Anda di halaman 1dari 16

ISTIHSAN DAN SADDU DZARI’AH

Disusun oleh:
Nama : Baiq Nisa Fida Amelin (18103025)
Nova Yunita (18103074)
Qorin Fariha Basya (18103046)
Program Studi : Ekonomi Syariah

Institut TAZKIA
Jln. Ir. H. Djuanda No. 78, Sentul City, Citaringgul, Babakan Madang, Bogor, Jawa Barat 16810

TAHUN PELAJARAN 2019/2020


Istihsan dan saddu dzari’yah

1. ISTIHSAN

A. PENGERTIAN ISTISHAN

1. Menurut Bahasa artinya menganggap sesuatu itu baik, memperhitungkan sesuatu lebih
baik, mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari yang lebih baik untuk diikuti,karena
memang di suruh untuk itu.

2. Menurut Istilah ulama ushul fiqih adalah berpalingnya seseorang mujtahiddari tuntutan
qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan kiyas yang khafi(samar)atau dari hukum kulli (umum)
kepada hukum istitnainy (pengecualian) ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan
memenangkan perpalingan ini

3. Imam al-bazdawi (400-482 H/1010-1059 M), salah seorang ahli mazhab hanafi menulis:
istihsan adalah berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan
qiyas berdasarkan dalil yang labih kuat.

4. Adapun As-Sarakhsi (1090 M), menyatakan: istihsan itu berarti meninggalkan qiyas dan
mengamalkan yang lebih kuat dari itu karena adanya dalil yang lebih kuat dari itu, karena adanya
dalil yang meng hendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.

Secara etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu” tidak ada
perbedaan pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam mempergunakan lafal istihsan. Adapun
pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf

‫هذ لديه رجع اقله فى انقدع استسنائي حكم الى كلى حكم عن او خفى قياس مقتصنى الى جلى قياس عن المجتهد عدول هو‬
‫العدول‬

“Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada
ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang
sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan)
yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut.
Dari pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai berikut:

Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut ulama Hanafiyah bahwa
wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an berdasarkan istihsan, tetapi haram menurut
qiyas.

- Qiyas: wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-
sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang Haid haram
membaca Al-Qur’an.

- Istihsan : haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh karena itu, wanita
yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu
wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.

Pengecualian sebagai hukum kulli dengan dalil. Misalnya, jual beli salam (pesanan) berdasarkan
istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat melarang jual beli yang barangnya tidak ada
pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah
menjadi kebiasaan mereka.

Definisi istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari
seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang
diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang
menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu.

Definisi istihsan menurut Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil
ruksah dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain pada
sebagian kasus tertentu.

Sementara itu, ibnu anbary, ahli fiqih dari madhab Maliky memberi definisi istihsan
bahwa istihsan adalah memilih menggunakan maslahat juziyyah yang berlawanan dengan qiyas
kully .Istihsan merupakan sumber hukum yang banyak dalam terminology dan istinbath hukum
oleh dua imam madhab, yaitu imam Malik dan imam Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam
Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil qiyas selama masih dipandang tepat .

Dari berbagai definisi diatas, dapat difahami bahwa pada hakikatnya istihsan itu adalah
keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara
umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat
diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.

Dengan demikian, Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih
cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal
yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. Artinya,
persoalan khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak
memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai
pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.

B. MACAM MACAM ISTIHSAN

Istihsan dipandang dari berbagai segi banyak macamnya. Hal ini dapat dilihat dari segi dalil yang
ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya, dan adakalanya dari segi sandaran atau dasar
yang diikutinya saat beralih dari qiyas.

1) Dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya istihsan terbagi
kepada tiga:

a) Berpindah dari apa yang dituntut oleh qiyas zahir (jali) kepada yang dikehendaki oleh
qiyaskhafi. Artinya pentarjihan qiyas Khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jali (nyata) karena ada
suatu dalil.

