ali
Abdul Rabuh, “Buhust fi al-adillah al-Mukhtalaf fiha inda al-Ushuliyin”, (Mesir : Matba’
al-Sa-adah, th. 1980, hal.72)
Misalnya dalam kasus pemandian umum. Menurut kaidah umum, jasa pemandian
umum itu harus jelas, yaitu harus berapa lama seseorang harus mandi dan berapa liter
air yang dipakai. Akan tetapi, apabila hal itu dilakukan maka akan menyulitkan bagi
orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh
menggunakan jasa pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan
lamanya waktu yang dipakai.
3. Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi (Istihsan berdasarkan qiyas yang
tersembunyi).

Yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas
kepada ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih
tepat untuk diamalkan. Misalnya, dalam wakaf lahan pertanian. Menurut qiyas
jali, wakaf ini sama dengan jual beli karena pemilik lahan telah menggugurkan
hak miliknya dengan memindah tangankan lahan tersebut.
Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut atau
mengalirkan air  ke lahan pertanian melalui tanah tersebut tidak termasuk ke
dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam akad. Dan menurut qiyas
al-khafi wakaf itu sama dengan akad sewa menyewa, karena maksud dari
wakaf itu adalah memanfaatkan  lahan pertanian yang diwakafkan. Dengan
sifat ini, maka seluruh hak melewati tanah pertanian itu atau hak mengalirkan
air diatas lahan pertanian tersebut termasuk kedalam akad wakaf, sekalipun
tidak dijelaskan dalam akad.
4. Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan).

Misalnya kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses


pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang
lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk di
diagnosa penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatanorang itu, maka menurut
kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat
kepadanya.
5. Istihsan bi al-Urf  ( Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang
berlaku umum).

Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan


qiyas, karena adanya Urf yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal
dalam kehidupan masyarakat. Contohnya seperti menyewa wanita
untuk menyusukan bayi dengan menjamin kebutuhan makan, minum
dan pakaiannya.
6. Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan dharurah).

Yaitu seorang mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas


atas sesuatu masalah karena berhadapan dengan kondisi dhorurat, dan
mujtahid berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk
memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudharatan.
Misalnya dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah
umum sumur tersebut sulit dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air
dari sumur tersebut, karena sumur yang sumbernya dari mata air sulit
dikeringkan. Akan tetapi ulama Hanafiah mengatakan bahwa dalam
keadaan seperti ini untuk menghilangkan najis tersebut cukup dengan
memasukan beberapa galon air kedalam sumur itu, karena keadaan
dharurat menghendaki agar orangtidak mendapatkan kesulitan untuk
mendapatkan air untuk ibadah. ( Abu Ishak Al-Syatibi, “al-Muwaffaqat Fi
Ushul al-Syariah” (Beirut : Dar al-Makrifah, jilid IV, th. 1975) hal. 206-208)
C. Kehujjahan Istihsan
Apabila ditelusuri sejarah munculnya istihsan sebagai dalil hukum, maka ia berawal
dari persoalan penerapan qiyas sebagai dalil hukum. Kenyataannya, dal beberapa hal
qiyas tidak dapat difungsikan karena ketidak relevannya dengan masalah yang dimaksud.
Untuk menyelesaikan problematika seperti itu, qiyas harus dikesampingkan dan mencari
cara lain yang lebih mendekati tujuan syara‟. Penyelesaian dengan metode tersebut yang
kemudian disebut dengan istihsan. Fuqaha yang banyak menerapkan metode istimbat
istilah hukum istihsan dalam berbagai persoalan fiqh adalah Imam Abu Hanifah. Akan
tetapi, setelah disistematisasikan menjadi bagian dari dalil hukum (menurut istilah pakar
ushul), maka penggunaannya tidak terbatas pada pengikut mazhab Hanafi melainkan juga
dipraktekkan oleh mazhab Maliki dan Hanbali.

Menurut mazhab Maliki, konsep dasar istihsan diberlakukan ketika terdapat


Kehujjahan Istihsan dan Implikasinya dalam Istimbat Hukum Vol. 1 / No. 2 / Juni 2013 - 13
dua dalil yang saling kontroversi. Cara penyelesaiannya adalah memilih dalil yang
terkuat atau mengecualikan pemberlakuan dalil kulliy. Al-Syatibiy, menjelaskan
pengecualian penerapan dalil kulliy. Al-Syatibiy, menjelaskan pengecualian
penerapan dalil kulliy dalam suatu persoalan ditempuh bila bertentangan dengan
dalil ju’iy. Dengan kata lain, ketika terjadi hal seperti itu maka kemaslahatan juz’iy
harus diutamakan.
Selain itu, pengikut mazhab maliki menerapkan istihsan dalam rangka
mengutamakan maslahat daripada qiyas. Dalam artian, apabila terjadi kontroversi
antara maslahat dengan qiyas lalu mengutamakan qiyas, maka tujuan syara‟ tidak
akan dapat terwujud.
Selanjutnya, menurut pengikut mazhab hanbali, pemberlakuan istihsan pada
dasarnya bertolak dari pertimbangan: pertama, penyimpangan suatu ketentuan
hukum yang seharusnya diterapkan karena adnya khusus dari al-qur’an dan
sunnah,. Kedua, terdapat suatu pertimbangan yang dipandang baik oleh mujtahid.
Ketiga, adanya suatu dalil yang tidak dapat diaplikasikan menurut pertimbangan
mujtahid.
Dengan demikian, dapat dilihat masing-masing mazhab memiliki konsep dasar
tentang istihsan sebagai metode istinbat hukum atau dalil dalam menetapkan
hukum.
Berbeda dengan para ulama yang menerima istihsan sebagai penjelasan di
atas, Imam Syafi’i, Zahiriyah, Mu’tazilah dan Syiah menolak kehujjahan istihsan
sebagai sumber hukum islam . Ada beberapa alasan yang mereka kemukakan
sebagai berikut:
1. Rasulullah SAW tidak pernah meminta para sahabat melakukan istihsan .

