Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH USHUL FIQIH

ISTIHSAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih

Dosen pengampu : Yusuf fatoni, M. Ag.

Di susun oleh :

1. Ahmad Khoirul Muttaqin 1121002


2. Fahmi Ashoffa 1121006
3. Rosyidatun Ni'mah 1121023

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI


JURUSAN TARBIYAH PRODI PAI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul Istihsan ini tepat pada
waktunya.

Sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW yang selalu
kita tunggu syafaatnya hingga hari qiamat nanti. Tujuan dari pembuatan makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih dengan pengampu Dosen Yusuf
fatoni, M. Ag.

Makalah ini disusun dengan harapan Dapat menambah pengetahuan dan wawasan
kita. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
Membangun guna sempurnanya makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca umumnya dan kami khususnya.

PATI 15 OKTOBER 2023

PENULIS

1
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sebagaimana kita ketahui, sumber ajaran islam yang pertama adalah al-
Qur’an Al-Qur’an itu merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, tidak sekaligus tetapi dengan cara sedikit demi sedikit dimulai di Makkah dan
disudahi di Madinah. Atas dasar wahyu inilah Nabi menyelesaikan persoalan-
persoalan yang timbul dalam mayarakat Islam ketika itu.
Ternyata tidak semua persoalan yang dijumpai masyarakat islam ketika itu
dapat diselesaikan dengan wahyu. Dalam keadaan seperti ini. Nabi menyelesaikan
dengan pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui permusyawaratan
dengan para sahabat. Inilah yang kemudian dikenal dengan sunnah Rasul. Memang
al-Qur’an hanya memuat perinsip-perinsip dasar dan tidak menjelaskan segala sesuatu
secara rinci. Perinciannya khusus dalam masalah ibadat, diberikan oleh hadist.
Sedangkan dalam bidang muamalat, perinsip-perinsip dasar itu, yang belum
dijelaskan oleh Rasulullah SAW diserahkan kepada ummat untuk mengaturnya.
Dengan demikian persoalan yang belum ada nasnya dalam al-Qur’an dan
Hadist, para ulama mencoba memberikan solusi atau di istimbatkan hukumnya
dengan berbagi metode, walaupun metode dalam berijtihad berbeda satu sama lain.
Ada yang memakai metode misalnya Istihsan tetapi ulama lain menolaknya Dalam
makalah ini akan dibahas tentang persoalan metode berijtihad olch para ulama, namun
dalam makalah ini pembahasan cukup difokuskan pada persoalan berijtihad dengan
Istihsan.

B. Rumusan masalah

1. Apa pengertian Istihsan?


2. Apa saja macam-macam Istihsan?
3. Apa dasar hukum Istihsan?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Istihsan

Istihsan menurut bahasa artinya menganggap sesuatu itu baik, memperhitungkan


sesuatu lebih baik, mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari yang lebih untuk diikuti,
karena memang di suruh itu. Menurut Istilah ulama ushul fiqih adalah berpalingnya
seseorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan qiyas yang khafi
(samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitnainy (pengecualian) ada dalil
yang menyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini.1
Istihsan dapat diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu
dan menganggapnya kebaikan. Menurut istilah ulama ushul, istihsan adalah sebagai berikut:

1. Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustafa juz 1:37, “Istihsan adalah semua
hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.”
2. Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, “Istihsan adalah suatu keadilan
terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu dari Al-Quran
dan As-Sunnah,”
3. Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam madzhab Al-Maliki berkata, “Istihsan adalah
pengembalian suatu kemaslahatan yang bersifat juz’ 1 dalam menanggapi dalil
yang bersifat global.”
4. Imam al-bazdawi (400-482 H/1010-1059 M), salah seorang ahli mazhab hanafi
menulis: istihsan adalah berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih
kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat.
5. Adapun As-Sarakhsi (1090 M), menyatakan: istihsan itu berarti meninggalkan
qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu karena adanya dalil yang lebih
kuat dari itu, karena adanya dalil yang menghendakinya serta lebih sesuai dengan
kemaslahatan umat manusia.