Contoh: Fuqaha Hanafiyah menyebutkan, bahwa seorang pewakaf apabila mewakafkan


sebidang tanah pertanian, maka masuk pula secara otomastis hak pengairan (irigasi), hak air
minum, hak lewat ke dalam wakaf, tanpa harus menyebutkannya, berdasarkan istihsan.

Menurut qiyas, semuanya itu tidak termasuk kecuali bila terdapat nash yang
menyebutkannya sebagaimana jual beli. Segi istihsan ialah: bahwasanya yang menjadi tujuan
dari wakaf adalah pemanfaatan sesuatu yang diwakafkan kepada mereka. Pemanfaatan tanah
pertanian tidak akan ada kecuali dengan meminum airnya, saluran airnya, dan jalannya. Oleh
karena itu, hal-hal tersebut juga termasuk dalam wakaf meskipun tanpa menyebutkannya. Karena
tujuan tersebut tidak akan terealisir kecuali dengan hal-hal itu, sebagaimana sewa menyewa.

Qiyas yang nyata adalah menyamakan wakaf dengan jual beli, karena masing-masing
dari wakaf dan jual beli merupakan pengeluaran hak milik dari pemiliknya. Sedangkan qiyas
yang khafi menyamakan wakaf ini dengan sewa-menyewa, karena masing-masing dari
keduanya dimaksudkan untuk dimanfaatkan. Oleh karena itu pengairan, air minum, dan jalan
masuk di dalam wakaf tanah, tanpa harus menyebutkannya.

b) Berpindah dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat
khusus.

Contoh: tidak memotong tangan pencuri di waktu paceklik, yang menurut pemahaman umum
terhadap ayat al-Qur’an (QS. Al-Maidah: 37) apabila seorang melakukan pencurian dan
memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman potong tangan, maka berlaku baginya hukuman
potong. Namun, bila pencurian itu dilakukan pada masa paceklik, maka hukuman potong tangan
yang bersifat umum itu tidak diberlakukan, karena dalam kasus ini berlaku hukum khusus.
c) Pengecualian juziyyah (kasuistik) dari suatu hukum kulli (umum) dengan adanya suatu
dalil.

Contoh: Syara’ melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang


sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk
seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kulli. Tetapi syara’ memberikan
rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan
dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara
pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas
perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian
(istitsna) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz’i, karena keadaan memerlukan dan
telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.

2) Ditinjau dari segi sandaran atau dalil yang menjadi dasar dalam peralihan dari qiyas, maka
istihsan ada enam macam:

a) Istihsan yang sandarannya nash. Dalam bentuk ini ketentuan umum dan qiyas tidak
digunakan dan untuk selanjutnya yang digunakan adalah nash yang mengatur pengecualian itu.
Seperti, menghukumkan tetap sah puasa orang yang makan atau minum karena terlupa. Hal ini
berlandaskan kepada hadits Nabi saw: “Siapa saja yang makan atau minum karena lupa, maka
janganlah ia berbuka, karena itu merupakan rizki yang dianugerahkan Allah.” Imam Abu
Hanifah berkomentar terhadap kasus ini: “Andaikata tiada nash yang tidak membatalkan puasa
lantaran makan dan minum karena lupa, tentulah saya memandang batal puasa itu karena sudah
rusak satu rukunnya yaitu menahan diri dari segala yang merusak puasa”.

b) Istihsan yang sandarannya Ijma’. Yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada
suatu persoalan karena ada ijma’. Hal ini terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa
yang berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid bersikap
diam dan tidak menolak apa yang dilakukan manusia, yang sebenarnya berlawanan dengan
dasar-dasar pokok yang ditetapkan. Misalnya, ketetapan ijma’ tentang sahnya akad istihshna’(
pesanan ). Menurut qiyas semestinya akad itu batal sebab barang yang diakadkan belum ada.
Akan tatapi, masyarakat seluruhnya telah melakukannya, maka hal itu dipandang sebagai ijma’
atau urf am (tradisi) yang dapat mengalahkan dalil qiyas.