2. Sandaran yang digunakan dalam melakukan istihsan adalah akal manusia


sehingga tidak ada perbedaan antara orang alim dan orang bodoh, keduanya
sama-sama bisa melakukan istihsan. Jika semua orang diperbolehkan melakukan
istihsan itu artinya masing-masing orang akan membuat syariat sendiri-sendiri.
D.PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG ISTIHSAN

Mengenai perbedaan pendapat ini sebenarnya sudah disinggung sedikit


dalam membahas kehujjahan istihsan diatas. Hal ini dibahas dalam sub bab
tersendiri karena penting bahwa sebenarnya perbedaan tersebut bukan masalah
substansi istihsan, tepatnya perbedaan yang terjadi karena perbedaan dalam
memberikan definisi istihsan.
Istihsan menurut ulama hanafiyah bukan seperti yang dipikirkan oleh
para ulama yang menolaknya; karena dianggap sebagai perkataan tanpa dalil
dan berdasar pada hawa nafsu dan syahwat saja.
Adapun perkataan Imam Syafi’I yang menyatakan bahwa orang yang
mengunakan istihsan telah membuat syari’at baru mengandung makna bahwa
barangsiapa menggunakan istihsan dengan mengikuti hawa nafsunya sendiri
maka seakan-akan ia menjadi seorang nabi yang memiliki syari’at.
Bagi Imam Syafi’i, semua persoalan hukum yang tidak termuat secara
eksplisit didalam Al-Qur’an dan Sunnah dapat diselesaikan dengan qiyas.
Berikut ini adalah contoh istinbath hokum Imam Syafi’I yang sejalan dengan teori
isthsan yaitu, 1) menentukan nilai mut’ah yaitu sebanyak 30 dirham; dan 2)
membatasi waktu syuf’ah (hak prioritas pembelian) dengan berpendapat bahwa
waktu syuf’ah bagi pemegang hak proiritas (syaf’) adalah tiga hari.
Pandangan-pandangan dan praktek istinbat hokum yang pernah dilakukan
oleh Imam Syafi’i sebagimana dikemukakan diatas menunjukkan bahwa beliau
tidak menolak istihsan secara semena-mena.
Jika demikian pandangan Imam Syafi’i, maka tidak ada perbedaan
mendasar antara Imam Syafi’I dan Imam Hanafi dan para ulama yang
menggunakan istihsan. Dalam pandanga Imam Hanafi, istihsan bukanlah untuk
memuaskan hawa nafsu dan tanpa dalil, tetapi mentarjih suatu dalil dengan dalil
yang lain. Karena itu, didalam pembahsan definisi istihsan , Imam Syatibi
menambahkan, “Orang yang menggunakan istihsan tidak boleh hanya
berdasarkan keinginan dan menurutkan hawa nafsunya semata. Ia harus
memiliki ilmu dan pemahaman mengenai tujuan syariat dalam konteks yang lebih
luas”
E. BIDANG PENERAPAN ISTIHSAN SEBAGAI DALIL SYARA’

Perbedaan para ulama didalam memberikan definisi dan kehujjahan


istihsan sebagai sumber hukum islam , juga berdampak pada perbedaan
mereka dalam menerapkan istihsan sebagai dalil syara’ .
Para ulama secara umum terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, ulama
yang menggunakan istihsan secara mutlak tanpa mempersoalkan apakah
kemaslahatan yang terdapat didalamnya merupakan maslahah primer,
sekunder, atau hanya berupa kemaslahatan tersier. Yang termasuk dalam
kelompok ulama ini adalah ulama-ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan sebagian
Hanabilah.
Kedua adalah kelompok ulama yang membedakan maslahat, yaitu Imam
Syafi’i dan Imam Ghazali . Meskipun ada beberapa ulama Syafiiyah yang tidak
memilah-milahkan maslahat , namun Imam Syafi’i dan Imam Ghazali
memilahkannya. Menurut kedua ulama besar ini, jika termasuk maslahat
primer atau sekunder, maka boleh penggunaan istihsan sebagai dalil syara’.
Dalam pengertian istihsan yang bisa diterima oleh keduanya. Tetapi istihsan
tidak dapat digunakan dalam masalah yang termasuk kategori tersier

Anda mungkin juga menyukai