1
Amir Syarifuddin, UshulFiqh, Jilid II (Cet. 1, Jakarta: Logos, 1999), h. 305.

3
B. Macam- macam Isthisan
Ditinjau dari segi pengertian Istihsan menurtut ulama Ushul Fiqh diatas, maka
istishan itu terbagi menjadi:
a. Istihsan menurut syara’
1) Pentarjihan qiyas khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jali (nyata)
karena ada suatu dalil.
2) Pengecualian kasuistis (juz.iyyah) dari suatu hukum kuli (umum)
dengan adanya suatu dalil.
b. Istihsan Qiyas
Yaitu menggunakan Qiyas khafi (samar) dan meninggalkan Qiyas jali (nyata)
karena ada petunjuk untuk itu. Istihsan ini terjadi pada suatu kasus yang
mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk qiyas, yaitu qiyas jali
dan qiyas khafi.
c. Istihsan Istisnaiy
Yaitu hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada
petunjuk untuk hal tersebut. Istihsan Istisnaiy terbagi kepada beberapa
macam, yaitu:
1) Istihsan bin-nash, yaitu istihsan berdasarkan ayat atau hadis.
Maksudnya, ada ayat atau hadis tentang hukum suatu kasus yang
berbeda dengan ketentuan kaidah umum. Contohnya, dalam kasus
orang yang makan dan minum di saat berpuasa karena ia lupa.
Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal karena ia telah
memasukkan sesuatuke dalam kerongkongannya dan tidak menahan
puasanya sampai ia berbuka. Akan tetapi, hukum ini dikecualikan
oleh hadis Rasulullah saw.

‫َق ه ْرْهللاريْرْبرَرْيَرُْ َيبَأْن َ َعو‬ ‫أْو وْي قْْ– ه َهو َهلَْ وْرْب رْ ل َْ ل ْ َ ه‬
ْ‫َئا‬ َ ‫برََ َرْْ–هللالفُْةو ُْنيْههمْ رَأُْهللاق اْةموبلْني َق َبرهْأه‬
َ ‫ْي‬ َ ْ‫هئه‬

“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw, bersabda: “Barang


siapa yang makan atau minum karena lupa, tidaklah batal
puasanya, karena itu hal merupakan rezeki yang diturunkan
Allah kepadanya.

4
2) Istihsan berlandaskan ijma’ yaitu meninggalkan qiyas karena ada
kesepakatan umum. 2 Contohnya, penetapan sahnya akad jual beli
yang tidak yang tidak menghadirkan obyeknya, karena transaksi
semacam itu sudah jelas dan dikenal sepanjang zaman. Hal seperti
ini menurut qiyas tidak sah, kerena obyeknya tidak ada.
3) Istibsan qiyas khafi, yaitu qiyas yang antara asal dan cabangnya
terdapat perbedaan yang mempengaruhi hukumnya. 3 Contohnya,
seseorang yang telah mewakafkan sebidang tanah pertanian. Secara
istihsan, hak-hak yang bersangkut paut dengan tanah itu, seperti hak
mengairi, membuat saluran air di atas tanah tersebut sudah tercakup
dalam pengertian wakaf secara langsung, meskipun hak-hak itu
tidak
disebutkan secara terinci. Sedangkan secara qiyas, hak-hak itu tidak
langsung masuk ke dalamnya, kecuali hak-hak itu tercakup di
dalamnya atas ketetapan nas.
4) Istihsan darurat, yaitu penetapan hukum suatu peristiwa yang
menyimpang dari hukum yang ditetapkan melalui qiyas, karena
adanya keadaan darurat yang mengharuskan menyimpangan
tersebut, dengan maksud untuk menghindari kesulitan. 4 Contohnya
syariat melarang seorang laki-laki melihat aurat wanita, tetapi dalam
keadaan darurat, misalnya dokter yang hendak mengobati
diperbolehkan oleh istihsan melihat aurat pasien wanita. Kebolehan
di sini hanya bisa berlaku ketika hendak mengobati, dan apabila
penyakit yang diobati itu telah sembuh, maka kebolehan tersebut
kembali menjadi terlarang.
5) Istihsan yang berlandaskan ‘urf’ (adat kebiasaan), yaitu sesuatu
berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum.5 Contohnya, sama
dengan contoh istihsan yang berdasarkan ijmak.

2
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1994), h. 53.
3
Ibid, h. 53
4
Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran (Cet. 1: Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1996), h.
27
5
Hasan Hamid Hasan, Nasabiyah al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islamiyah (Mesir. DaralMaktabat al-Arabiyah.
T.th.), h. 250

5
6) Istihsan yang didasarkan atas maslahah mursalah, yaitu meningalkan
qiyas karena adanya maslahat (kebaikan). Contohnya, adanya
jaminan bagi buruh yang berserikat. Menurut Imam Malik, bahwa
hal itu diperlukan, sekalipun berdasarkan qiyas tidak perlu ada
jaminan, sebab yang berserikat pada umumnya memiliki kejujuran.
Namun Imam Malik melihat kebiasaan ada buruh yang tidak
mempunyai tanggung jawab.
7) Istihsan raf al-haraj wa al-masyaqqat (menolak kesukaran dan
kesulitan). Hal ini merupakan kaidah yang qath’i, yakni
meninggalkan masalah kecil dan menghindari kesukaran.
Contohnya. Memperbolehkan pemakaian kamar mandi umum tanpa
ketentuan jumlah sewa, lama pemakaian dan banyaknya air yang
dipakai. Karena itu asal hukumnya tidak boleh, sebab termasuk
sewa menyewa, dan objeknya tidak jelas. Akan tetapi, hal ini
dibatalkan oleh Imam Malik.