c) Istihsan yang sandarannya adalah urf (adat). Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan
dengan ketentuan qiyas, karena adanya urf yang sudah yang sudah dipraktikkan dan dikenal baik
dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan
kaedah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas berapa lama seseorang mandi dan berapa
jumlah air yang dipakai, akan tetapi apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan orang
banyak. Oleh sebab itu secara istihsan boleh mempergunakan jasa pemandian umum sekalipun
tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang dipakainya, karena sudah berlaku umum
dalam masyarakat.
d) Istihsan karena darurat. Yaitu istihsan yang disebabkan karena adanya dlarurat (terpaksa)
karena adanya suatu masalah yang mendorong mujtahid untuk meninggalakan dalil qiyas.
Seperti apabila saksi-saksi yang telah meninggal atau yang jauh dari tempat atau karena tidak
sanggup menghadiri sidang majlis, padahal menurut asal hukum kesaksian itu harus yang
melihat dengan mata kepala sendiri, dibolehkan menggunakan kesaksian orang lain.

e) Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi, yang pengaruhnya terhadap kemaslahatan
lebih tinggi dibanding qiyas jali. Contoh: sisa minum burung elang, gagak, dan sebagainya
adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan melalui sitihsan. Menurut qiyas jali sisa
minum binatang buas seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa
minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu karena langsung meminum dengan
mulutnya diqiyaskan kepada dagingnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda
mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut biantang buas terdiri dari daging yang haram
dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri dari tulang atau zat tanduk,
dan tulang dan zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak
bertemu dengan daging dan air liurnya karena diantarai oleh paruhnya.

f) Istihsan yang sandarannya maslahah. Misalnya, kebolehan dokter melihat aurat wanita
dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain.
Tapi, dalam keadaan tertentu seorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya.
Maka untuk kemaslahatan orang tersebut, menurut kaidah istihan seorang dokter dibolehkan
melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.

3) Ulama ushul dari kalangan malikiyah dikenal pula istihsan yang dalam prakteknya dinamai
dengan istislah. Dari hal ini mereka membagi istihsan kepada tiga macam:

a) Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan urf (kebiasaan). Misalnya,
seseorang bersumpah tidak akan memakan daging, lalu ia memakan daging ikan, maka ia tidak
dinamakan melanggar sumpah meskipun ikan itu dalam al-Qur’an termasuk dalam daging. hal
ini terlihat dalam firman Allah: ‫( طريا لحما تأكلون كل ومن‬dan dari semua yang kamu makan berupa
daging yang lembut). Alasannya adalah karena dalam urf yang berlaku dalam ucapan sehari-hari,
ikan tidak termasuk daging.

b) Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan beramal dengan cara lain karena
pertimbangan kemaslahatan manusia. Misalnya, tanggungjawab mitra dari tukang yang
membantu memperbaiki suatu barang yang diperbaikinya itu rusak di tangannya. Berdasarkan
qiyas, ia tidak perlu mengganti karena kerusakan barang itu di waktu ia membantu bekerja.
Namun berdasarkan istihsan ia harus mengganti barang tersebut demi menjaga kemaslahatan,
yaitu memelihara dan menjaga harta orang laian.
c) Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk menghindarkan kesulitan dan memberi
kemudahan kepada umat. Misalnya, adanya sedikit kelebihan dalam menakar sesuatu dalam
ukuran yang bnayak. Tindakan ini dibenarkan meskipun menurut ketentuan yang berlaku kalau
menakar itu harus tepat (pas) sesuai standar takaran yang berlaku.

C. DASAR HUKUM ISTIHSAN

Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah
yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan)
seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18

‫ احسنه فيتبعون القول يستمعون الذين‬.‫ هللا هدهم الذين اولئك‬. ‫االلبابز اولو هم واولئك‬

Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.
mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang
mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)

Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih
dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu
yang disyariatkan oleh Allah.

‫ربكم من اليكم انزل ما احسن واتبعوا‬

Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)

Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik,
dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang
memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah
hujjah.

Hadits Nabi saw:

‫سنًا ْال ُم ْس ِل ُمونَ َرأَى فَ َما‬


َ ‫ّللاِ ِع ْندَ فَ ُه َو َح‬
َ ‫سن‬َ ‫سيِئًا َرأ َ ْوا َو َما َح‬
َ ‫ّللاِ ِع ْندَ فَ ُه َو‬
َ ‫سيِئ‬
َ .

Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah
adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk
pula”.

Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan
akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
D. KEHUJJAHAN ISTIHSAN

Ada tiga golongan ulama dalam menanggapi istihsan ini apakah merupakan dalil hukum syara’
atau tidak:

Pertama, jumhur ulama ushul Fiqh dari mazhab Maliki, Hanafi, dan sebagian besar Hanbali
menyatakan bahwa istihan adalah salah satu dalil syara’ yang menetapkan suatu hukum yang
berlawanan dengan apa yang diwajibkan oleh qiyas, atau umunya nash.Terutama Hanafiyah
sangat mengutamakan istihsan yang dianggap lebih kuat dan memiliki dalil, serta meninggalkan
qiyas. Hal ini terlihat dalam ungkapan Abu Hanifah: ‫هذا نستحسن‬، ‫( القيـــاس وندع‬kami memakai
istihsan untuk hal ini, dan meninggalkan qiyas). Ucapan Abu Hanifah ini diperkuat oleh Abu Al-
Khattab dengan ungkapannya : “Saya menolak istihsan tanpa delil, dan menerimanya apabila ada
dalil yang jelas dan meninggalkan qiyas”.Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan
istihsan, tetapi ia tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan yang
dilakukannya itu. Oleh karena itu dia dikatakan menetapkan hukum hanya menurut kemauannya
saja tanpa memakai metode. Asal sudah dipandang baik sudah bisa menjadi dasar penetapan
hukum, karena demikianlah arti yang ditunjukkan oleh kata isthsan itu. Banyak fuqaha yang
tidak mengetahui hakikat istihsan yang dipraktekkan oleh Abu Hanifah, dan karena itu menurut
Husain Hamid Hassan, berpegangnya Abu Hanifah kepada isthsan menjadi sumber kritikan
terhadapnya. Malah sampai kepada mencelanya sebagai orang yang tidak mengetahui fiqh dan
meragukan kewarakannya.

Setelah timbul kritikan-kritikan itu, maka para sahabat dan murid Abu Hanifah berusaha
menjelaskan pengertian dan rumusan istihsan yang banyak dilakukan oleh imam mereka. Di
antara mereka adalah Imam As-Syarkhasi, yang mengarang sebuah kitab terkenal yang menjadi
rujukan bagi pengikut mazhab Hanafi, bernama “Ushul al-Syarkhasi”. Mereka berusaha
menjelaskan bahwa sesungguhnya isthsan itu tidak keluar dari dalil-dalil syarak. mereka
mengatakan bahwa hakikat istihsan adalah dua macam qiyas. Pertama, qiyas jaly tapi lemah
pengaruhnya, inilah yang dinamakan dengan qiyas. Kedua, qiyas khafi tapi pengaruhnya kuat,
inilah yang dinamakan dengan istihsan, oleh karena itu dalam dua hal ini yang dipandang adalah
pengaruhnya, bukan jelas atau tidaknya qiyas. Pengaruh yang lebih kuat itulah yang
menyebabkan Hanafiyah, Malikiyah dan sebagain Hanabilah lebih mengutamakan istihsan
daripada qiyas. Atau dengan perkataan lain, pengutamaan istihsan daripada qiyas semata-mata
didasarkan kepada pengaruh hukumnya, bukan didasarkan pada khafi atau jali-nya bentuk qiyas.