C. Dasar Hukum Istihsan

Para ulama fikih berbeda pendapat mengenai asal istihsan sebagai dalil pokok dalam
pengambilan hukum. Di antara ulama yang paling santer dalam membela dan mengamalkan
istihsan sebagai hujjah adalah ulama Mazhab Hanafi. Di tambah sebagian ulama-ulama
lainnya dari Madzhab Maliki dan Hanbali. Hanya saja, ulama Mazhab Syafi’l memiliki
pandangan yang berbeda dalam memposisikan istihsan sebagai dalil pokok dalam
pengambilan hukum. Sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara pandangan
ulama yang membela dan mendukung istihsan dengan ulama yang menentang istihsan.
Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan
Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar
dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar (39):18

َ‫ي‬ َ‫ي‬
َّْ ُ‫ين ْلَ َْنوَوأَ ْ َ يَ هَ ه‬
‫ْأه‬ ‫ين ْلَ ْ هَُْهينهقَ َنوَوأَ ْوَ أ َ َبقهقاَ َْنىَق َْةَََأنَقهقاَ ََْو َ َ َرََْْ ه‬ َْ ‫ َ َننَل‬.ْ١٨
‫م َيَ ه‬

Artinya: “mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka
itulah ululalbab (orang-orang yang mempunyai akal sehat).”

6
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang
memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali
untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
َ ُ‫ْقَََْو َأَ ْ َ ل َْْهو ََ َََْنََ هُْ َ أْ عَ ه‬
‫ْيَِنَ ْقه‬
Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu”....QS. Az-Zumar(39) :55
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang
terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain
yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan
adalah hujjah.
Hadits Nabi saw:

‫أ لْةَقْب َْرْو أْي لْ نيَْهَعلْةَ هَ َقْ َب ََْرَْ ني لْ هْ ف‬ ْ‫ننَْنب َبقا‬

Artinya: “Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di
sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah
adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin
dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan
Istihsan. Dari sini, ulama Mazhab Hanafi tetap berpegang kepada istihsan. Akan tetapi
mereka menggunakannya tetap berdasarkan kepada dalil-dalil yang kuat. Bukan kepada
hawa nafsu sebagaimana yang dituduhkan para ulama yang menentang istihsan. Mereka
berpendapat dalam posisi istihsan ini, melakukan istihsan lebih utama dari pada melakukan
qiyas. Karena pengambilan dalil yang lebih kuat diutamakan dari pada dalil yang lemah.
Pada dasarnya dalam praktek istihsan ini. Tidak mesti ada dalil yang bertentangan, tetapi
istihsan itu cukup dilakukan ketika ada dalil yang lebih kuat, sekaligus menggugurkan dalil
yang lemah. Atau istihsan itu dilakukan dengan cara meninggalkan qiyas Karena ada dalil-
dalil lain yang lebih kuat yang diambil dari teks Al-Qur’an, sunnah, ijma’, adanya darurat,
atau dari qiyas khali

7
BAB III

PENUTUP

A KESIMPULAN

1. Istihsan menurut bahasa artinya menganggap sesuatu itu baik, memperhitungkan


sesuatu lebih baik, mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari yang lebih untuk
diikuti, karena memang di suruh itu. Menurut Istilah ulama ushul fiqih adalah
berpalingnya seseorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada
tuntutan qiyas yang khafi (samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum
istitnainy (pengecualian) ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan
memenangkan perpalingan ini.
2. Pada prinsipnya, istihsan tetap bersandar kepada dalil nash, ijma”, dan qiyas, dengan
esensi yang sama, yaitu untuk menghindarkan kesulitan demi sebuah kemaslahatan.
3. Istihsan sebagai salah satu metode istinbat hukum alternatif ternyata akan selalu
relevan dengan perkembangan zaman. Para ulama yang mempertahankan istihsan
mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam
pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan).

8
DAFTAR PUSTAKA

Hasan Hamid Hasan, Nasabiyah al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islamiyah


(Mesir. DaralMaktabat al-Arabiyah. T.th.),

Syarifuddin, Amir. 1999. UshulFiqh, Jilid II (Cet. 1, Jakarta: Logos),

Syihab, Umar. 1996. Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran (Cet. 1:


Semarang: PT. Karya Toha Putra),

Usman, Iskandar. 1994. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam


(Jakarta: Rajawali Press),

Anda mungkin juga menyukai