Bagi Hanafiyah dan Malikiyah pada hakekatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri
sendiri, karena sesungguhnya hukum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya
berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan qiyas yang jelas, karena adanya beberapa
faktor yang memenangkannya yang membuat tenang hati si Mujtahid. Sedangkan bentuk yang
kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang pengecualian kasuistis dari
hukum kulli (umum), dan ini juga disebut dengan segi istihsan.
Adapun dalil yang dipegang oleh ulama yang meyakini istihsan sebagai dalil hukum adalah:

- َ ‫سنَهُ فَيَتَبِعُ ْونَ ْالقَ ْو َل يَ ْست َِمعُ ْونَ الَ ِذيْنَ ِعباَد‬
‫ِي فَبَش ِْر‬ َ ْ‫أَح‬....

”Berilah kabar gembira kepada hamba-hambaKu yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti
apa yang paling baik di antaranya....” (QS. Az-Zumar: 18)

- ‫بأحسنـــــها يأخذوا قومك وأمر‬.....

“Suruhlah kaummu (Musa) berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-


baiknya...”(QS. Al-A’raaf: 145)

- ‫العسر بكم يريد وال اليسر بكم هللا يريد‬..

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...”(Qs.


Albaqarah: 185)

- ‫حسن هللا عند فهو حسنا المسلمون رآه ما‬

“ Sesuatu yang di pandang baik oleh umat islam, maka ia dihadapan allah juga baik” (HR.
Ahmad ibn Hanbal)

Kedua, kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil syara’ dan menyatakan bahwa istihsan
adalah menetapkan hukum dengan keinginan hawa nafsu semata. Kelompok yang menolak
istihsan sebagai dalil hukum ini adalah Imam Syafi’i dan pengikutnya, kelompok zahiriyah,
Mu’tazilah, dan Ulama Syi’ah qathibah. Imam Syafi’i merupakan ulama yang sangat keras
mengeritik isthsan tersebut. Kritikannya ini terlihat jelas dalam ungkapannya: ‫فقد استحسن من‬
‫“شرع‬Siapa yang memakai istihsan maka telah membuat sendiri hukum syara’..”. Oleh karena itu
bagi Syafi’i memakai istihsan dalam istinbath hukum adalah haram apabila dia bertentangan
dengan khabar yang ada di dalam al-Qur’an dan hadits. Dalam buku Risalah Ushuliyah
karangan Imam Syafi’i dinyatakan: “perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti
orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut sitihsan bahwa arah
itu adalah arah ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah
ka’bah itu.” Setelah Imam Syafi’i mengkritik Hanafi dan pengikutnya, lalu diikuti oleh Ulama
dari ahli Theologi, mereka mengatakan bahwa bahwa istihsan adalah dalil yang rusak dan tidak
bisa digunakan sebagai metode mengistinbathkan hukum.

Adapun landasan mereka mengkritik dan menolak dalil istihsan adalah:

a. Tidak boleh membuat sebuah hukum kecuali dengan nash atau dengan yang diqiyaskan
dengan nash, karena hal terebut berarti membuat hukum syara’ dengan keinginan hawa nafsu.
Allah Swt berfirman: ‫( أهوائهم تتبع وال هللا أنزل بما بينهم احكم وأن‬dan hendaklah kamu memutuskan
perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka...(QS. Al-Maidah: 49).
b. Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. tidak pernah berfatwa dengan menggunakan istihsan,
akan tetapi dia menunggu hingga wahyu turun, walaupun sekiranya dia beristihsan itu adalah
benar, karena dia berbicara bukan karena kehendak hawa nafsu.

c. Istihsan itu dasarnya adalah akal, akal itu ada yang pintar ada yang bodoh, kalau sekiranya
seseorang boleh beristihsan, berarti setiap orang boleh menetapkan hukum syara’ yang baru
untuk dirinya sendiri.

Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan
menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat mazhab Hanafi
berbeda dari istihsan menurut pendapat mazhab Syafi’i dan dan lainnya. Menurut mazhab Hanafi
istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa
nafsu, sedang menurut mazhab Syafi’i dan dan yang lainnya istihsan itu timbul karena rasa
kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.

Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang
disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu Al-Syathibi dalam
bukunya Al-Muwaafaqaat menengahi kedua kubu ini dalam ungkapannya: “Orang yang
menetapkan hukum berdasarkn istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata,
akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan
Allah swt. menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum.”

kelompok ketiga, menyatakan bahwa istihsan memang merupakan dalil hukum syara’, akan
tetapi dia bukan dalil yang berdiri sendiri, akan tetapi dia menopang kepada dalil syara’ yang
lain, karena kerjanya adalah menguatkan qiyas yang ada atau beramal dengan urf, atau dengan
maslahah. Pendapat ini dipegang oleh Al-Syaukani. Hal ini terlihat dalam ungkapannya:
“Istihsan merupakan dalil syara’ yang tidak berdiri sendiri, yang pada dasarnya tidak memiliki
manfaat, karena dia hanya menegaskan dalil yara’ yang telah ada sebelumya, ketika dia keluar
dari dalil syara’ yang ada itu maka dia tidak bisa dijadikan dalil hukum lagi.”

Menurut hemat penulis walaupun istihsan bukan suatu dalil yang berdiri sendiri, namun ia
menyingkapkan jalan yang ditempuh sebagian ulama mujtahid dalam menetapkan dalil-dalil
syara’ dan kaedah-kaedahnya ketika dalil-dalil itu bertentangan dengan kenyataan yang
berkembang dalam masyarakat. Hal ini untuk menghindari kesulitan dan kemudaratan serta
menghasilkan kemanfaatan dengan cara menetapkan dasar-dasar syariat dan sunber-sumbernya.
2. SADDU DZARI’AH
A. Pengertian

Secara etimologi (bahasa), dzari’ah berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu.” Ada juga yang
mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan
mengandung kemudaratan.” Akan tetapi Ibn Qayyim al-Jauziyah (ahli fiqh) mengatakan bahwa
pembatasan pengertian dzari’zah kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada juga
dzari’ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan.[1] Oleh sebab itu, menurutnya pengertian
dzari’ah lebih baik dikemukakan yang bersifat umum , sehingga dzari’ah itu mengandung dua
pengertian, yaitu: yang dilarang (sadd al-dzariah) dan yang dituntut untuk dilaksanakan (fath al-
dzari’ah).

Secara Terminologi (istilah), Menurut al-Qarafi, sad dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan
(mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut.[2] Menurut asy-Syaukani, adz-
dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada dasarnya dibolehkan namun akan mengantarkan
kepada perbuatan yang dilarang.[3]

Dalam karyanya al-muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sad adz-dzari’ah adalah menolak
sesuatu yang boleh agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang.[4] Menurut Yahya
dan Fatchurrahman, sad adz-dzari’ah adalah menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang
terlarang.[5]

Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan
larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan untuk mencegah
terjadinya perbuatan lain yang dilarang.

B. Kedudukan sebagai sumber hukum

Kedudukan Sadd al-Dzarỉ‘ah

Sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd al-dzarỉ‘ah merupakan
salah satu metode pengambilan keputusan hukum (istinbâth al-hukm) dalam Islam. Namun
dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd al-dzarỉ‘ah adalah salah satu sumber hukum.

Tidak semua ulama sepakat dengan sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode dalam menetapkan hukum.
Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok,
yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak
sepenuhnya.

Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum,
adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan
mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga
bisa diterapkan lebih luas.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum,
adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd al-
dzarỉ‘ah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-
kasus yang lain.

Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah
mazhab Zhahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum
berdasarkan makna tekstual(zhâhir al-lafzh). Sementara sadd al-dzarỉ‘ah adalah hasil penalaran
terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai
tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd al-dzarỉ‘ah adalah
semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nashsecara langsung.

Dasar Hukum Sadd al-Dzarỉ‘ah

1. Al-Quran

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah
kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan
merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan.” (QS. al-An’âm, 6: 108).

Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah al-dzari’ah yang akan
menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan
teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas
mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan
caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan
preventif (sadd al-dzari’ah).

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Râ’inâ”, tetapi
katakanlah: “Unzhurnâ”, dan “Dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang
pedih.” (QS. al-Baqarah, 2: 104).

Pernyataan Allah pada QS al-Baqarah, 2: 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk
pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif
yang akan terjadi. Katarâ ‘inâ (‫)را ِعنَا‬
َ berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat
para sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini
dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah s.a.w. Mereka menggunakannya dengan
maksud kata râ ‘inâ (‫)ر ِعنًا‬
َ sebagai bentuk isim fâ’il darimasdar kata ru’ûnah (‫)رع ُْونَة‬
ُ yang berarti
bodoh.[6]

Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata râ’inâ yang biasa
mereka pergunakan dengan unzhurnâ yang juga berarti sama dengan râ’inâ. Dari latar belakang
dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd al-dzarỉ‘ah.[7]

2. As-Sunnah

‫ّللاِ َع ْب ِد َع ْن‬
َ ‫ي َع ْم ٍرو ب ِْن‬ َ ‫ض‬ِ ‫سو ُل قَا َل قَا َل َع ْن ُه َما هللاُ َر‬ ُ ‫صلَى هللاِ َر‬ َ ‫الر ُج ُل يَ ْلعَنَ أ َ ْن ْال َكبَا ِئ ِر أ َ ْكبَ ِر ِم ْن ِإ َن َو‬
َ ُ‫سلَ َم َعلَ ْي ِه هللا‬ َ ‫قِي َل َوا ِلدَ ْي ِه‬
‫سو َل يَا‬ ْ َ ‫سب قَا َل َوا ِلدَ ْي ِه‬
َ ‫الر ُج ُل يَلعَنُ َو َكي‬
ُ ‫ْف هللاِ َر‬ ُ َ‫الر ُج ُل ي‬ َ
َ ‫الر ُج ِل أبَا‬
َ ‫سب‬ َ
ُ َ‫سب أبَاهُ فَي‬ ُ
ُ َ‫أ َمهُ َوي‬

Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di antara dosa
besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana
caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki
mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki
ayah dan ibu tua lelaki tersebut.”[8]

Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep sadd al-
dzarỉ‘ah.Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann)
bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd al-dzari’ah.[9]

3. Kaedah Fikih

Di antara kaedah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd al-dzarỉ‘ah adalah:

‫ب ِم ْن أ َ ْولَى ْال َمفَا ِس ِد دَ ْر ُء‬


ِ ‫صا ِلحِ َج ْل‬
َ ‫ْال َم‬

Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (mashlahah).[10]

Kaedah ini merupakan kaedah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di bawahnya.
Berbagai kaedah lain juga bersandar pada kaedah ini. Karena itulah, sadd al-dzarỉ‘ah pun bisa
disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd al-dzarỉ‘ah terdapat
unsurmafsadah yang harus dihindari.

4. Logika

Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga
membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya,
jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa
mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu al-Qayyim
dalam kitab A’lâm al-Mûwâqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan
melarang dan mencegah segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu
untuk menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala
jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan yang telah
ditetapkan.”[11]

Fath al-Dzarỉ‘ah

Kebalikan dari sadd al-dzarỉ‘ah adalah fath al-dzarỉ‘ah. Hal ini karena titik tolak yang digunakan
adalah al-dzarỉ‘ah. Dalam mazhab Maliki dan Hambali, al-dzarỉ‘ah memang ada yang dilarang
dan ada yang dianjurkan. Hal ini diungkapkan oleh al-Qarafi yang dianggap berasal mewakili
mazhab Maliki dan Ibnu al-Qayyim al-Jauzi yang dianggap mewakili mazhab Hambali. Al-
dzarỉ‘ah adakalanya dilarang sehingga pelarangan itu disebut sadd al-dzarỉ‘ah; adakalanya
dianjurkan atau diperintahkan sehingga anjuran atau perintah itu disebut fath al-dzarỉ‘ah.[12]

Secara terminologis, bisa dipahami bahwa fath al-dzarỉ‘ah adalah menetapkan hukum atas suatu
perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan, baik dalam bentuk membolehkan
(ibâhah),menganjurkan (istihâb), maupun mewajibkan (ỉjâb) karena perbuatan tersebut bisa
menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang memang telah dianjurkan atau diperintahkan.

Contoh dari fath al-dzarỉ‘ah adalah bahwa jika mengerjakan shalat Jum’at adalah wajib, maka
wajib pula berusaha untuk sampai ke masjid dan meninggalkan perbuatan lain. Contoh lain
adalah jika menuntut ilmu adalah sesuatu yang diwajibkan, maka wajib pula segala hal yang
menjadi sarana untuk tercapai usaha menuntut ilmu, seperti membangun sekolah dan menyusun
anggaran pendidikan yang memadai.

Namun yang juga harus digarisbawahi adalah bahwa betapapun al-dzarỉ‘ah (sarana) lebih rendah
tingkatannya daripada perbuatan yang menjadi tujuannya. Pelaksanaan atau pelarangan suatu
sarana tergantung pada tingkat keutamaan perbuatan yang menjadi tujuannya.[13]

Pembahasan tentang fath al-dzarỉ‘ah tidak mendapat porsi yang banyak di kalangan ahli Ushûl
al-Fiqh(Usul Fikih). Hal itu karena fath al-dzarỉ‘ah hanyalah hasil pengembangan dari konsep
sadd al-dzarỉ‘ah.Sementara sadd al-dzarỉ‘ah sendiri tidak disepakati oleh seluruh ulama sebagai
metode istinbâth hukm(penalaran hukum). Hal itu karena bagi sebagian mereka, terutama di
kalangan ulama Syafi’iyyah, masalahsadd al-dzarỉ‘ah dan fath al-dzarỉ‘ah masuk dalam bab
penerapan kaedah:

ِ ‫اجب فَ ُه َو بِ ِه إالَ ْال َو‬


‫اجبُ َيتِم الَ َما‬ ِ ‫َو‬

Jika suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal tertentu, maka hal tertentu itu
pun wajib pula untuk dilaksanakan .[14]

Kaedah tersebut berkaitan pula dengan masalah muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan
yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor yang membuat
perbedaan pendapat ulama terhadap kedudukan sadd al-dzarỉ‘ah dan fath al-dzarỉ‘ah. Apa yang
dimaksudkan al-dzarỉ‘ah oleh ulama Maliki dan Hambali, ternyata bagi ulama Syafi’i adalah
sekadar muqaddimah.

C. Macam-macam al-Dzarỉ‘ah

Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan al-dzarỉ‘ah
menjadi empat macam, yaitu:[15]

1. Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah).
Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk dan perbuatan
zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal usul keturunan.

2. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab), namun
secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya
menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahlỉl).
Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan muncul unsur
riba.

3. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk
menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi
meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar
akibatnya daripada kebaikan(mashlahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala
yang disembah oleh orang-orang musyrik.

4. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan
keburukan(mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya.
Misalnya, melihat perempuan yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.

Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan al-Syathibi membagi al-dzarỉ‘ah
menjadi tiga macam, yaitu:

1. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau sarana
terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam anggur, meskipun ada
kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan
terjadi perbuatan zina dengan tetangga.

2. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang yang
mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas mencaci
maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan menggali sumur di tengah jalan bagi
orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
3. Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti memandang
perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli berjangka karena khawatir
ada unsur riba.

Anda mungkin juga menyukai